Sesampainya di rumah, Vella segera membantu Gea membawa barang-barangnya. Sementara Aldi sudah turun lebih dulu di jalan, karena hubungan antara Aldi dan Nenek Vella sedang tidak baik-baik saja.
Nampak di depan rumah sudah ada beberapa orang di sana. Yang Gea kenali hanyalah orang tuannya. Di sampingnya ada seorang wanita yang sudah terlihat sepuh, tapi masih terlihat sangat besar.
Perawakannya juga terlihat menakutkan, seperti orang yang galak. Namun, beliau sangat anggun di balut kebaya jawa. Lalu, beberapa orang di belakangnya mungkin asisten rumah tangga, supir dan tukang kebun, nampak sekali dari penampilan mereka.
"Gea sayang, sini Mama bantu bawa barang-barang kamu, ya …." terlihat Mama Gege sangat senang akan kehadiran Gea.
"Aku sudah baik-baik saja kok, Tante," tolak Gea dengan senyuman.
"Lho, kok, masih tante saja, sih manggilnya. Panggil Mama, dong. Kami ini kan keluarga kandung kamu, Ge …." ucap Papa Gea dengan ramah.
Gea menyalami semua orang di sana, termasuk orang yang sudah sepuh. Tenyata, dialah memang Nenek dari Vella. Tatapan Nenek kepada Gea juga sangatlah berbeda. Terlihat sangat jelas jika Nenek itu tak menyukai kehadiran Gea.
"Nenek, selamat pagi. Sa ...." tangan Gea di tepis, lalu Nenek memalingkan wajahnya.
"Nek, kok gitu, sih? Gea kan mau bersalaman dengan Nenek," ucap Vella.
"Kamu sudah berani bentak, Nenek? Kurang ajar sekali kamu!" sulut Nenek dengan nada tinggi.
" .... "
"Maaf ... Vella tidak bermaksud seperti itu, Nek," ucap Vella lirih.
"Masuk semua!" perintah Nenek.
Kecanggungan itu membuat Gea semakin tidak enak berada di sana dalam waktu yang lama. Ia pun duduk di antara Vella dan Mama Gege.Tatapan Nenek kepada Gea juga sangat sinis, membuat perasaan Gea semakin serba salah.
"Maaf sebelumnya ...," ucap Gea.
"Siapa yang menyuruhmu berbicara? Dasar anak tidak tau sopan santun! Duduk yang tegak dan dapatkan lututmu!" tegas Nenek, membuat hati Gea menjadi gelisah.
"Buk, jangan seperti itu. Gea baru saja pulang, dia anak Rendra, Buk. Dia putri kedua kami yang hilang," ucap Papa Gea dengan lembut.
"Rendra!" teriak Nenek itu.
"Jangan karena sempel darah dan tanda lahir saja, kamu percaya kalau dia anak kandungmu. Jangan-jangan dia hanya penipu yang ingin uangmu saja. Seperti yang sudah-sudah!" decit Nenek.
"Tapi, Nek ...." sela Vella.
"Diam! Orang tua sedang bicara, kamu jangan ikut campur!" banyak Nenek. "18 tahun lalu … setelah anakmu lahir, Ibu memberi dia kalung dengan liontin yang sama dengan punyanya istrimu dan Vella Rendra, ayo tunjukkan!" lanjut Nenek.
Dengan pelan, Mama Gege dan Vella melepas dan menunjukkan kalungnya. Memang benar adanya liontin itu pada Gea. Sama persis dengan kalung berliontin yang sama, yang pernah nenek angkat Gea berikan kepadanya waktu itu.
"Sebelumnya, saya mohon maaf dulu. Saya juga pernah memiliki liontin seperti itu, tapi mata berliannya berwarna biru muda," ucap Gea.
"Benar sekali, milik Mamamu putih, milik Vella merah muda dan milikmu warna biru muda. Dimana kalung itu sekarang?" tanya Rendra.
"Sudah saya jual, Om. Eh, Papa," jawab Gea tanpa gugup.
"Apa? Kalung dan Liontin itu di pesan secara kusus. Kamu malah menjualnya? Apa kamu mau menipu kami ha? Dimana otakmu!" Nenek itu terus saja bicara dengan nada yang tinggi.
"Ibu, sabar, dong. Mungkin waktu itu memang Gea membutuhkan uang. Sudahlah, yang penting Gea sekarang sudah kembali," ucap Rendra berusaha mencairkan suasana.
"Liontin itu masih ada, kok, Nek. Hanya kalungnya saja yang saya jual. Karena tidak mungkin, saya menjual identitas saja. Sebentar saya tunjukkan liontin itu," Gea sudah sedikit kesal, namun masih ia tahan kekesalannya.
Gea mencari terus liontin itu, akhirnya ketemu. Liontin itu ada pada gelang pemberian dari Kakeknya waktu kecil. Bergegas Gea menyerahkan liontin itu kepada Nenek.
"Gea, kamu baik sekali, Nak." ucap Mama Gege meneteskan air mata.
"Kamu benar adikku. Nenek, lihatlah! Liontin ini sama persis, dan asli. Gea adalah cucu Nenek, anak kedua dari keluarga ini," sahut Vella dengan penuh bangga.
Kali ini Neneknya tidak bisa mengelaknya. Bukti liontin itu memang menunjukkan jika Gea adalah bagi yang sudah ia buang 18 tahun yang lalu di tempat sampah.
Nenek hanya diam, masih memasang wajah angkuhnya.
"Baiklah!"
"Mulai sekarang, kamu bisa memanggil mereka Mama dan Papa. Tapi, aku tetap tidak menyukai akan kehadirannya," desis Nenek.
"Malam ini ada pertemuan di rumah calon suami Vella. Jadi, kalian bersiap lebih awal malam nanti. Terutama kamu Gea, aku tidak ingin kamu mempermalukan keluarga ini!" hardiknya.
" .... "
"Hem, Ale ... kakak dari Pak Zaka."
Gea hanya mengangguk saja. Ia tak ingin memulai perdebatan lagi dengan Neneknya. Karena semakin Gea menentang, Neneknya akan semakin membencinya.
Pagi itu juga, Rendra berpamitan berangkat ke kantor. Ia menjanjikan Gea untuk mengajaknya lain hari. Ia ingin memperkenalkan Gea kepada rekan kerjanya nanti.
"Ayo nak, Mama dan Kakakmu akan menunjukan kamar barumu. Mama tadi sudah menghias kamar barumu," ajak Mama Gege dengan semangat.
"Dan ... mulai besok, setiap pulang pergi sekolah, aku yang akan mengantar dan menjemputmu." timpal Vella.
Gea harus mulai bersyukur. Berkat kesabarannya, kini ia sudah bertemu dengan keluarga kandungnya. Meski ada salah satu anggota keluarga yang tak mengharapkan kehadirannya, namun semua itu tak membuat hatinya gentar.
Ia sudah sering mendapat hinaan dan cacian. Perkataan Neneknya, sama sekali tak menyentuh hatinya. Jadi, ia tak akan mengambil pusing ucapan Nenek yang sangat menusuk di kemudian hari.
****
Malam yang di nanti telah datang. Ini kali pertama bagi Gea memaki gaun yang sangat indan dan berkelas. Terlihat begitu anggun dan cantik dengan riasan natural. Semua keluarga memuji kecantikannya, namun tidak. dengan Neneknya yang terus menganggapnya tidak ada."Nona, saya akan mengganti anting-anting anda. Yang itu kurang cocok dengan warna baju yang Nona pakai," ucap salah satu pelayan di rumah itu.
"Tapi, aku menyukai anting ini," jawab Gea.
"Kamu ini ya, anting itu sudah usang. Mana jelek dan murahan. Sebaiknya kamu menurut saja!" Lagi-lagi Nenek marah-marah tidak jelas.
Mau bagaimana lagi, dari pada berdebat dengan Nenek dan membuat pandangan buruk di keluarga, akhirnya Gea mau memakai perhiasan yang sudah di siapkan oleh pelayan.
"Kampret!" umpat Gea dalam hati. "Bisa mati kering aku di sini!"
Perjalanan begitu lama, karena mereka terjebak macet. Karena merasa pusing, Gea tertidur di mobil. Sesampainya di rumah Ale, Gea merasa jika ia sudah pernah melihat rumah itu sebelumnya. Karena ia pernah datang ke rumah itu, meski tidak masuk ke dalam. Saat ia stalking rumah Pak Zaka. Seketika ia teringat akan laki-laki yang sangat ia cintainya itu.
"Ge," panggil Nenek.
"Iya …." jawab Mama Gege dan Gea bersama.
Nenek berencana akan memanggil Gea dengan nama Gladys, sedangkan Gege tetap saja Gege. Tapi, Gea tidak mau dipanggil Gladys karena ia sudah nyaman dengan para Gea.
Saat hendak protes, Vella mengedipkan matanya. Gea tahu, jika saat ini dia tidak bisa protes. Nenek sungguh berkuasa atas keluarga saat ini. Gea hanya mengangguk pelan dengan senyuman palsunya.
"Bagus!" ucap Nenek. "Ayo masuk sekarang. Lalu, untukmu Gea … berperilaku-lah sesuai dengan keluarga besar. Jangan buat malu, paham?" Nenek sangat menyulitkan Gea.
Gea lagi-lagi hanya mengangguk. Mereka pun masuk bersamaan. Di dalam, sangat banyak orang yang tak Gea kenali. Para wanita memakai gaun anggun dan bermerk, para lelaki meski sudah berumur juga terlihat berwibawa.
Nenek memperkenalkan Gea kepada keluarga Ale dan para tamu undangan. Terpaksa ia lakukan karena ingin terlihat luar biasa dimata orang lain. Setelah selesai berkenalan, Gea berpamitan kepada Nenek untuk berjalan-jalan sebentar saja di rumah itu.
"Baiklah. Tapi ingat ... jangan sampai kamu membuat keributan di sini. Jaga image keluarga!" tegas Nenek.
Gea mengangguk lagi. Ia terus melihat-lihat seisi ruangan rumah Ale dengan seksama. Rumah yang sangat elegan dan mewah membuat matanya sakit melihatnya.
"Weh, jiwa miskinku meronta-ronta. Harganya bikin sakit jantung. Aku tukang bangunan juga, pasti taulah harga matrial rumah ini," batin Gea masih mengagumi setiap sudut rumah itu.
"Kenapa dengan jantungku, ya? Tiba-tiba saja berdebar. Seakan ingin bertemu dengan orang yang sudah lama tak aku temui." imbuhnya.
-o0o-
Disisi Ale pun juga begitu. Ia tidak bisa mengontrol detak jantungnya dan membuat perasaannya gelisah. Mereka mulai mendekat, itu kenapa jantung Ale dan Gea berdebar kencang.
"Lagi-lagi perasaan ini. Terakhir kali, aku merasakan ini juga di rumah sakit. Ada apa dengan jantung Zaka? Apakah dia tidak ikhlas mendonorkan jantungnya untukku?" batin Ale.
Bruuk!
Ale dan Gea bertabrakan, kue yang dibawa Ale juga mengotori gaun indah Gea."Aduh, gaunku kotor. Pasti Nenek tua itu ngomelin aku lagi nanti. Ah … sudahlah, aku sudah lelah dengan drama orang kata ini!" dengusnya.
"Hey, kamu anak kecil itu, 'kan? Yang di rumah sakit? ngapain kamu kesini?" tanya Ale. "Wah, lihatlah! Kau mengotori lantai rumahku. Ini harganya sangat mahal tau!" ketus Ale.
"Om yang salah! Kenapa jalan nggak lihat-lihat, sudah tau bawa kue … masih aja jalan nya meleng gitu!" sulut Gea.
Gea membuat Ale kesal. Ia sampai menyentil kening Gea dengan jarinya seraya berkata, "Om? Kamu panggil aku, Om?" sungutnya.
"Kalau iya kenapa, ha? Marah? Mau marah, Om?" Gea semakin geram dengan Ale.
Namun, di tengah-tengah perdebatan mereka di tengahi oleh Vella yang menghentikan perdebatan konyol mereka. Vella tidak menyangka jika Ale masih mengingat Gea.
"Tuan Ale, tolong maafin adik aku, ya." katanya. "Dan untukmu Gea … minta maaflah dengan Tuan Ale. Kamu tidak sopan jika bersikap seperti itu. Beliau ini adalah calon iparmu, Ge!" bentak Vella.
Ale hanya menatap Gea saja, ekspresi wajahnya berubah ketika Vella membentaknya. KArena itu permintaan kakaknya ... akhirnya Gea mau minta maaf kepada Ale dan tidak akan mengulangi sikap buruknya dikemudian hari.
"Adik?"
"Adik darimana? Bukan kah … kamu putri tunggal dari Tuan Rendra?" tanya Ale dengan tatapan tajamnya.
"Sebenarnya ... dia adalah adik kandungku yang hilang selama 18 tahun, Tuan. Dan kami baru saja bertemu," jelas Vella.
"Baiklah, ini semua demi Kakakku. Maafin aku!" ketus Gea mengulurkan tangannya.
"Em …." Ale hanya mengangguk-angguk saja. Ia juga tidak ingin memperpanjang masalah sepele, karena akibatnya akan fatal. Menyadari jika Nenek dari Vella memiliki tempramen yang sangat buruk.
Saat mereka bersentuhan, ada rasa yang berbeda. Mereka seperti tersengat listrik yang membuat mereka terkejut. Lalu, kemudian saling menatap. Gea pun cepat-cepat mengajak Vella untuk menjauh dari Ale.
"Gea …."
"Gea, kenapa dengan dirinya? Ada apa dengan dirinya. Dia seperti memiliki magnet yang bisa menarikku ke dunianya. Siapa dia?" Gumam Ale.
Pandangan Ale terus tertuju kepada Gea meski dari jauh. Memastikan kembali dengan apa yang tejadi pada perasaannya. Jantungnya terus berdesir ketika setiap kali menyebut nama Gea.
Malam itu pertama kalinya bagi Gea tidur di kasur yang sangat empuk dan nyaman. Ruangan ber-AC dan sangatlah nyaman dari kamar sebelumnya. Ia terus menatap ke seluruh ruangan. Setiap sudut ia pandangi dengan jelas. Begitu indah dan cantik kamar miliknya.Di sisi lain, Ale juga masih terus kepikiran dengan Gea. Ia selalu memikirkan Gea setelah acara usai, namanya mungkin masih asing baginya. Namun, tidak dengan jantungnya yang terus berdebat dj kala ia memikirkan Gea.Tok ... tok ... tok....Suara pintu diketuk, ialah Mama Ale yang mengetuk. Ia hendak menanyakan bagaimana kondisi Ale yang sekarang setelah melakukan operasi jantung."Bagaimana jantung kamu?""Kenapa harus Zaka, sih, Ma? Ak memang tidak menyukai keberadaannya. Tapi, aku juga tidak tega jika jantungnya di donorin untukku!" desis Ale."Itu permintaannya yang terakhir, Ale. Lihatlah, ini ponsel
"Kak Aldi? Apa yang dia lakukan? Kenapa bisa lompat dari kamar, Kak Vella? Apa peduliku, itu bukan urusanku. Mending aku sambung tidur saja, aku sangat lelah untuk malam ini, huaamm …." ucap Gea.Gea menyambung tidurnya kembali. Ia harus sekolah besok pagi. Keesokan harinya, Gea sudah bangun sangat pagi dan membantu Si Mbok di dapur menyiapkan sarapan untuk semua orang.Ketika di meja makan, Gea masih asing dengan suasana itu, ia melihat Neneknya makan dengan sangat anggun. Kedua orang tuanya juga makan tanpa bicara sepatah apapun. Akan tetapi, Gea belum melihat Vella pagi itu."Mbak? Panggil Vella untuk sarapan," perintah Nenek."Baik, Nyonya besar." jawab Mbak Ning (Asisten pribadi Nenek).Tak lama setelah itu, Vella keluar dari kamarnya. Anehnya ia menggunakan syal pagi itu, bahkan cuaca pun juga tidaklah dingin. Gea sebenarnya sudah menduga jika Vella menutupi cupang di lehernya, sebab ia melihat Aldi melompat dari kamarnya semalam. Tida
Ale melanjutkan perjalananya. Sampailah mereka kesebuah rumah yang sangat indah nan asri. Rumah sederhana dengan di penuhi tanaman bunga yang cantik."Wah, Om … ini rumah siapa?" tanya Gea memandang keseluruhan tempat."Mulai saat ini kau harus memanggilku dengan namaku. Aku tidak suka dipanggil dengan sebutan itu, Ge," kesal Ale."Memangnya kenapa jika aku memanggilmu dengan sebutan, Om?" ledek Gea."Setiap kali kau memanggilku dengan sebutan itu. Hawanya … inginku mentransfer mulu ke rekeningmu!"Ale kembali menarik tangan Gea dan memasukkannya ke dalam kamar di rumah itu. Lagi-lagi Ale berbuat kasar kepada Gea. Entah kenapa Gea merasa jika ada yang aneh dengan Ale.Tak ada hal membahayakan lainnya yang dilakukan Ale. Dia hanya mengurung Gea di kamar tanpa melakukan apapun."Woy!"
Vella menolak mengugurkan bayinya. Menurutnya, itu adalah lambang cinta dengan Aldi, lelaki yang sangat ia cintai."Kamu nggak mau? Kalau begitu kamu pergi dari sini!" usir Nenek."Ibu, ibu kenapa jadi begini, sih?" Rendra ingin menengahi permasalahan itu. "Saat ini, Vella itu butuh dukungan dari kita, bukan malah kita menambah beban hidupnya lagi dengan mengusirnya dari rumah, Bu ...." imbuhnya.Nenek menepis tangan Rendra."Apa? Dukungan? Rendra! Anakmu ini hamil sebelum menikah! Malah suruh mendukung, kamu sudah gila?" sulut Nenek."Vella tetap harus di rumah ini!" hardik Rendra."Vella ... masuk ke kamar! Kita akan bicarakan ini nanti," lanjutnya."Rendra!" bentak Nenek."Aku berusaha menjadi ayah yang bijak, Buk. Aku lelah sekali hari ini, jadi biarkan aku istirahat dulu dan kita bicarakan hal ini esok hari," jelas Rendra.Rendra pergi dari ruangan itu dan menyendir
"Kak Ale ….""Jangan seperti ini, dong? Aku kan jadi takut," lirih Gea.Alih-alih memelas, Gea malah membuat Ale semakin bergairah. Tubuh Ale seperti bergetar melihat posisi menggairahkan tubuh Gea. Seperti kucing yang menggeliat ingin di elus-elus."Kamu yang harus menanggung, siapa suruh kamu mancing-mancing nafsuku," goda Ale."Aku nggak mau, Kak!" Gea mendorong tubuh Ale dengan sekuat tenaga."Aku ini masih sekolah tau. Lepasin aku, Kak …." suara Gea semakin mengecil dan akhirnya hanya memejamkan matanya.Tangannya tidak memberontak lagi. Ale pun mencium pipi Gea dengan lembut. Gea menangis lirih, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Ale yang menyadari gadis kecilnya menangis, langsung melepas tangannya dan meminta maaf. Ia tak menyangka jika candaannya membuat Gea ketakutan."Hey,
Bruak!Pintu di tutup oleh Ale sangat keras. Ia sangat marah karena Gea tidak mau menurut dengannya. Ale hanya ingin, Gea mau bersamanya sementara waktu. Agar ia bisa dengan mudah menjaga Gea sesuai dengan wasiat Zaka."Sakit, Kak!" rintih Gea. "Bisa nggak, sih, Kak Ale itu lebih lembut memperlakukanku?" Kesal Gea."Lebih lembut? Memangnya yang lebih lembut itu yang bagaimana?" goda Ale. Ale sangat suka menggoda Gea, karena Gea selalu terlihat lucu ketika dirinya menggodanya."Ya, jangan ... em jangan tarik-tarik gitu, dorong-dorong itu juga janganlah!" ucap Gea merasa gugup, karena Ale mulai mendekatinya lagi."Kak, jangan kayak gini, dong …," Gea mulai takut, saat Ale menyentuh bahunya.Bukan hanya di bahu, Ale juga menyentuh pinggang Gea dengan lembut. Tentu saja membuat Gea menggeliat, namun Ale malah men
Cahaya mentari pagi menerobos masuk melalui celah ventilasi dan menembus gorden tipis kamar pribadi di hotel milik Ale. Saat ini, posisi tidur Gea berada di zona bahaya, tangannya masuk kedalam celana Ale saat itu.Jarum jam terus saja berputar, Ale sudah tak tahan lagi dengan posisi alat tempurnya yang tegak, siap siaga akan kerang masuk ke dalam lubang. Sudah beberapa kali juga ia membangunkan Gea, tetapi tetap saja gadis kecilnya tidak bangun juga. Tangannya terus saja memegangi adik kecil milik Ale sembari di cubit-cubit di bagian kepalanya."Astaga, semakin mengeras. Kenapa juga bisa begitu, sih? Sadar diri kalau nih anak masih bocil!" kesal Ale dalam hati.Kembali Ale terus berusaha membangunkan Gea. Namun, Gea masih saja enggan untuk bangun. Bahkan seorang malah menggesek-gesekkan pipinya di lengan Ale. Perlahan, Gea membuka matanya, melihat sekeliling kamar yang indah, rapi nan bersih.
"Hey, lihat! Pemeran utama kita telah datang!" sorak Aurel menepuk tangannya ke meja.Semua murid menatap ke arah Gea dengan tatapan penuh tanda tanya. Semua telah terhasut oleh isu Aurel yang mengatakan jika Gea memiliki sugar daddy, dan merebut tunangan dari kakaknya."Aurel!" teriak Leni."Jika kamu tidak tau apa-apa, mendingan kamu diem aja. Bacot, lu!" sulut Azka membela Gea."Eh, asal kalian berdua tau aja nih. Sahabat lu ini pelakor!" Aurel tetap saja memfitnah Gea."Pelakor kayak dia seharusnya di depak dari sekolah. Buat malu aja ih, jijik banget. Udah berapa kali lu di booking sama tuh Sugar Daddy lu?" hina Aurel."Apaan, sih? Eh, lampir, lu kan yang menjadi peliharaan sugar daddy? Ngaku aja deh, lu!" Azka sudah emosi dengan pernyataan Aurel yang terus memojokkan Gea sebagai pelakor.Aurel mengepalkan tangannya, ia hendak mengelak apa yang dikatakan Azka kepadanya. Namun memang benar jika i
"Aku iri denganmu, Mut," kata Bella mengemudi sedikit pelan."Iri kenapa?" tanya Mutiara."Kamu begitu menyayangi adikmu, begitu juga sebaliknya. Persaudaraan kalian juga begitu dekat. Aku, mana ada saudara, punya saudara satu aja di jauhkan dariku," ungkap Bella menatap Mutiara."Aku kan ada di sini sekarang. Jangan sedih lagi ya, masih ada kesempatan buat kita main, kok, hehehe …." Mutiara sangat berhati besar. Ia mampu menerima Bella sebagai saudaranya dengan mudah.Sesampainya di kampus, Mutiara sudah ditunggu oleh sahabatnya. Mereka seperti tak bisa dipisahkan. Jesica menyapanya dan melambaikan tangan juga kepada Bella."Pagi, sista ... tumben nggak bawa kendaraan sendiri, siapa dia?" sapa Jesica sekaligus bertanya.
Hal mengejutkan terjadi ketika mereka bertiga kembali ke rumah. Bendera kuning, tenda yang sudah berdiri dan tetangga rumah semua datang dengan baju hitam-hitam. Mutiara langsung melepas genggaman tangan Ale, begitu juga Ivan yang melepaskan rangkulannya."Papa!"Baik Mutiara maupun Ivan sudah tahu tentang keadaan Tuan Nathan akhir-akhir itu. Tuan Nathan sering merasakan sakit, merasa dingin dan juga wajahnya selalu terlihat pucat ketika mereka bersama. Mutiara dan Ivan langsung berlari masuk ke rumah.Benar saja, Tuan Nathan sudah terbaring kaku di selimuti kain jarik. Di sampingnya, Gea terlihat sedang menangis dan berusaha tenang atas kepergian Tuan Nathan. Penyakit Tuan Nathan kembali kambuh saat Ale mengajak anak-anak pergi jalan-jalan."Papa!""Papa
Malam bertabur bintang. Ale sedang mengajak Mutiara, sang putri berjalan-jalan mengitari kota hanya berdua saja. Dengan tenang, Gea dan Tuan Nathan mengizinkan anak dan Ayah itu menghabiskan waktu bersama."Jadi, pacar baruku … Malam ini kita mau makan apa?" canda Mutiara."Hello Tuan putri. Terserah Tuan putri mau makan apa malam ini. Semuanya, akan aku Ayah turuti apa maumu," jawab Ale."Ayah, bisakah kita terus menghabiskan waktu bersama?" tanya Mutiara."Tentu saja!""Lalu bagaimana dengan Bella? Bukankah dia juga anak Ayah selama ini?""Aku bertemu dengan Bella hanya setahun sekali. Lagi pula, dia sudah menemukan Ayahnya. Kenapa pula harus repot?"Sejak hari itu, pulang pergi ke kampus, Mutiara dan Ivan selalu bersama dengan Ale. Mereka juga menghabiskan waktu bertiga bak Ayah dengan sepasang anak
Dikarenakan mobil Ale sedang mogok, terpaksa Ale bersama dengan Gea dan Ivan pulang naik taksi. Ketika dalam perjalanan, sengaja Ivan duduk di depan, agar Gea dan Ale leluasa mengobrol.Tetap saja, Gea hanya diam saja, bahkan mengalihkan pandangannya dari Ale. Hal itu membuat Ivan sedih, karena terlihat sangat jelas jika Mamanya masih menyimpan rasa dendam terhadap Ayah dari kakaknya itu."Kita sudah sampai, biarkan barangnya aku yang bawa. Mama bisa mengajak Ayah Ale masuk lebih dulu." ujar Ivan turun lebih dulu.Awalnya, Ale sangat canggung jika harus mampir di rumah mantan istrinya. Terlebih, ia masih sangat mencintai mantan istrinya itu.Namun, demi bisa bertemu dengan Mutiara, ia harus menghilangkan rasa gengsi yang selalu tertanam dalam hatinya."Ini kesempatanku. Supaya aku bisa minta maaf kepada putriku, atas selama ini … aku tidak pernah menjenguknya." gumam
"Sakit? Tangan ini kan yang kau gunakan untuk menamparku?" tanya Mutiara dengan santai. Beberapa temannya mulai membantu lagi. Lelaki itu dilepas olehnya. Mutiara kembali menarik tangan teman dari lelaki itu sebagai jaminan supaya lelaki yang menamparnya mau meminta maaf kepadanya. "Apa kau tidak tau? Dia ini adalah Anggara, anak dari kepala yayasan kampus ini. Apakah kau ingin mencari ribut dengannya?" ucap salah satu temannya. "Aku nggak mau tau siapa dia. Jika dia anak kepala yayasan, lantas … aku harus gimana?" sahut Mutiara masih santai. Anggara membantu melepaskan temannya dari cengkraman Mutiara. Dengan sengaja Mutiara melepaskan dan membuat cowok mesum tadi tersungkur ke tanah. "Segini doang?" tanya Mutiara meremehkan mereka. "Otak kalian berdua kosong, gaya sok preman, berani sentuh sahabatku pula. Beruntung kalian nggak masuk rumah sakit hari ini. Ayo
"Selamat pagi Tante," sapa Jesica pagi itu."Eh, Jesi, ya? Pagi, sayang. Kuliah di sini juga?" tanya Gea dengan ramah."Iya, dong. Kan aku sama Muti udah klop banget, susah mau jauh, Tante!" seru Jesica memulai celoteh tak berfaedahnya.Jesica adalah sahabat satu-satunya Mutiara sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Di kampus, mereka juga akan menjadi teman seperjuangan lagi dalam menganyam pendidikan."Kamu datang sendirian?" lanjut Gea."Sama Mama tadi. Cuma, langsung ke butik," jawab Jesica. "Anaknya di tinggal saja, Tante. Akan aman bersamaku, percayalah!" imbuhnya dengan senyum konyolnya.Gea menatap putrinya. Ia tidak menyangka jika putrinya sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik
Pertemuan antara anak dan ayah ini juga sangat mengharukan. Dalam sekejap, Bella berubah menjadi gadis yang baik. Perihal racun itu, Tuan Nathan dan juga Gea sudah memaafkannya, Gea memberikan kesempatan Bella supaya bisa berubah."Kenapa kalian tidak marah kepadaku?" tanya Bella dengan wajah bersalah.Gea tersenyum, kemudian membelai rambutnya dengan lembut. Ia berkata, "Sudahlah, kamu membenci kami juga karena kamu berpikir kami akan memisahkanmu dari Papa Ale-mu, bukan?""Tenang saja, kakakku, dan kedua orang tuaku tidak mungkin menghancurkan kebahagiaanmu, Kak Bella," imbuh Ivan memberikan makanan baru yang ia bawa bersama dengan pelayan.Bella benar-benar merasa malu dengan Gea. Ia membenci Gea tanpa alasan yang belum tentu terjadi. Malam itu, Bella tak perlu ke hotel untuk istirahat. Aldi de
Sebelum Mutiara masuk ke mobil, ia menghampiri Rico dan meminta maaf jika dirinya selalu mengacuhkannya. Kejadian malam itu, membuat Mutiara sadar, jika dirinya memang jatuh cinta kepada pria yang beberapa minggu terakhir dekat dengan dirinya itu."Selamat tinggal, Rico. Jika aku ada salah, aku mohon maafkan kesalahanku, baik di sengaja atau tidak," ucap Mutiara tanpa menatap menatap mata Rico."Jangan pernah mengucapkan kata selamat tinggal jika di hati kita masih berharap pertemuan. Maafkan aku karena waktu itu aku sudah mengecewakanmu, Mutia. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku." Rico memberikan sesuatu di tangan Mutiara.Kali ini, tatapan Mutiara penuh dengan arti untuk Rico. Ia hanya berharap, jika rasa sukanya hanya sekadar angin lalu saja. Tapi masa-masa SMA tidak akan datang untuk yang kedua kalinya, masa-masa indah y
"Sial! Apa yang sudah aku lakukan?" umpat Rico menyalahkan dirinya sendir. "Sekarang, apa yang akan Mutia pikirkan tentangku? Kenapa aku sangat gegabah?"Rico terus menyalahkan dirinya sendiri. Sementara itu, Mutiara tengah kesulitan mengatur debaran jantung yang tak seperti biasanya. Jantungnya berdebar hebat, apalagi ketika Rico menyentuh kulit dada miliknya."Kenapa jantungku berdegup cepat begini?" gumamnya. "Sebenarnya … rasa apa yang kurasakan saat ini. Lalu, kenapa ketika Rico menciumku, aku hanya bisa diam dan tidak menolak?" ujarnya menyentuh tanda merah yang diukir oleh Rico."Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Apa aku jatuh cinta kepadanya? Tapi apa yang membuatku jatuh cinta dengannya?"Pertanyaan-pertanyaan kecil selalu muncul dalam pikirannya. Mutiara tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini, yang ia rasakan hanyalah debaran jantung yang cepat dan juga rasa kegelisah