Nuansa klasik menyambutku kala memasuki kafe. Sebuah kafe sederhana yang terletak di tengah-tengah kota dengan menu yang disajikan yaitu aneka kopi dan makanan ringan. Beberapa pelayan mulai bersiap untuk membuka kafe. Kafe ini sangat diminati oleh orang-orang yang akan pergi ke kantor maupun mahasiswa yang akan berangkat ke kampus. Kafe buka saat jarum jam tepat di angka 9.
Semua pelayan seketika menghentikan aktivitasnya lalu membungkuk hormat kearahku, “selamat pagi, nona,” sapa mereka bersamaan.
Aku tersenyum, “pagi.”
Inilah kehidupanku, sebagai pemilik kafe yang memegang kendali 10 karyawan. Sudah tiga tahun, aku menjalani rutinitas ini dan kafe ini semakin lama semakin banyak dikenal. Tugasku disini hanyalah memeriksa pengeluaran, memantau, dan sisanya bersantai. Aku berniat untuk mencari rekan untuk membantuku mengembangkan kafe ini. Namun mendapatkannya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.
Kudorong perlahan pintu di depanku lalu masuk ke dalam ruangan pribadiku. Ruangan yang hanya berukuran 5x5 meter, namun dengan perabotan yang lengkap. Kusandarkan punggungku di sofa sembari menghela napas pelan. Keputusanku untuk berangkat pagi merupakan sebuah kesalahan, karena biasanya aku akan datang pukul 10 siang. Sekali lagi, aku menghela napas merutuki kebodohanku sendiri.
Sebuah ketukan pintu membuatku segera memperbaiki dudukku lalu menatap kearah pintu, “masuk.”
Pintu terbuka perlahan dengan seorang laki-laki berpakaian karyawan memasuki ruangan. Dia membungkuk kearahku lalu berucap, “maaf mengganggu, Nona Carissa.”
Aku tersenyum lalu menggeleng, “tidak sama sekali. Ada perlu apa, Beni?”
Laki-laki itu menegakkan tubuhnya sembari menatapku, “maaf, Nona. Persediaan kopi kita mulai menipis dan kemarin saya lupa untuk mampir di agen penjual kopi. Saya benar-benar minta maaf, Nona. K-Kalau boleh, saya akan keluar untuk membeli kopi?”
Aku berpikir sejenak lalu mengangguk. Aku mengambil beberapa lembar uang lalu berdiri, “dimana posisimu bekerja?”
“Sebagai kasir, Nona.”
“Baiklah. Pergilah, dan beli apa yang kurang di kafe. Aku akan menggantikan posisimu untuk hari ini,” kuserahkan uang di tanganku padanya.
Beni menatapku terkejut sekaligus tidak percaya, “N-Nona akan ikut bekerja?”
Aku mengangguk mantap. Tidak ada salahnya ikut bekerja, daripada aku terus diam di dalam ruanganku.
Beni menggelengkan kepala, tidak menyetujui usulanku, “tidak perlu, Nona. Biar yang lain saja yang menggantikan saya. Nona tetap di ruangan Anda.”
Aku tersenyum dan berusaha untuk menyakinkannya, “bukan masalah bagiku. Kamu bisa pergi dengan tenang, aku akan menjaga kasirnya. Apa uangnya cukup?” aku kembali menyodorkan uang di tanganku padanya, memastikan jumlah yang cukup.
Beni menerimanya lalu mengangguk, “kalau begitu, saya permisi, Nona.” Beni berjalan keluar ruangan dan menghilang di balik pintu.
Aku pun segera keluar ruangan. Kafe baru saja di buka, dan sudah ada beberapa orang yang sudah duduk di kursi sembari menunggu pesanan. Tugasku adalah melayani pembayaran, maka dari itu aku harus berdiri di di belakang meja kasir. Di posisi saat ini, aku bisa melihat karyawanku yang bekerja.
Seorang pelayan berjalan mendekat kearahku dengan tatapan tidak percaya, “Nona? Kenapa Anda ada disini?”
Aku tersenyum, “Beni sedang membeli kopi jadi aku menempati posisinya. Hanya untuk hari ini.”
“Tapi, Nona. Yang lain juga bisa menggantikannya. Anda tidak perlu susah payah untuk menggantikan Beni,” balasnya.
Aku tersenyum sembari mengibaskan tanganku, “bukan masalah, Mako. Aku juga ingin melihat bagaimana karyawanku bekerja.”
Mako hanya bisa mengangguk pasrah mendengar jawaban dariku, “jangan memaksakan diri, nona. Jika lelah, anda bisa istirahat.”
Aku tersenyum dan mengangguk, “Mako, boleh aku minta segelas kopi?”
Mako tersenyum lebar, “dengan senang hati, Nona. Akan segera saya siapkan.” Mako membungkuk lalu berjalan cepat menuju ke dapur.
Pelanggan masih belum ada yang berdiri di depan kasir, dengan kata lain aku bisa bersantai sembari menunggu kopiku dihidangkan. Belum sampai sepenuhnya aku duduk, seorang pembeli sudah berdiri di depan kasir. Aku pun mau tidak mau segera berdiri dan melayaninya, “totalnya 30 ribu.”
Pelanggan tersebut menyerahkan uang yang dipegangnya padaku.
Tanganku menerimanya lalu tersenyum, “terima kasih atas kunjungan Anda.”
Pelanggan tersebut tersenyum lalu melambaikan tangan sembari melangkah keluar kafe. Pelanggan keluar kafe bersamaan dengan seorang laki-laki berjas rapi memasuki kafe dan mencari tempat duduk.
Mataku mengikuti arah langkahnya hingga dia duduk di dekat jendela. Entah kenapa aku tidak asing dengan laki-laki itu. Tapi aku tidak bisa mengingat kapan bertemu dengan laki-laki itu.
“Silahkan nona,” secangkir kopi di hidangkan di depanku membuat lamunanku seketika buyar.
Kepalaku menoleh kearah Mako yang berdiri tidak jauh dariku, “terima kasih, Mako.”
Mako mengangguk lalu kembali ke posisinya bekerja.
Aroma khas kopi hitam memenuhi rongga hidungku, membuatku tertarik untuk mencicipinya. Menikmati kopi di pagi hari memang yang paling nikmat karena sejak dulu aku sudah menyukainya. Hingga sekarang sudah banyak aneka rasa dan jenis kopi yang kucicipi, beberapa kuhidangkan dalam menu kafe ini.
“Carissa!” sebuah pekik dari seorang wanita membuatku seketika menoleh kearah pintu masuk.
Wanita itu berdiri di depanku sembari tersenyum lebar, “hai, Carissa.”
Aku ikut tersenyum, “ada apa, Widi?” dia adalah sepupuku yang masih kuliah dan sebentar lagi akan lulus.
Widi mendekat padaku lalu menarik kursi dan duduk. Senyumnya masih sama seperti sebelumnya, “aku hanya berkunjung.”
Aku pun duduk di kursi yang tersisa menatap kearahnya, “tidak ada kelas hari ini?”
Widi mengalihkan wajahnya dengan sorot mata malas, “nanti siang dan aku malas masuk.”
Aku terkekeh pelan lalu berdiri saat tahu seorang pelanggan berjalan kearah kasir, “aku juga tidak pernah melihatmu semangat masuk kuliah.” Tanganku segera menjumlah pesanan pelanggan di depanku lalu menyebutkan nominal yang harus dibayar oleh pelanggan tersebut. Aku mengulas senyum kearahnya sembari menerima uang darinya, “terima kasih atas kunjungan anda.”
Pelanggan tersebut tersenyum lalu keluar kafe.
Widi yang duduk di depanku tiba-tiba berdiri, “aku akan mencari sarapan.”
Aku melirik sekilas kearahnya namun segera kembali ke tugasku, “pastikan kamu membayarnya.” Seorang laki-laki dengan suit abu-abu berdiri di depanku, dengan sigap aku segera melayaninya dan menyebutkan nominal yang harus dibayarnya.
Laki-laki itu mengeluarkan kartu kredit dan menyerahkannya padaku. Aku pun menerimanya lalu menggeseknya di alat khusus dan segera memintanya untuk mengisikan password. Setelah selesai, kartu yang kupegang segera kukembalikan pada pemiliknya, “terima kasih atas kunjungan anda, tuan.”
Laki-laki di depanku menerima kembali kartunya lalu tersenyum, “dengan senang hati, aku akan berkunjung setiap hari, Nona.”
Aku terdiam dengan senyum tertahan. Aku tidak tahu bagaimana membalas ucapannya dan pada akhirnya kalimat yang keluar dari mulutku adalah terima kasih.
Laki-laki di depanku tertawa pelan melihat reaksiku. Hal itu justru membuatku harus menahan malu di depannya. “Sampai jumpa lagi, Nona,” laki-laki itu melangkah keluar kafe dan menghilang dari pandanganku.
Segera kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Aku benar-benar malu saat ini. Ingin rasanya aku tenggelam saja ke laut. Sial! Bagaimana jika aku bertemu dengannya lagi? Aku harus bersikap bagaimana? Astaga!
“Kenapa, Carissa?” suara dari Widi seketika menarikku kembali ke dunia nyata.
Aku segera menoleh kearahnya lalu tersenyum, “bukan apa-apa.”
Widi hanya mengangguk lalu duduk di kursinya, mulai menikmati sarapan di tangannya. Aku pun segera kembali fokus pada tugasku. Satu pelanggan, dua pelanggan hingga tiga pelanggan bergantian berdiri di depanku.
“Carissa,” Widi membuka suara setelah sarapannya habis.
Aku hanya bisa meliriknya sekilas karena harus fokus pada pelanggan di depanku, “apa? Aku sedang sibuk. Kita bisa bicara nanti.”
“Tidak, bukan itu. Lihat laki-laki yang duduk di dekat jendela itu,” ucap Widi.
Begitu pelanggan terakhir keluar kafe, pandanganku beralih mengikuti apa yang Widi katakan. Seorang laki-laki yang kuperhatikan sebelumnya saat ini tengah menatapku sembari menengguk secangkir kopi.
Sudah kuduga, aku mengenalnya tapi siapa? batinku.
Tiba-tiba Widi berdiri membuatku terkejut, “gawat! Aku harus pergi sekarang!” Widi cepat-cepat meletakkan piring yang dibawanya lalu berjalan cepat menjauh dari kasir, “aku pergi dulu, Carissa.”
Aku hanya berdehem dan menatapnya yang sudah keluar dari kafe. Beberapa pengunjung kafe pun terlihat memperhatikan tingkah Widi.
“Maaf menunggu lama, nona,” sebuah intruksi dari Beni membuatku mengalihkan pandangan menatapnya.
Aku tersenyum lalu berganti posisi dengan Beni. Kubawa piring kotor ke dapur lalu kembali ke meja kasir untuk mengambil cangkir kopiku. Setelah itu, aku duduk di salah satu kursi yang masih kosong.
Mako kembali menghampiriku dan menawarkan makanan, “mau makan, Nona?”
Aku mengangguk, “Omurice dan sandwich.”
Mako mengangguk lalu segera menuju ke dapur. Kepergian Mako justru mendatangkan seseorang yang lain yaitu laki-laki yang sedari tadi menatap kearahku. Laki-laki itu berdiri di dekatku sembari tersenyum.
“Boleh aku duduk?” tanyanya.
Mataku beralih menatapnya dan pandangan kami pun bertemu. Sekarang aku ingat, siapa laki-laki di depanku saat ini. Aku tersenyum lalu mengangguk, “silakan.”
Laki-laki itu pun dengan sigap segera menarik kursi lalu duduk di depanku, “lama tidak bertemu, Carissa. Sepertinya kabarmu baik-baik saja.”
Aku tertawa pelan, tanpa mengalihkan pandanganku darinya, “lama tidak bertemu, Ren. Sudah tiga tahun kita tidak bertemu.”
Ren ikut tersenyum, “padahal tadi, kamu menatapku seakan tidak mengenalku.”
Mendengar ucapannya spontan membuatku mengalihkan wajah, menghindari tatapannya, “tidak ... bukan seperti itu maksudku. Aku mengingatmu tapi tidak dengan namamu.”
Ren hanya menanggapi ucapanku dengan senyuman, “aku punya sesuatu untukmu.”
Kualihkan wajahku kembali menatap Ren yang tengah merogoh sakunya mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Dia menyodorkan benda di tangannya padaku, “ini untukmu.” Sebuah kalung dengan liontin berwarna perak. Kalung yang sangat indah bagiku.
Tanganku dengan ragu menerimanya, “kamu yakin memberikannya padaku?” tatapanku lurus menatapnya dengan perasaan tidak percaya.
Namun, Ren justu tersenyum lembut kearahku, “sebagai tanda pertemuan kita. Kamu tidak suka?”
Ren menatapku dengan tatapan memelas membuatku menggeleng cepat dan menggenggam kalung di telapak tanganku, “suka. Sangat suka. Terima kasih.” Aku berniat menyimpan kalung di tanganku namun Ren lebih dulu menahan tanganku.
“Kenapa tidak langsung dipakai?” tanyanya.
Ah, dia ada benarnya. Kulepas pengait kalung lalu memakai kalung tersebut pada leherku. Kurapikan kembali rambutku lalu menatapnya, “sudah, kan?”
Ren mengacungkan jempolnya, “sip. Sangat cocok. Carissa, apa akhir pekan ini kamu senggang?”
Aku berniat langsung menjawab namun Mako lebih dulu datang mengantarkan makanan pesananku. Aku berterimakasih padanya lalu kembali menatap Ren, “aku tidak memiliki jadwal apapun. Memangnya kenapa?”
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Aku akan menjemputmu pukul 9 pagi,” Ren berucap seakan aku menyetujui ajakannya. Tiba-tiba dia berdiri lalu tersenyum kearahku, “sudah waktunya menghadiri pertemuan. Sampai jumpa akhir pekan, Carissa.” Dia melambaikan tangannya lalu menuju ke kasir.
Aku hanya duduk dan mengikuti pergerakannya yang berjalan keluar kafe. Aku bahkan tidak sempat menyela ucapannya. Mau bagaimana lagi, lagipula tidak ada hal yang ingin kulakukan di akhir pekan.
Pukul 5 sore. Tidak ada lagi pelanggan yang duduk di dalam kafe. Para karyawan pun mulai bersih-bersih. Setelah itu, mereka pun meninggalkan kafe, pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga denganku yang saat ini sudah mengendarai motor menuju ke rumah.
Menikmati indahnya langit sore memang pas dengan mengendari motor berkecepatan sedang. Sore ini pun aku memilih mengendarai motorku melewati jalanan perkebunan. Jarak rumahku dapat ditempuh selama tiga puluh menit. Aku terlahir di keluarga sederhana, bisa menjalankan bisnis hingga saat ini adalah hal yang luar biasa. Aku adalah anak satu-satunya di keluargaku. Orang tuaku bekerja sebagai petani dan mereka tinggal di desa.
Kubelokkan motorku memasuki pelataran rumah. Mataku menatap heran sepasang sepatu yang berada di teras rumah. Sepatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ayah tidak memiliki sepatu seperti ini. Lalu siapa? Apa di dalam sedang ada tamu?
Kulepas sepatuku lalu menaruhnya di rak. Perlahan aku masuk namun belum sepenuhnya berada di dalam rumah, aku dikejutkan dengan seorang laki-laki dengan suit abu-abu yang saat ini tengah duduk di sofa ruang tamu.
Dia pun terlihat terkejut saat melihat kearahku, namun detik berikutnya dia tersenyum, “hai. Kita bertemu lagi.”
.
.
Astaga! Kenapa dunia sempit sekali!! Aku mematung di ambang pintu. Ingin rasanya kaki ini berbalik dan menjauh sejauh mungkin dari laki-laki yang tadi pagi sukses membuatku terlihat bodoh. “Hai, sayang. Sudah pulang? Masuklah, kenapa berdiri di situ?” suara intruksi dari ibuku berhasil menyadarkanku. Dengan berusaha menormalkan gelagatku, aku berjalan menghampiri Ibu, “apa Ibu sedang ada tamu?” tanyaku dengan nada pelan. Ibu meletakkan minuman dan potongan buah di atas meja lalu beralih menatapku, “perkenalkan dia, Alan. Tadi dia membantu Ibu mengambil buah yang terjatuh dari kantong plastik yang Ibu bawa dalam perjalanan kemari. Sekalian mengajaknya mampir ke rumah.” pandangan Ibu beralih menatap laki-laki yang duduk memperhatikan kami berdua, “perkenalkan nak Alan, ini anakku, Carissa.” Alan berdiri lalu menyodorkan tangannya, “hai, Carissa. Aku Alan.” Dengan penuh keragu-raguan aku membalas uluran tangannya sembari sesekali menatap
Pukul 12 siang. Aku dan Henry sudah berada di festival makanan. Hari ini cukup mendukung karena matahari tidak bersinar terlalu terik. Angin pun berhembus cukup sering, membuat suasana di sekitar menjadi sejuk. Di depanku saat ini sudah berjajar rapi aneka stand makanan tanpa melupakan area untuk makan. Tulisan dibanner besar menyambut kami, “SELAMAT DATANG DI FESTIVAL MAKANAN DUNIA”. “Ayo masuk,” Henry menarikku untuk segera mengikutinya. Kami berjalan berkeliling stan. Festival ini benar-benar sesuai dengan tulisan sebelumnya. Aneka hidangan dari penjuru negara ada dalam satu tempat. Pizza, Parfait, Takoyaki, Taiyaki, Kebab, dan banyak lagi. Pengunjung pun tak begitu ramai hari ini membuat kami dengan mudah berkeliling. Kami berhenti di pusat festival yaitu sebuah panggung yang nantinya akan ada konser untuk penutupan festival. “Kupon ini hanya bisa untuk membeli 3 makan. Jadi, jika kita memiliki dua kupon maka kita dapat membeli sebanyak 6 jenis makanan. U
Sesuatu yang keras menghantamku membuat keseimbanganku goyah dan akhirnya dua kardus yang kubawa terjatuh, termasuk diriku yang terduduk di atas trotoar. “Apa kamu tidak bisa melihat jalan?” sebuah pertanyaan pelan namun sangat tajam membuatku seketika mendongak, menatap laki-laki berjas rapi yang berdiri di depanku. Melihat tatapan dingin darinya, aku segera berdiri dan meminta maaf, “maaf, tuan. Saya tidak sengaja. Maaf.” “Perhatikan jalanmu,” laki-laki berucap singkat lalu berjalan mendahuluiku. Mataku hanya mengikuti langkahnya tanpa beranjak dari posisiku. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti lalu berbalik menatapku, “kenapa diam saja? Aku masih belum sepenuhnya memaafkanmu. Traktir aku makan. Di kafe itu.” Dia menunjuk kafeku yang berada tidak jauh darinya. Satu kesan untuk orang ini, menyebalkan. Aku segera mengambil kardus yang berjatuhan lalu kembali membawanya. Dia bahkan sama sekali tidak ingin membantuku. Dia menyuruhku jalan lebih dulu, karen
Laki-laki itu keluar ruangan. Aku pun tidak memiliki kesempatan untuk menyela ucapannya. Aku berdecak kesal lalu duduk di kursi sembari memijat pelipisku. Pandanganku menatap tumpukan kertas di atas meja. Mengerjakan semua ini? Jangan bercanda denganku.Aku diam sejenak, berusaha mencari jalan keluar. Namun sama sekali tidak mendapatkan satu ide pun. Aku menghembuskan napas panjang. Sepertinya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Pukul 10 siang, aku mulai mengerjakan pekerjaan berat ini. Pekerjaan ini dua kali lipat jauh lebih berat dibanding aku meninjau laporan keuangan kafeku. Lebih parahnya lagi, aku tidak tahu kapan aku akan menyelesaikan semua kertas-kertas ini. Satu jam. Dua jam. Aku berhasil menyelesaikan setengah dari tumpukan sebelumnya dan sekarang aku mulai bosan. Kurenggangkan otot tanganku sembari bersandar di kursi. Mungkin istirahat sejenak akan lebih baik.Pandanganku mengedar menatap satu persatu hiasan dinding. Ruangan ini
Dia menautkan alisnya, menatapku dengan tatapan kesal, “apa yang aku lakukan di sini? Ini kamarku.”Sontak aku langsung bangkit dari tidurku dan justru mengakibatkan kepalaku berdenyut cukup kuat hingga membuatku didekap oleh laki-laki di depanku. Aku segera menjauhkan diri dengan berusaha menahan pusing di kepalaku. Mataku beralih menatapnya, “bagaimana aku bisa di kamarmu? Kamu tidak melakukan sesuatu, kan?”“Aku tidak tertarik melakukan sesuatu padamu,” jawabnya dingin, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.Aku menghela napas pelan. Lagipula pakaianku masih lengkap. Sejak awal pun dia lebih suka mempermainkanku karena dia keturunan laki-laki menyebalkan. Suara lembut sebelumnya mungkin hanya imajinasiku saja.“Makanlah,” laki-laki itu menyodorkan nasi yang sudah dicampur dengan sup ayam.Aku mengangguk dan menerima mangkuk darinya. Perlahan namun pasti, aku mulai makan. Makanan ini enak, mirip den
Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal. Nomor baru? Siapa? Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku. Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?” “Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang s
Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?” “Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.“Tiketnya hany
Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju
Kembali ke tempat Septian. Dia meletakkan ponselnya begitu saja kemudian menginjak gas mobil lebih dalam untuk mempercepat laju mobilnya. Tujuannya kini berganti ke perusahaan megah di kota seberang. Pertemuan dengan direktur Perusahaan MS Group dimajukan olehnya karena ada banyak urusan yang harus ditanganinya.“Sialan. Wanita itu benar-benar psikopat,” umpatnya kesal.***“Kalian kesana dan culik dia,” ucap Riska dengan seseorang di seberang telepon.“...”Panggilan berakhir. Riska menyimpan ponselnya lantas tersenyum. “Kita mulai, Carissa.”Untuk yang kesekian kalinya, aku mengeluh pelan. Bagaimana tidak! Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit milik pribadi milik Septian. Berulang kali dia menegaskan padaku untuk tidak pulang sebelum tiga minggu dirawat dan itu membuatku kesal.“Aku bosan, Ren,” keluhku pelan. Ya, selama aku dirawat, Ren-lah yang menemaniku. Tanpa ber
Ren duduk di sampingku, menemaniku hingga aku benar-benar terlelap. Setelah memastikan aku tertidur, Ren melangkah pelan sembari mendorong troli makanan keluar dari kamar. Siapa sangka, Septian sudah duduk di kursi tunggu di luar kamar. Ren yang menyadari maksud dari tatapan Septian padanya, melangkah mendekat kemudian mengambil duduk di sebelah Septian. “Aku harus berterimakasih padamu karena bersedia mengurusi keperluan Carissa.” Septian berdehem. “...Aku dengar dari Carissa. Kalau dia tidak mengingat mengenai masa lalunya. Sebagai sahabat, kamu tahu sesuatu?” Ren bergeming. Dia enggan untuk menjawab dan memilih untuk beranjak dari duduknya, kembali mendorong troli. Namun langkahnya kembali terhenti dengan mata melirik ke arah Septian. “Jangan pernah membahas hal itu di depannya.” Tidak ada balasan dari Septian. Dia hanya menatap punggung Ren yang semakin menjauh. Kemarin malam, Riska pergi tepat setelah tidak terima dengan ancaman dari Septian. Kep
Septian terdiam mendengar penuturan dariku. Untuk beberapa saat hingga akhirnya dia menjawab, “tidak. Aku tidak tahu.”Pukul sepuluh malam. Selesai makan malam, Septian mengijinkanku untuk membuka ponsel. Aku bersorak senang mendengarnya. Namun tidak sampai satu jam aku memegang ponsel, rasa kantuk menghampirku. Pada akhirnya aku kembali menyimpan ponsel ke laci kemudian memposisikan tubuhku untuk tidur. Aku tidak tahu di mana Septian. Dia mengatakan ada urusan penting dan tidak mengatakan kemana tujuannya. Aku pun tidak terlalu memikirkannya karena dia pasti baik-baik saja.Di tempat lain. Di dalam ruang kerja milik Septian, tepatnya di lantai 10 Perusahaan BSC Production. Septian duduk berseberangan dengan Ren dan Will. Satu jam yang lalu, Ren tiba di gedung megah milik Septian. Dia diminta secara langsung oleh Will untuk datang dan berbincang dengan Septian.“Apa Carissa baik-baik saja?” Ren membuka suara.Septian berdehem, meno
“Rumah sakit ini, salah satu aset pribadiku. Jika mereka tidak mengerti apa yang diucapkan atasannya, tidak ada pilihan lain selain menggantikan mereka,” sambung Septian seakan tahu apa yang kupikirkan. Mendengar penjelasannya, aku mengangguk-angguk pelan. Untuk orang kaya sepertinya pasti tidak sulit untuk memiliki apa yang diinginkannya. “Semua berkasmu, akan kuurus. Aku hanya mengijinkanmu memegang ponsel hanya untuk mengangkat telepon penting. Selain itu, aku tidak mengijinkan,” Septian mengeluarkan ponselku dari saku jasnya kemudian meletakkannya di dalam laci. Aku mengangguk, “berkasku sangat banyak. Apa tidak mengganggu pekerjaanmu?” Septian menggeleng, “pekerjaanku selesai lebih cepat dan masih ada banyak waktu untuk mengurusi berkasmu.” Aku kembali mengangguk. Rasanya Septian semakin keras padaku, apa mungkin hanya perasaanku saja? “Jika tidak ada yang ingin kamu tanyakan, kamu harus banyak istirahat,” tegas Septian. A
“Kamu ini menderita anemia, tapi tidak makan dan sekarang anemiamu kambuh?” Septian melepas jasnya kemudian memberikannya padaku.“Aku berniat menginap di sini. Kamu bisa pulang,” kukembalikan jas miliknya lantas berniat berbaring di sofa. Namun Septian lebih dulu mencekal tanganku dan mengangkat tubuhku.Aku yang mendapat perlakuan tersebut, spontan melingkarkan tanganku pada leher Septian, “hei! Turunkan aku, Septian. Kamu akan membawaku kemana?”Tanpa banyak berucap, Septian melangkah keluar dari ruanganku menuju ke parkiran. Dia membawaku mendekat ke mobilnya dan dengan sigap dia membuka pintu mobilnya kemudian mendudukkanku di kursi sebelah jok kemudi. Dia bahkan memakaikan sabuk pengaman padaku.“Tunggu dulu. Tasku masih di dalam kantor,” protesku sembari mencoba membuka sabuk pengaman, namun Septian menahan tanganku kemudian mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menelpon seseorang.“Wil
Ren mengakhiri panggilan. Aku pun segera berganti menghubungi Septian. Namun Septian lebih dulu menghubungiku. Kembali kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “Aku sudah menerima makanan darimu. Aku mau makanan seperti ini besok pagi. Jika bahannya kurang, aku akan menyuruh Will berbelanja.” Mendengar apa yang diucapkan Septian membuatku tertawa, “masih ada kok bahannya. Besok akan kumasakkan lagi.” “Hm. Besok kamu akan ke kafe?” Aku berdiri dari sofa kemudian melangkah ke dapur, “iya, karena hari ini aku sama sekali tidak ke kafe.” Aku memeriksa bahan makanan yang berada di dalam kulkas. Setidaknya masih ada cadangan untuk membuat makanan besok. “Will akan menjemputmu dan mengantarmu ke kafe.” Aku duduk di ruang makan masih dengan ponsel di telingaku, “tidak perlu. Aku bisa ke kafe sendirian.” “Tidak. Will tetap akan mengantarmu. Jangan menolak.” Mendengar ucapan tegas dari Septian m
Pukul 12 siang, aku sudah sampai di rumah. Sepulang dari swalayan, aku berpamitan pada Ren untuk langsung pulang. Sedangkan dia pun akan pergi mengantarkan komiknya. Kutata semua bahan makanan ke dalam kulkas. Hari ini aku tidak berniat untuk ke kafe. Aku juga sudah mengatakannya pada Mako. Sebuah dering ponsel mengalihkan perhatianku. Kututup pintu kulkas kemudian mendekat ke ponselku yang berada di meja makan. Nama Septian tertera di layar ponsel, membuatku mengerutkan dahi. Tidak biasanya dia menelponku, karena dia biasanya akan langsung datang ke rumahku dan mengajakku rapat sesukanya. Kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “...Kamu ada di rumah?” Aku berdehem, “kenapa?” “Jangan pergi kemanapun jika tidak penting.” Aku mengangguk, “iya. Kamu masih di kantor?” “Iya.” “Apa ada pekerjaan yang harus kukerjakan?” “...Tidak. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Mendengar
Septian menyingkirkan tangan wanita itu dari lengannya sembari menatapnya dingin, “apa maumu, Riska?”Riska menyilangkan tangannya, menatap santai kearah lawan bicaranya, “Carissa.”Mendengar namaku disebut, Septian menatap tajam Riska tanpa mengatakan apapun. Septian tahu siapa yang menyebabku keracunan hari itu dan pelakunya saat ini tengah berdiri di depannya.“Turuti semua ucapanku, dengan begitu aku tidak akan menyentuhnya. Bagaimana?” Riska mengabaikan tatapan tajam Septian dan tanpa rasa takut dia mengucapkan apa yang sebenarnya dia inginkan.Ucapan Riska tidak direspon sama sekali oleh Septian. Dia tahu kalau wanita di depannya akan melakukan apapun untuk mendapatkan dirinya, bahkan dengan cara kotor sekalipun.Riska kembali mendekat dan memeluk lengan Septian, “pertama-tama, mari kita makan malam bersama.” Riska tahu ucapannya seakan menjadi ancaman untuk Septian dan dia akan terus mengancam
Kuterima panggilan tersebut kemudian mendekatkan ponsel ke telingaku, “hai, Alan.”“Hai, Carissa. Bagaimana kabarmu?”Kudorong kembali troli sembari mencari sambil berbincang dengan Alan, “aku sudah baik-baik saja, Alan.”“Kuingatkan padamu, jangan asal makan atau minum sesuatu yang belum terbiasa untukmu. Oke?”Mendengar nasihat darinya justru membuatku tertawa pelan, “oke. Oke. Aku akan mengingat nasihatmu, dokter.”Terdengar kekehan dari Alan di seberang, “itu benar. Pasien harus mendengarkan ucapan dokter. Jangan sampai kelelahan. Jaga kesehatanmu.”Aku berdehem, “oke. Kamu sedang tidak bekerja?”“Ini sedang bekerja. Tugasku hanya menjadi pengawas.”Aku berhenti di depan rak yang penuh dengan bumbu dapur, memilah beberapa kemudian memasukkannya ke dalam troli, “tidak masalah, kah? Rekan-rekanmu se