Share

8. PENCURI DAN PENGEJAR CAHAYA

last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-07 10:59:20

Palangka Raya, Maret 2010

Dua orang pemuda harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu di warung mie ayam sambil ngobrol serius dengan pemilik warung. Dan alhasil mereka akhirnya mesti pulang berjalan kaki di malam yang cukup larut ini, karena memang tak ada angkutan kota yang berminat mencari penumpang di jam malam seperti ini.

Sutha berjalan bagaikan orang ngantuk, “Sudah kubilang, jangan di warung itu. Kau bersama amang pemilik warung itu punya minat terhadap tema obrolan yang sama dan tak pernah menyadari betapa inginnya temanmu ini untuk pulang.”

Bayu tak menjawab gerutuan dari temannya itu. Ia menendang-nendang batu jalanan dengan kedua tangannya diselipkan di saku celananya.

“Aku boleh nginap di tempatmu, kan?” Sutha memegang pundak Bayu.

Bayu menggumam.

Sutha tersenyum, “Baguslah kalau begitu.”

Mereka berjalan tanpa berkata-kata, hanya Sutha yang asyik menyiulkan lagu yang hanya ia dan Tuhan yang tahu lagu itu. Sedangkan Bayu larut dalam pikirannya tentang peringatan Rukmana tadi sore. Walaupun ia telah memutuskan untuk tidak mempercayainya, ia tampaknya belum bisa berhenti memikirkannya. Hati kecilnya seperti terus berusaha untuk mempercayainya, namun ia menyangkal. Ia berharap perasaannya sekarang ini hanyalah sebuah bentuk rasa penasaran. Hal yang masih bisa ia tolerir dibanding mesti percaya dengan ramalan itu.

Lagipula siapa pria tua yang dimaksud Rukmana itu. Seingatnya ia tak pernah mengenal satu orang pria tua manapun di kota ini yang memiliki jenggot lebat. Kecuali Kakek Usman tetangga di kosnya dulu yang sering membawakannya pakis untuk dimasak dan dimakan bersama. Namun dalam setengah tahun terakhir, ia tak pernah bertemu orang tua yang baik hati itu. Tentu saja karena Si Kakek telah meninggal dunia empat bulan lalu, tepat beberapa hari setelah ia mengontrak kos yang sekarang ia tempati.

Apa mungkin mendiang Kakek Usman adalah pria tua itu? Tapi tidak mungkin, itu hanya terjadi di film-film ketika orang yang telah meninggal dunia dengan sangat ajaib membongkar kuburnya sendiri kemudian keluar untuk memberitahukan sebuah hal penting kepada orang yang dicintainya dan selanjutnya kembali ke kuburnya. Lagipula Kakek Usman tidak punya jenggot. Ia telah berusaha beberapa kali menumbuhkan jenggotnya semasa hidup lewat obat yang dibelikan Bayu, namun tak pernah berhasil.

Lalu siapa pria tua itu? Apakah ia pernah melihatnya?

Angin malam menyapu jalanan temaram yang semakin sepi, tak ada satu pun kendaraan umum yang lewat. Kecuali beberapa kendaraan pribadi, itu pun hanya sesekali. Bayu menghitung dalam sepuluh menit hanya ada tiga buah kendaraan yang lewat di jalan itu. Mungkin kira-kira ada sekitar tiga kilometer lebih lagi mereka berjalan baru sampai ke kontrakan Bayu. Padahal malam telah menunjuk ke pukul 23.17 WIB.

Sutha telah berkali-kali menguap. Sedangkan Bayu sama sekali belum mengantuk. Pikirannya melayang dari satu hal ke hal yang lain. Yang ia rasakan mungkin hanya dingin yang terus-terusan menggoda lewat sapuan angin malam yang mesra. Ia mengira bahwa besok pagi ia telah terserang flu paling tidak.

Bayu perlahan membayangkan wajah kedua orang tuanya dengan pikiran yang lebih positif. Hal yang jarang dilakukannya, sangat jarang malah. Ia lebih sering memikirkan orang tuanya dengan pikiran terkoyak-koyak dan ingin mengoyak-ngoyak. Namun kali ini, ia lebih memilih melihat orang tuanya dari sudut pandang kecintaan seorang anak kepada orang tuanya.

Ayahnya agak botak, matanya hitam dan hidung yang agak pesek. Kalau sedang tertawa wajahnya sangat lucu, momen yang sangat disukai Bayu. Ayahnya agak pendek, mungkin sekitar 163 cm dengan perawakan yang agak gempal. Sedangkan ibunya adalah seorang perempuan yang sangat cantik di mata keluarganya. Ibunya memiliki tubuh yang agak tinggi dari ayahnya, badan langsing, hidung mancung, mata yang besar, dan kulit yang putih. Cukup aneh jika melihat ayah dan ibunya sedang berjalan berdua, sang pria berubuh pendek gempal, sedangkan perempuannya adalah perempuan cantik yang bertubuh 170 cm yang sangat cocok menjadi model. Namun itulah cinta, menyatukan perbedaan menjadi kesatuan yang indah.

Ayahnya adalah seorang arsitek cerdas yang telah banyak mengepalai pembangunan-pembangunan besar. Sedangkan Ibunya adalah konsultan sebuah perusahaan yang cukup besar yang berinduk di Jakarta. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan ekonomi keluarga Bayu.

Namun itu sebelum dua tahun lalu. Ya, dua tahun lalu ayahnya menghilang dengan misterius setelah sebelumnya terlibat pertengkaran hebat dengan ibunya. Selang beberapa hari kemudian, ibunya juga menghilang entah kemana. Mereka tak meninggalkan apa-apa selain sedikit tabungan untuk Bayu dan tentunya setumpuk hutang ayahnya yang membuat rumahnya yang nyaman harus disita oleh Bank. Dan jangan tanya sekolah Bayu. Ia tak pernah merasakan hangatnya seragam sekolah lagi sejak rumahnya disita, ketika ia kelas tiga SMP.

Secara fisik Bayu mewarisi mata tajam berwarna hitam kelam, hidung mancung, dan rambut gelombang seperti ibunya. Sedangkan postur tubuhnya agak kurus dan bertinggi 166 cm untuk saat ini. Warna kulitnya seperti ayahnya yang berwarna sawo matang menjurus gelap.

Dan untuk saat ini ia sangat merindukan kedua orang tuanya. Sangat rindu. Memikirkan itu membuatnya ingin meneteskan air mata.

Ia terus berjalan di dalam malam yang kian meninggi. Suara siulan Sutha masih terdengar sendu. Bayu melewati sebuah rumah yang hampir tidak terawat. Pagar rendah yang usang dan terlihat cukup mengerikan.

Kata Yuda, temannya, rumah itu rumah angker, penghuninya dulunya dukun beranak yang tewas bunuh diri, dan sekarang rumah itu kosong. Tapi Bayu tak pernah percaya, Yuda tukang bual nomor satu sejagad raya, ia juga cerita kalau dia pernah diculik alien saat mencopet. Alasan mengapa Bayu tak pernah mempercayai remaja itu.

Lagipula Bayu beberapa kali melihat seorang perempuan paruh baya keluar masuk rumah itu sambil membawa belanjaan tiap kali ia melewati rumah itu, dan perempuan itu selalu tersenyum ramah padanya. Satu alasan kuat lagi mengapa Bayu tak percaya kabar asal yang dibawa oleh Yuda.

Bayu lantas terdiam dan berhenti di depan rumah itu sekedar untuk memberhentikan kakinya barang beberapa menit.

“Bayu. Aku merasa sangat ngantuk. Kebetulan di dekat sini ada kos temanku. Aku menginap di sana saja, ya? Kau mau ikut?” ucap Sutha begitu memprihatinkan.

“Terima kasih. Kau sajalah. Aku masih sanggup berjalan sampai ke tempatku.”

“Oh, Oke. Tapi kau benar-benar serius ingin langsung pulang?”

Bayu menepuk pundak Sutha, “Kau tampak menyedihkan dengan tampang mengantukmu itu, Sutha. Pergilah ke kos temanmu itu. Mataku masih cukup besar untuk menahan kantuk, kawan.”

“Kalau begitu berhati-hatilah. Aku duluan, ya?”

Bayu mengangguk. Kalau boleh memilih dari awal, ia memang lebih suka berjalan seorang diri. Setidaknya siulan Sutha sudah cukup menyiksanya.

Sutha telah lenyap dari pandangannya ketika ia melihat sekelebat cahaya menuju ke arahnya dan di belakang cahaya itu ada empat belas orang pria yang mengejar cahaya tersebut.

Bayu untuk saat ini tak ingin dipergoki sedang keluyuran di jalanan tengah malam begini, ia lebih memilih untuk bersembunyi di belakang gardu listrik sebelum terlihat oleh para pria tersebut.

Bayu bersumpah bahwa cahaya tadi tepat menghilang di tempat ia berdiri tadi dan empat belas pria yang mengejarnya tadi juga berhenti beberapa meter dari tempat cahaya tersebut menghilang. Bayu yang mengawasi dari balik gardu listrik dapat melihat pria itu ada yang bertubuh pendek dengan sabuk berwarna cerah yang agak jangkal melingkar di tubuhnya. Ia juga melihat seorang pria jangkung yang kaku. Selain ia juga mencium aroma kemenyan yang hampir saja membuatnya pingsan.

..............................................................................................

Pria pendek yang turut mengejar cahaya tadi berkali-kali tersengal-sengal, “Jangan beritahu aku seberapa jauh atau seberapa lama kita berlari mengejar Gahyaka menyebalkan itu.”

Seorang pria bertubuh tegap yang memakai Kantong memandang pria tua berkemeja ungu. “Sekarang apalagi?”

“Tentu saja melihat kejutan yang ditunjukkan Sang Gahyaka tadi.”

“Menurutmu yang kita cari berada di rumah ini?”

“Di mana saja, asal jangan suruh aku berlari lagi,” pria pendek yang tak lain adalah Samira menyahut.

Mereka bergerak menghampiri rumah usang itu.

Sementara di balik gardu listrik, Bayu hampir saja meninggalkan tempat itu  sebelum ia melihat sesuatu yang hebat seperti memancarkan cahaya dari Kantong yang dikenakan oleh pria tegap.

Cahaya perak yang hampir tak terlihat namun sebagai seorang pencopet profesional, Bayu mengira ada suatu benda berharga di dalam Kantong itu. Mungkin itu emas atau perak, atau berlian.

Masalahnya adalah, seumur hidupnya ia belum pernah mencuri barang yang nilainya lebih dari tiga ratus ribu rupiah dan barang yang ada di dalam tas itu, Bayu yakin harganya berkali lipat dari hasil terbesar copetannya selama ini.

Modalnya adalah keyakinan dan keberanian, dan tentunya strategi yang matang. Bayu memandang para pria itu dan keadaan sekitarnya. Sebelum kemudian mengendap-endap ke arah pria yang membawa tas itu.

Ia cukup yakin dengan dua tahun pengalamannya sebagai pencopet tanpa pernah tertangkap sekali pun.

Bab terkait

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   9. PAHLAWAN YANG MATI

    “Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira. Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.” “Jangan menghina rumahku!” Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa. Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab. “Perlu kubantu?” tawar Samira antusias. “Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu. Samira bersungut-sungut. Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban. Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.” “Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya. Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam. Seorang perempu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   10. KEJUTAN PARA DEWA

    Perempuan itu tidak menjawab. Ia menyingkap kain hijau yang menutup nisan ketiga makam itu. Hingga tulisan di nisan itu kini dapat terlihat dengan jelas. Makam pertama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aswathama Arya Lahir 03-01-1963 Wafat 29-03-1995 Makam kedua yang berukuran sama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aruna Prahesti Lahir 16-07-1966 Wafat 29-03-1995 Dan di makam terakhir yang ukurannya paling kecil tertulis : Terbaring dengan mesra dan damai Ganendra Aryasathya Lahir 25-09-1986 Wafat 29-03-1995 Mereka membaca tulisan di ketiga makam itu berulang-ulang kali berharap ada kesalahan saat mereka membaca n

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   11. SIASAT PENCURI

    Bayu tersenyum puas, “Bayangkan. Kita bisa memperbaiki ekonomi kita dengan benda ini.” Ia memandang kedua temannya.Mereka bertiga tampaknya sangat bahagia dengan angan-angan yang sangat terang itu. Membayangkan kehidupan yang lebih terjamin tentunya sangat luar biasa bagi mereka yang telah lama terpuruk dalam kemiskinan.“Sekarang aku akan menawarkan barang ini kepada Amang Ucai. Siapa tahu ia punya minat untuk membelinya.”“Sebaiknya jangan!” cegah Rukmana, “Amang Ucai itu pelit dan licik. Aku melihat beberapa hari yang lalu ia membeli gelang dari seseorang dengan sangat murah. Padahal gelang itu cukup bagus untuk dihargai lebih dari yang ditawarkan Amang Ucai.”“Aku setuju dengan Rukmana,” Sutha menyetujui sambil mengusap-usap kalung itu.“Lalu ke mana kita menjualnya?”“Kepada Kolektor benda berharga!” jawab Rukmana yakin.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   12. PRIA YANG MUNCUL DARI BALIK ASAP

    “Kami? Algojomu! Dahup, kenapa kau diam saja! Ayo ikat tangan pencuri ini!” kata pria pendek yang tak lain adalah Samira.Dahup langsung bertindak dan mengikat tangan Bayu dengan seutas rantai yang tampaknya sudah diisi dengan sihir aneh oleh Samira.Bayu hanya berdiam saja, ia tampaknya pasrah dan mengira dua orang pria nyentrik yang menyergapnya ini adalah polisi yang telah lama mengincarnya. Tiba-tiba impiannya yang baru saja membumbung tinggi dengan sangat deras menghantam kembali dalam titik terendah harapannya.“Sekarang beritahu kami, dimana kau sembunyikan benda yang kau curi itu?”“Ben..benda yang mana, Pak?”“Kau masih mau membantah? Apa perlu kucabut gigimu baru kau mau mengaku?”Bayu seketika ketakutan, “Saya tidak tahu benda yang bapak maksud sebelum Bapak menjelaskan seperti apa benda itu.”Samira memandang sok serius pada Dahup. Sialnya Dahup malah sedang mempe

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   13. DUNIA DI BALIK KABUT

    “Di mana itu?”“Yang jelas di tempat yang tidak akan kalian temukan jika kita terus duduk berbincang di sini”“Berapa lama kah kami di sana?”“Sampai urusan kalian selesai.. ”“Tapi.....” Rukmana berusaha menahan kepanikannya, “Saya harus sekolah, membantu Ibu saya jualan.”“Bagaimana Gusti?” Gama meminta kebijakan dari Patih Tarkas.“Baiklah. Khusus untuk anak ini,” Patih Tarkas menunjuk Rukmana, “Kuperintahkan kau, Arni, untuk sedikit membuat ibunya sejenak melupakan anaknya, ya semacam menghapus ingatan seperti itu. Bisa?”“Dengan senang hati, Gusti.”Arni lalu mendekati Rukmana menyentuh ubun-ubun gadis remaja itu dengan telapak tangannya. Rukmana bingung sekaligus takut dengan apa yang dilakukan Arni namun ia hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, begitu pula dengan kedua sahabatnya. Arni memejamka

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   14. RUMAH TAWANAN DAN ASMARA DUA BANGSAWAN

    Rumah Tawanan Ramina, Kota Mandira, Negeri Danta, 2010 “Demi Tuhan, aku tak mengerti apa yang terjadi pada kita bertiga saat ini..” ucap Rukmana pagi itu. Tiga sahabat itu ditempatkan di sebuah rumah yang cukup besar di lingkungan istana, cukup nyaman. Mereka hampir bukan lagi sebagai tawanan. Yang membuat mereka dikenali sebagai tawanan adalah karena mereka diawasi ketat oleh beberapa pengawal yang berbaris di depan rumah itu. Apapun yang ingin atau mereka lakukan harus dilaporkan kepada pengawal itu. Sungguh suatu hal yang sangat menyebalkan, pikir mereka. Mereka yang terbiasa hidup bebas berkeliaran ke sana kemari, kini harus diawasi super ketat. Tak hanya ada mereka di tempat itu, ada pula seorang perempuan separuh baya yang bertugas memasak di tempat itu, dan seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang menjadi petugas kebersihan di rumah itu. Untungnya, dua orang itu begitu ramah kepada Bayu dan dua sahabatnya, setidaknya selam

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-19
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   15. PERADABAN TERSEMBUNYI

    “Paman, saya selalu mencoba menebak negeri apa ini?” tanya Bayu kepada Sandanu sesaat ketika mereka menikmati istirahat setelah membersihkan kolam ikan hias di samping tempat pemandian air panas yang sering digunakan para istri pejabat istana. Sandanu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bayu itu. Ia menuang air dari kendi sebesar topi besi perang ke dalam gelasnya dan gelas Bayu lalu mereguknya perlahan. “Saya mencoba mencarinya di buku yang ada di rumah yang kami tempati, namun saya tak menemukannya.” Sandanu menyodorkan segelas air kepada Bayu, ia sendiri langsung meminum air di gelasnya sendiri, “Aku tak pernah tahu pasti apa yang terjadi, namun kakekku pernah bercerita bahwa Dunia di balik kabut merupakan dunia tersembunyi yang diisi oleh masyarakat layaknya duniamu, Nak.” “Maksudmu alam gaib?” tanya Bayu antusias. “Sejenis dunia yang berisi hantu? Apakah wajahku semenyeramkan itu?” Sandanu tertawa,”Dunia ini tak ada bedanya

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-20
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   16. RATU NEGERI DANTA

    “Apa Paduka Ratu tidak ingin bertemu dengan para remaja tawanan kita itu?” tanya seorang dayangnya ketika sedang menyisir rambut indah Ayunda sore itu. Ayunda tidak menjawab, matanya melempar pandangan ke luar jendela kamarnya. Mencoba menerawang keagkuhan sore kala itu, mencoba membius udara sore yang kering. Angin kering. Beberapa ekor burung kecil berjejer terbang melintasi udara di luar kamar Ayunda yang memang berada di lantai atas istananya yang megah. Ayunda melempar senyum cantiknya pada barisan burung yang sedang menyapa angkasa itu, burung-burung tersebut berkicau mesra menyambut senyum sang Ratu. “Seluruh pelosok negeri tahu jika anda memiliki senyuman yang mampu membuat pohon yang kering kembali menuai bunganya, Paduka...” kata dayang tersebut seraya mengurai rambut Ayunda. Ayunda menoleh ke arah dayangnya sambil tersenyum, “Dan kau adalah sahabat terbaik yang aku miliki, Riani...” Riani, Dayang tersebut, melangkah pelan mengambil sebuah s

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-23

Bab terbaru

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   113. ESTUNGKARA

    Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   112. TRISULA DI BIBIR PANTAI

    Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   111. MIMPI DARI TAHTA YANG DIRAMPAS

    Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   110. DERMAGA PERJALANAN

    Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   109. JALAN PARA PEJUANG

    Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   108. HUTAN PADANG SEBAT

    Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   107. PUSAKA SENGKETA

    “HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   106. MEMANCING MURKA

    Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   105. DINASTI YANG TERKUBUR

    “Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s

DMCA.com Protection Status