Laki-laki itu keluar ruangan. Aku pun tidak memiliki kesempatan untuk menyela ucapannya. Aku berdecak kesal lalu duduk di kursi sembari memijat pelipisku. Pandanganku menatap tumpukan kertas di atas meja. Mengerjakan semua ini? Jangan bercanda denganku.
Aku diam sejenak, berusaha mencari jalan keluar. Namun sama sekali tidak mendapatkan satu ide pun. Aku menghembuskan napas panjang. Sepertinya memang aku tidak memiliki pilihan lain.
Pukul 10 siang, aku mulai mengerjakan pekerjaan berat ini. Pekerjaan ini dua kali lipat jauh lebih berat dibanding aku meninjau laporan keuangan kafeku. Lebih parahnya lagi, aku tidak tahu kapan aku akan menyelesaikan semua kertas-kertas ini. Satu jam. Dua jam. Aku berhasil menyelesaikan setengah dari tumpukan sebelumnya dan sekarang aku mulai bosan. Kurenggangkan otot tanganku sembari bersandar di kursi. Mungkin istirahat sejenak akan lebih baik.
Pandanganku mengedar menatap satu persatu hiasan dinding. Ruangan ini benar-benar luar biasa dengan segala kemewahannya. Dua pintu lainnya juga terdapat di sini. Karena penasaran, aku beranjak dari dudukku lalu berjalan mendekat ke pintu dekat dengan meja tempatku bekerja. Kuputar gagang pintu lalu mendorongnya perlahan. Sebuah kamar mandi yang lengkap dengan bak mandi, dan shower. Kututup kembali lalu berjalan mendekat ke pintu yang berseberangan dengan pintu sebelumnya. Kuputar gagang pintu, namun tertahan. Beberapa kali aku mencoba namun tak juga berhasil. Pintu ini terkunci.
Sebuah dering ponsel membuatku segera meraih ponselku lalu menerima panggilan tersebut, “halo.”
“Carissa, kenapa kamu tidak ada di kafe hari ini?” suara Alan di seberang telepon.
Aku tertawa canggung dan mengingat bahwa kemarin Alan mengatakan jika akan ke kafe bertemu denganku. Namun aku justru berakhir di tempat ini. “Maaf, Alan. Tiba-tiba saja aku memiliki urusan yang harus segera kuselesaikan,” aku terpaksa berbohong kali ini. Maafkan aku, Alan.
Terdengar helaan napas kecewa darinya, “begitu, ya. Tapi, mau bagaimana lagi. Mungkin lain kali kita bisa bertemu. Aku pun tidak lama di kafemu, karena pekerjaan kembali memanggilku.”
“Sekali lagi, maaf,” balasku penuh penyesalan.
“Tidak. Tidak masalah. Kita memiliki pekerjaan masing-masing jadi bukan hal yang asing lagi. Aku yang seharusnya meminta maaf karena menganggu jam kerjamu.”
“Bukan masalah. Apa pekerjaanmu sudah selesai?”
“Belum. Maaf, aku harus segera pergi. Nanti aku akan menghubungimu lagi. Dah! Carissa.” Panggilan berakhir.
Kusimpan kembali ponselku lalu beralih menatap tumpukan kertas di atas meja. Rasanya aku tidak sanggup jika harus menyelesaikan semua ini. Sesaat terlintas diotakku mengenai hal yang terjadi jika aku menyelesaikan semua ini. Mungkin setelah ini laki-laki menyebalkan itu tidak akan menggangguku, pikirku.
Pemikiran itu membuatku kembali bersemangat untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Aku pun teringat jika hari ini harus meninjau laporan dari Mako. Namun aku justru berakhir di sini. Sepertinya, aku akan lembur malam ini. Satu jam berlalu, tumpukan kertas di sisi kananku sudah tandas dan berpindah ke sisi kiriku. Pekerjaan sudah selesai.
Kurenggangkan tubuhku lalu melipat tanganku di atas meja. Kusembunyikan wajahku lalu memejamkan mata. Tubuhku rasanya sangat lelah dengan semua tumpukan itu, aku tidak ingin melakukannya lagi. Perlahan namun pasti, aku mulai tertidur karena rasa lelah.
Di sisi lain tepat setelah aku terlelap, laki-laki yang memberiku pekerjaan masuk ke ruangan. Mengetahui pekerjaannya telah terselesaikan, dia tersenyum lalu mendekat padaku. Dilepasnya jas mewahnya lalu memakaikannya padaku. Bibirnya terbuka dan berucap, “terima kasih atas kerja kerasmu.”
Entah berapa lama aku terlelap, perlahan aku membuka mata lalu mengangkat kepalaku. Tidur dengan posisi seperti ini membuat leherku sakit. Aku terkejut kala sebuah jas mewah menyelimutiku. Pandanganku beralih menatap sekitar dan terkejut saat laki-laki menyebalkan itu sudah duduk di sofa dan sedang fokus pada layar laptop di depannya.
“Sejak kapan kamu ada di sini?” pertanyaanku spontan keluar.
Laki-laki itu menghentikan aktivitasnya lalu beralih menatapku, “dua jam yang lalu.”
Aku terdiam. Dua jam yang lalu merupakan waktu dimana aku terlelap. dengan kata lain, aku tertidur selama dua jam. Bagaimana bisa aku tidak menyadari kedatangan laki-laki itu. Apa tidurku sangat nyenyak?
“Kuantar ke kafemu,” laki-laki itu menutup laptopnya lalu berdiri.
Langit sore mulai kehilangan cahayanya. Kini perlahan menjadi gelap. Tepat pukul 6 sore, mobil yang kutumpangi berhenti di depan kafe. Tentu saja kafeku sudah tutup satu jam yang lalu. Aku membuka pintu namun tidak langsung keluar. Pandanganku beralih menatap laki-laki di sampingku, “terima kasih sudah mengantarku.”
Laki-laki itu berdehem, “bukan masalah.”
Aku diam sejenak di tempat, berharap dia mengatakan terima kasih atas pekerjaan yang telah kuselesaikan. Namun dia sama sekali tidak berucap. Kulangkahkan kakiku keluar dari mobil lalu menutup pintu. Mobil di depanku kembali berjalan meninggalkanku.
Aku berdecak kesal lalu berbalik, “apa tidak ada ucapan terima kasih darinya? Dasar laki-laki menyebalkan.” Aku mengumpat kesal sepanjang langkahku menuju ke pintu belakang kafe. Egois yang sangat tinggi dari seorang laki-laki yang hidup serba berkemewahan.
Aku melangkah masuk ke ruanganku. Tumpukan buku sudah memenuhi meja kerjaku dan juga sebuah catatan dari Mako. Aku menghela napas pelan. Aku benar-benar akan lembur hari ini.
Sebelum menyentuh buku-buku itu, aku lebih dulu menyeduh kopi dan mi instan. Sejak pagi tadi, aku sama sekali belum sarapan. Niatnya aku akan sarapan di kafe, namun laki-laki itu datang menyuruhku ini-itu, tanpa sebuah ucapan terima kasih sama sekali. 10 menit aku bersantai menikmati mi instan, akhirnya aku kembali duduk di kursi kerjaku dan mulai bekerja.
Waktu berjalan sangat cepat. Butuh waktu yang lama untuk meninjau satu persatu laporan yang dikerjakan Mako dan saat ini aku harus menyusun mulai dari awal, karena terjadi kesalahan pencatatan di pertengahan bulan. Aku menghela napas pelan. Tubuhku benar-benar kelelahan.
Aku mengeluh pelan. Jika saja hari ini laki-laki itu tidak datang menyela, pasti semuanya sudah kuselesaikan dengan cepat. Aku kembali menghela napas. Percuma saja memikirkan apa yang sudah terjadi. Waktuku juga tidak akan kembali. Aku kembali duduk tegak dan segera menyelesaikan pekerjaanku.
Pukul 2 malam. Semuanya baru selesai. Kusandarkan punggungku sembari merenggangkan tubuhku. Perutku mulai keroncongan, namun tidak ada makanan yang tersisa. Masih ada empat hingga lima jam sampai para karyawanku mulai datang. Kuputuskan untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku mengambil selimut lalu berbaring di sofa. Perlahan aku memasuki alam bawah sadar dan akhirnya terlelap.
Pukul 6 pagi. Sebuah mobil memasuki pelataran kafe. Pemilik mobil segera turun dan menatap kearah sebuah motor yang terparkir di parkiran tepat di sampingnya. Langkahnya dengan mantap menuju ke pintu belakang. Tangannya memutar gagang pintu lalu menariknya keluar. Tidak ada tanda-tanda kalau pintu terkunci. Laki-laki itu melangkah menyusuri setiap ruangan dan terhenti di depan sebuah pintu ruangan yang tertutup dengan lampu yang masih menyala. Dia membuka pintu di depannya dan mendapatiku yang masih terlelap.
Sebuah langkah pelan membuatku terbangun. Perlahan aku membuka mata. Pekerjaan kemarin membuat kepalaku pusing dan juga pandanganku kabur. Perlahan aku memperbaiki dudukku sembari mengerjapkan mata. Berulang kali mencoba, tetap saja mataku tidak bisa melihat dengan jelas.
Yang aku tahu hanyalah seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh dariku. Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa dia, karena semakin lama kepalaku semakin sakit. Aku mencoba untuk berdiri namun justru keseimbanganku ikut terganggu dengan rasa sakit di kepalaku. Tubuhku limbung dan hampir terjatuh jika seseorang tidak menangkapku.
“Hei, kamu baik-baik saja?” sebuah suara pelan terdengar di telingaku. Aku tidak menjawab pertanyaannya karena kesadaranku lebih dulu hilang dan semuanya menjadi gelap.
Entah berapa lama mataku terpejam, tapi rasanya sangat lama. Pusing di kepalaku pun masih terasa. Perlahan namun pasti, aku membuka mata. Cahaya mulai berkumpul dan pandanganku pun mulai fokus. Ingatan terakhirku, aku tidur di sofa ruang kerjaku. Namun yang kulihat sekarang adalah sebuah ruangan yang tidak kukenal.
Suara pintu terbuka membuatku seketika menoleh kearah pintu. Seorang laki-laki yang kutemui kemarin berjalan kearahku dengan nampan di tangannya. Kali ini dia memakai setelan pakaian santai. Satu pertanyaan di kepalaku, kenapa dia disini?
Laki-laki itu meletakkan nampan di atas nakas lalu duduk di tepi tempat tidur menatapku, “kepalamu masih sakit?”
Kalau dia memang laki-laki menyebalkan kemarin, kenapa saat ini yang kudengar justru suara yang pelan nan lembut.
“Apa aku sedang bermimpi?” gumamku pelan.
Seketika laki-laki di depanku menatapku dengan tatapan dinginnya, “bodoh.” Dia kembali seperti sebelumnya dengan tatapan dingin dan ucapan yang tajam.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku.
.
.
Dia menautkan alisnya, menatapku dengan tatapan kesal, “apa yang aku lakukan di sini? Ini kamarku.”Sontak aku langsung bangkit dari tidurku dan justru mengakibatkan kepalaku berdenyut cukup kuat hingga membuatku didekap oleh laki-laki di depanku. Aku segera menjauhkan diri dengan berusaha menahan pusing di kepalaku. Mataku beralih menatapnya, “bagaimana aku bisa di kamarmu? Kamu tidak melakukan sesuatu, kan?”“Aku tidak tertarik melakukan sesuatu padamu,” jawabnya dingin, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.Aku menghela napas pelan. Lagipula pakaianku masih lengkap. Sejak awal pun dia lebih suka mempermainkanku karena dia keturunan laki-laki menyebalkan. Suara lembut sebelumnya mungkin hanya imajinasiku saja.“Makanlah,” laki-laki itu menyodorkan nasi yang sudah dicampur dengan sup ayam.Aku mengangguk dan menerima mangkuk darinya. Perlahan namun pasti, aku mulai makan. Makanan ini enak, mirip den
Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal. Nomor baru? Siapa? Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku. Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?” “Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang s
Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?” “Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.“Tiketnya hany
Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju
Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur. Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya. Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?” Ren tersenyum, “tentu. Ayo.” Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no
Di tempat lain, seorang wanita berdiri di belakang jendela dengan sebuah senyum misterius. Dia meraih ponselnya lalu mendekatkan ke telinganya, “lanjutkan ke tahap berikutnya. Pastikan dia menyadari posisinya.”Wanita itu menyimpan ponselnya dengan sebuah seringai misterius. Sebuah derap langkah perlahan mendekat pada wanita itu. Dia menatap wanita di depannya dengan tatapan sedih.“Apa yang akan kamu lakukan, Riska? Tidak bisakah kamu merelakannya?” laki-laki itu enggan untuk lebih dekat lagi. Dia berdiri dengan jarak beberapa meter.Wanita bernama Riska tersebut menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya, “tidak, Kak Henry. Aku akan menghancurkan siapapun yang mendekati calon suami masa depanku.”“Carissa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Septian. Jika kamu ingin mendapatkan Septian kenapa harus mengurusi kehidupan Carissa? Kakak tidak suka apa yang kamu lakukan saat ini,” cerca Henry, b
Di hari Senin tepat pukul 8 lebih, aku sudah dalam perjalanan menuju ke kantor Septian. Entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk ke tempatnya. 45 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat parkir perusahaan megah milik Septian.Aku turun dari motor dan segera melangkah menuju ke meja resepsionis. Salah seorang wanita yang duduk di belakang meja, bergegas berdiri menyambutku. Dia tersenyum ramah, “ada yang bisa saya bantu?”“Apa Septian ada?” tanyaku.“Bos sedang keluar kota, sejak dua hari yang lalu. Apa Anda sedang ada janji dengan Beliau?” wanita tersebut kembali melontarkan padaku.Aku terdiam sejenak, mendengar jawaban dari wanita di depanku. Septian bahkan tidak mengatakan apapun padaku. Aku menggeleng lantas berucap, “tidak, tidak ada janji. Kalau begitu, terima kasih.”Wanita itu tersenyum dan membiarkanku berbalik menjauh dari meja resepsionis. Aku berjalan kembali menuju parkiran. Wani
Septian berdiri di depanku dengan tas jinjing di tangannya. Dia menyerahkan tas yang dibawanya padaku, “ini untukmu.”Dengan penuh keraguan, aku menerima tas tersebut dan melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah vas bunga berwarna putih yang sangat cantik berada di dalam tas yang kupegang. Pandanganku beralih menatap Septian, “kenapa?”Septian mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak ingin menatapku, “hanya oleh-oleh kecil.”Melihat reaksi Septian membuatku menyungging senyum. Terlepas dari sikap menyebalkannya, dia masih punya sikap lembut yang aku yakin sangat jarang ditunjukkan pada orang lain.Aku membuka pintu lebih lebar, “masuklah, aku akan membuatkan kopi untukmu.”Tanpa banyak berpikir, Septian melangkah masuk. Aku pun segera membuntutinya. Saat sampai di depan ruanganku, aku bergegas membuka pintu dan mempersilakan baginya untuk masuk, “tunggulah di sini. Aku akan membuat kopi. Apa
Kembali ke tempat Septian. Dia meletakkan ponselnya begitu saja kemudian menginjak gas mobil lebih dalam untuk mempercepat laju mobilnya. Tujuannya kini berganti ke perusahaan megah di kota seberang. Pertemuan dengan direktur Perusahaan MS Group dimajukan olehnya karena ada banyak urusan yang harus ditanganinya.“Sialan. Wanita itu benar-benar psikopat,” umpatnya kesal.***“Kalian kesana dan culik dia,” ucap Riska dengan seseorang di seberang telepon.“...”Panggilan berakhir. Riska menyimpan ponselnya lantas tersenyum. “Kita mulai, Carissa.”Untuk yang kesekian kalinya, aku mengeluh pelan. Bagaimana tidak! Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit milik pribadi milik Septian. Berulang kali dia menegaskan padaku untuk tidak pulang sebelum tiga minggu dirawat dan itu membuatku kesal.“Aku bosan, Ren,” keluhku pelan. Ya, selama aku dirawat, Ren-lah yang menemaniku. Tanpa ber
Ren duduk di sampingku, menemaniku hingga aku benar-benar terlelap. Setelah memastikan aku tertidur, Ren melangkah pelan sembari mendorong troli makanan keluar dari kamar. Siapa sangka, Septian sudah duduk di kursi tunggu di luar kamar. Ren yang menyadari maksud dari tatapan Septian padanya, melangkah mendekat kemudian mengambil duduk di sebelah Septian. “Aku harus berterimakasih padamu karena bersedia mengurusi keperluan Carissa.” Septian berdehem. “...Aku dengar dari Carissa. Kalau dia tidak mengingat mengenai masa lalunya. Sebagai sahabat, kamu tahu sesuatu?” Ren bergeming. Dia enggan untuk menjawab dan memilih untuk beranjak dari duduknya, kembali mendorong troli. Namun langkahnya kembali terhenti dengan mata melirik ke arah Septian. “Jangan pernah membahas hal itu di depannya.” Tidak ada balasan dari Septian. Dia hanya menatap punggung Ren yang semakin menjauh. Kemarin malam, Riska pergi tepat setelah tidak terima dengan ancaman dari Septian. Kep
Septian terdiam mendengar penuturan dariku. Untuk beberapa saat hingga akhirnya dia menjawab, “tidak. Aku tidak tahu.”Pukul sepuluh malam. Selesai makan malam, Septian mengijinkanku untuk membuka ponsel. Aku bersorak senang mendengarnya. Namun tidak sampai satu jam aku memegang ponsel, rasa kantuk menghampirku. Pada akhirnya aku kembali menyimpan ponsel ke laci kemudian memposisikan tubuhku untuk tidur. Aku tidak tahu di mana Septian. Dia mengatakan ada urusan penting dan tidak mengatakan kemana tujuannya. Aku pun tidak terlalu memikirkannya karena dia pasti baik-baik saja.Di tempat lain. Di dalam ruang kerja milik Septian, tepatnya di lantai 10 Perusahaan BSC Production. Septian duduk berseberangan dengan Ren dan Will. Satu jam yang lalu, Ren tiba di gedung megah milik Septian. Dia diminta secara langsung oleh Will untuk datang dan berbincang dengan Septian.“Apa Carissa baik-baik saja?” Ren membuka suara.Septian berdehem, meno
“Rumah sakit ini, salah satu aset pribadiku. Jika mereka tidak mengerti apa yang diucapkan atasannya, tidak ada pilihan lain selain menggantikan mereka,” sambung Septian seakan tahu apa yang kupikirkan. Mendengar penjelasannya, aku mengangguk-angguk pelan. Untuk orang kaya sepertinya pasti tidak sulit untuk memiliki apa yang diinginkannya. “Semua berkasmu, akan kuurus. Aku hanya mengijinkanmu memegang ponsel hanya untuk mengangkat telepon penting. Selain itu, aku tidak mengijinkan,” Septian mengeluarkan ponselku dari saku jasnya kemudian meletakkannya di dalam laci. Aku mengangguk, “berkasku sangat banyak. Apa tidak mengganggu pekerjaanmu?” Septian menggeleng, “pekerjaanku selesai lebih cepat dan masih ada banyak waktu untuk mengurusi berkasmu.” Aku kembali mengangguk. Rasanya Septian semakin keras padaku, apa mungkin hanya perasaanku saja? “Jika tidak ada yang ingin kamu tanyakan, kamu harus banyak istirahat,” tegas Septian. A
“Kamu ini menderita anemia, tapi tidak makan dan sekarang anemiamu kambuh?” Septian melepas jasnya kemudian memberikannya padaku.“Aku berniat menginap di sini. Kamu bisa pulang,” kukembalikan jas miliknya lantas berniat berbaring di sofa. Namun Septian lebih dulu mencekal tanganku dan mengangkat tubuhku.Aku yang mendapat perlakuan tersebut, spontan melingkarkan tanganku pada leher Septian, “hei! Turunkan aku, Septian. Kamu akan membawaku kemana?”Tanpa banyak berucap, Septian melangkah keluar dari ruanganku menuju ke parkiran. Dia membawaku mendekat ke mobilnya dan dengan sigap dia membuka pintu mobilnya kemudian mendudukkanku di kursi sebelah jok kemudi. Dia bahkan memakaikan sabuk pengaman padaku.“Tunggu dulu. Tasku masih di dalam kantor,” protesku sembari mencoba membuka sabuk pengaman, namun Septian menahan tanganku kemudian mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menelpon seseorang.“Wil
Ren mengakhiri panggilan. Aku pun segera berganti menghubungi Septian. Namun Septian lebih dulu menghubungiku. Kembali kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “Aku sudah menerima makanan darimu. Aku mau makanan seperti ini besok pagi. Jika bahannya kurang, aku akan menyuruh Will berbelanja.” Mendengar apa yang diucapkan Septian membuatku tertawa, “masih ada kok bahannya. Besok akan kumasakkan lagi.” “Hm. Besok kamu akan ke kafe?” Aku berdiri dari sofa kemudian melangkah ke dapur, “iya, karena hari ini aku sama sekali tidak ke kafe.” Aku memeriksa bahan makanan yang berada di dalam kulkas. Setidaknya masih ada cadangan untuk membuat makanan besok. “Will akan menjemputmu dan mengantarmu ke kafe.” Aku duduk di ruang makan masih dengan ponsel di telingaku, “tidak perlu. Aku bisa ke kafe sendirian.” “Tidak. Will tetap akan mengantarmu. Jangan menolak.” Mendengar ucapan tegas dari Septian m
Pukul 12 siang, aku sudah sampai di rumah. Sepulang dari swalayan, aku berpamitan pada Ren untuk langsung pulang. Sedangkan dia pun akan pergi mengantarkan komiknya. Kutata semua bahan makanan ke dalam kulkas. Hari ini aku tidak berniat untuk ke kafe. Aku juga sudah mengatakannya pada Mako. Sebuah dering ponsel mengalihkan perhatianku. Kututup pintu kulkas kemudian mendekat ke ponselku yang berada di meja makan. Nama Septian tertera di layar ponsel, membuatku mengerutkan dahi. Tidak biasanya dia menelponku, karena dia biasanya akan langsung datang ke rumahku dan mengajakku rapat sesukanya. Kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “...Kamu ada di rumah?” Aku berdehem, “kenapa?” “Jangan pergi kemanapun jika tidak penting.” Aku mengangguk, “iya. Kamu masih di kantor?” “Iya.” “Apa ada pekerjaan yang harus kukerjakan?” “...Tidak. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Mendengar
Septian menyingkirkan tangan wanita itu dari lengannya sembari menatapnya dingin, “apa maumu, Riska?”Riska menyilangkan tangannya, menatap santai kearah lawan bicaranya, “Carissa.”Mendengar namaku disebut, Septian menatap tajam Riska tanpa mengatakan apapun. Septian tahu siapa yang menyebabku keracunan hari itu dan pelakunya saat ini tengah berdiri di depannya.“Turuti semua ucapanku, dengan begitu aku tidak akan menyentuhnya. Bagaimana?” Riska mengabaikan tatapan tajam Septian dan tanpa rasa takut dia mengucapkan apa yang sebenarnya dia inginkan.Ucapan Riska tidak direspon sama sekali oleh Septian. Dia tahu kalau wanita di depannya akan melakukan apapun untuk mendapatkan dirinya, bahkan dengan cara kotor sekalipun.Riska kembali mendekat dan memeluk lengan Septian, “pertama-tama, mari kita makan malam bersama.” Riska tahu ucapannya seakan menjadi ancaman untuk Septian dan dia akan terus mengancam
Kuterima panggilan tersebut kemudian mendekatkan ponsel ke telingaku, “hai, Alan.”“Hai, Carissa. Bagaimana kabarmu?”Kudorong kembali troli sembari mencari sambil berbincang dengan Alan, “aku sudah baik-baik saja, Alan.”“Kuingatkan padamu, jangan asal makan atau minum sesuatu yang belum terbiasa untukmu. Oke?”Mendengar nasihat darinya justru membuatku tertawa pelan, “oke. Oke. Aku akan mengingat nasihatmu, dokter.”Terdengar kekehan dari Alan di seberang, “itu benar. Pasien harus mendengarkan ucapan dokter. Jangan sampai kelelahan. Jaga kesehatanmu.”Aku berdehem, “oke. Kamu sedang tidak bekerja?”“Ini sedang bekerja. Tugasku hanya menjadi pengawas.”Aku berhenti di depan rak yang penuh dengan bumbu dapur, memilah beberapa kemudian memasukkannya ke dalam troli, “tidak masalah, kah? Rekan-rekanmu se