Siapakah gerangan pemilik nama tersebut?
Menilik dari namanya, ia adalah seorang laki-laki. Apakah ia seorang yang berbadan tegap layaknya para pahlawan pada umumnya? Bermata tajam bagai elang yang tak gentar menghadapi siapapun musuhnya? Berwajah rupawan yang menggetarkan hati para wanita? Menggunakan senjata kokoh dan tajam sebagai perisai ketangguhannya?
Kalaupun Ampu Estungkara serius, entah kekuatan hebat yang seperti apakah yang dimiliki oleh Ganendra Aryasathya itu. Dan kenapa harus orang dari dunia awam? Dunia-nya sendiri sepertinya belum kekurangan para pahlawan dan ksatria tangguh untuk diberikan takdir sebagai pemilik sesuatu yang berharga itu.
Pusaka itu sendiri sudah lama menjadi sengketa dan objek rebutan para penguasa lainnya. Ia adalah seuntai kalung permata yang konon dikabarkan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat walaupun hingga saat ini belum pernah ada yang bisa membuktikan hal itu. Kalung Gajahsora namanya. Kalung Gajahsora merupakan pusaka purbakala peninggalan Maharaja Gajahsora, raja kelima dari kerajaan Martadipura, kerajaan pertama dunia di balik kabut yang telah lama hancur akibat perang saudara yang berkepanjangan dan menimbulkan munculnya kerajaan-kerajaan baru seperti Danta dan kerajaan lainnya. Konon kalung Gajahsora didapatkan kembali oleh Maharaja Ibhakara, raja kedua Danta, di laut Madya. Dan sejak saat itu, kalung Gajahsora ditetapkan sebagai pusaka resmi kerajaan Danta.
Telah banyak kerajaan yang bermaksud merebut pusaka yang sampai saat ini masih disengketakan itu. Namun semuanya gagal, kerajaan Danta selalu berhasil mengamankan kalung Gajahsora baik lewat jalur diplomasi, maupun lewat perang, karena mereka sempat memiliki seorang pahlawan yang luar biasa tangguh bernama Ampu Braja yang ditugaskan menjaga pusaka itu, namun, entah bagaimana ceritanya sejak beberapa waktu yang lalu Ampu Braja menghilang tanpa jejak, dan tak pernah mampu ditemukan.
Dan sekarang muncul nama Ganendra Aryasathya yang disebut Ampu Estungkara sebagai orang yang ditakdirkan untuk memiliki kalung tersebut. Hati kecil Ayunda bertanya, jika memang seperti itu, mengapa tidak sejak dulu kalung itu dimiliki atau didapatkan oleh Ganendra, bukan Maharaja Ibhakara, kakek buyutnya.
Ia merasa gila kalau terus memikirkan si Ganendra Aryasathya yang belum terlalu jelas berada di mana. Ia telah memerintahkan empat belas orang pilihannya, yang terdiri dari Patihnya yang cukup sepuh di pemerintahannya, ahli pembaca peta, penjelajah, panglima perang tangguh, peramal, beberapa orang berkekuatan khusus (kalau tak ingin disebut penyihir), dan beberapa prajurit terbaik yang dapat dipercaya dan diandalkan. Ia berharap orang-orang pilihannya itu dapat menemukan sang Ganendra Aryasathya.
Ayunda tahu pasti, jika pertempuran dengan pasukan Adighana yang sedang mengintai mereka dari perbatasan sana dan ditengarai mengincar pusaka tersebut bukanlah sebuah kabar baik bagi kerajaannya, Adighana adalah salah satu kerajaan terkuat yang ada di dunia di balik kabut, ia tak bisa membayangkan jika negaranya harus menghadapi bala tentara sekuat dan setangguh tentara kerajaan Adighana. Namun menyerahkan kalung Gajahsora juga bukan pilihan yang bijak, kalung tersebut telah menjadi pusaka kebanggaan kerajaannya dalam beberapa periode, dan ia takut membayangkan jika pusaka tersebut sampai jatuh ke tangan kerajaan Adighana, pasti negeri itu akan semakin bernafsu untuk menaklukkan seluruh kerajaan di dunia di balik kabut.
Karena itu ia lebih memilih menyelamatkan pusaka ke tempat yang mungkin tak akan diketahui oleh pihak musuh. Ia tahu, hanya itu yang menjadi hal yang sangat ingin dimiliki oleh negeri lain. Dulu mendiang kakaknya juga melakukan pemberontakan selain untuk merebut kekuasaan tapi kabarnya juga untuk merebut kalung itu itu.
Ayunda bangkit dari tempat tidurnya yang nyaman, menuju ke arah jendela kamarnya. Di bukanya perlahan jendela kamarnya. Dari situ ia bisa melihat kegiatan penduduknya di jalan utama. Namun yang dilihatnya adalah kecemasan, kepanikan, dan ketegangan para penduduknya. Mereka mulai tak nyaman diawasi oleh pasukan dari negeri adidaya itu yang entah bagaimana bisa mereka ketahui adanya.
Batin Ayunda bergejolak. Ia adalah penguasa tertinggi negeri Danta. Ia tak akan mungkin terus-menerus membiarkan rakyatnya hidup dalam ketakutan.
Ia keluar dari kamarnya, bergegas menuju beranda utama istana.
“Paduka Ratu mau ke mana?”
Ia tak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan yang menyapanya dari para pembesar istana yang keheranan menyaksikan sang Ratu berjalan terburu-buru melewati mereka.
Ketika Ayunda tiba di beranda utama, penjaga yang keheranan sontak berlutut dan bertanya.
“Mohon maaf, Paduka. Apa yang akan Paduka Ratu lakukan?”
“Panggil semua rakyatku di kota ini, dan bawakan mimbar istana yang paling tinggi untukku”
Sang penjaga langsung melakukan perintah Ratu Ayunda dengan wajah yang masih diliputi keheranan. Barangkali ia berpikir bahwa Ratunya itu telah stress karena banyaknya masalah yang sempat menimpa kerajaan Danta belakangan ini.
Salah seorang penjaga memukul gong besar yang berbunyi cukup untuk membuat yang mendengarnya menggosok telinga beberapa kali, kemudian penjaga lain meniupkan terompet yang tidak terlalu besar dalam nada khusus. Rupanya itulah cara mereka mengumpulkan masyarakat.
Para penduduk langsung menuju halaman beranda istana yang sering pula digunakan sebagai tempat pertemuan terbuka antara pemerintah dengan rakyat. Selain rakyat biasa, para pejabat istana yang sempat keheranan dengan sikap Ayunda juga turut hadir untuk mengetahui apa gerangan yang akan dilakukan oleh Ratu mereka itu, termasuk yang hadir ada pula ayah dan ibu dari Ayunda sendiri yang tak kalah bingungnya.
Setelah rakyatnya berkumpul, Ayunda naik ke atas mimbar yang cukup tinggi yang telah dipersiapkan oleh penjaganya tadi. Mimbar yang cukup untuk membuat Ayunda dapat dilihat oleh rakyatnya.
Ia sejenak memandang seluruh hadirin yang tampak masih bingung akan pemanggilan mendadak ini. Mereka tampak berbisik-bisik cukup keras dengan sesamanya. Termasuk para pejabat istana, mereka betul-betul heran dengan langkah Ayunda yang tak biasanya. Biasanya ia selalu berunding kepada seluruh menterinya sebelum melakukan pemanggilan kepada rakyatnya.
“Rakyatku... ” buka Ayunda dari atas mimbar lantang. Suaranya terdengar wibawa dan anggun.
“Kalian pasti heran dengan pemanggilan mendadak ini,” sejenak Ayunda memandangi rakyatnya bergantian. Para hadirin masih tampak menunggu alasan pemanggilan mendadak dari sang Ratu. “Seperti yang kita ketahui, ibu kota kita ini telah diawasi oleh Pasukan dari kerajaan Adighana sejak sepekan yang lalu. ”.
Ayunda terdiam beberapa saat ketika rakyatnya mulai berbisik khawatir.
“Namun, Rakyatku. Kalian tidak perlu gelisah, pemerintah telah melakukan langkah cepat untuk menjaga kota dan negeri kita. Jadi lakukanlah kegiatan kalian seperti biasa, tetap jalankan aktivitas ekonomi, pekerjaan kalian. Tetaplah jalankan rutinitas kalian. Mereka tak akan pernah mampu mengancam kedaulatan kita. Dan mereka juga tak akan pernah bisa mengalahkan pasukan kita. Keamanan negeri ini akan tetap terjaga!”
Wajah rakyatnya mulai tampak tenang. Ayunda telah menjamin keselamatan dan kedaulatan negerinya. Walaupun ia tak begitu yakin dengan janjinya itu.
“Baiklah. Kalian bisa kembali ke rumah atau tempat kerja kalian. Sampaikan kepada keluarga kalian dan kerabat kalian ke seluruh tempat dan Lalawangan di wilayah negeri Danta ini bahwa negeri kita adalah negeri yang aman bagi rakyatnya!”
Ayunda turun mimbar dan disambut dengan sorakan riuh serta tepuk tangan yang gemuruh dari rakyatnya. Ayunda membalas dengan senyum hangat dan lambaian tangan kepada rakyatnya. Kemudian ia segera kembali ke dalam istananya. Sementara rakyatnya dengan tertib meninggalkan halaman beranda istana. Mereka telah cukup tenang dengan pernyataan sang Ratu.
Namun hal itu tak berlaku untuk Ayunda. Pernyataannya tadi justru semakin membuatnya serasa terbebani. Tapi itu demi rakyat yang dicintainya.
Ia tak menuju kamar pribadinya, melainkan menuju ruang pertemuan utama istana. Ia telah memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengumpulkan seluruh pejabat penting istana. Rapat penting untuk menjaga keamanan rakyatnya, sekaligus menyiapkan hal terburuk seandainya pasukan itu akan menyerang mereka.
Hari akan berjalan semakin lambat bagi Ayunda. Ia hanya berucap dalam batinnya dengan penuh harap, “Ganendra Aryasathya…”
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010Siang hari yang begitu terik. Kendaraan bermotor berseliweran bergantian di lintasan jalanan yang begitu panas. Puluhan petugas parkir dengan segala kesusah payahannya terus mengatur sistem keluar masuk kendaraan. Sesekali mereka melap keringat yang mengucur dari mukanya dengan topi atau rompi orange-nya. Peluit-peluit saling susul menyusul memberikan suara cemprengnya, berharap mendapatkan lembaran-lembaran rupiah dari itu,Saat itu padahal telah hampir sore, sekitar pukul tiga lewat. Suasana di kawasan itu memang sangat ramai di jam-jam seperti ini hingga malam hari. Tak salah jika warga Palangka Raya menyebutnya pasar besar, karena semua yang diperlukan tersedia di pasar ini. Dan di jam-jam seperti itu, biasanya para pedagang mulai sibuk menggelar dagangannya.Puluhan bahkan ratusan gerobak besar beraneka muatan memenuhi sepanjang rute pasar. Para pedagang memang menyimpan barang dagangann
“Lumayan juga..” pemuda itu berkata lagi, kali ini sambil menyulut rokok.Pemuda yang diajaknya berbicara tak menyahut.“Sudah makan kau?”Pemuda yang menghitung uang itu menatap temannya sambil tersenyum, “Kau mau makan?”“Hahahaha! Kau pikir rokok ini bisa membuatku kenyang..”“Berhentilah merokok. Aku tak tega melihat paru-parumu terpilin-pilin asap rokokmu itu”Pemuda yang merokok itu, menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan tenang, “Kau yang harusnya ikut merokok. Bukan pria sejati kau”“Hei, aku hanya kasihan dengan paru-paruku. Jaga kesehatanmu, Sutha.”“Bayu, Bayu… Aku ini pencopet, kau juga begitu. Kita ini ada di dunia kriminalitas. Masa’ para pelaku kriminalitas tidak merokok.”“Tapi para pelaku kriminalitas kan juga perlu merawat kesehatannya. Kau pikir kita mencopet untuk apa? Untuk makan,
Untuk pertama kalinya sejak memasuki tempat itu, Rukmana tersenyum. Senyum yang sama sekali tak tampak kalau ia sedang senang. Tapi lebih kepada pernyataan akhirnya kau menanyakan ini.“Bayu, Pria tua itu mengatakan kalau temanku yang bernama Bayu Aditya tidak boleh keluar rumah dalam dua hari ini atau dia akan mendapatkan kesulitan yang besar.”“Menarik sekali. Rupanya aku telah menjatuhkan KTP-ku tepat di depannya hingga ia bahkan dapat menyebutkan nama lengkapku dengan lancar.”Rukmana menggengam tangan Bayu, “Dengarkan aku, bodoh! Kau tentu tak ingin mendapatkan kesulitan, bukan? Dan aku percaya kalau ia bukan pria sembarangan, belum sempat aku mencerna kata-katanya, ia telah menghilang entah ke mana. Kau tahu ‘menghilang’ maksudku, kan?”“Rukmana. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Dan percayalah, ia hanyalah pria bodoh dengan kumis dan jenggot palsu yang akan mengagetkanmu saat kau pulang nan
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010“Apa nama kota ini?” tanya seorang pria jangkung yang mengenakan pakaian berwarna ungu.“Palangka Raya,” jawab seorang pria lain yang memegang gulungan mirip peta.“Seumur hidupku, aku belum pernah menjelajahi kota ini. Dan segera setelah tugas ini selesai, aku akan menjelajahi kota ini sampai tak menyisakan sudut kecilnya,” kata pria lain begitu bernafsu.“Kalau kau ingin segera menyelesaikan tugas ini, ayo kita segera menemukan Ganendra Aryasathya.” pria yang membawa peta itu menyahut sambil memandang ke sekitarnya.Empat belas pria itu langsung berjalan beriringan menyebrangi jalan raya. Dengan pria yang menggunakan peta memimpin di depan.“Kau yakin kita akan menemukannya di sini, Gama?” tanya salah seorang rombongan itu.“Kata Ampu Estungkara, kita memang seharusnya menemukannya di
Pencarian itu tampaknya adalah salah satu hari-hari terburuk dan paling menyebabkan dalam hidup mereka. Setelah seharian menyusuri jalan-jalan kota Palangka Raya, dengan harapan yang memenuhi ubun-ubun mereka. Namun, mereka akhirnya kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya, malam harinya.“Aneh sekali. Aku tak mengerti mengapa pandangan batin yang membuatku yakin lenyap begitu saja,” ungkap Arni penuh kekesalan,”Kau juga merasakannya, kan, Tatra?”Tatra mengangguk yang gerakannya lebih mirip menahan kantuk.“Apa yang kita lakukan selanjutnya ini?” Dirga tampak mulai tak bersemangat.Patih Tarkas mengusir nyamuk yang mencoba hinggap di hidungnya, “Sebaiknya kita istirahat dulu. Banyak perbedaan yang terjadi apabila kita memutuskan suatu hal yang cukup penting ketika memikirkannya dalam keadaan yang letih dengan keadaan yang lebih segar.”“Jujur. Aku sebenarnya masih bers
Palangka Raya, Maret 2010 Dua orang pemuda harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu di warung mie ayam sambil ngobrol serius dengan pemilik warung. Dan alhasil mereka akhirnya mesti pulang berjalan kaki di malam yang cukup larut ini, karena memang tak ada angkutan kota yang berminat mencari penumpang di jam malam seperti ini. Sutha berjalan bagaikan orang ngantuk, “Sudah kubilang, jangan di warung itu. Kau bersama amang pemilik warung itu punya minat terhadap tema obrolan yang sama dan tak pernah menyadari betapa inginnya temanmu ini untuk pulang.” Bayu tak menjawab gerutuan dari temannya itu. Ia menendang-nendang batu jalanan dengan kedua tangannya diselipkan di saku celananya. “Aku boleh nginap di tempatmu, kan?” Sutha memegang pundak Bayu. Bayu menggumam. Sutha tersenyum, “Baguslah kalau begitu.” Mereka berjalan tanpa berkata-kata, hanya Sutha yang asyik
“Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira. Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.” “Jangan menghina rumahku!” Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa. Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab. “Perlu kubantu?” tawar Samira antusias. “Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu. Samira bersungut-sungut. Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban. Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.” “Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya. Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam. Seorang perempu
Perempuan itu tidak menjawab. Ia menyingkap kain hijau yang menutup nisan ketiga makam itu. Hingga tulisan di nisan itu kini dapat terlihat dengan jelas. Makam pertama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aswathama Arya Lahir 03-01-1963 Wafat 29-03-1995 Makam kedua yang berukuran sama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aruna Prahesti Lahir 16-07-1966 Wafat 29-03-1995 Dan di makam terakhir yang ukurannya paling kecil tertulis : Terbaring dengan mesra dan damai Ganendra Aryasathya Lahir 25-09-1986 Wafat 29-03-1995 Mereka membaca tulisan di ketiga makam itu berulang-ulang kali berharap ada kesalahan saat mereka membaca n
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s