Sesuatu yang keras menghantamku membuat keseimbanganku goyah dan akhirnya dua kardus yang kubawa terjatuh, termasuk diriku yang terduduk di atas trotoar.
“Apa kamu tidak bisa melihat jalan?” sebuah pertanyaan pelan namun sangat tajam membuatku seketika mendongak, menatap laki-laki berjas rapi yang berdiri di depanku.
Melihat tatapan dingin darinya, aku segera berdiri dan meminta maaf, “maaf, tuan. Saya tidak sengaja. Maaf.”
“Perhatikan jalanmu,” laki-laki berucap singkat lalu berjalan mendahuluiku. Mataku hanya mengikuti langkahnya tanpa beranjak dari posisiku. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti lalu berbalik menatapku, “kenapa diam saja? Aku masih belum sepenuhnya memaafkanmu. Traktir aku makan. Di kafe itu.” Dia menunjuk kafeku yang berada tidak jauh darinya.
Satu kesan untuk orang ini, menyebalkan. Aku segera mengambil kardus yang berjatuhan lalu kembali membawanya. Dia bahkan sama sekali tidak ingin membantuku. Dia menyuruhku jalan lebih dulu, karena dia tidak mau aku menabraknya lagi. Menyebalkan! Benar-benar menyebalkan!
Kuletakkan kardus yang kubawa di depan kafe karena kebetulan Beni ada di luar. Beni menerimanya lalu mempersilakan bagiku untuk masuk. Laki-laki tadi masih saja mengekoriku tanpa sepatah katapun.
Aku mempersilakan baginya untuk duduk sembari menyerahkan buku menu padanya. Aku berniat berbalik dan menjauh namun suara dingin dan datar menahanku.
“Kamu mau kemana? Duduk di sini dan temani aku,” ucap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya.
Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dengan sangat terpaksa aku duduk di depan laki-laki itu yang sedang memilih makanan. Mako yang baru saja berdiri di sampingku, menatapku dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah pertanyaan ‘ada apa dengan Nona?’ namun aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Hanya sebuah helaan napas yang bisa kukeluarkan.
“Dark Coffee,” ucap laki-laki itu setelah beberapa saat memandangi buku menu di tangannya.
“Pesanan Anda akan segera siap, Tuan,” Mako berucap ramah.
“Satu lagi untuknya,” sambung laki-laki itu sembari menunjuk kearahku.
Mako kembali mengangguk lalu beranjak menjauh.
Tidak ada pembicaraan diantara kami. Aku pun tidak berminat untuk menatap laki-laki di depanku saat ini meskipun beberapa pengunjung kafe memerhatikannya. Berbeda dengannya yang justru dengan terang-terangan menatapku masih dengan tatapan dinginnya.
“Silakan pesanan Anda, Tuan,” Mako datang ke meja kami dan meletakkan dua cangkir di atas meja. Satu untukku dan sisanya untuk laki-laki menyebalkan di depanku.
Kualihkan pandanganku menatap secangkir kopi di depanku. Aroma khas mulai tercium. Hitam pekat sangat kontras dengan cangkir yang berwarna putih bersih. Pandanganku beralih menatap laki-laki di depanku yang sudah mencicipi kopi di depannya.
“Lumayan,” laki-laki itu menurunkan kopi di tangannya lalu menatap kearahku. Dia tidak mengatakan apapun. Jika aku bisa menebak, dia menyuruhku untuk mencoba kopi di depanku saat ini.
Kuraih cangkir di depanku dan perlahan mencicipi Dark Coffee yang untuk pertama kalinya aku meminumnya. Rasa pahit begitu kental dengan rasa manis yang sangat sedikit. Rasanya hampir sama dengan kopi yang sering kupesan, namun rasa ini lumayan enak. Setidaknya moodku yang buruk akan sedikit terobati.
“Tidak suka pahit?” laki-laki itu membuka suara.
Kuletakkan kembali cangkir di atas meja lalu tersenyum sembari menatap laki-laki di depanku, “tidak juga. Biasanya aku pesan Dark Smooth Coffee.”
Laki-laki itu sempat terkejut namun detik berikutnya tatapannya kembali dingin, “sering kesini?”
Aku mengangguk. Bukan sering kesini, memang aku pemilik kafe ini jadi sudah pasti aku selalu berada di kafe ini. Bodohnya aku tidak bisa berucap seperti itu.
Sebuah dering ponsel menyela pembicaraan kami. Laki-laki itu menerima panggilan dari ponselnya. Dia hanya menjawab dengan sebuah deheman. Setelah itu dia menyimpan ponselnya dan bangkit dari duduknya, “kamu yang membayar semuanya. Aku harus pergi.” Tanpa menunggu jawaban dariku, dia melangkah keluar kafe meninggalkan kopinya yang masih tersisa setengah cangkir.
Aku menghela napas panjang sembari menyandarkan punggungku. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan laki-laki menyebalkan seperti dia dan berharap aku tidak bertemu lagi dengannya. Sikapnya begitu arogan dan menyebalkan. Hanya parasnya saja yang tampan namun tidak dengan sikapnya.
Keesokan harinya tepat tanggal 30 September. Hari dimana aku harus segera meninjau laporan bulanan dari Mako. Kuparkirkan motorku di parkiran kafe lalu berjalan menuju ke pintu belakang kafe. Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi. Kafe sudah dibuka, beberapa pengunjung pun sudah datang. Tanganku memegang gagang pintu lalu memutarnya sesaat setelah itu suara orang yang kuhindari terdengar tepat di belakangku.
“Tunggu.”
Aku menggeram pelan lalu dengan terpaksa berbalik menatap laki-laki yang berdiri tidak jauh dariku lengkap dengan jas rapi nan mahalnya. Sebuah mobil pun tidak jauh terparkir di belakangnya.
“Ikut denganku,” perintah laki-laki itu.
“Eh?” aku masih terdiam dengan keterkejutanku. Bagaimana tidak terkejut, dia baru saja menyuruhku untuk mengikutinya yang entah tidak tahu akan kemana. Laki-laki ini sedikit tidak waras.
“Jangan hanya melamun. Cepat kesini,” laki-laki itu sudah berdiri di samping mobil dengan seorang sopir di dekatnya.
Aku menggeleng pelan, “maaf, Tuan. Saya masih ada urusan hari ini.” apapun yang terjadi aku harus menghindarinya. Aku berniat berbalik dan menarik pintu di belakangku namun laki-laki itu lebih dulu menahan pintu di depanku lalu mendorongnya keras hingga tertutup rapat.
“Ah!” dengan tiba-tiba kakiku terangkat. Spontan tanganku melingkar di leher laki-laki yang tiba-tiba menggendongku. “Turunkan saya, Tuan,” aku menatap tidak suka padanya. Namun laki-laki itu justru menatapku sekilas dan tetap melanjutkan langkahnya menuju mobilnya. Dia menurunkanku di dalam mobil kemudian dia ikut masuk dan duduk di sampingku.
Aku berusaha membuka pintu di sampingku namun sopir lebih dulu mengunci pintu mobil dan menjalankan mobilnya. Pandanganku beralih menatap laki-laki yang duduk santai di sampingku, “Anda akan membawa saya kemana? Turunkan saya sekarang juga.”
Laki-laki itu menatapku dengan tatapan dinginnya, “berisik. Diamlah.”
Aku menggeleng kuat. Mana mungkin aku terima diperlakukan seperti ini. Aku beralih menatap sopir, “Pak, saya turun di sini.”
“Abaikan saja dia,” sahut laki-laki di sampingku.
Mataku menatap tajam laki-laki tersebut, kembali berusaha untuk membuka pintu di sampingku. “Turunkan aku sekarang. Aku tidak mau ikut denganmu.”
Beberapa saat terdiam laki-laki itu berdecak kesal lalu menarik tanganku tiba-tiba dan mendorongku hingga punggungku membentur pintu di sampingku. Matanya menatapku tajam, “diam atau aku akan membuatmu diam.”
Aku balas menatapnya tajam, “tidak. Sebelum kamu menurunkanku.” Bersusah payah aku mencoba melepaskan tanganku dari cengkramannya, namun dia justru mengeratkan cengkramannya.
“Kamu menantangku?” laki-laki itu tersenyum miring dan perlahan mendekatkan wajahnya.
Aku yang berusaha membebaskan tangan kiriku darinya seketika terdiam. Spontan tangan kananku yang terbebas berusaha menahannya untuk tidak lebih dekat lagi. Namun, tenagaku tidak sebanding dengannya. Jantungku mulai berpacu. Wajahnya yang semakin dekat membuatku sontak berucap, “aku akan diam! Sungguh, aku akan diam.”
Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan lalu melepas tanganku dan kembali ke posisi duduknya seperti semula, “good girl.”
Aku mendengus kesal dan duduk dengan malas. Aku tidak habis pikir bisa bersama dengan laki-laki menyebalkan ini. Apa jadinya jika aku tidak menghentikannya tadi.
20 menit mobil berjalan. Akhirnya berhenti di basement sebuah perusahaan megah. Laki-laki itu keluar, begitupun denganku. Aku hanya mengekori laki-laki itu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kami memasuki lift dan melesat cepat menuju ke lantai 10. Ini pertama kalinya aku mengunjungi sebuah perusahaan semegah ini. Apa mungkin laki-laki ini pemilik perusahaan megah ini? Jika diperhatikan lagi dari sikap, pakaian, mobil mewah, sudah dapat dipastikan dia-lah pemilik perusahaan ini.
Dentingan lift menggema diikuti pintu lift yang terbuka. Laki-laki di sampingku berjalan keluar, begitupun denganku. Aku mengikutinya hingga kami sampai di depan pintu sebuah ruangan. Laki-laki di sampingku membuka pintu lalu mempersilakan bagiku untuk masuk. Pintu pun tertutup.
Sebuah ruangan yang sangat megah, di situlah aku berada. Ruangan dengan jendela kaca besar tepat di belakang kursi kebesaran. Beberapa hiasan klasik pun terpajang rapi di dinding. Dua sofa dan satu meja kaca melengkapi ruangan di depanku. Tumpukan kertas berada di atas meja dengan satu laptop diantaranya. Aku mulai bertanya-tanya, kenapa aku dibawa ke tempat ini.
Laki-laki di sampingku berjalan lalu berhenti tepat di samping meja kerjanya, “duduk di sana,” dia menatapku lalu berganti menatap kursi kebesarannya.
Aku masih bergeming di tempat, tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya. Melihatku yang tidak beranjak, laki-laki itu menatapku tajam, “cepat lakukan.”
Spontan aku berjalan melewatinya lalu duduk kursi –sesuai dengan perintahnya. Aku sama sekali tidak bisa membaca pikiran orang ini. Laki-laki tersebut meletakkan tangannya di atas tumpukan kertas di depannya lalu menatapku, “selesaikan semua pekerjaan ini. Aku harus rapat di luar. Ada yang ingin kamu tanyakan?”
Aku sempat terkejut namun segera bersuara sebelum laki-laki itu beranjak dari tempatnya, “aku tidak mengerti. Kenapa harus aku?”
“Karena hari ini sekretarisku tidak masuk. Jadi untuk hari ini kamu akan menjadi sekretarisku. Kerjakan semuanya jangan sampai ada yang salah,” laki-laki itu mulai melangkah menuju pintu.
Spontan aku berdiri dan berniat protes namun laki-laki itu lebih dulu berbalik menatapku sebelum dia keluar dari ruangan. Matanya menatapku lalu tersenyum tipis, “bagi seorang pemilik Kafe Coffee, hal ini bukan hal yang sulit bukan? Kuserahkan padamu, Carissa.”
.
.
Laki-laki itu keluar ruangan. Aku pun tidak memiliki kesempatan untuk menyela ucapannya. Aku berdecak kesal lalu duduk di kursi sembari memijat pelipisku. Pandanganku menatap tumpukan kertas di atas meja. Mengerjakan semua ini? Jangan bercanda denganku.Aku diam sejenak, berusaha mencari jalan keluar. Namun sama sekali tidak mendapatkan satu ide pun. Aku menghembuskan napas panjang. Sepertinya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Pukul 10 siang, aku mulai mengerjakan pekerjaan berat ini. Pekerjaan ini dua kali lipat jauh lebih berat dibanding aku meninjau laporan keuangan kafeku. Lebih parahnya lagi, aku tidak tahu kapan aku akan menyelesaikan semua kertas-kertas ini. Satu jam. Dua jam. Aku berhasil menyelesaikan setengah dari tumpukan sebelumnya dan sekarang aku mulai bosan. Kurenggangkan otot tanganku sembari bersandar di kursi. Mungkin istirahat sejenak akan lebih baik.Pandanganku mengedar menatap satu persatu hiasan dinding. Ruangan ini
Dia menautkan alisnya, menatapku dengan tatapan kesal, “apa yang aku lakukan di sini? Ini kamarku.”Sontak aku langsung bangkit dari tidurku dan justru mengakibatkan kepalaku berdenyut cukup kuat hingga membuatku didekap oleh laki-laki di depanku. Aku segera menjauhkan diri dengan berusaha menahan pusing di kepalaku. Mataku beralih menatapnya, “bagaimana aku bisa di kamarmu? Kamu tidak melakukan sesuatu, kan?”“Aku tidak tertarik melakukan sesuatu padamu,” jawabnya dingin, tanpa mengalihkan pandangannya dariku.Aku menghela napas pelan. Lagipula pakaianku masih lengkap. Sejak awal pun dia lebih suka mempermainkanku karena dia keturunan laki-laki menyebalkan. Suara lembut sebelumnya mungkin hanya imajinasiku saja.“Makanlah,” laki-laki itu menyodorkan nasi yang sudah dicampur dengan sup ayam.Aku mengangguk dan menerima mangkuk darinya. Perlahan namun pasti, aku mulai makan. Makanan ini enak, mirip den
Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal. Nomor baru? Siapa? Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku. Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?” “Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang s
Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?” “Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.“Tiketnya hany
Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju
Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur. Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya. Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?” Ren tersenyum, “tentu. Ayo.” Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no
Di tempat lain, seorang wanita berdiri di belakang jendela dengan sebuah senyum misterius. Dia meraih ponselnya lalu mendekatkan ke telinganya, “lanjutkan ke tahap berikutnya. Pastikan dia menyadari posisinya.”Wanita itu menyimpan ponselnya dengan sebuah seringai misterius. Sebuah derap langkah perlahan mendekat pada wanita itu. Dia menatap wanita di depannya dengan tatapan sedih.“Apa yang akan kamu lakukan, Riska? Tidak bisakah kamu merelakannya?” laki-laki itu enggan untuk lebih dekat lagi. Dia berdiri dengan jarak beberapa meter.Wanita bernama Riska tersebut menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya, “tidak, Kak Henry. Aku akan menghancurkan siapapun yang mendekati calon suami masa depanku.”“Carissa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Septian. Jika kamu ingin mendapatkan Septian kenapa harus mengurusi kehidupan Carissa? Kakak tidak suka apa yang kamu lakukan saat ini,” cerca Henry, b
Di hari Senin tepat pukul 8 lebih, aku sudah dalam perjalanan menuju ke kantor Septian. Entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk ke tempatnya. 45 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat parkir perusahaan megah milik Septian.Aku turun dari motor dan segera melangkah menuju ke meja resepsionis. Salah seorang wanita yang duduk di belakang meja, bergegas berdiri menyambutku. Dia tersenyum ramah, “ada yang bisa saya bantu?”“Apa Septian ada?” tanyaku.“Bos sedang keluar kota, sejak dua hari yang lalu. Apa Anda sedang ada janji dengan Beliau?” wanita tersebut kembali melontarkan padaku.Aku terdiam sejenak, mendengar jawaban dari wanita di depanku. Septian bahkan tidak mengatakan apapun padaku. Aku menggeleng lantas berucap, “tidak, tidak ada janji. Kalau begitu, terima kasih.”Wanita itu tersenyum dan membiarkanku berbalik menjauh dari meja resepsionis. Aku berjalan kembali menuju parkiran. Wani
Kembali ke tempat Septian. Dia meletakkan ponselnya begitu saja kemudian menginjak gas mobil lebih dalam untuk mempercepat laju mobilnya. Tujuannya kini berganti ke perusahaan megah di kota seberang. Pertemuan dengan direktur Perusahaan MS Group dimajukan olehnya karena ada banyak urusan yang harus ditanganinya.“Sialan. Wanita itu benar-benar psikopat,” umpatnya kesal.***“Kalian kesana dan culik dia,” ucap Riska dengan seseorang di seberang telepon.“...”Panggilan berakhir. Riska menyimpan ponselnya lantas tersenyum. “Kita mulai, Carissa.”Untuk yang kesekian kalinya, aku mengeluh pelan. Bagaimana tidak! Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit milik pribadi milik Septian. Berulang kali dia menegaskan padaku untuk tidak pulang sebelum tiga minggu dirawat dan itu membuatku kesal.“Aku bosan, Ren,” keluhku pelan. Ya, selama aku dirawat, Ren-lah yang menemaniku. Tanpa ber
Ren duduk di sampingku, menemaniku hingga aku benar-benar terlelap. Setelah memastikan aku tertidur, Ren melangkah pelan sembari mendorong troli makanan keluar dari kamar. Siapa sangka, Septian sudah duduk di kursi tunggu di luar kamar. Ren yang menyadari maksud dari tatapan Septian padanya, melangkah mendekat kemudian mengambil duduk di sebelah Septian. “Aku harus berterimakasih padamu karena bersedia mengurusi keperluan Carissa.” Septian berdehem. “...Aku dengar dari Carissa. Kalau dia tidak mengingat mengenai masa lalunya. Sebagai sahabat, kamu tahu sesuatu?” Ren bergeming. Dia enggan untuk menjawab dan memilih untuk beranjak dari duduknya, kembali mendorong troli. Namun langkahnya kembali terhenti dengan mata melirik ke arah Septian. “Jangan pernah membahas hal itu di depannya.” Tidak ada balasan dari Septian. Dia hanya menatap punggung Ren yang semakin menjauh. Kemarin malam, Riska pergi tepat setelah tidak terima dengan ancaman dari Septian. Kep
Septian terdiam mendengar penuturan dariku. Untuk beberapa saat hingga akhirnya dia menjawab, “tidak. Aku tidak tahu.”Pukul sepuluh malam. Selesai makan malam, Septian mengijinkanku untuk membuka ponsel. Aku bersorak senang mendengarnya. Namun tidak sampai satu jam aku memegang ponsel, rasa kantuk menghampirku. Pada akhirnya aku kembali menyimpan ponsel ke laci kemudian memposisikan tubuhku untuk tidur. Aku tidak tahu di mana Septian. Dia mengatakan ada urusan penting dan tidak mengatakan kemana tujuannya. Aku pun tidak terlalu memikirkannya karena dia pasti baik-baik saja.Di tempat lain. Di dalam ruang kerja milik Septian, tepatnya di lantai 10 Perusahaan BSC Production. Septian duduk berseberangan dengan Ren dan Will. Satu jam yang lalu, Ren tiba di gedung megah milik Septian. Dia diminta secara langsung oleh Will untuk datang dan berbincang dengan Septian.“Apa Carissa baik-baik saja?” Ren membuka suara.Septian berdehem, meno
“Rumah sakit ini, salah satu aset pribadiku. Jika mereka tidak mengerti apa yang diucapkan atasannya, tidak ada pilihan lain selain menggantikan mereka,” sambung Septian seakan tahu apa yang kupikirkan. Mendengar penjelasannya, aku mengangguk-angguk pelan. Untuk orang kaya sepertinya pasti tidak sulit untuk memiliki apa yang diinginkannya. “Semua berkasmu, akan kuurus. Aku hanya mengijinkanmu memegang ponsel hanya untuk mengangkat telepon penting. Selain itu, aku tidak mengijinkan,” Septian mengeluarkan ponselku dari saku jasnya kemudian meletakkannya di dalam laci. Aku mengangguk, “berkasku sangat banyak. Apa tidak mengganggu pekerjaanmu?” Septian menggeleng, “pekerjaanku selesai lebih cepat dan masih ada banyak waktu untuk mengurusi berkasmu.” Aku kembali mengangguk. Rasanya Septian semakin keras padaku, apa mungkin hanya perasaanku saja? “Jika tidak ada yang ingin kamu tanyakan, kamu harus banyak istirahat,” tegas Septian. A
“Kamu ini menderita anemia, tapi tidak makan dan sekarang anemiamu kambuh?” Septian melepas jasnya kemudian memberikannya padaku.“Aku berniat menginap di sini. Kamu bisa pulang,” kukembalikan jas miliknya lantas berniat berbaring di sofa. Namun Septian lebih dulu mencekal tanganku dan mengangkat tubuhku.Aku yang mendapat perlakuan tersebut, spontan melingkarkan tanganku pada leher Septian, “hei! Turunkan aku, Septian. Kamu akan membawaku kemana?”Tanpa banyak berucap, Septian melangkah keluar dari ruanganku menuju ke parkiran. Dia membawaku mendekat ke mobilnya dan dengan sigap dia membuka pintu mobilnya kemudian mendudukkanku di kursi sebelah jok kemudi. Dia bahkan memakaikan sabuk pengaman padaku.“Tunggu dulu. Tasku masih di dalam kantor,” protesku sembari mencoba membuka sabuk pengaman, namun Septian menahan tanganku kemudian mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menelpon seseorang.“Wil
Ren mengakhiri panggilan. Aku pun segera berganti menghubungi Septian. Namun Septian lebih dulu menghubungiku. Kembali kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “Aku sudah menerima makanan darimu. Aku mau makanan seperti ini besok pagi. Jika bahannya kurang, aku akan menyuruh Will berbelanja.” Mendengar apa yang diucapkan Septian membuatku tertawa, “masih ada kok bahannya. Besok akan kumasakkan lagi.” “Hm. Besok kamu akan ke kafe?” Aku berdiri dari sofa kemudian melangkah ke dapur, “iya, karena hari ini aku sama sekali tidak ke kafe.” Aku memeriksa bahan makanan yang berada di dalam kulkas. Setidaknya masih ada cadangan untuk membuat makanan besok. “Will akan menjemputmu dan mengantarmu ke kafe.” Aku duduk di ruang makan masih dengan ponsel di telingaku, “tidak perlu. Aku bisa ke kafe sendirian.” “Tidak. Will tetap akan mengantarmu. Jangan menolak.” Mendengar ucapan tegas dari Septian m
Pukul 12 siang, aku sudah sampai di rumah. Sepulang dari swalayan, aku berpamitan pada Ren untuk langsung pulang. Sedangkan dia pun akan pergi mengantarkan komiknya. Kutata semua bahan makanan ke dalam kulkas. Hari ini aku tidak berniat untuk ke kafe. Aku juga sudah mengatakannya pada Mako. Sebuah dering ponsel mengalihkan perhatianku. Kututup pintu kulkas kemudian mendekat ke ponselku yang berada di meja makan. Nama Septian tertera di layar ponsel, membuatku mengerutkan dahi. Tidak biasanya dia menelponku, karena dia biasanya akan langsung datang ke rumahku dan mengajakku rapat sesukanya. Kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “...Kamu ada di rumah?” Aku berdehem, “kenapa?” “Jangan pergi kemanapun jika tidak penting.” Aku mengangguk, “iya. Kamu masih di kantor?” “Iya.” “Apa ada pekerjaan yang harus kukerjakan?” “...Tidak. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Mendengar
Septian menyingkirkan tangan wanita itu dari lengannya sembari menatapnya dingin, “apa maumu, Riska?”Riska menyilangkan tangannya, menatap santai kearah lawan bicaranya, “Carissa.”Mendengar namaku disebut, Septian menatap tajam Riska tanpa mengatakan apapun. Septian tahu siapa yang menyebabku keracunan hari itu dan pelakunya saat ini tengah berdiri di depannya.“Turuti semua ucapanku, dengan begitu aku tidak akan menyentuhnya. Bagaimana?” Riska mengabaikan tatapan tajam Septian dan tanpa rasa takut dia mengucapkan apa yang sebenarnya dia inginkan.Ucapan Riska tidak direspon sama sekali oleh Septian. Dia tahu kalau wanita di depannya akan melakukan apapun untuk mendapatkan dirinya, bahkan dengan cara kotor sekalipun.Riska kembali mendekat dan memeluk lengan Septian, “pertama-tama, mari kita makan malam bersama.” Riska tahu ucapannya seakan menjadi ancaman untuk Septian dan dia akan terus mengancam
Kuterima panggilan tersebut kemudian mendekatkan ponsel ke telingaku, “hai, Alan.”“Hai, Carissa. Bagaimana kabarmu?”Kudorong kembali troli sembari mencari sambil berbincang dengan Alan, “aku sudah baik-baik saja, Alan.”“Kuingatkan padamu, jangan asal makan atau minum sesuatu yang belum terbiasa untukmu. Oke?”Mendengar nasihat darinya justru membuatku tertawa pelan, “oke. Oke. Aku akan mengingat nasihatmu, dokter.”Terdengar kekehan dari Alan di seberang, “itu benar. Pasien harus mendengarkan ucapan dokter. Jangan sampai kelelahan. Jaga kesehatanmu.”Aku berdehem, “oke. Kamu sedang tidak bekerja?”“Ini sedang bekerja. Tugasku hanya menjadi pengawas.”Aku berhenti di depan rak yang penuh dengan bumbu dapur, memilah beberapa kemudian memasukkannya ke dalam troli, “tidak masalah, kah? Rekan-rekanmu se