Beranda / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 6: Percikan di Tengah Kegelapan

Share

Bab 6: Percikan di Tengah Kegelapan

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-23 18:26:07

Malam menyelimuti kota dengan gelap yang hampir sempurna. Langit tanpa bintang dan jalanan lengang terasa seperti sebuah pertanda buruk. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suara-suara samar terdengar—bisikan penuh ketegangan dan langkah-langkah kaki yang berhati-hati.

Di dalam, Dante berdiri memandangi papan penuh peta, dokumen, dan foto. Setiap potongan informasi terasa seperti teka-teki besar yang tidak sepenuhnya ia pahami. Elena berdiri di sampingnya, tangan terlipat dengan wajah tegang.

"Ini semua hanya sebagian kecil," kata Elena sambil menunjuk ke salah satu peta. "The Codex mungkin saja disembunyikan di salah satu fasilitas ini. Tapi setiap lokasi adalah ancaman."

Dante mengangguk pelan, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di situ. Sejak mengetahui bahwa dirinya adalah pewaris dari kekuatan besar—dan berbahaya—ia merasa seperti hidupnya telah diambil alih oleh sesuatu yang tidak pernah ia minta. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti melangkah ke jurang yang lebih dalam.

"Rafael ada di sana," gumam Dante akhirnya, suaranya lebih seperti bisikan.

Elena menoleh padanya, alis terangkat. "Apa maksudmu?"

"Dia selalu satu langkah di depan kita. Aku tahu, Elena. Dia bukan hanya mengawasi, dia... mengendalikan semuanya. Ini semua bagian dari permainannya."

Elena mendesah, mencoba menenangkan dirinya. "Dante, jangan biarkan pikiran itu menguasaimu. Rafael mungkin licik, tapi dia juga lengah. Dia terlalu percaya diri."

Dante menatap Elena dengan sorot mata yang tajam, hampir seperti sorotan seseorang yang telah kehilangan kepercayaan. "Kamu tidak mengerti, Elena. Dia tidak lengah. Dia tahu setiap gerakanku karena dia pernah ada di posisi ini sebelumnya. Dia tahu bagaimana melemahkanku, bagaimana memanipulasi..."

"Dan kau tidak akan membiarkannya menang!" potong Elena, suaranya keras dan penuh ketegasan. "Lihat aku, Dante. Kau tidak sendirian. Kita ada di sini untuk melawan dia, bersama-sama."

---

Diskusi mereka terhenti saat pintu gudang terbuka dengan keras. Lorenzo muncul, dengan wajah cemas dan napas terengah-engah. "Kita ada masalah besar," katanya langsung, tanpa basa-basi.

Elena segera menghampirinya. "Apa yang terjadi?"

Lorenzo menyerahkan sebuah amplop cokelat kepada Dante. "Ini. Baru saja datang. Mereka tahu kita di sini."

Dante membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada foto dirinya bersama Elena di sebuah restoran beberapa malam yang lalu. Di bawahnya, sebuah pesan singkat tertulis:

"Satu langkah lagi, dan semuanya berakhir. Kembali atau hancur."

Dante merasakan tangannya mengepal tanpa sadar. Rafael. Dia tahu bahwa ancaman ini adalah permainan psikologis. Tapi apa yang membuat darah Dante mendidih adalah keberadaan seseorang lain dalam foto itu.

Nina.

Gadis muda yang pernah ia anggap seperti adik sendiri, kini tampaknya berada di radar Rafael. Foto itu menunjukkan Nina sedang berjalan keluar dari restoran yang sama, tanpa mengetahui bahwa dia mungkin sedang diawasi.

"Lorenzo," kata Dante dengan suara rendah. "Bawa Nina ke tempat aman sekarang. Pastikan dia tidak kembali ke kota ini sampai aku mengatakan aman."

"Tidak semudah itu," jawab Lorenzo, ragu-ragu. "Mereka sudah menyadarinya. Aku punya tim yang menjaga dia, tapi Rafael terlalu licik. Jika kita bergerak gegabah, kita bisa menyerahkan Nina ke tangannya."

Dante merasakan perasaan frustrasi bercampur kekesalan. Dia merasa terjebak, seolah setiap langkahnya diprediksi.

"Aku tidak akan membiarkan dia terlibat!" Dante hampir berteriak, menghantam meja di depannya. Elena mencoba menenangkan, tetapi Dante sudah terlalu larut dalam pikirannya.

"Apa yang Rafael inginkan dari kita, Dante? Dari kamu?" tanya Elena akhirnya.

"Dia tidak hanya menginginkan The Codex," jawab Dante sambil menggeleng pelan. "Dia ingin menghancurkan semua yang pernah aku cintai. Ini bukan hanya tentang kekuasaan atau pengaruh, ini tentang balas dendam. Aku hanya belum tahu kenapa."

---

Beberapa jam kemudian, mereka menerima kabar bahwa Rafael akan berada di sebuah lokasi yang telah diketahui oleh jaringan Lorenzo. Gudang lama itu adalah tempat yang sering digunakan oleh kelompok Sangkar Besi untuk menyimpan barang-barang selundupan.

"Ini jebakan," kata Elena dengan tegas saat mendengar rencana Dante untuk pergi.

"Tentu saja itu jebakan," jawab Dante dengan nada dingin. "Tapi ini kesempatan kita untuk mengambil kendali."

"Kau bisa mati, Dante," desak Elena, suaranya terdengar lebih lembut sekarang. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian."

"Aku tidak punya pilihan," jawab Dante sambil menatapnya. "Dia mengincar Nina, Elena. Jika aku tidak melangkah sekarang, aku akan kehilangan lebih banyak lagi."

Elena mengangguk pelan, tetapi hatinya terasa berat. "Kalau begitu, aku ikut. Kita pergi bersama."

---

Malam itu, Dante dan Elena tiba di lokasi yang disebutkan. Gudang besar itu gelap dan suram, dengan hanya sedikit cahaya dari lampu yang berkelap-kelip di kejauhan. Suasana mencekam seolah mempersiapkan mereka untuk sesuatu yang besar.

Mereka masuk dengan hati-hati, senjata di tangan, setiap langkah terasa berat. Elena menatap ke sekeliling, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan. Tapi intuisi Dante memberitahunya bahwa Rafael ada di sana, menunggu.

Tiba-tiba, suara tepuk tangan terdengar dari sudut ruangan. "Bravo, Dante. Kau benar-benar datang."

Rafael muncul dari bayangan, dengan senyuman licik yang membuat darah Dante mendidih.

"Di mana Nina?" tanya Dante langsung, tanpa basa-basi.

Rafael tertawa kecil. "Ah, selalu begitu langsung. Jangan khawatir, dia masih aman. Untuk sekarang."

"Beraninya kau menyentuh dia, Rafael. Aku akan melawanmu," geram Dante, suaranya penuh dengan kemarahan.

Rafael mengangkat bahu, seolah ancaman itu tidak berarti apa-apa baginya. "Kau tidak mengerti, Dante. Aku tidak ingin hanya mengalahkanmu. Aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan—kehilangan segalanya. Lihat di sekitarmu, Dante. Kau dikelilingi oleh orang-orang yang akan kau kecewakan, orang-orang yang akan kau tinggalkan. Dan akhirnya, kau akan berdiri sendirian."

Kata-kata Rafael memukul Dante seperti palu. Dia tahu bahwa Rafael sedang bermain dengan emosinya, tetapi sebagian dari dirinya merasa takut bahwa Rafael mungkin benar.

Pertempuran verbal itu berubah menjadi aksi saat anak buah Rafael mulai muncul dari bayangan. Elena segera menarik Dante ke belakang, melepaskan tembakan ke arah mereka.

"Keluar dari sini, Dante!" teriak Elena.

"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!" jawab Dante dengan suara keras.

Mereka terlibat dalam baku tembak yang sengit, mencoba melawan kekuatan besar yang tampaknya tak terhindarkan. Rafael, sementara itu, hanya berdiri di sana, menikmati kekacauan yang ia ciptakan.

Namun, di tengah kekacauan itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Gudang itu mulai bergetar, dan suara ledakan kecil terdengar dari kejauhan. Elena segera menyadari apa yang terjadi.

"Ini jebakan besar, Dante! Kita harus keluar sekarang!"

"Tidak tanpa dia!" jawab Dante dengan keras kepala, matanya mencari sosok Rafael.

Ledakan semakin dekat, dan mereka tidak punya banyak waktu. Elena menarik tangan Dante dengan paksa, memaksanya keluar dari gudang sebelum semuanya runtuh.

---

Di luar, mereka berdiri terengah-engah, menatap gudang yang kini telah hancur menjadi puing-puing. Rafael berhasil melarikan diri, meninggalkan mereka dengan perasaan kekalahan yang mendalam.

"Dia bermain-main dengan kita," kata Elena dengan frustrasi. "Dia ingin kita merasa lemah."

"Tapi aku tidak akan menyerah," jawab Dante dengan suara dingin. Matanya penuh dengan tekad yang membara. "Rafael akan mendapatkan apa yang dia cari. Aku akan melawannya, bahkan jika itu berarti aku harus kehilangan segalanya."

Elena menatapnya, merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Dante. Dia bukan lagi pemuda yang ragu dan terombang-ambing. Dante kini adalah seseorang yang siap menghadapi takdirnya, apa pun yang terjadi.

Namun, di dalam hatinya, Elena tahu bahwa perjuangan ini baru saja dimulai. Konflik yang akan datang akan lebih besar, lebih gelap, dan lebih mematikan dari apa pun yang telah mereka alami.

Bab terkait

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 7: Bayangan yang Lebih Gelap

    Pagi menyingsing dengan suasana muram. Dante berdiri di balkon sebuah rumah persembunyian yang terletak di pinggir kota, memandangi jalanan yang sepi. Matanya yang sembab menatap kosong, pikirannya kembali ke kejadian malam sebelumnya. Gudang itu hancur, Rafael lolos, dan Nina masih berada dalam ancaman. Elena datang menghampirinya, membawa secangkir kopi. "Kau tidak tidur sama sekali," katanya, meletakkan cangkir itu di meja kecil. "Aku tidak bisa," jawab Dante singkat. "Kepalaku dipenuhi oleh semua kemungkinan buruk. Rafael terus bermain-main denganku, dan aku selalu kalah." "Kita belum kalah," kata Elena dengan tegas, mencoba mengembalikan semangat Dante. "Kita masih di sini, dan kita masih punya kesempatan untuk membalikkannya." "Tapi dengan harga apa?" Dante menoleh padanya. "Berapa banyak lagi orang yang harus terjebak dalam permainan ini? Aku sudah kehilangan terlalu banyak, Elena." Elena mendekat, menatapnya dengan serius. "Justru karena itu kau tidak boleh menyerah. Kau

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 8: Penghianatan yang Tak Terduga

    Malam di rumah persembunyian itu lebih sunyi dari biasanya, tetapi suasana tegang terasa jelas di udara. Dante duduk di ruang tamu, memeriksa dokumen yang mereka curi dari apartemen Rafael. Nama-nama di dalamnya bukan hanya sekutu Rafael, tetapi juga mencakup beberapa orang yang selama ini dianggap netral atau bahkan teman. "Aku tidak percaya mereka semua ada dalam daftar ini," gumam Dante, suaranya rendah tetapi penuh amarah. Elena yang duduk di sofa seberang mengamati wajah Dante yang tegang. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan asumsi. Beberapa dari mereka mungkin dipaksa, atau bahkan dijebak oleh Rafael." "Tapi kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa mereka telah berkhianat," potong Dante. Matanya menatap salah satu nama dengan intensitas yang membuat Elena merasa tidak nyaman. "Siapa di daftar itu yang membuatmu gelisah?" tanya Elena, mendekat. Dante menggelengkan kepala, tetapi Elena menangkap kilatan emosi di matanya. "Dante, kalau ini soal seseorang yang kau kenal,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 9: Retakan di Antara Kita

    Malam di persembunyian terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena ketegangan yang menggantung di udara. Dante duduk di sudut ruangan, menatap peta kota di depannya. Tangannya mengepal di atas meja, sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban atas serangan mendadak tadi malam. Lorenzo berdiri di dekat jendela, wajahnya penuh kebingungan dan luka batinnya jelas terlihat. Di sisi lain, Elena mondar-mandir dengan raut wajah frustrasi, menggosok dahinya berulang kali. Semua orang terjebak dalam pikiran mereka sendiri, tetapi kebisuan itu akhirnya pecah oleh suara Elena. "Kita tidak bisa terus begini," katanya dengan nada tinggi, berhenti di tengah ruangan. "Ada yang harus dijelaskan. Kalau bukan oleh musuh di luar, maka oleh seseorang di antara kita." Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya dingin tetapi sarat emosi yang sulit ditebak. "Apa maksudmu, Elena?" Elena menatapnya balik tanpa rasa takut. "Aku tidak bisa mengabaikan ini, Dante. Lorenz

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 10: Lingkaran Api

    Malam itu, Dante duduk sendirian di ruang belakang markas mereka. Pikirannya penuh dengan kemarahan yang belum menemukan tempat untuk dilampiaskan. Wajah Victor Vasquez terus membayangi pikirannya, terutama senyum dingin pria itu yang penuh keyakinan akan kemenangannya. Dante tahu bahwa ancaman Victor tidak main-main. Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Elena masuk tanpa menunggu jawaban. "Dante," katanya dengan nada lembut, "kau belum makan sejak tadi siang. Kau tidak bisa terus seperti ini." "Aku tidak lapar," jawab Dante singkat, tetapi Elena tidak mundur. Ia mendekati Dante dan duduk di kursi di depannya. "Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?" tanya Elena, mencoba memahami kegelisahan Dante. Dante menghela napas panjang. "Victor bukan hanya ancaman baru, Elena. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang tahu bagaimana mengendalikan permainan ini. Dan dia sudah tahu kelemahan kita sebelum kita sempat mengenalnya." Elena memiringkan kepalanya, mencoba membaca emosi D

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 11: Jejak Sang Penguasa Kuno

    Dante berdiri di puncak gedung tua yang dulunya adalah markas rahasia milik keluarganya. Angin malam berhembus kencang, membawa aroma hujan yang tertahan di langit. Chipset di tubuhnya terus-menerus berdenyut, hampir seolah-olah mencoba memberi tahu sesuatu yang lebih besar daripada sekadar informasi duniawi. Selama ini, chipset itu hanya dianggap sebagai teknologi mutakhir yang diciptakan ayahnya untuk membantunya bertahan hidup di dunia penuh intrik dan bahaya. Namun, beberapa hari terakhir, ada sesuatu yang berbeda. Data yang diaksesnya bukan hanya data biasa. Ada informasi kuno, nama-nama yang bahkan tidak pernah disebutkan dalam sejarah manusia modern, mulai muncul di pikirannya—nama-nama seperti "Orion Sang Penjaga" dan "Erebus Sang Penghukum." Dante merasa tubuhnya memanas setiap kali ia mencoba memahami data ini. Namun, semakin dia berusaha mencari tahu, semakin chipset itu terasa seperti bukan hanya teknologi. Ada kekuatan di dalamnya, kekuatan yang melampaui logika. ---

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 12: Beban Takdir

    Dante berdiri di tengah kekacauan yang baru saja terjadi, tubuhnya bergetar, bukan karena kelelahan, tetapi karena energi yang mengalir deras melalui dirinya. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan dorongan kekuatan yang nyaris tidak terkendali. Cahaya keemasan yang tadi menyala di matanya perlahan memudar, namun jejak keberadaan kekuatan itu masih terasa di udara. Elena mendekat perlahan, hati-hati seperti seseorang yang mendekati binatang buas yang terluka. “Dante, kau harus bicara padaku. Apa yang baru saja terjadi?” suaranya bergetar, antara khawatir dan takut. Dante menggelengkan kepalanya, mencoba mencari jawaban di pikirannya sendiri. "Aku tidak tahu, Elena," katanya dengan suara serak. “Ada sesuatu yang bangkit di dalam diriku. Chipset ini… bukan sekadar alat. Ini adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin seharusnya tidak pernah dibuka.” Lorenzo, yang selama ini selalu tampil tenang, berdiri beberapa langkah di belakang mereka. Wajahnya tegang, m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 13: Jekak Takdir yang Terkuak

    Hening malam di markas kecil mereka terasa seperti angin yang mempersiapkan badai besar. Dante berdiri di balkon, memandangi kota yang terang oleh lampu jalan, tetapi gelap oleh kebusukan yang merajalela. Di bawahnya, Elena dan Lorenzo sedang berbicara serius di ruang tengah, namun suaranya hampir tak terdengar oleh Dante. Chipset dalam tubuhnya kini bekerja dengan tingkat yang berbeda—bukan hanya menganalisis, tetapi juga memberikan Dante kemampuan untuk merasakan energi orang-orang di sekitarnya. Dante menyadari sesuatu yang ia belum pernah rasakan sebelumnya: jiwanya bergetar, dan bukan hanya karena kekuatan yang baru ditemukan. Melainkan karena pertanyaan besar yang menghantuinya. Apakah aku siap menerima semua ini? Apakah aku mampu mengendalikan kekuatan ini tanpa kehilangan diriku sendiri? ---- Elena menyadari tatapan Dante dari atas. Ia mendongak, lalu memutuskan untuk mendekati pemuda itu. Langkahnya pelan, tetapi ada ketegasan dalam gerakannya. Lorenzo mencoba menahan Ele

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 14: Luka yang Terungkap

    Angin malam di pinggiran kota membawa aroma besi dan debu, bercampur dengan rasa kekalahan yang berat. Dante duduk di sudut ruangan markas mereka yang kumuh, tubuhnya bersandar pada dinding dingin. Luka di lengannya mengeluarkan darah, tetapi rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan rasa hancur yang bergelut di dadanya. Elena berdiri tak jauh darinya, menggigit bibir dengan keras untuk menahan luapan emosinya. Tangannya bergetar saat ia mempersiapkan perban dan alat medis sederhana. Lorenzo mondar-mandir di ruangan, kepalan tangannya berkeringat. "Kau hampir mati di sana," suara Elena memecah keheningan, penuh dengan kemarahan yang tertahan. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Dante? Kau tidak tak terkalahkan." Dante mendongak perlahan, menatap Elena dengan mata kosong. "Aku tahu. Tapi kalau aku tidak melawan mereka, kita semua akan mati." "Itu bukan alasan!" Elena membanting gulungan perban ke meja, air matanya mulai mengalir. "Aku muak melihatmu bertindak seperti ini. Kau tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30

Bab terbaru

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 106

    Malam itu, langit dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dante berdiri di tepi tebing, menatap ke kejauhan. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di belakangnya, Elena dan Ayra berdiri dengan ekspresi berbeda—Ayra dengan tatapan lembut, sementara Elena menatap Dante dengan ragu. "Apa yang kita cari selama ini akhirnya ada di depan mata," ucap Ayra, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia melirik Elena sebelum kembali menatap Dante. "Semua ini hanya tentang pilihan." Dante menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Pilihan. Satu kata sederhana yang membawa beban tak terhingga. Semua kenangan, perjuangan, dan kehilangan selama perjalanan ini berputar di pikirannya. "Ini bukan hanya soal pilihan," jawab Dante akhirnya Dante berbalik, wajahnya diselimuti kerut keseriusan. Mata Elena dan Ayra saling bertemu, seperti ada yang mereka coba ungkapkan, namun belum sepenuhnya bis

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 100

    Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 99

    Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 98

    Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 97

    Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 96

    Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 95

    Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 94

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 93

    Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status