"Kak Aldi? Apa yang dia lakukan? Kenapa bisa lompat dari kamar, Kak Vella? Apa peduliku, itu bukan urusanku. Mending aku sambung tidur saja, aku sangat lelah untuk malam ini, huaamm …." ucap Gea.
Gea menyambung tidurnya kembali. Ia harus sekolah besok pagi. Keesokan harinya, Gea sudah bangun sangat pagi dan membantu Si Mbok di dapur menyiapkan sarapan untuk semua orang.
Ketika di meja makan, Gea masih asing dengan suasana itu, ia melihat Neneknya makan dengan sangat anggun. Kedua orang tuanya juga makan tanpa bicara sepatah apapun. Akan tetapi, Gea belum melihat Vella pagi itu.
"Mbak? Panggil Vella untuk sarapan," perintah Nenek.
"Baik, Nyonya besar." jawab Mbak Ning (Asisten pribadi Nenek).
Tak lama setelah itu, Vella keluar dari kamarnya. Anehnya ia menggunakan syal pagi itu, bahkan cuaca pun juga tidaklah dingin. Gea sebenarnya sudah menduga jika Vella menutupi cupang di lehernya, sebab ia melihat Aldi melompat dari kamarnya semalam. Tidak mungkin jika sepasang kekasih berduaan di kamar tidak melakukan apapun.
"Kamu sakit Vella?" tanya Nenek.
"Em, sedikit pusing, Nek. Mungkin karena kelelahan," jawab Vella.
Saat Vella duduk berdekatan dengan Gea. Gea tidak sengaja melihat ada cupang di leher Vella. Gea tidak kaget akan hal itu, karena ia sudah mengetahui siapa pelukis cupang yang indah tersebut. Hanya saja ... Gea merasa heran kepada Vella. Kenapa dia bisa seberani itu membawa pria masuk ke kamarnya tengah malam.
"Gea, hari ini kamu sekolahnya di antara oleh Darius, ya. Dia adalah cucu dari sahabat, Nenek. Nenek harap ... dia dan kamu bisa cocok satu sama lain," ucap Nenek dengan tiba-tiba.
"Tapi, Nek. Gea nggak ke …." penolakan Gea langsung disela oleh Nenek.
"Gea! Kamu mau menentang, Nenek? Sudah bersyukur kamu diterima di keluarga ini, menurut lebih baik!" bentak Nenek.
"Iya, Nek. Maafkan Gea sudah menolak," ucap Gea terpaksa.
"Buset, baru saja masuk ke keluarga. Sudah dijodohin aja, gini amat jadi anak orang kaya!" kesal Gea dalam hati.
Merasa dirinya hendak dijodohkan, mood Gea pagi itu menjadi buruk. Ia berharap orang tuanya juga tidak menyetujui perjodohan yang dilakukan Nenek kepadanya. Gea sangat berharap jika Rendra bisa menolak perjodohan itu, selaku ayah kandungnya.
"Itu dia Darius … uh, cucu, Nenek." ucap Nenek sok akrab. "Ayo, kita sarapan bersama. Mumpung semuanya berkumpul," imbuhnya.
Darius menyalami Nenek, Rendra dan Gege. Sekilas, Darius memang terlihat memiliki rasa sopan santun yang tinggi. Meski begitu, tetap saja Gea tidak tertarik dengannya.
Usai sarapan, Gea langsung pamit berangkat ke sekolah. Mau tidak mau memang Gea harus diantar oleh Darius. Pikiran Gea merasa masih tidak tenang dengan cupang dileher kakaknya pagi itu. Gea juga merasa tidak enak hati jika harus bertanya dengan Vella tentang leher yang ditutupi dengan syalnya.
"Ge, Gea ...." panggil Sena. Namun, Gea masih saja melamun dan tak mendengarkan panggilan dari Darius.
Darius mengetik tangannya, "Hey, Gea! Apakah kau melamun?" panggil Darius sekali lagi.
"Oh, maaf. Aku tidak mendengar kau memanggilku, ada apa? Maaf, ya ...." ucap Gea.
"Kenapa kau meminta maaf? Tenang saja, maafkan aku jika aku mengganggumu. Apakah ... ada hal yang mengganggu pikiranmu?" Darius ingin tahu apa yang di pikirkan Gea.
"Ada masalah?" imbuhnya.
Gea hanya tersenyum tipis. Ia tak mungkin mengatakan apa yang dia pikirkan kepada orang yang baru buat kenal. Meski lelaki itu, cucu dari sahabat Neneknya. Gea belum yakin sekali dengan keluarga kandungnya. Apa yang dulu membuat dirinya harus hilang atau memang tak diinginkan.
"Ge, cerita saja. Aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu," desak Darius.
"Hm, nggak ada apa-apa, kok. Aku hanya gugup saja, ini pertama kalinya bagiku diantar sekolah oleh seorang lelaki yang belum akun kenal," jelas Gea.
"Kamu bisa memanggilku dengan sebutan namaku, atau bisa panggil aku dengan sebutan, Kakak. Itu akan membuat kita tidak seperti orang asing," pintar Darius.
"Cih, tak seperti orang asing? Lah emang kita kan orang asing, Bambang!" batin Gea.
***Hari itu Gea menganggap hari paling lambat dalam sejarah hidupnya. Pergi dengan hilangnya good mood nya, karena dibentak oleh Nenek. Kemudian harus berangkat sekolah diantar oleh laki-laki yang belum ia kenal sama sekali. Lalu sekarang ia melihat harus melihat Ale sudah berada di gerbang sekolah."Sial!" umpat Gea dalam hatinya.
"Hah, kau mengatakan sesuatu?" tanya Darius
Tentu saja Gea menggelengkan kepala. Bak ala konglomerat sungguhan, Darius turun dari mobilnya dan membukakan pintu mobil untuk Gea.
Dari kejauhan, Ale sangat tidak menyukai hal itu. Ia terlihat kesal saat Darius memperlakukan Gea istimewa. Melihat raut wajah Ale yang terlihat kesal, Gea pun mendekatinya dan menanyakan mengapa Ale ada di gerbang sekolahnya.
"Kau tanya mengapa?" kesal Ale.
"Aku sudah mengirim dirimu pesan singkat untuk kita bertemu di sini. Kau lupa, hah?" Ale semakin kesal.
Datanglah Aurel yang nampak seperti seorang putri berjalan dengan anggun dan menyapa Darius. "Halo, Kak Darius. Mengapa kau ada di sekolahku? Apakah kau ada denganku?" mempertanyakan hal seperti itu dengan kesombongan.
Mereka berdua adalah tetangga sejak dulu. Jadi, mereka sangat dekat meski tidaklah akrab. Terlihat juga di sana ada dua sahabat Gea. Mereka pun menghampiri Gea yang sedang diapit oleh pria berkharisma.
"Ge, pagi. Siapa dia?" tanya Leni.
Belum juga Gea menjawab, Darius sudah menyodorkan tangannya kepada Leni dan Azka, sahabat dari Gea.
"Darius," ucapnya.
"Aku cucu dari teman Nenek Gea." imbuhnya.
Tanpa basa basi, Ale menarik tangan Gea dan membawanya masuk. Tiada angin tiada petir tiba-tiba Ale membawa Gea masuk ke mobilnya. Awalnya Darius berhasil mencegahnya, tapi melihat tatapan Ale saja membuat Darius melepaskan tangan Gea lagi.
Sudah berusaha memberontak, tetap saja tidak bisa. Tangan Gea kalah kecil dengan tangan Ale yang besar. Dengan sedikit kasar juga Ale mendorong masuk Gea ke mobil.
"Astaga ... sakit, woy!" teriak Gea.
Tanpa memperdulikan Gea. Ale menyalakan mobilnya dan mengendarai dengan cepat. Gea bingung dengan kebisuan Ale seperti itu.
"Om, bilang, dong aku mau dibawa kemana?" Gea berusaha bertanya.
Namun, Ale tetap saja tidak menggubrisnya. Ia terlalu fokus menyetir tanpa memperhatikan Gea yang mulai berteriak dan membentaknya.
"Om Ale, ayo dong jawab. Sebenarnya kau ingin membawaku kemana?" tanya Gea membentak Ale.
"Ok, salah!"
"Bukan Om. Tapi, Kakak Ale, Tuan Ale, Pria tampan? Hish kesalnya, katakan ngapa, woy!" rasanya Gea saja ingin memukul wajah Ale.
Dengan mudahnya, Ale hanya menepis tangan Gea dengan santai.
"Bisa diam tidak?" Ale mulai membuka suara.
"Jika kamu tidak bisa diam, aku akan membuatmu bisa mengandung anakku! Mau kamu?" ancam Ale.
"Dih, mesum!" teriak Gea.
Gea juga hendak memukul Ale lagi. Namun, tangan Ale mampu menahan kedua tangan Gea dengan mudah. Gea mulai meronta lagi.
"Kamu memang berbeda dengan Vella. Dia sangat kalem, tapi kamu sangat aktif. Aku suka cewek kecil yang aktif. Itu sangat menggoda," goda Ale mencium tangan Gea.
"Cabul!" teriak Gea berusaha menarik tangannya.
"Aku akan bertindak jika kamu macam-macam padaku, Om!" desis Gea menutupi badannya dengan tangan kecilnya.
"Kau berpose seperti itu, malah semakin membuatku bergairah saja. Setelah ini, kita lakukan ditempat lain, bagaimana?" goda Ale.
Gea akhirnya terdiam. Kali ini Ale bisa menyetir dengan tenang dan fokus. Sesekali Ale melirik Gea yang saat masih tenang dengan menatap ke depan. Ale tak percaya jika dia mampu menenangkan gadis aktif seperti Gea itu. Ale juga tak berharap bisa barusan dengan anak kecil seperti Gea yang selalu membuatnya pusing.
Sekian lama perjalanan, entah mau dibawa Gea bersama dengan Ale. Ketika mata mulai terlelap, ponsel Gea berdering. Penelpon itu tak lain adalah sang Nenek. Seketika Gea menjadi panik.
"Siapa yang telpon? Kenapa nggak langsung diangkat?" tanya Ale.
"Nenek sihir," jawab Gea.
Gea masih mikir-mikir untuk mengangkat telpon dari Neneknya. Pasti Nenek menelponnya karena dia tidak masuk sekolah hari itu. Jika tidak, pasti Darius yang memberitahu Nenek jika dia sedang pergi bersama dengan pria lain.
Ale merebut ponsel itu dan mengangkat telpon dari Nenek.
"Gea! Apa-apaan kamu! Kamu ingin mempermalukan keluarga? Kamu kenapa kabur dengan calon Kakak Iparmu, hah? Jawab Nenek!" sulut Nenek."Maaf, ini saya Ale. Hari ini, aku akan membawa Gea pergi bersamaku. Jangan ada yang menelponnya lagi, atau aku akan membuat cucumu ini kehilangan organ tubuhnya!" hardik Ale langsung menutup telponnya.
Ale mengatakan jika dirinya akan menikahi Gea. Alasan yang sebenarnya tidak ia katakan karena Ale tidak mau Gea tahu jika dirinya melakukan itu demi wasiat Zaka.
Tentu saja pernyataan Ale membuat Gea terkejut. Ia juga tidak ada mimpi untuk menikah dengan pria kasar seperti Ale. Apalagi, Ale sudah dijodohkan dengan Kakaknya.
"Kamu gila? Aku mana mau nikah sama kamu? Lagian aku masih kelas 2 SMA, mana mungkin aku di perbolehkan menikah. Kamu ini juga calon kakak iparku, Om. sadarlah!" papar Gea dengan suara sedikit bergetar.
"Apa yang menjadi keputusanku, tak bisa di rubah siapa pun kecuali Tuhan. Jika kamu nggak mau menikah denganku, aku akan mencabut saham yang aku tanamkan ke usaha milik Nenekmu itu!" ancam Ale.
"Itu nama nya pemaksaan. Aku tidak mau! Lagipula itu bukanlah urusanku!" sulut Gea.
"Mau tidak mau, kamu harus menikah denganku. Aku tidak mau menikah dengan Vella." ucap Ale.
Bingung, heran dan tidak mengerti bagaimana lagi menyikapi Ale. Ia juga bingung akan menjawab a[a karena dalam hatinya pun dirinya belum siap untuk menikah ataupun jatuh cinta dengan pria lain setelah kepergian Zaka. Meski Gea tahu jika Ale adalah kakak dari mantan kekasihnya yang sudah tiada itu.
Hanya Zaka laki-laki yang sangat ia cintai. Mana mungkin juga Gea bisa menikah dengan Ale, kakaknya. Semua orang juga tau, jika Ale akan menikah dengan Vella.
"Kau tau? 18 tahun aku baru bertemu dengan keluarga kandungku, aku belum siap untuk menikah. Aku ingin berbakti kepada mereka terlebih dahulu, Om Ale, Tuan Ale." ungkap Gea dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Ale pun meminggirkan dan menghentikan mobilnya.
"Gea, aku juga tidak ingin semua ini terjadi. Aku juga tidak suka memaksa kehendak orang seperti ini. Tapi semua ini harus aku lakukan, kita harus menikah!" ucap Ale.
"Iya kenapa? Apa alasan yang pastinya?" tanya Gea.
"Aku belum bisa mengungkapkan alasannya hari ini. Tapi aku janji, suatu hari nanti aku akan menceritakan segalanya kepadamu, Ge …." jawab Ale.
"jujur, Vella menolak perjodohan ini karena dia memiliki orang yang dia cintai. Aku tidak bisa memisahkan dua orang yang saling mencintai," lanjut Ale.
"Jadi … menikahlah denganku. Apa kau harus menerima perjodohan dirimu dengan pria yang mengantarmu ke sekolah tadi. Dia bukanlah pria yang baik bagimu, Ge!"
Tak tahu lagu harus bagaimana, yang diingkan Gea hanyalah hidup tenang dan damai bersama dengan keluarga yang baru ia temukan. Gea juga masih ingin mengakrabkan diri kepada orang tua kandungnya.
Ale melanjutkan perjalananya. Sampailah mereka kesebuah rumah yang sangat indah nan asri. Rumah sederhana dengan di penuhi tanaman bunga yang cantik."Wah, Om … ini rumah siapa?" tanya Gea memandang keseluruhan tempat."Mulai saat ini kau harus memanggilku dengan namaku. Aku tidak suka dipanggil dengan sebutan itu, Ge," kesal Ale."Memangnya kenapa jika aku memanggilmu dengan sebutan, Om?" ledek Gea."Setiap kali kau memanggilku dengan sebutan itu. Hawanya … inginku mentransfer mulu ke rekeningmu!"Ale kembali menarik tangan Gea dan memasukkannya ke dalam kamar di rumah itu. Lagi-lagi Ale berbuat kasar kepada Gea. Entah kenapa Gea merasa jika ada yang aneh dengan Ale.Tak ada hal membahayakan lainnya yang dilakukan Ale. Dia hanya mengurung Gea di kamar tanpa melakukan apapun."Woy!"
Vella menolak mengugurkan bayinya. Menurutnya, itu adalah lambang cinta dengan Aldi, lelaki yang sangat ia cintai."Kamu nggak mau? Kalau begitu kamu pergi dari sini!" usir Nenek."Ibu, ibu kenapa jadi begini, sih?" Rendra ingin menengahi permasalahan itu. "Saat ini, Vella itu butuh dukungan dari kita, bukan malah kita menambah beban hidupnya lagi dengan mengusirnya dari rumah, Bu ...." imbuhnya.Nenek menepis tangan Rendra."Apa? Dukungan? Rendra! Anakmu ini hamil sebelum menikah! Malah suruh mendukung, kamu sudah gila?" sulut Nenek."Vella tetap harus di rumah ini!" hardik Rendra."Vella ... masuk ke kamar! Kita akan bicarakan ini nanti," lanjutnya."Rendra!" bentak Nenek."Aku berusaha menjadi ayah yang bijak, Buk. Aku lelah sekali hari ini, jadi biarkan aku istirahat dulu dan kita bicarakan hal ini esok hari," jelas Rendra.Rendra pergi dari ruangan itu dan menyendir
"Kak Ale ….""Jangan seperti ini, dong? Aku kan jadi takut," lirih Gea.Alih-alih memelas, Gea malah membuat Ale semakin bergairah. Tubuh Ale seperti bergetar melihat posisi menggairahkan tubuh Gea. Seperti kucing yang menggeliat ingin di elus-elus."Kamu yang harus menanggung, siapa suruh kamu mancing-mancing nafsuku," goda Ale."Aku nggak mau, Kak!" Gea mendorong tubuh Ale dengan sekuat tenaga."Aku ini masih sekolah tau. Lepasin aku, Kak …." suara Gea semakin mengecil dan akhirnya hanya memejamkan matanya.Tangannya tidak memberontak lagi. Ale pun mencium pipi Gea dengan lembut. Gea menangis lirih, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Ale yang menyadari gadis kecilnya menangis, langsung melepas tangannya dan meminta maaf. Ia tak menyangka jika candaannya membuat Gea ketakutan."Hey,
Bruak!Pintu di tutup oleh Ale sangat keras. Ia sangat marah karena Gea tidak mau menurut dengannya. Ale hanya ingin, Gea mau bersamanya sementara waktu. Agar ia bisa dengan mudah menjaga Gea sesuai dengan wasiat Zaka."Sakit, Kak!" rintih Gea. "Bisa nggak, sih, Kak Ale itu lebih lembut memperlakukanku?" Kesal Gea."Lebih lembut? Memangnya yang lebih lembut itu yang bagaimana?" goda Ale. Ale sangat suka menggoda Gea, karena Gea selalu terlihat lucu ketika dirinya menggodanya."Ya, jangan ... em jangan tarik-tarik gitu, dorong-dorong itu juga janganlah!" ucap Gea merasa gugup, karena Ale mulai mendekatinya lagi."Kak, jangan kayak gini, dong …," Gea mulai takut, saat Ale menyentuh bahunya.Bukan hanya di bahu, Ale juga menyentuh pinggang Gea dengan lembut. Tentu saja membuat Gea menggeliat, namun Ale malah men
Cahaya mentari pagi menerobos masuk melalui celah ventilasi dan menembus gorden tipis kamar pribadi di hotel milik Ale. Saat ini, posisi tidur Gea berada di zona bahaya, tangannya masuk kedalam celana Ale saat itu.Jarum jam terus saja berputar, Ale sudah tak tahan lagi dengan posisi alat tempurnya yang tegak, siap siaga akan kerang masuk ke dalam lubang. Sudah beberapa kali juga ia membangunkan Gea, tetapi tetap saja gadis kecilnya tidak bangun juga. Tangannya terus saja memegangi adik kecil milik Ale sembari di cubit-cubit di bagian kepalanya."Astaga, semakin mengeras. Kenapa juga bisa begitu, sih? Sadar diri kalau nih anak masih bocil!" kesal Ale dalam hati.Kembali Ale terus berusaha membangunkan Gea. Namun, Gea masih saja enggan untuk bangun. Bahkan seorang malah menggesek-gesekkan pipinya di lengan Ale. Perlahan, Gea membuka matanya, melihat sekeliling kamar yang indah, rapi nan bersih.
"Hey, lihat! Pemeran utama kita telah datang!" sorak Aurel menepuk tangannya ke meja.Semua murid menatap ke arah Gea dengan tatapan penuh tanda tanya. Semua telah terhasut oleh isu Aurel yang mengatakan jika Gea memiliki sugar daddy, dan merebut tunangan dari kakaknya."Aurel!" teriak Leni."Jika kamu tidak tau apa-apa, mendingan kamu diem aja. Bacot, lu!" sulut Azka membela Gea."Eh, asal kalian berdua tau aja nih. Sahabat lu ini pelakor!" Aurel tetap saja memfitnah Gea."Pelakor kayak dia seharusnya di depak dari sekolah. Buat malu aja ih, jijik banget. Udah berapa kali lu di booking sama tuh Sugar Daddy lu?" hina Aurel."Apaan, sih? Eh, lampir, lu kan yang menjadi peliharaan sugar daddy? Ngaku aja deh, lu!" Azka sudah emosi dengan pernyataan Aurel yang terus memojokkan Gea sebagai pelakor.Aurel mengepalkan tangannya, ia hendak mengelak apa yang dikatakan Azka kepadanya. Namun memang benar jika i
Dalam mobil, Gea masih saja memanyunkan bibirnya. Ale menebak jika Gea saat ini tengah marah kepadanya. Ia menanyakan apa yang membuat Gea marah kepadanya."Kenapa sejak keluar sekolah, kamu terus memanyunkan bibirmu itu?" tanya Ale."Mereka semua menganggap diriku simpanan om-om dan menjadi pelakor dari kakakku sendiri, bagaimana aku tidak kesal?" ungkap Gea."Hey, bukankah kamu wanita yang tegar? Kenapa harus bersedih jika kamu tidak melakukan semua itu?""Memangnya, Kak Ale yakin mau menikahi aku?" dengan tatapan yang penuh harap, Gea berharap tidak mendengar jawaban yang membuatnya sakit hati."Kan aku sudah bilang, aku akan menikahi dirimu. Aku juga janji akan menjagamu sampai nanti," jelas Ale. "Kenapa? Apakah kamu berubah pikiran?"Gea menggelengkan kepala, kemudian bertanya kembali, "Kapan itu? Kapan kau akan menikahi diriku?
"Kak, bangun dong. Sore ini gelap banget. Sepertinya mau hujan deh," Gea mencoba membangunkan Ale."Sebentar lagi," alasan Ale."Aku yang capek dengan posisi seperti ini!" kesal Gea.Sejak siang hingga sore, Ale dan Gea tidur berpelukan di sofa tengah. Mereka semakin mesra ketika keluarga sudah mengetahui hubungan kedekatan mereka."Lalu posisi bagaimana yang bisa membuatmu nyaman? Seperti ini?" goda Ale tiba-tiba terbangun dan berada di atas tubuh Gea."Ya bukan seperti ini juga kali, ah!" Gea mulai kesal.Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Bukan hanya hujan saja, angin disertai petir yang terus menyambar sampai membuat listrik padam. Suasana mendukung untuk mereka pacaran di ruang tengah.Apalagi, Vella baru saja mengirim pesan jika ia akan pulang terlambat akibat hujan deras di jalan.
"Aku iri denganmu, Mut," kata Bella mengemudi sedikit pelan."Iri kenapa?" tanya Mutiara."Kamu begitu menyayangi adikmu, begitu juga sebaliknya. Persaudaraan kalian juga begitu dekat. Aku, mana ada saudara, punya saudara satu aja di jauhkan dariku," ungkap Bella menatap Mutiara."Aku kan ada di sini sekarang. Jangan sedih lagi ya, masih ada kesempatan buat kita main, kok, hehehe …." Mutiara sangat berhati besar. Ia mampu menerima Bella sebagai saudaranya dengan mudah.Sesampainya di kampus, Mutiara sudah ditunggu oleh sahabatnya. Mereka seperti tak bisa dipisahkan. Jesica menyapanya dan melambaikan tangan juga kepada Bella."Pagi, sista ... tumben nggak bawa kendaraan sendiri, siapa dia?" sapa Jesica sekaligus bertanya.
Hal mengejutkan terjadi ketika mereka bertiga kembali ke rumah. Bendera kuning, tenda yang sudah berdiri dan tetangga rumah semua datang dengan baju hitam-hitam. Mutiara langsung melepas genggaman tangan Ale, begitu juga Ivan yang melepaskan rangkulannya."Papa!"Baik Mutiara maupun Ivan sudah tahu tentang keadaan Tuan Nathan akhir-akhir itu. Tuan Nathan sering merasakan sakit, merasa dingin dan juga wajahnya selalu terlihat pucat ketika mereka bersama. Mutiara dan Ivan langsung berlari masuk ke rumah.Benar saja, Tuan Nathan sudah terbaring kaku di selimuti kain jarik. Di sampingnya, Gea terlihat sedang menangis dan berusaha tenang atas kepergian Tuan Nathan. Penyakit Tuan Nathan kembali kambuh saat Ale mengajak anak-anak pergi jalan-jalan."Papa!""Papa
Malam bertabur bintang. Ale sedang mengajak Mutiara, sang putri berjalan-jalan mengitari kota hanya berdua saja. Dengan tenang, Gea dan Tuan Nathan mengizinkan anak dan Ayah itu menghabiskan waktu bersama."Jadi, pacar baruku … Malam ini kita mau makan apa?" canda Mutiara."Hello Tuan putri. Terserah Tuan putri mau makan apa malam ini. Semuanya, akan aku Ayah turuti apa maumu," jawab Ale."Ayah, bisakah kita terus menghabiskan waktu bersama?" tanya Mutiara."Tentu saja!""Lalu bagaimana dengan Bella? Bukankah dia juga anak Ayah selama ini?""Aku bertemu dengan Bella hanya setahun sekali. Lagi pula, dia sudah menemukan Ayahnya. Kenapa pula harus repot?"Sejak hari itu, pulang pergi ke kampus, Mutiara dan Ivan selalu bersama dengan Ale. Mereka juga menghabiskan waktu bertiga bak Ayah dengan sepasang anak
Dikarenakan mobil Ale sedang mogok, terpaksa Ale bersama dengan Gea dan Ivan pulang naik taksi. Ketika dalam perjalanan, sengaja Ivan duduk di depan, agar Gea dan Ale leluasa mengobrol.Tetap saja, Gea hanya diam saja, bahkan mengalihkan pandangannya dari Ale. Hal itu membuat Ivan sedih, karena terlihat sangat jelas jika Mamanya masih menyimpan rasa dendam terhadap Ayah dari kakaknya itu."Kita sudah sampai, biarkan barangnya aku yang bawa. Mama bisa mengajak Ayah Ale masuk lebih dulu." ujar Ivan turun lebih dulu.Awalnya, Ale sangat canggung jika harus mampir di rumah mantan istrinya. Terlebih, ia masih sangat mencintai mantan istrinya itu.Namun, demi bisa bertemu dengan Mutiara, ia harus menghilangkan rasa gengsi yang selalu tertanam dalam hatinya."Ini kesempatanku. Supaya aku bisa minta maaf kepada putriku, atas selama ini … aku tidak pernah menjenguknya." gumam
"Sakit? Tangan ini kan yang kau gunakan untuk menamparku?" tanya Mutiara dengan santai. Beberapa temannya mulai membantu lagi. Lelaki itu dilepas olehnya. Mutiara kembali menarik tangan teman dari lelaki itu sebagai jaminan supaya lelaki yang menamparnya mau meminta maaf kepadanya. "Apa kau tidak tau? Dia ini adalah Anggara, anak dari kepala yayasan kampus ini. Apakah kau ingin mencari ribut dengannya?" ucap salah satu temannya. "Aku nggak mau tau siapa dia. Jika dia anak kepala yayasan, lantas … aku harus gimana?" sahut Mutiara masih santai. Anggara membantu melepaskan temannya dari cengkraman Mutiara. Dengan sengaja Mutiara melepaskan dan membuat cowok mesum tadi tersungkur ke tanah. "Segini doang?" tanya Mutiara meremehkan mereka. "Otak kalian berdua kosong, gaya sok preman, berani sentuh sahabatku pula. Beruntung kalian nggak masuk rumah sakit hari ini. Ayo
"Selamat pagi Tante," sapa Jesica pagi itu."Eh, Jesi, ya? Pagi, sayang. Kuliah di sini juga?" tanya Gea dengan ramah."Iya, dong. Kan aku sama Muti udah klop banget, susah mau jauh, Tante!" seru Jesica memulai celoteh tak berfaedahnya.Jesica adalah sahabat satu-satunya Mutiara sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Di kampus, mereka juga akan menjadi teman seperjuangan lagi dalam menganyam pendidikan."Kamu datang sendirian?" lanjut Gea."Sama Mama tadi. Cuma, langsung ke butik," jawab Jesica. "Anaknya di tinggal saja, Tante. Akan aman bersamaku, percayalah!" imbuhnya dengan senyum konyolnya.Gea menatap putrinya. Ia tidak menyangka jika putrinya sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik
Pertemuan antara anak dan ayah ini juga sangat mengharukan. Dalam sekejap, Bella berubah menjadi gadis yang baik. Perihal racun itu, Tuan Nathan dan juga Gea sudah memaafkannya, Gea memberikan kesempatan Bella supaya bisa berubah."Kenapa kalian tidak marah kepadaku?" tanya Bella dengan wajah bersalah.Gea tersenyum, kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Ia berkata, "Sudahlah, kamu membenci kami juga karena kamu berpikir kami akan memisahkanmu dari Papa Ale-mu, bukan?""Tenang saja, kakakku, dan kedua orang tuaku tidak mungkin menghancurkan kebahagiaanmu, Kak Bella," imbuh Ivan memberikan makanan baru yang ia bawa bersama dengan pelayan.Bella benar-benar merasa malu dengan Gea. Ia membenci Gea tanpa alasan yang belum tentu terjadi. Malam itu, Bella tak perlu ke hotel untuk istirahat. Aldi de
Sebelum Mutiara masuk ke mobil, ia menghampiri Rico dan meminta maaf jika dirinya selalu mengacuhkannya. Kejadian malam itu, membuat Mutiara sadar, jika dirinya memang jatuh cinta kepada pria yang beberapa minggu terakhir dekat dengan dirinya itu."Selamat tinggal, Rico. Jika aku ada salah, aku mohon maafkan kesalahanku, baik di sengaja atau tidak," ucap Mutiara tanpa menatap menatap mata Rico."Jangan pernah mengucapkan kata selamat tinggal jika di hati kita masih berharap pertemuan. Maafkan aku karena waktu itu aku sudah mengecewakanmu, Mutia. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku." Rico memberikan sesuatu di tangan Mutiara.Kali ini, tatapan Mutiara penuh dengan arti untuk Rico. Ia hanya berharap, jika rasa sukanya hanya sekadar angin lalu saja. Tapi masa-masa SMA tidak akan datang untuk yang kedua kalinya, masa-masa indah y
"Sial! Apa yang sudah aku lakukan?" umpat Rico menyalahkan dirinya sendir. "Sekarang, apa yang akan Mutia pikirkan tentangku? Kenapa aku sangat gegabah?"Rico terus menyalahkan dirinya sendiri. Sementara itu, Mutiara tengah kesulitan mengatur debaran jantung yang tak seperti biasanya. Jantungnya berdebar hebat, apalagi ketika Rico menyentuh kulit dada miliknya."Kenapa jantungku berdegup cepat begini?" gumamnya. "Sebenarnya … rasa apa yang kurasakan saat ini. Lalu, kenapa ketika Rico menciumku, aku hanya bisa diam dan tidak menolak?" ujarnya menyentuh tanda merah yang diukir oleh Rico."Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Apa aku jatuh cinta kepadanya? Tapi apa yang membuatku jatuh cinta dengannya?"Pertanyaan-pertanyaan kecil selalu muncul dalam pikirannya. Mutiara tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini, yang ia rasakan hanyalah debaran jantung yang cepat dan juga rasa kegelisah