Beranda / Urban / TAKHTA BAYANGAN / Bab 2: Jejak dalam Kegelapan

Share

Bab 2: Jejak dalam Kegelapan

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 15:56:34

Langit malam di Distrik Avalon tertutup kabut tipis, menciptakan suasana kelam yang menyelimuti gedung-gedung tua di kawasan barat kota. Di dalam mobil yang melaju pelan, Dante duduk dengan gelisah. Pikirannya terus dihantui oleh pertemuannya dengan Damian dan informasi mengejutkan yang baru saja didapatnya.

Di kursi kemudi, Elena tetap fokus pada jalan di depan, sesekali melirik Dante yang tampak tenggelam dalam pikirannya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Elena tiba-tiba, memecah kesunyian.

Dante menghela napas panjang. “Aku tidak tahu harus bilang apa. Semuanya terasa... salah. Kau bilang ayahku dihancurkan dari dalam, dan sekarang aku berada di tengah permainan ini. Tapi aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.”

Elena tersenyum tipis, tetapi ada nada serius dalam suaranya. “Kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi? Maka kau harus mulai membuka mata. Dunia ini tidak seindah yang kau pikirkan, Dante. Bahkan ayahmu pun tahu itu.”

Dante tidak menjawab. Ia hanya memandang keluar jendela, menyadari bahwa kehidupannya yang dulu sederhana kini telah berubah selamanya.

---

Mobil berhenti di depan sebuah gedung kecil yang tampak kumuh di Distrik Barat. Pintu masuknya tersembunyi di antara toko-toko yang sudah lama tutup. Elena keluar lebih dulu, memberi isyarat agar Dante mengikutinya.

“Tempat ini terlihat seperti akan runtuh kapan saja,” gumam Dante sambil memandang sekeliling.

“Itu justru kelebihannya,” jawab Elena sambil membuka pintu besi tua dengan kunci elektronik. “Tidak ada yang akan mencurigai tempat seperti ini.”

Di dalam, Dante dikejutkan oleh ruangan yang dipenuhi dengan papan-papan besar yang tertempel peta, foto, dan dokumen. Ada nama-nama yang dikenalnya: Alaric Castellano, Viktor Koval, Damian, dan beberapa wajah asing.

“Ini...” Dante memandangi papan itu dengan tatapan bingung.

“Ini adalah jejak permainan yang sedang mereka mainkan,” jawab Elena sambil berjalan menuju papan utama. “Selama bertahun-tahun, aku menyelidiki jaringan Leviathan, Sangkar Besi, dan semua yang ada di antaranya. Dan aku menemukan sesuatu yang menarik.”

Elena menunjuk ke sebuah foto di sudut papan. Foto itu menampilkan gudang tua dengan beberapa pria bersenjata di depannya.

“Ini adalah salah satu gudang Leviathan yang dihancurkan beberapa hari sebelum ayahmu terbunuh,” jelas Elena. “Dan lihat siapa yang ada di latar belakang.”

Dante memicingkan mata, memperhatikan seorang pria berjas hitam yang berdiri agak jauh dari kerumunan. Wajahnya jelas terlihat, seolah sengaja tidak ingin bersembunyi.

“Siapa dia?” tanya Dante.

“Rafael Moretti,” jawab Elena. “Dia adalah salah satu orang kepercayaan ayahmu. Tapi setelah insiden ini, dia menghilang. Tidak ada jejaknya.”

Dante terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Nama Rafael terdengar familiar—seseorang yang sering berada di sisi Alaric, seperti bayangan.

“Jadi kau pikir dia pengkhianat?” tanya Dante akhirnya.

“Ada kemungkinan besar,” jawab Elena. “Jika Rafael memang bekerja sama dengan Viktor Koval, itu menjelaskan kenapa Leviathan kehilangan banyak kekuasaan dengan begitu cepat.”

“Tapi kenapa?” Dante menatap Elena dengan penuh keraguan. “Apa yang dia inginkan?”

“Itulah yang kita cari tahu,” jawab Elena sambil melipat tangan. “Tapi aku yakin ini lebih dari sekadar uang. Dia mungkin punya ambisi yang lebih besar.”

---

Percakapan mereka terhenti ketika suara pecahan kaca tiba-tiba terdengar dari belakang gedung. Dante langsung menoleh, panik.

“Ada apa itu?” bisiknya.

Elena tetap tenang, mengambil pistol kecil dari laci meja. “Kita ditemukan. Ikuti aku.”

Dante mengikutinya ke balik meja besar di sudut ruangan. Suara langkah kaki mendekat, diikuti oleh bunyi pintu depan yang dihantam keras hingga terbuka. Tiga pria bertopeng masuk, masing-masing memegang senjata.

“Dante Castellano,” salah satu dari mereka berkata dengan suara berat. “Keluarlah. Tidak ada gunanya bersembunyi.”

Dante merasa tubuhnya menegang. Ia menoleh ke Elena, berharap wanita itu punya rencana.

“Pegang ini,” ujar Elena sambil menyerahkan pistol kecil ke tangannya.

Dante memandang pistol itu dengan ragu. “Aku tidak pernah menggunakan ini sebelumnya.”

“Kalau kau ingin hidup, kau harus belajar sekarang,” balas Elena dengan nada tegas.

Pria-pria itu terus mendekat. Elena menunggu sampai salah satu dari mereka cukup dekat, lalu muncul dari balik meja dan menembakkan pistolnya. Pria itu jatuh ke lantai dengan senjatanya terlempar ke sudut ruangan.

Dante menahan napas, mencoba tetap tenang. Salah satu pria lain melihat ke arahnya dan mulai bergerak mendekat. Dengan tangan gemetar, Dante mengangkat pistolnya. Ia menarik pelatuknya, dan peluru itu mengenai lengan pria tersebut.

Elena melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. “Kau belajar cepat.”

Pria terakhir mencoba menyerang dari arah samping, tetapi Elena lebih cepat. Dengan gerakan sigap, ia menembak ke arah lantai di dekat kaki pria itu, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh.

Saat suasana kembali tenang, Dante menjatuhkan pistolnya ke meja. Napasnya terengah-engah.

“Aku baru saja... menembak seseorang,” gumamnya, masih terkejut.

Elena menepuk bahunya. “Dan kau masih hidup. Itu yang terpenting.”

---

Setelah memastikan situasi aman, Elena memeriksa tubuh salah satu penyerang. Ia menemukan kartu kecil di salah satu saku pria itu, dengan simbol ular melingkari belati di bagian depannya.

“Apa ini?” tanya Dante, mendekat untuk melihat lebih jelas.

“Ini adalah simbol Sangkar Besi,” jawab Elena sambil memutar kartu itu. Di belakangnya tertulis sebuah alamat: Raven’s Nest.

“Tempat apa itu?” tanya Dante.

“Markas kecil mereka, atau mungkin tempat pertemuan,” jawab Elena sambil menyimpan kartu itu. “Kita harus pergi ke sana.”

Dante ragu sejenak. “Dan jika itu jebakan?”

“Setiap langkah di dunia ini adalah jebakan, Dante,” jawab Elena dengan tenang. “Yang penting adalah bagaimana kau keluar darinya.”

Dante terdiam. Meski hatinya masih dipenuhi keraguan dan ketakutan, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus bersembunyi. Jika ingin tahu kebenaran tentang ayahnya, ia harus melangkah ke dalam dunia ini, apapun risikonya.

“Kapan kita berangkat?” tanyanya akhirnya.

Elena tersenyum tipis, melihat keberanian kecil yang mulai tumbuh di diri Dante. “Besok malam. Istirahatlah. Kau akan butuh semua tenagamu.”

Bab terkait

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 3: Jejak yang Tertinggal

    Malam itu terasa semakin kelam seiring dengan semakin dekatnya Dante dengan dunia yang telah lama ia hindari. Dunia yang penuh dengan intrik, pengkhianatan, dan kekerasan. Namun, sekarang ia tidak punya pilihan selain melangkah lebih dalam. Baginya, ayahnya bukan sekadar sebuah kenangan, tetapi sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan. Jika ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, ia harus menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan. Di dalam kamar hotel yang sederhana, Elena duduk di depan meja, memeriksa dokumen-dokumen yang ia ambil dari markas rahasia. Dante berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang terus berputar. "Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Dante tanpa menoleh. Elena mengangkat kepala, menyipitkan matanya. "Kita menuju Raven's Nest. Tempat itu tidak akan mudah ditemukan, tapi aku tahu cara masuk." "Bagaimana kalau ada jebakan?" Dante berbalik dan memandang Elena. "Jika ada jebakan, kita harus siap," jawab Elena tegas. "Tapi, kita tidak punya ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 4: Kebenaran yang Terungkap

    Dante berjalan dengan langkah mantap di sepanjang jalan yang ramai, meski hatinya masih terasa berdebar kencang. Setelah berhasil melarikan diri dari Raven’s Nest, hidupnya kini berada dalam ketegangan yang tak terhindarkan. Setiap detik terasa seperti petaka yang siap menghancurkan dirinya. Namun, di balik ketakutan itu, ada satu hal yang tidak bisa dia abaikan: kebenaran. Apa yang sebenarnya terjadi dengan ayahnya? Siapa yang benar-benar menginginkannya mati? Elena tetap berjalan di sampingnya, dengan langkah yang tenang dan penuh perhitungan. Sepertinya, wanita itu sudah terbiasa dengan dunia yang gelap ini, jauh lebih siap menghadapi bahaya yang selalu mengintai. Wajahnya yang dingin dan tenang justru memberikan kenyamanan bagi Dante yang masih merasa cemas. "Mereka pasti sudah tahu kita selamat," kata Elena, membuka percakapan. "Kita tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Kita harus bergerak." Dante menatapnya dengan tatapan serius. "Ke mana kita akan pergi?" "Ke tempat ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 5: Hati yang Terpecah

    Dante dan Elena berlari menyusuri lorong-lorong sempit, merasakan jejak langkah kaki yang semakin dekat di belakang mereka. Keheningan malam itu terasa menyesakkan. Angin berhembus kencang, menyisir wajah mereka dengan dingin, namun hatinya jauh lebih dingin lagi. Setiap detik yang berlalu membawa mereka lebih dekat ke ancaman yang semakin jelas. Hanya ada satu tujuan dalam benak Dante: bertahan hidup. Tetapi saat ia menatap Elena di sampingnya, ia merasa ada lebih dari sekadar ancaman yang membayangi mereka. Ada kebenaran yang ingin ia pecahkan, sebuah rasa penasaran yang semakin menggerogoti hatinya. Setelah beberapa belokan tajam, mereka tiba di sebuah pintu yang tersembunyi di balik tumpukan barang-barang lama. Elena membuka pintu itu dengan cepat, menggenggam tangan Dante dengan erat. "Masuk," katanya tegas. Dante ragu sejenak, menatap ruang gelap di dalamnya. Mereka tak punya banyak pilihan. Elena sudah melangkah lebih dulu, dan Dante segera mengikuti, menutup pintu dengan le

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 6: Percikan di Tengah Kegelapan

    Malam menyelimuti kota dengan gelap yang hampir sempurna. Langit tanpa bintang dan jalanan lengang terasa seperti sebuah pertanda buruk. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suara-suara samar terdengar—bisikan penuh ketegangan dan langkah-langkah kaki yang berhati-hati. Di dalam, Dante berdiri memandangi papan penuh peta, dokumen, dan foto. Setiap potongan informasi terasa seperti teka-teki besar yang tidak sepenuhnya ia pahami. Elena berdiri di sampingnya, tangan terlipat dengan wajah tegang. "Ini semua hanya sebagian kecil," kata Elena sambil menunjuk ke salah satu peta. "The Codex mungkin saja disembunyikan di salah satu fasilitas ini. Tapi setiap lokasi adalah ancaman." Dante mengangguk pelan, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di situ. Sejak mengetahui bahwa dirinya adalah pewaris dari kekuatan besar—dan berbahaya—ia merasa seperti hidupnya telah diambil alih oleh sesuatu yang tidak pernah ia minta. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti melangkah ke jurang yang l

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 7: Bayangan yang Lebih Gelap

    Pagi menyingsing dengan suasana muram. Dante berdiri di balkon sebuah rumah persembunyian yang terletak di pinggir kota, memandangi jalanan yang sepi. Matanya yang sembab menatap kosong, pikirannya kembali ke kejadian malam sebelumnya. Gudang itu hancur, Rafael lolos, dan Nina masih berada dalam ancaman. Elena datang menghampirinya, membawa secangkir kopi. "Kau tidak tidur sama sekali," katanya, meletakkan cangkir itu di meja kecil. "Aku tidak bisa," jawab Dante singkat. "Kepalaku dipenuhi oleh semua kemungkinan buruk. Rafael terus bermain-main denganku, dan aku selalu kalah." "Kita belum kalah," kata Elena dengan tegas, mencoba mengembalikan semangat Dante. "Kita masih di sini, dan kita masih punya kesempatan untuk membalikkannya." "Tapi dengan harga apa?" Dante menoleh padanya. "Berapa banyak lagi orang yang harus terjebak dalam permainan ini? Aku sudah kehilangan terlalu banyak, Elena." Elena mendekat, menatapnya dengan serius. "Justru karena itu kau tidak boleh menyerah. Kau

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 8: Penghianatan yang Tak Terduga

    Malam di rumah persembunyian itu lebih sunyi dari biasanya, tetapi suasana tegang terasa jelas di udara. Dante duduk di ruang tamu, memeriksa dokumen yang mereka curi dari apartemen Rafael. Nama-nama di dalamnya bukan hanya sekutu Rafael, tetapi juga mencakup beberapa orang yang selama ini dianggap netral atau bahkan teman. "Aku tidak percaya mereka semua ada dalam daftar ini," gumam Dante, suaranya rendah tetapi penuh amarah. Elena yang duduk di sofa seberang mengamati wajah Dante yang tegang. "Kita tidak bisa hanya mengandalkan asumsi. Beberapa dari mereka mungkin dipaksa, atau bahkan dijebak oleh Rafael." "Tapi kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa mereka telah berkhianat," potong Dante. Matanya menatap salah satu nama dengan intensitas yang membuat Elena merasa tidak nyaman. "Siapa di daftar itu yang membuatmu gelisah?" tanya Elena, mendekat. Dante menggelengkan kepala, tetapi Elena menangkap kilatan emosi di matanya. "Dante, kalau ini soal seseorang yang kau kenal,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 9: Retakan di Antara Kita

    Malam di persembunyian terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena ketegangan yang menggantung di udara. Dante duduk di sudut ruangan, menatap peta kota di depannya. Tangannya mengepal di atas meja, sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban atas serangan mendadak tadi malam. Lorenzo berdiri di dekat jendela, wajahnya penuh kebingungan dan luka batinnya jelas terlihat. Di sisi lain, Elena mondar-mandir dengan raut wajah frustrasi, menggosok dahinya berulang kali. Semua orang terjebak dalam pikiran mereka sendiri, tetapi kebisuan itu akhirnya pecah oleh suara Elena. "Kita tidak bisa terus begini," katanya dengan nada tinggi, berhenti di tengah ruangan. "Ada yang harus dijelaskan. Kalau bukan oleh musuh di luar, maka oleh seseorang di antara kita." Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya dingin tetapi sarat emosi yang sulit ditebak. "Apa maksudmu, Elena?" Elena menatapnya balik tanpa rasa takut. "Aku tidak bisa mengabaikan ini, Dante. Lorenz

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 10: Lingkaran Api

    Malam itu, Dante duduk sendirian di ruang belakang markas mereka. Pikirannya penuh dengan kemarahan yang belum menemukan tempat untuk dilampiaskan. Wajah Victor Vasquez terus membayangi pikirannya, terutama senyum dingin pria itu yang penuh keyakinan akan kemenangannya. Dante tahu bahwa ancaman Victor tidak main-main. Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Elena masuk tanpa menunggu jawaban. "Dante," katanya dengan nada lembut, "kau belum makan sejak tadi siang. Kau tidak bisa terus seperti ini." "Aku tidak lapar," jawab Dante singkat, tetapi Elena tidak mundur. Ia mendekati Dante dan duduk di kursi di depannya. "Apa yang sebenarnya ada di kepalamu?" tanya Elena, mencoba memahami kegelisahan Dante. Dante menghela napas panjang. "Victor bukan hanya ancaman baru, Elena. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang tahu bagaimana mengendalikan permainan ini. Dan dia sudah tahu kelemahan kita sebelum kita sempat mengenalnya." Elena memiringkan kepalanya, mencoba membaca emosi D

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28

Bab terbaru

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 106

    Malam itu, langit dihiasi ribuan bintang yang berkelap-kelip, seakan menjadi saksi dari perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Dante berdiri di tepi tebing, menatap ke kejauhan. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di belakangnya, Elena dan Ayra berdiri dengan ekspresi berbeda—Ayra dengan tatapan lembut, sementara Elena menatap Dante dengan ragu. "Apa yang kita cari selama ini akhirnya ada di depan mata," ucap Ayra, suaranya nyaris seperti bisikan. Dia melirik Elena sebelum kembali menatap Dante. "Semua ini hanya tentang pilihan." Dante menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Pilihan. Satu kata sederhana yang membawa beban tak terhingga. Semua kenangan, perjuangan, dan kehilangan selama perjalanan ini berputar di pikirannya. "Ini bukan hanya soal pilihan," jawab Dante akhirnya Dante berbalik, wajahnya diselimuti kerut keseriusan. Mata Elena dan Ayra saling bertemu, seperti ada yang mereka coba ungkapkan, namun belum sepenuhnya bis

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 100

    Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 99

    Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 98

    Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 97

    Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 96

    Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 95

    Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 94

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b

  • TAKHTA BAYANGAN   Bab 93

    Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status