Share

Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut
Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut
Penulis: Ryandhika Rahman

1. PERTEMUAN PENTING

last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-07 08:57:40

Kota itu tampak lebih bising dari biasanya. Para lelaki dewasa dan pemuda-pemuda hilir-mudik dengan bergesa-gesa. Sedangkan para perempuannya menampakkan wajah cemas dan tegang.

Burung-burung yang biasanya betah bermain lama-lama di jalan-jalan tanah kering kota itu seperti enggan untuk sekedar menancapkan kuku-kuku kakinya di permukaan tanah. Mereka lebih memilih hinggap di pohon-pohon atau tempat yang tinggi sambil mengawasi keadaan kota dari sana.

Tidak jauh dari dermaga pantai di pusat kota, sebuah komplek istana besar yang angkuh berdiri dengan tenang seolah tak peduli dengan aktivitas yang terjadi di dekatnya. Ratusan Pria berseragam keprajuritan berdiri di setiap sudut komplek itu, sudut yang dianggap penting dan perlu untuk dijaga. Semuanya tampak menyeramkan dan tak berpikir panjang untuk bertindak tegas pada siapa saja yang dianggap mengganggu kenyamanan komplek istana itu.

Komplek istana itu tepatnya mempunyai beberapa bangunan. Bangunan utamanya adalah ruangan besar yang lantainya beralas kayu ulin berwarna cokelat pekat yang kokoh. Ada puluhan kursi empuk yang bersusun dengan rapi di sisi-sisi ruangan itu. Terlihat santai namun anggun. Dinding bangunan itu juga terbuat dari kayu ulin kokoh berbalut kain-kain sutra halus berwarna biru laut yang disebar begitu teliti sehingga tak terkesan sedikit pun kalau kain-kain itu merupakan tempelan semata. Atapnya begitu tinggi dengan tujuh tiang penyangga yang begitu kekar dan kokoh. Bergantung lentera-lentera cantik yang cahayanya seperti menembus dinding kokoh bangunan itu, lentera yang begitu indah bagaikan batu pualam yang disepuh dengan intan paling mahal di dunia.

Namun ruangan itu tak hanya berisi benda-benda indah, ada puluhan pria dan wanita yang duduk menempati kursi-kursi di ruangan itu. Mereka semua mengenakan pakaian yang rapi dan bersih. Begitu gagah dan berwibawa para lelakinya, sedangkan perempuan-perempuannya terlihat sangat anggun dan terhormat.

Ada tiga kursi utama yang tampak khusus di ruangan itu. Satu di antaranya berukuran lebih besar dan lebih mewah dari semua kursi yang lain. Tampak seperti singgasana yang memancarkan keagungan. Sedangkan dua kursi yang berada di samping kiri-kanannya berukuran lebih kecil dari satu kursi utama itu, tapi lebih besar dari kursi lainnya.

Kursi yang lebih besar dari kursi lain itu ditempati oleh seorang wanita berusia 24 tahun. Wajahnya sangat bercahaya, putih bersih, kedua bola matanya sangat indah bagaikan sepasang mutiara cerah berwarna cokelat berkilau. Alisnya seperti lukisan liukan sungai yang berwarna gelap namun mempesona. Rambutnya yang lebih panjang dari bahu tergerai lemah seperti medan magnet yang kuat untuk memaksa setiap makhluk untuk membelainya.

Wanita itu seperti hadirin lainnya, juga mengenakan pakaian indah yang menggambarkan kemewahan. Namun pakaiannya tampak lebih berkilau dari yang lainnya, dengan mahkota berwarna perak yang membalut halus kepalanya. Di samping kiri dan kanannya, duduk dengan berwibawa, seorang lelaki paruh baya dan seorang perempuan yang telah beruban, yang juga mengenakan pakaian mewah khas bangsawan.

Seorang pria yang kira-kira berusia tak kurang dari 50 tahun tampak memandang wanita yang berada di kursi besar itu.

“Berarti benar, Paduka Ratu, mereka semakin mendekati garis perbatasan untuk mengawasi kita,” kata pria itu dengan santun.

“Kita harus menyelamatkannya, Paduka,” suara dari arah lain ikut berkomentar.

Wanita berusia 24 tahun yang dipanggil Ratu itu menghela nafas pendek, “Bagaimana pendapatmu, Paman?”

Seorang pria berambut klimis sangat pendek dan bercambang tipis yang duduk tak jauh dari tempat duduk Sang Ratu mengangguk hormat, “Seperti yang telah Ratu katakan tadi, kita tak mungkin meladeni pasukan mereka untuk bertempur saat ini. Bukan meremehkan kekuatan pasukan kita sendiri, tapi memang pasukan lawan benar-benar tangguh, dan sulit bagi kita untuk menang. Selain itu peperangan hanya akan merugikan rakyat. Tak ada jalan lain selain menyelamatkannya, tapi menyembunyikannya di suatu tempat yang masih mampu dijangkau tentu bukan pilihan yang bijak.”

“Maksud Paman Patih?” Sang Ratu meminta saran.

“Membawanya jauh dari wilayah ini, sampai mereka tak mampu menemukannya”

Pria setengah baya yang duduk di salah satu kursi utama tempat itu angkat bicara, “Putriku, bolehkah aku memberi sedikit saran?”

“Tentu saja, Ayah.”

“Patihmu benar, nak. Kita harus membawanya ke tempat yang jauh dari wilayah ini. tapi kita perlu mendengar saran dari seseorang untuk hal ini”

Sang Ratu terdiam sejenak, penuh kekalutan.

“Aku mengerti maksud ayah,” putus Sang Ratu akhirnya, dengan nada berat. “Tidak ada waktu lagi, sebelum mereka habis kesabaran. Temui Ampu Estungkara”

Ayunda lantas menyelesaikan rapat itu dengan perintah untuk mengawasi perbatasan lebih ketat lagi kepada para kepala prajuritnya sebelum ia beranjak dan membubarka pertemuan penting tersebut.

Ratu Ayunda masuk ke kamarnya. Duduk di tepi tempat tidurnya yang bernuansa biru laut. Terdiam sejenak memandangi lekat-lekat kamar tidurnya itu, hampir seluruh ornamen kamarnya berwarna biru laut. Tirai jendela, alas tempat tidur, atap-atap, dan lemari anggun yang menyimpan berbagai macam pakaian kebesarannya sebagai seorang kepala negara. Praktis hanya karpet yang berwarna merah marun, dan dinding kayu ulin berwarna cokelat khas kayu alami.

Dua tahun lalu ia diangkat sebagai kepala negara termuda sepanjang sejarah kerajaan Danta dan ratu pertama di kerajaan itu. Suatu perjudian besar raja saat menunjuk putrinya untuk menggantikannya. Bukan karena tak ada keturunan lagi yang laki-laki, bukan itu. Ia punya dua kakak yang semuanya laki-laki. Kakak nomor duanya sama sekali tak punya keinginan menjadi raja, ia lebih memilih menjadi pengajar di sebuah sekolah di desa terpencil. Profesi yang agak lucu dari seorang putra raja. Sedangkan kakak tertuanya menurut ayahnya tak punya kapasitas memimpin sebuah kerajaan, entah apa alasannya, yang jelas empat bulan setelah pengangkatan Ayunda, kakak tertuanya itu melakukan pemberontakan dengan pasukan-pasukan setianya, pemberontakan yang dapat ditumpas dengan mudah, dan kakaknya tersebut sampai kini tak ada yang tau kabarnya, entah tewas atau kondisi lainnya.

Dan di tahun keduanya memerintah, ancaman yang lebih besar datang. Menyelamatkan sesuatu yang sangat berharga dari tangan jahat yang ingin memilikinya, yang sudah seminggu ini mengawasi mereka dari bukit perbatasan. Harapan muncul dari mulut sang pertapa dari Gunung Kawah Berapi bernama Estungkara tadi siang, “Bawa ke dunia awam, seseorang telah ditakdirkan untuknya. Namanya adalah Ganendra Aryasathya!!”

“Ganendra Aryasathya...”

Ayunda membatin.

Siapakah gerangan pemilik nama tersebut?

Bab terkait

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   2. GANENDRA ARYASATHYA

    Siapakah gerangan pemilik nama tersebut?Menilik dari namanya, ia adalah seorang laki-laki. Apakah ia seorang yang berbadan tegap layaknya para pahlawan pada umumnya? Bermata tajam bagai elang yang tak gentar menghadapi siapapun musuhnya? Berwajah rupawan yang menggetarkan hati para wanita? Menggunakan senjata kokoh dan tajam sebagai perisai ketangguhannya?Kalaupun Ampu Estungkara serius, entah kekuatan hebat yang seperti apakah yang dimiliki oleh Ganendra Aryasathya itu. Dan kenapa harus orang dari dunia awam? Dunia-nya sendiri sepertinya belum kekurangan para pahlawan dan ksatria tangguh untuk diberikan takdir sebagai pemilik sesuatu yang berharga itu.Pusaka itu sendiri sudah lama menjadi sengketa dan objek rebutan para penguasa lainnya. Ia adalah seuntai kalung permata yang konon dikabarkan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat walaupun hingga saat ini belum pernah ada yang bisa membuktikan hal itu. Kalung Gajahsora namanya. Kalung Gajahsora merupakan pusak

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   3. REMAJA PENCOPET

    Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010Siang hari yang begitu terik. Kendaraan bermotor berseliweran bergantian di lintasan jalanan yang begitu panas. Puluhan petugas parkir dengan segala kesusah payahannya terus mengatur sistem keluar masuk kendaraan. Sesekali mereka melap keringat yang mengucur dari mukanya dengan topi atau rompi orange-nya. Peluit-peluit saling susul menyusul memberikan suara cemprengnya, berharap mendapatkan lembaran-lembaran rupiah dari itu,Saat itu padahal telah hampir sore, sekitar pukul tiga lewat. Suasana di kawasan itu memang sangat ramai di jam-jam seperti ini hingga malam hari. Tak salah jika warga Palangka Raya menyebutnya pasar besar, karena semua yang diperlukan tersedia di pasar ini. Dan di jam-jam seperti itu, biasanya para pedagang mulai sibuk menggelar dagangannya.Puluhan bahkan ratusan gerobak besar beraneka muatan memenuhi sepanjang rute pasar. Para pedagang memang menyimpan barang dagangann

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   4. TIGA SAHABAT

    “Lumayan juga..” pemuda itu berkata lagi, kali ini sambil menyulut rokok.Pemuda yang diajaknya berbicara tak menyahut.“Sudah makan kau?”Pemuda yang menghitung uang itu menatap temannya sambil tersenyum, “Kau mau makan?”“Hahahaha! Kau pikir rokok ini bisa membuatku kenyang..”“Berhentilah merokok. Aku tak tega melihat paru-parumu terpilin-pilin asap rokokmu itu”Pemuda yang merokok itu, menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan tenang, “Kau yang harusnya ikut merokok. Bukan pria sejati kau”“Hei, aku hanya kasihan dengan paru-paruku. Jaga kesehatanmu, Sutha.”“Bayu, Bayu… Aku ini pencopet, kau juga begitu. Kita ini ada di dunia kriminalitas. Masa’ para pelaku kriminalitas tidak merokok.”“Tapi para pelaku kriminalitas kan juga perlu merawat kesehatannya. Kau pikir kita mencopet untuk apa? Untuk makan,

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   5. SEBUAH PERINGATAN

    Untuk pertama kalinya sejak memasuki tempat itu, Rukmana tersenyum. Senyum yang sama sekali tak tampak kalau ia sedang senang. Tapi lebih kepada pernyataan akhirnya kau menanyakan ini.“Bayu, Pria tua itu mengatakan kalau temanku yang bernama Bayu Aditya tidak boleh keluar rumah dalam dua hari ini atau dia akan mendapatkan kesulitan yang besar.”“Menarik sekali. Rupanya aku telah menjatuhkan KTP-ku tepat di depannya hingga ia bahkan dapat menyebutkan nama lengkapku dengan lancar.”Rukmana menggengam tangan Bayu, “Dengarkan aku, bodoh! Kau tentu tak ingin mendapatkan kesulitan, bukan? Dan aku percaya kalau ia bukan pria sembarangan, belum sempat aku mencerna kata-katanya, ia telah menghilang entah ke mana. Kau tahu ‘menghilang’ maksudku, kan?”“Rukmana. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Dan percayalah, ia hanyalah pria bodoh dengan kumis dan jenggot palsu yang akan mengagetkanmu saat kau pulang nan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   6. PARA UTUSAN RATU

    Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010“Apa nama kota ini?” tanya seorang pria jangkung yang mengenakan pakaian berwarna ungu.“Palangka Raya,” jawab seorang pria lain yang memegang gulungan mirip peta.“Seumur hidupku, aku belum pernah menjelajahi kota ini. Dan segera setelah tugas ini selesai, aku akan menjelajahi kota ini sampai tak menyisakan sudut kecilnya,” kata pria lain begitu bernafsu.“Kalau kau ingin segera menyelesaikan tugas ini, ayo kita segera menemukan Ganendra Aryasathya.” pria yang membawa peta itu menyahut sambil memandang ke sekitarnya.Empat belas pria itu langsung berjalan beriringan menyebrangi jalan raya. Dengan pria yang menggunakan peta memimpin di depan.“Kau yakin kita akan menemukannya di sini, Gama?” tanya salah seorang rombongan itu.“Kata Ampu Estungkara, kita memang seharusnya menemukannya di

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   7. PESAN DARI RUSA BERSAYAP

    Pencarian itu tampaknya adalah salah satu hari-hari terburuk dan paling menyebabkan dalam hidup mereka. Setelah seharian menyusuri jalan-jalan kota Palangka Raya, dengan harapan yang memenuhi ubun-ubun mereka. Namun, mereka akhirnya kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya, malam harinya.“Aneh sekali. Aku tak mengerti mengapa pandangan batin yang membuatku yakin lenyap begitu saja,” ungkap Arni penuh kekesalan,”Kau juga merasakannya, kan, Tatra?”Tatra mengangguk yang gerakannya lebih mirip menahan kantuk.“Apa yang kita lakukan selanjutnya ini?” Dirga tampak mulai tak bersemangat.Patih Tarkas mengusir nyamuk yang mencoba hinggap di hidungnya, “Sebaiknya kita istirahat dulu. Banyak perbedaan yang terjadi apabila kita memutuskan suatu hal yang cukup penting ketika memikirkannya dalam keadaan yang letih dengan keadaan yang lebih segar.”“Jujur. Aku sebenarnya masih bers

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   8. PENCURI DAN PENGEJAR CAHAYA

    Palangka Raya, Maret 2010 Dua orang pemuda harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu di warung mie ayam sambil ngobrol serius dengan pemilik warung. Dan alhasil mereka akhirnya mesti pulang berjalan kaki di malam yang cukup larut ini, karena memang tak ada angkutan kota yang berminat mencari penumpang di jam malam seperti ini. Sutha berjalan bagaikan orang ngantuk, “Sudah kubilang, jangan di warung itu. Kau bersama amang pemilik warung itu punya minat terhadap tema obrolan yang sama dan tak pernah menyadari betapa inginnya temanmu ini untuk pulang.” Bayu tak menjawab gerutuan dari temannya itu. Ia menendang-nendang batu jalanan dengan kedua tangannya diselipkan di saku celananya. “Aku boleh nginap di tempatmu, kan?” Sutha memegang pundak Bayu. Bayu menggumam. Sutha tersenyum, “Baguslah kalau begitu.” Mereka berjalan tanpa berkata-kata, hanya Sutha yang asyik

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-07
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   9. PAHLAWAN YANG MATI

    “Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira. Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.” “Jangan menghina rumahku!” Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa. Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab. “Perlu kubantu?” tawar Samira antusias. “Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu. Samira bersungut-sungut. Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban. Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.” “Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya. Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam. Seorang perempu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17

Bab terbaru

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   113. ESTUNGKARA

    Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   112. TRISULA DI BIBIR PANTAI

    Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   111. MIMPI DARI TAHTA YANG DIRAMPAS

    Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   110. DERMAGA PERJALANAN

    Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   109. JALAN PARA PEJUANG

    Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   108. HUTAN PADANG SEBAT

    Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   107. PUSAKA SENGKETA

    “HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   106. MEMANCING MURKA

    Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   105. DINASTI YANG TERKUBUR

    “Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s

DMCA.com Protection Status