Bagaimanapun juga, Gea berniat ingin segera menghubungi Dita, agar Dita tidak menggunakan kesempatan itu untuk mencuri dan menjual sertifikat rumah, tanpa sepengetahuannya. Karena setalah Nenek meninggal, Dita terlihat selalu curi-curi waktu untuk mengambil surat-surat penting rumah yang mereka tinggali.
Tar....
Suara gelas jatuh tersenggol lengan Gea. Karena suara pecahan gelas yang lumayan keras, Pak Zaka dan Vella terbangun dari tidurnya. Gea yang panik langsung pura-pura melanjutkan tidurnya lagi. Sayang, Pak Zaka dan Vella sudah memergoki Gea sadar.
"Masih mau pura-pura tidur? Bangun!" ucap Pak Zaka sedikit agak tegas. "Em, apakah pacarku ini, menginginkan vitamin ciuman dariku?" goda Pak Zaka mencubit hidung Gea.
"Saya bangun. Haha iya, saya sudah bangun kok, Kak. Ada apa? Gimana?" kata Gea langsung bangkit ketika mendengar bahwa dirinya hendak di cium.
Sedangkan, di ruangan itu masih ada Vella yang mendengar kemesraan mereka. Vella berjalan mendekati Gea. Ada pertanyaan yang mengganjal dipikirannya. Sejak semalam, saat Gea harus menjalani transfusi darah.
"Ge, aku boleh tanya sesuatu, nggak? Tapi, kamu harus jawab jujur, ya?" kata Vella menggenggam tangan Gea.
"Boleh. Kak Vella mau tanya apa?" jawab Gea dengan senyuman.
"Darah kita memiliki kecocokan 98%. Sedangkan darah kita ini termasuk dalam darah yang langka. Sebenarnya, kamu ini siapa? Dimana keluargamu?" tanya Vella.
"Aku siapa? Haha, semalam kita sudah kenalan kan, Kak? Aku Gea Gladys, umur 18 tahun, siswi ya Pak Reza. Pacarku," jawab Gea.
"Maaf sebelumnya. Ini masih buat aku bingung, soalnya. Boleh nggak, kalau aku ketemu sama orang tuamu? Atau minimal, satu dari keluargamu gitu." Vella mengira jika Gea ini adalah adiknya yang hilang.
Bingung dengan apa yang akan ia jawab dari pertanyaan Vella. Gea terdiam, ia berpikir kenapa Vella menanyakan tentang orang tuanya. Bahkan, tatapan Vella kepada Gea juga berbeda. Ada semacam sedih, gelisah dan juga khawatir tentunya.
Gea sendiri bahkan juga tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Jika mengingat semua itu, Gea menjadi sedih karena ia masih berpikir kalau dirinya di buang dan tidak diinginkan.
"Kamu apa-apaan, sih? Gea baru saja sadar dari masa kritisnya. Jangan karena darahmu sama dengannya, kamu berfikiran yang bukan-bukan, deh!" Pak Zaka yang tak suka dengan cara Vella bertanya pun membuatnya tidak nyaman.
"Tapi ini aneh, Zaka. Darah yang dia miliki sama dengan darah aku dan Papaku. Dan perlu kamu ketahui, darah kita sangat langka, adapun hanya beberapa dan itu harus ada silsilah dari keluarga besar pihak Papaku," jelas Vella.
"Dan maaf, saat kamu menggendong Gea semalam. Aku melihat ada tanda lahir.. maaf, di atas pantat. Itu bukan sebuah kebetulan, karena kamu benar-benar mirip dengan adikku yang hilang saat di rumah sakit," imbuhnya.
Kebingungan melanda pikiran Gea. Ia berkhayal jika tiba-tiba Vella mengatakan bawa dirinya adalah kakak kandungnya. Tapi, Gea sadar. Jika tidak mungkin dirinya adalah adiknya yang hilang di rumah sakit. Meski dirinya memang terlahir di rumah sakit.
"Gea di jawab, dong. Aku butuh bertanya dengan orang tuamu, atau keluarga kamu yang lain. Dimana meraka? Kenapa saat kamu tidak pulang semalaman, tak ada yang menelpon kamu sama sekali," desak Vella.
"Buat apa lu tanya dia? Dia bukan adek kandung gue. Dia juga hanya anak pungut, kok. Dia dibuang oleh orang tuanya saat bayi. Nama dia, juga nama ibunya, karena Nenek gue yang selalu menyayanginya tak memiliki nama yang indah untuknya!" tiba-tiba Dita datang dan bicara dengan ketus.
"Eh anak pungut, nggak usah balik lagi deh, lu ya. Gue ogah kebebanan lu mulu!" imbuhnya.
"Kak, tapi, 'kan...." ucap Gea.
"Mulai hari ini, rumah itu udah resmi gue jual. Lu, jangan harap ketemu gue lagi, bye!" Dita melempar semua barang milik Gea. Termasuk gelang tangan bernama Gea Gladys.
Gea sangat menyayangkan sifat kakak angkatnya. Ia juga begitu kesal, hidupnya dari dulu memang seperti itu, tidak ada yang menginginkannya hidup. Bahkan sejak bayi pun dirinya sudah dibuang. Di sekolah juga sering di bully. Bahkan, dimata masyarakat juga Gea selalu dinilai buruk. 'Gadis pembawa sial'
Sekarang, hal berharganya hanya kotak hitam itu yang ia buat menyimpan semua benda berharganya. Yakni, identitasnya ada dalam kotak itu. Baju bayi, nama di gelang, sepatu dan bandana juga ada dalam kotak itu.
"Sayang.. Ge, are you oke?" Pak Zaka membelai rambut Gea dengan lembut.
"Saya baik-baik saja. Memang sudah sejak dulu, saya tidak pernah diinginkan oleh siapapun. Bahkan, orang tua saya saja tidak menginginkan kelahiran saya," jawab Gea berusaha menenangkan dirinya.
"Setelah kamu sembuh, kamu bisa tinggal denganku. Tenang saja, anggap saja.. aku adalah keluargamu," ucap Vella memberi harapan baru bagi Gea.
"Tapi Kak, bagaimana dengan Oma? Bukankah dia nggak suka adanya orang luar, ya? Oma kamu kan sangat menyeramkan. Ya.. maksudnya tiba-tiba Gea ikut kamu gitu.. kan aneh," sahut Pak Zaka.
"Adik ipar, Oma pasti akan menuruti semua kemauanku, tenang saja. Oma, pasti akan memperbolehkan Gea tinggal, kok." jawab Vella.
Mendengar kata "adik ipar" dari mulut Vella membuat Gea bingung. Gea ternyata belum tahu jika Vella adalah gadis yang dijodohkan oleh kedua pihak keluarga dengan Kakak Pak Zaka.
"Tunggu.. adik ipar? Dan Kak Zaka nyebut Kak Vella, dengan sebutan kakak? Ah, aku jadi bingung," sela Gea.
"Eh, iya aku lupa memperkenalkan diri. Zaka ini, adik dari calon suami, aku dijodohkan dengan kakaknya, oleh keluargaku," jelas Vella.
"Ha? Dijodohkan? Terus kakak mau gitu?" tanya Gea. "Ya maksudku, ini sudah modern, kenapa harus ada perjodohan pula?" imbuhnya.
"Ya harus bagaimana lagi, perjodohan bisnis, Ge. Biasa itu, mah. Tapi usia Kakaknya Zaka sudah 30 tahunan, sih. Jadi, ya semoga saja bisa momong aku, yang usiaku baru menginjak 24 tahun ini," lanjut Vella.
****
Malam semakin larut. Pak Zaka 0amit untuk pulang lebih dulu. Baru saja, ia mendapat kabar jika Kakaknya masuk rumah sakit lagi. Ge aku ga mempersilahkan Vella jika ia ingin ikut pulang bersama dengan Pak Zaka.
Namun, mendengar Kakaknya Pak Zaka di rawat di rumah sakit yang sama dengannya. Vella tetap akan menemani Gea sampai orang tuanya hadir. Karena Vella juga akan menunggu hasil DNA Gea dan dirinya malam itu juga.
Meski kakaknya di rawat di rumah sakit yang sama dengan kekasihnya, Pak Zaka tetap pulang lebih dulu untuk mandi dan berganti pakaian. Sementara itu, Gea menceritakan banyak hal kepada Vella. Mereka sangat cepat akrab, seperti kakak beradik yang sudah lama tidak bertemu. Sekali bertemu menjadi akrab seperti itu. Terlebih lagi, Vella sangat perhatian kepada Gea.
Tak tanggung-tanggung lagi, Gea juga bercerita tentang rasa cintanya kepada Pak Zaka. Ia juga menceritakan kalau dirinya dan Pak Zaka baru saja resmi berpacaran. Tapi mereka menjalin hubungan secara diam-diam karena Pak Zaka seorang guru dan dirinya hanyalah seorang siswi.
-oOo-
Pagi hari ketika Gea terbangun. Ia mendapati dirinya tengah sendirian, Vella sudah tidak ada di sampingnya. Semakin siang, Gea sudah merasa bosan, Pak Zaka belum juga menghubunginya sejak semalam. Gea juga tidak tahu, Pak Zaka pulang dengan selamat atau tidaknya. Ia sudah sangat merindukan Pak Zaka sejak semalam.
Merasa janggal, Gea pun membuka ponselnya. Betapa terkejutnya Gea, ada berita yang membuat hatinya sakit, sakit sesakit sakitnya. Rasanya sama ketika Kakek dan Nenek angkatnya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
[Ge, lu kemana? Katanya lu sakit, ya? Lu tau nggak, kalau Pak Zaka kecelakaan dan meninggal saat di perjalanan ke rumah sakit]
[Ge, lu kemana? Jawab, dong chat gue! ]
Begitu banyak juga panggilan dari Leni dan juga Azka. Bukan hanya panggilan, pesan masuk juga banyak dari kedua sahabatnya.
Seketika, semuanya membuat dadanya semakin sesak. Gea tak percaya dengan kabar itu. Ia pun mencoba menghubungi ponsel milik Pak Zaka. Ponselnya aktif, namun tak di angkat sama sekali oleh Pak Zaka.
Gea mencoba mencari informasi lagi tentang berita itu. Rupanya benar, semua guru dan teman sekolahnya mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Pak Zaka semalam.
Beberapa menit kemudian, Vella masuk membawakannya makanan. Gea yakin jika Vella mengetahui kabar meninggalnya Pak Zaka. Apa lagi, dia adalah calon kakak iparnya.
"Di mana, Pak Zaka? Kenapa sampai jam segini belum juga menjengukku?" tanya Gea.
"Dia.. dia ya ngajarlah, Ge. Kemana lagi? Dia kan seorang guru, jam segini pasti masih di sekolahan," jawab Vella gugup.
"Oh, masih mengajar. Aku juga berharap begitu. Tapi, kenapa ada berita seperti ini, Kak. Jawab aku!" teriak Gea.
Tak tega melihat Gea menangis seperti itu, Vella yang awalnya diam saja langsung memeluk Gea. Vella sengaja tidak memberitahu hal itu karena Gea baru saja terluka hatinya. Ia terluka fisik dan terluka batin oleh Kakak angkatnya yang mengusir dirinya. Lalu, Vella mana tega untuk menyampaikan berita duka itu.
Gea merasa tidak berharga sama sekali. Ia marah, sedih, dan menyesal. Ia merasa bersalah karena dirinya harus masuk ke rumah sakit. Jika malam itu mereka langsung pulang, Gea pasti merasa jika Pak Zaka tidak akan kecelakaan dan meninggal.
"Sabar Ge, kamu harus sabar. Zaka pun pasti sedih jika melihat dirimu yang seperti ini. Kamu harus kuat, masih ada aku di sini," ucap Vella memeluk Gea.
"Kenapa Tuhan nggak adil padaku, Kak." kata Gea menyandarkan kepalanya ke pelukan Vella.
"Tuhan tidak menyayangiku, aku jalankan semua perintahnya, dan aku hindari semua larangannya. Tapi kenapa dia mengambil orang-orang yang aku kasihi, Kak. Kenapa semua orang meninggalkanku, aku benci dengan diriku yang tak berguna ini!" Teriak Gea histeris.
Gea benar-benar terpukul. Dia merasa jika dirinya akan hidup hampa sendirian. Gea telah dibuang orang tuanya, ditinggal Kakek Nenek angkatnya yang selama ini merawatnya, lalu diusir oleh Kakak angkatnya juga. Dan sekarang, ia harus terima kenyataan bahawa cintanya juga pergi untuk selama-lamanya.
Gea merasa sangat terpukul, ia telah di buang orang tuanya, lalu rumahnya di jual oleh Kakak angkatnya. Lalu sekarang, ia harus bisa merelakan laki-laki yang dicintanya, pergi untuk selamanya. Padahal, ia baru saja merasakan keindahan kasmaran berdua.----------------------------------Hari itu juga, Gea meminta Vella untuk segera membawanya pulang. Ia ingin sekali pergi ke makam Pak Zaka. Begitu sangat merindukan sosok lelaki yang ia cintainya.Sebenarnya, Gea belum diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Namun, ia ingin menghadiri dan mengantarkan Pak Zaka ke peristirahatan terakhirnya. Mau tidak mau, Vella mengabulkan permintaannya atas izin dokter tentunya.Di sana sudah banyak kerabat Pak Zaka, para guru dan siswa-siswi. Melihat semuanya telah datang, Gea baru percaya jika Pak Zaka memang sudah pergi jauh dan tak akan kembali kepadanya.Leni pun mendekat dan me
Sesampainya di rumah, Vella segera membantu Gea membawa barang-barangnya. Sementara Aldi sudah turun lebih dulu di jalan, karena hubungan antara Aldi dan Nenek Vella sedang tidak baik-baik saja.Nampak di depan rumah sudah ada beberapa orang di sana. Yang Gea kenali hanyalah orang tuannya. Di sampingnya ada seorang wanita yang sudah terlihat sepuh, tapi masih terlihat sangat besar.Perawakannya juga terlihat menakutkan, seperti orang yang galak. Namun, beliau sangat anggun di balut kebaya jawa. Lalu, beberapa orang di belakangnya mungkin asisten rumah tangga, supir dan tukang kebun, nampak sekali dari penampilan mereka."Gea sayang, sini Mama bantu bawa barang-barang kamu, ya …." terlihat Mama Gege sangat senang akan kehadiran Gea."Aku sudah baik-baik saja kok, Tante," tolak Gea dengan senyuman."Lho, kok, masih tante saja, sih manggilnya. Panggil Mama, dong. Kami ini kan keluarga kandung kamu, Ge …." ucap Papa Gea dengan ramah.Gea m
Malam itu pertama kalinya bagi Gea tidur di kasur yang sangat empuk dan nyaman. Ruangan ber-AC dan sangatlah nyaman dari kamar sebelumnya. Ia terus menatap ke seluruh ruangan. Setiap sudut ia pandangi dengan jelas. Begitu indah dan cantik kamar miliknya.Di sisi lain, Ale juga masih terus kepikiran dengan Gea. Ia selalu memikirkan Gea setelah acara usai, namanya mungkin masih asing baginya. Namun, tidak dengan jantungnya yang terus berdebat dj kala ia memikirkan Gea.Tok ... tok ... tok....Suara pintu diketuk, ialah Mama Ale yang mengetuk. Ia hendak menanyakan bagaimana kondisi Ale yang sekarang setelah melakukan operasi jantung."Bagaimana jantung kamu?""Kenapa harus Zaka, sih, Ma? Ak memang tidak menyukai keberadaannya. Tapi, aku juga tidak tega jika jantungnya di donorin untukku!" desis Ale."Itu permintaannya yang terakhir, Ale. Lihatlah, ini ponsel
"Kak Aldi? Apa yang dia lakukan? Kenapa bisa lompat dari kamar, Kak Vella? Apa peduliku, itu bukan urusanku. Mending aku sambung tidur saja, aku sangat lelah untuk malam ini, huaamm …." ucap Gea.Gea menyambung tidurnya kembali. Ia harus sekolah besok pagi. Keesokan harinya, Gea sudah bangun sangat pagi dan membantu Si Mbok di dapur menyiapkan sarapan untuk semua orang.Ketika di meja makan, Gea masih asing dengan suasana itu, ia melihat Neneknya makan dengan sangat anggun. Kedua orang tuanya juga makan tanpa bicara sepatah apapun. Akan tetapi, Gea belum melihat Vella pagi itu."Mbak? Panggil Vella untuk sarapan," perintah Nenek."Baik, Nyonya besar." jawab Mbak Ning (Asisten pribadi Nenek).Tak lama setelah itu, Vella keluar dari kamarnya. Anehnya ia menggunakan syal pagi itu, bahkan cuaca pun juga tidaklah dingin. Gea sebenarnya sudah menduga jika Vella menutupi cupang di lehernya, sebab ia melihat Aldi melompat dari kamarnya semalam. Tida
Ale melanjutkan perjalananya. Sampailah mereka kesebuah rumah yang sangat indah nan asri. Rumah sederhana dengan di penuhi tanaman bunga yang cantik."Wah, Om … ini rumah siapa?" tanya Gea memandang keseluruhan tempat."Mulai saat ini kau harus memanggilku dengan namaku. Aku tidak suka dipanggil dengan sebutan itu, Ge," kesal Ale."Memangnya kenapa jika aku memanggilmu dengan sebutan, Om?" ledek Gea."Setiap kali kau memanggilku dengan sebutan itu. Hawanya … inginku mentransfer mulu ke rekeningmu!"Ale kembali menarik tangan Gea dan memasukkannya ke dalam kamar di rumah itu. Lagi-lagi Ale berbuat kasar kepada Gea. Entah kenapa Gea merasa jika ada yang aneh dengan Ale.Tak ada hal membahayakan lainnya yang dilakukan Ale. Dia hanya mengurung Gea di kamar tanpa melakukan apapun."Woy!"
Vella menolak mengugurkan bayinya. Menurutnya, itu adalah lambang cinta dengan Aldi, lelaki yang sangat ia cintai."Kamu nggak mau? Kalau begitu kamu pergi dari sini!" usir Nenek."Ibu, ibu kenapa jadi begini, sih?" Rendra ingin menengahi permasalahan itu. "Saat ini, Vella itu butuh dukungan dari kita, bukan malah kita menambah beban hidupnya lagi dengan mengusirnya dari rumah, Bu ...." imbuhnya.Nenek menepis tangan Rendra."Apa? Dukungan? Rendra! Anakmu ini hamil sebelum menikah! Malah suruh mendukung, kamu sudah gila?" sulut Nenek."Vella tetap harus di rumah ini!" hardik Rendra."Vella ... masuk ke kamar! Kita akan bicarakan ini nanti," lanjutnya."Rendra!" bentak Nenek."Aku berusaha menjadi ayah yang bijak, Buk. Aku lelah sekali hari ini, jadi biarkan aku istirahat dulu dan kita bicarakan hal ini esok hari," jelas Rendra.Rendra pergi dari ruangan itu dan menyendir
"Kak Ale ….""Jangan seperti ini, dong? Aku kan jadi takut," lirih Gea.Alih-alih memelas, Gea malah membuat Ale semakin bergairah. Tubuh Ale seperti bergetar melihat posisi menggairahkan tubuh Gea. Seperti kucing yang menggeliat ingin di elus-elus."Kamu yang harus menanggung, siapa suruh kamu mancing-mancing nafsuku," goda Ale."Aku nggak mau, Kak!" Gea mendorong tubuh Ale dengan sekuat tenaga."Aku ini masih sekolah tau. Lepasin aku, Kak …." suara Gea semakin mengecil dan akhirnya hanya memejamkan matanya.Tangannya tidak memberontak lagi. Ale pun mencium pipi Gea dengan lembut. Gea menangis lirih, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Ale yang menyadari gadis kecilnya menangis, langsung melepas tangannya dan meminta maaf. Ia tak menyangka jika candaannya membuat Gea ketakutan."Hey,
Bruak!Pintu di tutup oleh Ale sangat keras. Ia sangat marah karena Gea tidak mau menurut dengannya. Ale hanya ingin, Gea mau bersamanya sementara waktu. Agar ia bisa dengan mudah menjaga Gea sesuai dengan wasiat Zaka."Sakit, Kak!" rintih Gea. "Bisa nggak, sih, Kak Ale itu lebih lembut memperlakukanku?" Kesal Gea."Lebih lembut? Memangnya yang lebih lembut itu yang bagaimana?" goda Ale. Ale sangat suka menggoda Gea, karena Gea selalu terlihat lucu ketika dirinya menggodanya."Ya, jangan ... em jangan tarik-tarik gitu, dorong-dorong itu juga janganlah!" ucap Gea merasa gugup, karena Ale mulai mendekatinya lagi."Kak, jangan kayak gini, dong …," Gea mulai takut, saat Ale menyentuh bahunya.Bukan hanya di bahu, Ale juga menyentuh pinggang Gea dengan lembut. Tentu saja membuat Gea menggeliat, namun Ale malah men
"Aku iri denganmu, Mut," kata Bella mengemudi sedikit pelan."Iri kenapa?" tanya Mutiara."Kamu begitu menyayangi adikmu, begitu juga sebaliknya. Persaudaraan kalian juga begitu dekat. Aku, mana ada saudara, punya saudara satu aja di jauhkan dariku," ungkap Bella menatap Mutiara."Aku kan ada di sini sekarang. Jangan sedih lagi ya, masih ada kesempatan buat kita main, kok, hehehe …." Mutiara sangat berhati besar. Ia mampu menerima Bella sebagai saudaranya dengan mudah.Sesampainya di kampus, Mutiara sudah ditunggu oleh sahabatnya. Mereka seperti tak bisa dipisahkan. Jesica menyapanya dan melambaikan tangan juga kepada Bella."Pagi, sista ... tumben nggak bawa kendaraan sendiri, siapa dia?" sapa Jesica sekaligus bertanya.
Hal mengejutkan terjadi ketika mereka bertiga kembali ke rumah. Bendera kuning, tenda yang sudah berdiri dan tetangga rumah semua datang dengan baju hitam-hitam. Mutiara langsung melepas genggaman tangan Ale, begitu juga Ivan yang melepaskan rangkulannya."Papa!"Baik Mutiara maupun Ivan sudah tahu tentang keadaan Tuan Nathan akhir-akhir itu. Tuan Nathan sering merasakan sakit, merasa dingin dan juga wajahnya selalu terlihat pucat ketika mereka bersama. Mutiara dan Ivan langsung berlari masuk ke rumah.Benar saja, Tuan Nathan sudah terbaring kaku di selimuti kain jarik. Di sampingnya, Gea terlihat sedang menangis dan berusaha tenang atas kepergian Tuan Nathan. Penyakit Tuan Nathan kembali kambuh saat Ale mengajak anak-anak pergi jalan-jalan."Papa!""Papa
Malam bertabur bintang. Ale sedang mengajak Mutiara, sang putri berjalan-jalan mengitari kota hanya berdua saja. Dengan tenang, Gea dan Tuan Nathan mengizinkan anak dan Ayah itu menghabiskan waktu bersama."Jadi, pacar baruku … Malam ini kita mau makan apa?" canda Mutiara."Hello Tuan putri. Terserah Tuan putri mau makan apa malam ini. Semuanya, akan aku Ayah turuti apa maumu," jawab Ale."Ayah, bisakah kita terus menghabiskan waktu bersama?" tanya Mutiara."Tentu saja!""Lalu bagaimana dengan Bella? Bukankah dia juga anak Ayah selama ini?""Aku bertemu dengan Bella hanya setahun sekali. Lagi pula, dia sudah menemukan Ayahnya. Kenapa pula harus repot?"Sejak hari itu, pulang pergi ke kampus, Mutiara dan Ivan selalu bersama dengan Ale. Mereka juga menghabiskan waktu bertiga bak Ayah dengan sepasang anak
Dikarenakan mobil Ale sedang mogok, terpaksa Ale bersama dengan Gea dan Ivan pulang naik taksi. Ketika dalam perjalanan, sengaja Ivan duduk di depan, agar Gea dan Ale leluasa mengobrol.Tetap saja, Gea hanya diam saja, bahkan mengalihkan pandangannya dari Ale. Hal itu membuat Ivan sedih, karena terlihat sangat jelas jika Mamanya masih menyimpan rasa dendam terhadap Ayah dari kakaknya itu."Kita sudah sampai, biarkan barangnya aku yang bawa. Mama bisa mengajak Ayah Ale masuk lebih dulu." ujar Ivan turun lebih dulu.Awalnya, Ale sangat canggung jika harus mampir di rumah mantan istrinya. Terlebih, ia masih sangat mencintai mantan istrinya itu.Namun, demi bisa bertemu dengan Mutiara, ia harus menghilangkan rasa gengsi yang selalu tertanam dalam hatinya."Ini kesempatanku. Supaya aku bisa minta maaf kepada putriku, atas selama ini … aku tidak pernah menjenguknya." gumam
"Sakit? Tangan ini kan yang kau gunakan untuk menamparku?" tanya Mutiara dengan santai. Beberapa temannya mulai membantu lagi. Lelaki itu dilepas olehnya. Mutiara kembali menarik tangan teman dari lelaki itu sebagai jaminan supaya lelaki yang menamparnya mau meminta maaf kepadanya. "Apa kau tidak tau? Dia ini adalah Anggara, anak dari kepala yayasan kampus ini. Apakah kau ingin mencari ribut dengannya?" ucap salah satu temannya. "Aku nggak mau tau siapa dia. Jika dia anak kepala yayasan, lantas … aku harus gimana?" sahut Mutiara masih santai. Anggara membantu melepaskan temannya dari cengkraman Mutiara. Dengan sengaja Mutiara melepaskan dan membuat cowok mesum tadi tersungkur ke tanah. "Segini doang?" tanya Mutiara meremehkan mereka. "Otak kalian berdua kosong, gaya sok preman, berani sentuh sahabatku pula. Beruntung kalian nggak masuk rumah sakit hari ini. Ayo
"Selamat pagi Tante," sapa Jesica pagi itu."Eh, Jesi, ya? Pagi, sayang. Kuliah di sini juga?" tanya Gea dengan ramah."Iya, dong. Kan aku sama Muti udah klop banget, susah mau jauh, Tante!" seru Jesica memulai celoteh tak berfaedahnya.Jesica adalah sahabat satu-satunya Mutiara sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Di kampus, mereka juga akan menjadi teman seperjuangan lagi dalam menganyam pendidikan."Kamu datang sendirian?" lanjut Gea."Sama Mama tadi. Cuma, langsung ke butik," jawab Jesica. "Anaknya di tinggal saja, Tante. Akan aman bersamaku, percayalah!" imbuhnya dengan senyum konyolnya.Gea menatap putrinya. Ia tidak menyangka jika putrinya sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik
Pertemuan antara anak dan ayah ini juga sangat mengharukan. Dalam sekejap, Bella berubah menjadi gadis yang baik. Perihal racun itu, Tuan Nathan dan juga Gea sudah memaafkannya, Gea memberikan kesempatan Bella supaya bisa berubah."Kenapa kalian tidak marah kepadaku?" tanya Bella dengan wajah bersalah.Gea tersenyum, kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Ia berkata, "Sudahlah, kamu membenci kami juga karena kamu berpikir kami akan memisahkanmu dari Papa Ale-mu, bukan?""Tenang saja, kakakku, dan kedua orang tuaku tidak mungkin menghancurkan kebahagiaanmu, Kak Bella," imbuh Ivan memberikan makanan baru yang ia bawa bersama dengan pelayan.Bella benar-benar merasa malu dengan Gea. Ia membenci Gea tanpa alasan yang belum tentu terjadi. Malam itu, Bella tak perlu ke hotel untuk istirahat. Aldi de
Sebelum Mutiara masuk ke mobil, ia menghampiri Rico dan meminta maaf jika dirinya selalu mengacuhkannya. Kejadian malam itu, membuat Mutiara sadar, jika dirinya memang jatuh cinta kepada pria yang beberapa minggu terakhir dekat dengan dirinya itu."Selamat tinggal, Rico. Jika aku ada salah, aku mohon maafkan kesalahanku, baik di sengaja atau tidak," ucap Mutiara tanpa menatap menatap mata Rico."Jangan pernah mengucapkan kata selamat tinggal jika di hati kita masih berharap pertemuan. Maafkan aku karena waktu itu aku sudah mengecewakanmu, Mutia. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku." Rico memberikan sesuatu di tangan Mutiara.Kali ini, tatapan Mutiara penuh dengan arti untuk Rico. Ia hanya berharap, jika rasa sukanya hanya sekadar angin lalu saja. Tapi masa-masa SMA tidak akan datang untuk yang kedua kalinya, masa-masa indah y
"Sial! Apa yang sudah aku lakukan?" umpat Rico menyalahkan dirinya sendir. "Sekarang, apa yang akan Mutia pikirkan tentangku? Kenapa aku sangat gegabah?"Rico terus menyalahkan dirinya sendiri. Sementara itu, Mutiara tengah kesulitan mengatur debaran jantung yang tak seperti biasanya. Jantungnya berdebar hebat, apalagi ketika Rico menyentuh kulit dada miliknya."Kenapa jantungku berdegup cepat begini?" gumamnya. "Sebenarnya … rasa apa yang kurasakan saat ini. Lalu, kenapa ketika Rico menciumku, aku hanya bisa diam dan tidak menolak?" ujarnya menyentuh tanda merah yang diukir oleh Rico."Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Apa aku jatuh cinta kepadanya? Tapi apa yang membuatku jatuh cinta dengannya?"Pertanyaan-pertanyaan kecil selalu muncul dalam pikirannya. Mutiara tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini, yang ia rasakan hanyalah debaran jantung yang cepat dan juga rasa kegelisah