Ale melanjutkan perjalananya. Sampailah mereka kesebuah rumah yang sangat indah nan asri. Rumah sederhana dengan di penuhi tanaman bunga yang cantik.
"Wah, Om … ini rumah siapa?" tanya Gea memandang keseluruhan tempat.
"Mulai saat ini kau harus memanggilku dengan namaku. Aku tidak suka dipanggil dengan sebutan itu, Ge," kesal Ale.
"Memangnya kenapa jika aku memanggilmu dengan sebutan, Om?" ledek Gea.
"Setiap kali kau memanggilku dengan sebutan itu. Hawanya … inginku mentransfer mulu ke rekeningmu!"
Ale kembali menarik tangan Gea dan memasukkannya ke dalam kamar di rumah itu. Lagi-lagi Ale berbuat kasar kepada Gea. Entah kenapa Gea merasa jika ada yang aneh dengan Ale.
Tak ada hal membahayakan lainnya yang dilakukan Ale. Dia hanya mengurung Gea di kamar tanpa melakukan apapun.
"Woy!"
"Apakah ada orang diluar?"
"Kak Ale, tolong buka pintunya. Aku ingin pulang …."
Sampai suara Gea serak pun Ale tidak membukakan pintu untuknya. Ale melakukan itu karena dia tahu jika di siang hari setelah Gea pulang sekolah akan ada pertemuan antara keluarga Darius dan Neneknya untuk membahas perjodohan.
"Aku memang tidak bisa memperlakukan dengan baik. Itu sebabnya aku mengurungmu, Ge. Maafkan aku," gumam Ale.
"Kau akan terhindar dari pertemuan itu, dan bisa menikah denganku. Ini satu-satunya cara agar aku bisa menjagamu sesuai dengan wasiat Zaka," imbuhnya.
"Cih, sialan! Kenapa juga harus Zaka yang mendonorkan jantungnya kepadaku … sehingga aku harus membalas budinya seperti ini," sulut Ale.
Waktu sore sudah terlewat. Malam juga sudah menyambut dan mengakhiri siang hari. Namun Ale belum juga membukakan pintu untuk Gea. Sehingga Gea harus kembali berteriak.
"Kak Ale, apakah kau masih di sana?"
"Tolong keluarkan aku dari kamar ini, lalu antar aku pulang. Ini sudah malam, aku takut Nenek akan marah kepadaku nanti,"
"Hubunganku dengan Nenek belum baik. Aku sudah pusing menghadapinya, tolong …."
"Kau dengan aku, Kak Ale?"
Namun tak ada sahutan dari Ale, dan Gea mulai kesal. Kini, mau tidak mau Gea harus mengeluarkan sifat aslinya. Dengan bakat menajdi tukang, ia mampu melepas engsel pintu menggunakan alat sederhana yang ada di dalam kamar.
Brauak!
Pintunya terjatuh. Setelah pintu itu lepas dari engselnya … Gea melihat dua orang suruhan Ale menunggu di sana. Gea tidak ingin melawan, namun ia harus tetap melawan agar dia bisa pulang dengan cepat. Pukulan demi pukulan mampu Gea lontaran kepada dua orang penjaga itu, dan mereka berhasil ditumbangkan.
Melihat ada kesempatan, segera Gea kabur dan berlari secepat mungkin dari tempat itu. Untung saja Gea dapat mengingat jalanan yang ia lewati tadi.
Sayang, Ale mengetahui jika Gea berhasil kabur dari kamarnya. Ale pun tidak bergegas mengejarnya, ia malah tersenyum sinis melihat pintu kamarnya telah di rusak oleh Gea, dan dua orang penjaga yang bertubuh kekar bisa kalah dengan gadis se mungil dia.
"Ambilkan kunci mobil, aku akan menyusulnya," perintahnya kepada dua anak buahnya.
"Baik, Tuan!"
Gea terus berlari dan berlari, kakinya sampai lecet dan terluka. Membutuhkan waktu hampir satu jam Kania berlari. Lengan yang dulu kena tusukan pisau pun terbuka lagi lukanya.
Di rumah.
Nenek sedang marah besar malam itu, ia menemukan ala tes kehamilan di tempat sampah. Padahal tidak mungkin jika Mama Gege hamil lagi, karena beliau sudah tidak bisa hamil lagi. Sedangkan Gea juga belum sampai rumah.
"Sabar, Bu. Vella dan Gea pasti akan segera pulang," ucap Rendra.
"Vella gadis yang bermartabat, aku yang mendidiknya sendiri. Tidak mungkin dia pemilik dari alat tes kehamilan ini! Pasti si anak jalanan itu!" sulut Nenek.
"Ibu, dia juga cucu Ibu, loh. Gea adalah putri kandungku yang hilang, apakah Ibu lupa hal penting itu?" Rendra mencoba menengahi keadaan yang sangat genting itu.
Siapakah pemilik dari alat ter kehamilan itu? Nenek terus saja menyalahkan Gea atas kegaduhan di rumah itu.
"Malam semuanya, ada apa kok semuanya di ruang tamu? Baru ada tamu, ya?" tanya Vella.
"Darimana saja kamu? Ini sudah jam berapa? Apakah kamu tidak tahu jika ingin ini sudah malam? Dimana rasa sopan santunmu itu, Vella!" lagi-lagi Nenek marah-marah.
Vella duduk di samping Mama Gege. Ia melihat situasi emosi Nenek. Merasa jika sesuatu telah terjadi di rumah itu. Ia juga tak melihat Gea sama sekali di ruangan itu.
"Malam semuanya, maaf aku pulang telat,"
Akhirnya Gea pulang juga.
"Oh, Ini dia brandalan kecil kita. Dari mana aja kamu Gea, duduk! Berani-beraninya kamu pergi bersama calon suami Kakakmu. Dan masih menggunakan sragam, kotor, nyeker seperti itu. Apa kamu ini Tarzan!" bentak Nenek dengan nada tinggi terasa sudah terbiasa mendengar hentakan dari Neneknya.
"Gea, kamu terluka, Nak?" Rendra sangat panik dan khawatir melihat luka di telapak kaki putri bungsunya. Luka yang belum sembuh total juga kembali mengeluarkan darah segar.
"Iya, Pa. Ini karena aku berlari, jadi lukanya terbuka lagi, tapi aku tidak apa-apa, kok," jawab Gea.
"Ge, sini duduk dekat, Mama. Mama akan obati lukamu." ucap Mama Gege.
Asisten Nenek pun mengambilkan kotak p3k untuk Gea. Kemudian Nenek mulai dengan omelan-omelannya itu lagi. Dari masalah Gea yang lari dengan Ale, sampai alat tes kehamilan yang ia temukan siang tadi. Semuanya dibahas tuntas malam itu.
"Nenek mau bertanya kepada kalian berdua. Ini punya siapa, dan harus dijawab dengan jujur. Jika tidak, aku akan membuat Mama kalian angkat kaki dari rumah ini," tanya Nenek menunjukkan alat tes kehamilan yang hasilnya positif itu.
Semua orang terkejut, Mama Gege dan Gea tidak merasa bahwa alat itu miliknya. Sementara Vella terlihat mulai panik, tangannya bergetar dan gugup. Alat tes kehamilan itu miliknya. Bagaimana Nenek bisa mendapatkan alat tersebut?.
"Gege? Apa ini milikmu? Ibu rasa tidak mungkin, karena kamu tidak bisa lagi mengandung ...." ucap Nenek.
Tatapan sinis langsung mengarah kepada Gea.
"Enggak!" teriak Gea.
"Itu bukan milikku, Nek. Bahkan melakukan saja aku belum pernah," elak Gea.
"Sudahlah, Bu. Mungkin saja itu milik tetangga yang tidak sengaja dibuang di tempat sampah kita," ucap Rendra mencoba membuat suasana tidak tegang.
"Alat ini di temukan di dalam kamar mandi samping Rendra. Ibuk sudah menyidang semua art kita. Tapi alat ini bukan milik mereka," jelas Nenek.
"Lalu punya siapa itu, Buk?" tanya Gege.
"Hanya satu pemilik dari alat jahanam ini. Antara Vella dan Gea, kalian berdua mengaku lah! Siapa pemilik dari alat ini, hah?" teriak Nenek.
"Jujur!" bentak Nenek.
Vella mulai menangis, ia tak bisa berkata apapun. Hanya menangis dan terus menangis. Ia takut jika Neneknya akan berbuat buruk kepadanya dan kepada Mamanya.
***
Gea dan Gege mulai mendekati Vella dan mempertanyakan mengapa dirinya menangis. Karena Vella hanya menangis dan menangis saja, semuanya menjadi bingung. Kecuali Nenek yang sejak tadi sudah memasang wajah yang menyeramkan.
"Alat itu milikku, Ma. Maafkan aku ...." ucap Vella.
"Astaghfirullah hal'adzim," sebut Gege.
"APA?" Nenek terkejut.
"Kak ...?"
"Vella, apa ini semuanya benar? Alat itu milikku? Mengapa kau melukai perasaan Papa, Nak?" tanya Rendra.
Nenek langsung menarik Vella dan mendorongnya ke sofa yang di dekat dirinya. "Ini semua karena kalian berduka yang tidak bisa mendidik anak dengan benar!"
"Gugurkan!"
Vella tak habis fikir dengan kata-kata yang keluar dari mulut Nenek. Bagaimanapun juga Vella sudah melakukan dosa dengan melakukan hal itu. Mana mungkin dia juga akan menggugurkan bayinya.
Vella menolak mengugurkan bayinya. Menurutnya, itu adalah lambang cinta dengan Aldi, lelaki yang sangat ia cintai."Kamu nggak mau? Kalau begitu kamu pergi dari sini!" usir Nenek."Ibu, ibu kenapa jadi begini, sih?" Rendra ingin menengahi permasalahan itu. "Saat ini, Vella itu butuh dukungan dari kita, bukan malah kita menambah beban hidupnya lagi dengan mengusirnya dari rumah, Bu ...." imbuhnya.Nenek menepis tangan Rendra."Apa? Dukungan? Rendra! Anakmu ini hamil sebelum menikah! Malah suruh mendukung, kamu sudah gila?" sulut Nenek."Vella tetap harus di rumah ini!" hardik Rendra."Vella ... masuk ke kamar! Kita akan bicarakan ini nanti," lanjutnya."Rendra!" bentak Nenek."Aku berusaha menjadi ayah yang bijak, Buk. Aku lelah sekali hari ini, jadi biarkan aku istirahat dulu dan kita bicarakan hal ini esok hari," jelas Rendra.Rendra pergi dari ruangan itu dan menyendir
"Kak Ale ….""Jangan seperti ini, dong? Aku kan jadi takut," lirih Gea.Alih-alih memelas, Gea malah membuat Ale semakin bergairah. Tubuh Ale seperti bergetar melihat posisi menggairahkan tubuh Gea. Seperti kucing yang menggeliat ingin di elus-elus."Kamu yang harus menanggung, siapa suruh kamu mancing-mancing nafsuku," goda Ale."Aku nggak mau, Kak!" Gea mendorong tubuh Ale dengan sekuat tenaga."Aku ini masih sekolah tau. Lepasin aku, Kak …." suara Gea semakin mengecil dan akhirnya hanya memejamkan matanya.Tangannya tidak memberontak lagi. Ale pun mencium pipi Gea dengan lembut. Gea menangis lirih, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Ale yang menyadari gadis kecilnya menangis, langsung melepas tangannya dan meminta maaf. Ia tak menyangka jika candaannya membuat Gea ketakutan."Hey,
Bruak!Pintu di tutup oleh Ale sangat keras. Ia sangat marah karena Gea tidak mau menurut dengannya. Ale hanya ingin, Gea mau bersamanya sementara waktu. Agar ia bisa dengan mudah menjaga Gea sesuai dengan wasiat Zaka."Sakit, Kak!" rintih Gea. "Bisa nggak, sih, Kak Ale itu lebih lembut memperlakukanku?" Kesal Gea."Lebih lembut? Memangnya yang lebih lembut itu yang bagaimana?" goda Ale. Ale sangat suka menggoda Gea, karena Gea selalu terlihat lucu ketika dirinya menggodanya."Ya, jangan ... em jangan tarik-tarik gitu, dorong-dorong itu juga janganlah!" ucap Gea merasa gugup, karena Ale mulai mendekatinya lagi."Kak, jangan kayak gini, dong …," Gea mulai takut, saat Ale menyentuh bahunya.Bukan hanya di bahu, Ale juga menyentuh pinggang Gea dengan lembut. Tentu saja membuat Gea menggeliat, namun Ale malah men
Cahaya mentari pagi menerobos masuk melalui celah ventilasi dan menembus gorden tipis kamar pribadi di hotel milik Ale. Saat ini, posisi tidur Gea berada di zona bahaya, tangannya masuk kedalam celana Ale saat itu.Jarum jam terus saja berputar, Ale sudah tak tahan lagi dengan posisi alat tempurnya yang tegak, siap siaga akan kerang masuk ke dalam lubang. Sudah beberapa kali juga ia membangunkan Gea, tetapi tetap saja gadis kecilnya tidak bangun juga. Tangannya terus saja memegangi adik kecil milik Ale sembari di cubit-cubit di bagian kepalanya."Astaga, semakin mengeras. Kenapa juga bisa begitu, sih? Sadar diri kalau nih anak masih bocil!" kesal Ale dalam hati.Kembali Ale terus berusaha membangunkan Gea. Namun, Gea masih saja enggan untuk bangun. Bahkan seorang malah menggesek-gesekkan pipinya di lengan Ale. Perlahan, Gea membuka matanya, melihat sekeliling kamar yang indah, rapi nan bersih.
"Hey, lihat! Pemeran utama kita telah datang!" sorak Aurel menepuk tangannya ke meja.Semua murid menatap ke arah Gea dengan tatapan penuh tanda tanya. Semua telah terhasut oleh isu Aurel yang mengatakan jika Gea memiliki sugar daddy, dan merebut tunangan dari kakaknya."Aurel!" teriak Leni."Jika kamu tidak tau apa-apa, mendingan kamu diem aja. Bacot, lu!" sulut Azka membela Gea."Eh, asal kalian berdua tau aja nih. Sahabat lu ini pelakor!" Aurel tetap saja memfitnah Gea."Pelakor kayak dia seharusnya di depak dari sekolah. Buat malu aja ih, jijik banget. Udah berapa kali lu di booking sama tuh Sugar Daddy lu?" hina Aurel."Apaan, sih? Eh, lampir, lu kan yang menjadi peliharaan sugar daddy? Ngaku aja deh, lu!" Azka sudah emosi dengan pernyataan Aurel yang terus memojokkan Gea sebagai pelakor.Aurel mengepalkan tangannya, ia hendak mengelak apa yang dikatakan Azka kepadanya. Namun memang benar jika i
Dalam mobil, Gea masih saja memanyunkan bibirnya. Ale menebak jika Gea saat ini tengah marah kepadanya. Ia menanyakan apa yang membuat Gea marah kepadanya."Kenapa sejak keluar sekolah, kamu terus memanyunkan bibirmu itu?" tanya Ale."Mereka semua menganggap diriku simpanan om-om dan menjadi pelakor dari kakakku sendiri, bagaimana aku tidak kesal?" ungkap Gea."Hey, bukankah kamu wanita yang tegar? Kenapa harus bersedih jika kamu tidak melakukan semua itu?""Memangnya, Kak Ale yakin mau menikahi aku?" dengan tatapan yang penuh harap, Gea berharap tidak mendengar jawaban yang membuatnya sakit hati."Kan aku sudah bilang, aku akan menikahi dirimu. Aku juga janji akan menjagamu sampai nanti," jelas Ale. "Kenapa? Apakah kamu berubah pikiran?"Gea menggelengkan kepala, kemudian bertanya kembali, "Kapan itu? Kapan kau akan menikahi diriku?
"Kak, bangun dong. Sore ini gelap banget. Sepertinya mau hujan deh," Gea mencoba membangunkan Ale."Sebentar lagi," alasan Ale."Aku yang capek dengan posisi seperti ini!" kesal Gea.Sejak siang hingga sore, Ale dan Gea tidur berpelukan di sofa tengah. Mereka semakin mesra ketika keluarga sudah mengetahui hubungan kedekatan mereka."Lalu posisi bagaimana yang bisa membuatmu nyaman? Seperti ini?" goda Ale tiba-tiba terbangun dan berada di atas tubuh Gea."Ya bukan seperti ini juga kali, ah!" Gea mulai kesal.Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Bukan hanya hujan saja, angin disertai petir yang terus menyambar sampai membuat listrik padam. Suasana mendukung untuk mereka pacaran di ruang tengah.Apalagi, Vella baru saja mengirim pesan jika ia akan pulang terlambat akibat hujan deras di jalan.
"Gea, yakin kita mau satu kamar? Kamu tidak takut kemarin malam itu akan terjadi lagi?" bisik Ale.Gea berjalan mendekatinya, kemudian menggenggam tangan pria-nya begitu erat. Seakan ia meyakinkan jika tidak akan terjadi apa-apa malam nanti."Aku percaya kepadamu," ucap Gea."Jika kamu orang yang seperti itu, karin malam pasti sudah terjadi. Aku mau mandi dulu, setelah ini kita jalan-jalan sebentar, yuk!"Ale hanya mengangguk. Gea mempercayainya dan ia akan menjaga kepercayaan tersebut.Gea sendiri paham, menahan nafsu itu memang berat. Dirinya sana bisa terpesona dengan pandangan Ale. Selesai mandi, mereka keluar siang hari itu.Gea terlihat sangat senang bermain ombak, mereka sangat menikmati waktu berdua. Banyak yang mereka lakukan berdua, seperti mereka makan siang, berfoto agar memiliki kenangan, bercanda ria, dan bahkan mereka beberapa kali berpelukan dan bermesraan di pantai.Tiba di penghujung hari
"Aku iri denganmu, Mut," kata Bella mengemudi sedikit pelan."Iri kenapa?" tanya Mutiara."Kamu begitu menyayangi adikmu, begitu juga sebaliknya. Persaudaraan kalian juga begitu dekat. Aku, mana ada saudara, punya saudara satu aja di jauhkan dariku," ungkap Bella menatap Mutiara."Aku kan ada di sini sekarang. Jangan sedih lagi ya, masih ada kesempatan buat kita main, kok, hehehe …." Mutiara sangat berhati besar. Ia mampu menerima Bella sebagai saudaranya dengan mudah.Sesampainya di kampus, Mutiara sudah ditunggu oleh sahabatnya. Mereka seperti tak bisa dipisahkan. Jesica menyapanya dan melambaikan tangan juga kepada Bella."Pagi, sista ... tumben nggak bawa kendaraan sendiri, siapa dia?" sapa Jesica sekaligus bertanya.
Hal mengejutkan terjadi ketika mereka bertiga kembali ke rumah. Bendera kuning, tenda yang sudah berdiri dan tetangga rumah semua datang dengan baju hitam-hitam. Mutiara langsung melepas genggaman tangan Ale, begitu juga Ivan yang melepaskan rangkulannya."Papa!"Baik Mutiara maupun Ivan sudah tahu tentang keadaan Tuan Nathan akhir-akhir itu. Tuan Nathan sering merasakan sakit, merasa dingin dan juga wajahnya selalu terlihat pucat ketika mereka bersama. Mutiara dan Ivan langsung berlari masuk ke rumah.Benar saja, Tuan Nathan sudah terbaring kaku di selimuti kain jarik. Di sampingnya, Gea terlihat sedang menangis dan berusaha tenang atas kepergian Tuan Nathan. Penyakit Tuan Nathan kembali kambuh saat Ale mengajak anak-anak pergi jalan-jalan."Papa!""Papa
Malam bertabur bintang. Ale sedang mengajak Mutiara, sang putri berjalan-jalan mengitari kota hanya berdua saja. Dengan tenang, Gea dan Tuan Nathan mengizinkan anak dan Ayah itu menghabiskan waktu bersama."Jadi, pacar baruku … Malam ini kita mau makan apa?" canda Mutiara."Hello Tuan putri. Terserah Tuan putri mau makan apa malam ini. Semuanya, akan aku Ayah turuti apa maumu," jawab Ale."Ayah, bisakah kita terus menghabiskan waktu bersama?" tanya Mutiara."Tentu saja!""Lalu bagaimana dengan Bella? Bukankah dia juga anak Ayah selama ini?""Aku bertemu dengan Bella hanya setahun sekali. Lagi pula, dia sudah menemukan Ayahnya. Kenapa pula harus repot?"Sejak hari itu, pulang pergi ke kampus, Mutiara dan Ivan selalu bersama dengan Ale. Mereka juga menghabiskan waktu bertiga bak Ayah dengan sepasang anak
Dikarenakan mobil Ale sedang mogok, terpaksa Ale bersama dengan Gea dan Ivan pulang naik taksi. Ketika dalam perjalanan, sengaja Ivan duduk di depan, agar Gea dan Ale leluasa mengobrol.Tetap saja, Gea hanya diam saja, bahkan mengalihkan pandangannya dari Ale. Hal itu membuat Ivan sedih, karena terlihat sangat jelas jika Mamanya masih menyimpan rasa dendam terhadap Ayah dari kakaknya itu."Kita sudah sampai, biarkan barangnya aku yang bawa. Mama bisa mengajak Ayah Ale masuk lebih dulu." ujar Ivan turun lebih dulu.Awalnya, Ale sangat canggung jika harus mampir di rumah mantan istrinya. Terlebih, ia masih sangat mencintai mantan istrinya itu.Namun, demi bisa bertemu dengan Mutiara, ia harus menghilangkan rasa gengsi yang selalu tertanam dalam hatinya."Ini kesempatanku. Supaya aku bisa minta maaf kepada putriku, atas selama ini … aku tidak pernah menjenguknya." gumam
"Sakit? Tangan ini kan yang kau gunakan untuk menamparku?" tanya Mutiara dengan santai. Beberapa temannya mulai membantu lagi. Lelaki itu dilepas olehnya. Mutiara kembali menarik tangan teman dari lelaki itu sebagai jaminan supaya lelaki yang menamparnya mau meminta maaf kepadanya. "Apa kau tidak tau? Dia ini adalah Anggara, anak dari kepala yayasan kampus ini. Apakah kau ingin mencari ribut dengannya?" ucap salah satu temannya. "Aku nggak mau tau siapa dia. Jika dia anak kepala yayasan, lantas … aku harus gimana?" sahut Mutiara masih santai. Anggara membantu melepaskan temannya dari cengkraman Mutiara. Dengan sengaja Mutiara melepaskan dan membuat cowok mesum tadi tersungkur ke tanah. "Segini doang?" tanya Mutiara meremehkan mereka. "Otak kalian berdua kosong, gaya sok preman, berani sentuh sahabatku pula. Beruntung kalian nggak masuk rumah sakit hari ini. Ayo
"Selamat pagi Tante," sapa Jesica pagi itu."Eh, Jesi, ya? Pagi, sayang. Kuliah di sini juga?" tanya Gea dengan ramah."Iya, dong. Kan aku sama Muti udah klop banget, susah mau jauh, Tante!" seru Jesica memulai celoteh tak berfaedahnya.Jesica adalah sahabat satu-satunya Mutiara sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Di kampus, mereka juga akan menjadi teman seperjuangan lagi dalam menganyam pendidikan."Kamu datang sendirian?" lanjut Gea."Sama Mama tadi. Cuma, langsung ke butik," jawab Jesica. "Anaknya di tinggal saja, Tante. Akan aman bersamaku, percayalah!" imbuhnya dengan senyum konyolnya.Gea menatap putrinya. Ia tidak menyangka jika putrinya sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik
Pertemuan antara anak dan ayah ini juga sangat mengharukan. Dalam sekejap, Bella berubah menjadi gadis yang baik. Perihal racun itu, Tuan Nathan dan juga Gea sudah memaafkannya, Gea memberikan kesempatan Bella supaya bisa berubah."Kenapa kalian tidak marah kepadaku?" tanya Bella dengan wajah bersalah.Gea tersenyum, kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Ia berkata, "Sudahlah, kamu membenci kami juga karena kamu berpikir kami akan memisahkanmu dari Papa Ale-mu, bukan?""Tenang saja, kakakku, dan kedua orang tuaku tidak mungkin menghancurkan kebahagiaanmu, Kak Bella," imbuh Ivan memberikan makanan baru yang ia bawa bersama dengan pelayan.Bella benar-benar merasa malu dengan Gea. Ia membenci Gea tanpa alasan yang belum tentu terjadi. Malam itu, Bella tak perlu ke hotel untuk istirahat. Aldi de
Sebelum Mutiara masuk ke mobil, ia menghampiri Rico dan meminta maaf jika dirinya selalu mengacuhkannya. Kejadian malam itu, membuat Mutiara sadar, jika dirinya memang jatuh cinta kepada pria yang beberapa minggu terakhir dekat dengan dirinya itu."Selamat tinggal, Rico. Jika aku ada salah, aku mohon maafkan kesalahanku, baik di sengaja atau tidak," ucap Mutiara tanpa menatap menatap mata Rico."Jangan pernah mengucapkan kata selamat tinggal jika di hati kita masih berharap pertemuan. Maafkan aku karena waktu itu aku sudah mengecewakanmu, Mutia. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku." Rico memberikan sesuatu di tangan Mutiara.Kali ini, tatapan Mutiara penuh dengan arti untuk Rico. Ia hanya berharap, jika rasa sukanya hanya sekadar angin lalu saja. Tapi masa-masa SMA tidak akan datang untuk yang kedua kalinya, masa-masa indah y
"Sial! Apa yang sudah aku lakukan?" umpat Rico menyalahkan dirinya sendir. "Sekarang, apa yang akan Mutia pikirkan tentangku? Kenapa aku sangat gegabah?"Rico terus menyalahkan dirinya sendiri. Sementara itu, Mutiara tengah kesulitan mengatur debaran jantung yang tak seperti biasanya. Jantungnya berdebar hebat, apalagi ketika Rico menyentuh kulit dada miliknya."Kenapa jantungku berdegup cepat begini?" gumamnya. "Sebenarnya … rasa apa yang kurasakan saat ini. Lalu, kenapa ketika Rico menciumku, aku hanya bisa diam dan tidak menolak?" ujarnya menyentuh tanda merah yang diukir oleh Rico."Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Apa aku jatuh cinta kepadanya? Tapi apa yang membuatku jatuh cinta dengannya?"Pertanyaan-pertanyaan kecil selalu muncul dalam pikirannya. Mutiara tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini, yang ia rasakan hanyalah debaran jantung yang cepat dan juga rasa kegelisah