Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.
Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.
“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.
Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”
“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?”
“Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.
“Tiketnya hanya bisa digunakan malam ini. Apa kamu sibuk?”
Aku diam sejenak, berpikir. Malam ini aku tidak ingin memasak untuk makan malam. Mungkin pergi dengan Henry adalah pilihan terakhirku. “Tidak. Tidak sibuk sama sekali. Aku ikut denganmu,” ucapku.
“Benarkah? Kalau begitu, kita ketemuan di depan Resto Pynsa pukul 7. Dah.”
Tepat pukul 7 malam, aku sampai di Resto Pynsa. Dari dalam taksi aku bisa melihat Henry yang sudah sampai dan tengah menungguku di depan resto. Aku segera membayar taksi lalu keluar menghampiri Henry.
“Apa aku terlambat?” tanyaku setelah satu langkah di depannya.
Henry tersenyum lalu menggeleng, “aku yang terlalu cepat datang. Ayo masuk.” Henry menarikku untuk segera mengikutinya.
Kami masuk ke dalam resto, dimana sudah ada banyak orang yang duduk sembari menikmati hidangan di depan mereka. Henry membawaku ke sebuah tempat duduk yang masih kosong. Karena kami datang berdasarkan tiket, maka pelayan pun dengan sigap menerima tiket dari Henry lalu berjalan menuju ke dapur.
Resto Pynsa, merupakan resto mewah ke dua di kota ini. Resto ini memiliki area yang luas, dimana terdapat beberapa tempat makan dengan nuansa yang berbeda. Saat ini kami berada di tempat makan yang hanya bisa dipesan untuk dua orang. Aku dan Henry duduk berhadapan, sembari menunggu makanan datang.
“Kamu sibuk akhir-akhir ini?” Henry membuka suara, mengawali pembicaraan.
Aku mengangguk, “memang merepotkan. Tapi aku harus tetap melakukannya.”
Henry tertawa pelan, “semangatlah. Aku bisa membantumu jika kamu butuh bantuan.”
Di lain tempat, Ren memegang beberapa lembar kertas. Matanya memicing, membaca setiap kalimat yang tertulis. Sebuah boxfile tergeletak di depannya dengan judul “Kasus Ditutup, Tabrakan Lima Tahun yang lalu”. Ren menggeram sembari mengacak-ngacak rambutnya, “ini sulit. Aku butuh rekaman CCTV. Apapun yang terjadi aku akan menemukan pelaku yang menabrakmu, Carissa.”
Di sebuah ruangan megah, Septian duduk santai sembari memperhatikan layar komputernya. Matanya menatap gerak-gerik di setiap monitor CCTV. Di tangannya memegang selembar kertas, yang sudah selesai dibacanya. Melihat sesuatu yang janggal, Septian meletakkan kertas di tangannya lalu menyambar jasnya kemudian bergegas meninggalkan ruangannya. Dia membawa mobil mewahnya membelah jalanan.
Pukul 8 malam, aku dan Henry keluar dari resto. Henry mengatakan jika akan mengantarku sampai ke rumah. Kami berdiri di tepi jalan menunggu taksi.
“Sangat berbahaya jika pulang malam sendirian,” ucap Henry.
Aku hanya mengangguk. Hal itulah yang menjadi alasan kami tidak bisa berlama-lama di Resto Pynsa. Setelah makan malam selesai, Henry mengajakku untuk segera pulang.
Aku menoleh kesana-kemari menunggu taksi yang telah kami pesan yang tak kunjung datang. Pandanganku terhenti pada seseorang yang terang-terangan menatap kearahku. Dia mengalihkan wajahnya ketika aku menatapnya, dan bagiku itu sangat aneh.
“Ada apa, Carissa?” Henry menatap kearah yang sama denganku.
Kualihkan pandanganku menatap Henry, “aku merasa seseorang memperhatikanku.”
Henry merangkul bahuku, “abaikan saja.”
Aku mengangguk, berusaha untuk mengalihkan pikiranku.
Suara derap langkah kembali mengalihkan pandanganku. Aku menoleh ke kananku dan seketika terkejut saat orang yang kutatap sebelumnya berlari kearahku dengan sebuah belati di tangan kanannya.
Aku berusaha menghindarinya, yang semakin dekat denganku. Saat belati itu tepat di depan perutku, spontan aku menutup mata. Tiga detik aku tidak merasakan sakit atau apapun. Perlahan aku membuka mata dan kembali terkejut saat Henry menggunakan telapak tangannya untuk menahan belati itu.
“Henry!”
Pandangan Henry menatap tajam pelaku yang menusuknya. Bukannya meminta maaf atau bertanggungjawab atas ulahnya, pelaku justru menarik kembali belatinya lalu bergegas pergi.
Cepat-cepat aku menggunakan sapu tanganku untuk menahan darah agar tidak banyak keluar. Taksi pesanan kami datang di waktu yang sangat tepat. Aku segera membuka pintu taksi dan menyuruh Henry untuk masuk.
Aku duduk di samping Henry, “ke rumah sakit, pak.”
“Baik, nona,” supir taksi mulai menjalankan taksi menuju ke tujuan yang kusebutkan.
Tanganku masih menekan sapu tangan di telapak tangan Henry, memastikan agar Henry tidak kehilangan banyak darah.
“Aku baik-baik saja, Carissa,” Henry menyentuh tanganku dengan tangan kiri.
Aku menggeleng kuat, “tidak. Kita harus ke rumah sakit. Lukamu harus diobati.”
Terdengar helaan napas dari Henry. Tangan kirinya meraih kepalaku lalu menariknya perlahan, menyatukannya dengan kepalanya, “kamu sangat baik, Carissa. Benar-benar baik.”
Di tempatku sebelumnya, Septian menghela napas panjang sembari menyandarkan punggungnya. Dia hampir saja keluar dari mobilnya jika seseorang tidak mengambil tindakan menahan belati itu melukaiku. Septian menyalakan mobilnya kemudian mulai menjalankan mobilnya meninggalkan tempat. Sorot matanya menatap tajam jalanan di depannya. Otaknya kembali mengingat kejadian yang baru saja dilihatnya.
“Sepertinya aku harus mulai berhati-hati. Sesuatu yang buruk akan terjadi dalam waktu dekat,” desisnya pelan.
.
.
Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju
Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur. Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya. Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?” Ren tersenyum, “tentu. Ayo.” Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no
Di tempat lain, seorang wanita berdiri di belakang jendela dengan sebuah senyum misterius. Dia meraih ponselnya lalu mendekatkan ke telinganya, “lanjutkan ke tahap berikutnya. Pastikan dia menyadari posisinya.”Wanita itu menyimpan ponselnya dengan sebuah seringai misterius. Sebuah derap langkah perlahan mendekat pada wanita itu. Dia menatap wanita di depannya dengan tatapan sedih.“Apa yang akan kamu lakukan, Riska? Tidak bisakah kamu merelakannya?” laki-laki itu enggan untuk lebih dekat lagi. Dia berdiri dengan jarak beberapa meter.Wanita bernama Riska tersebut menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya, “tidak, Kak Henry. Aku akan menghancurkan siapapun yang mendekati calon suami masa depanku.”“Carissa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Septian. Jika kamu ingin mendapatkan Septian kenapa harus mengurusi kehidupan Carissa? Kakak tidak suka apa yang kamu lakukan saat ini,” cerca Henry, b
Di hari Senin tepat pukul 8 lebih, aku sudah dalam perjalanan menuju ke kantor Septian. Entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk ke tempatnya. 45 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat parkir perusahaan megah milik Septian.Aku turun dari motor dan segera melangkah menuju ke meja resepsionis. Salah seorang wanita yang duduk di belakang meja, bergegas berdiri menyambutku. Dia tersenyum ramah, “ada yang bisa saya bantu?”“Apa Septian ada?” tanyaku.“Bos sedang keluar kota, sejak dua hari yang lalu. Apa Anda sedang ada janji dengan Beliau?” wanita tersebut kembali melontarkan padaku.Aku terdiam sejenak, mendengar jawaban dari wanita di depanku. Septian bahkan tidak mengatakan apapun padaku. Aku menggeleng lantas berucap, “tidak, tidak ada janji. Kalau begitu, terima kasih.”Wanita itu tersenyum dan membiarkanku berbalik menjauh dari meja resepsionis. Aku berjalan kembali menuju parkiran. Wani
Septian berdiri di depanku dengan tas jinjing di tangannya. Dia menyerahkan tas yang dibawanya padaku, “ini untukmu.”Dengan penuh keraguan, aku menerima tas tersebut dan melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah vas bunga berwarna putih yang sangat cantik berada di dalam tas yang kupegang. Pandanganku beralih menatap Septian, “kenapa?”Septian mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak ingin menatapku, “hanya oleh-oleh kecil.”Melihat reaksi Septian membuatku menyungging senyum. Terlepas dari sikap menyebalkannya, dia masih punya sikap lembut yang aku yakin sangat jarang ditunjukkan pada orang lain.Aku membuka pintu lebih lebar, “masuklah, aku akan membuatkan kopi untukmu.”Tanpa banyak berpikir, Septian melangkah masuk. Aku pun segera membuntutinya. Saat sampai di depan ruanganku, aku bergegas membuka pintu dan mempersilakan baginya untuk masuk, “tunggulah di sini. Aku akan membuat kopi. Apa
Pukul 8 pagi, aku masih sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan disaat yang bersamaan sebuah klakson mobil di depan rumahku. Aku berpikir itu pasti Septian. Tanpa melepas apronku, aku bergegas membuka pintu dan Septian sudah berdiri di depan pintu rumah.Aku yang terkejut karenanya hanya bisa berdiam diri di ambang pintu.Septian menatapku dengan tatapan tidak suka, “kenapa masih pakai apron?”Aku tersenyum kaku, “aku baru saja selesai membuat sarapan. Kamu mau ikut sarapan?” tanyaku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.Septian terlihat menghela napas sembari menatapku dengan tatapan yang lebih lembut, “apa yang sedang kamu masak?”“Omurice. Masuklah,” aku menyingkir dari pintu dan memersilakan baginya untuk masuk.Septian melangkah masuk sembari memerhatikan sekitar. Pintu kembali kututup lantas berjalan mensejajari langkah Septian menuju ruang makan. Septian menarik kursi lalu duduk sembari m
Hana berpikir sejenak lalu menjawab, “beliau tegas, pekerja keras. Beliau juga baik hati. Saat ibu saya masuk rumah sakit, Beliau tidak membebankan pekerjaan pada saya. Yang ada justru Tuan Septian memberikan saya cuti satu minggu untuk menemani ibu saya.”Aku sedikit tidak percaya dengan kata ‘baik hati’ yang diucapkan oleh Hana. Cukup sulit untuk membayangkan apa yang Hana ceritakan sekaligus sulit untuk membayangkan Septian dalam mode baik hati. Aku menundukkan kepala, berusaha untuk menahan tawaku. Demi menghindari sikap curiga dari Hana, aku kembali meminum minuman di tanganku.“Walaupun kadang Tuan Septian galak. Apalagi beliau selalu menatap orang lain dengan tatapan tajam dan dinginnya. Hal itu membuat semua orang takut padanya. Selama saya bekerja saya belum pernah sekalipun melihat Tuan Septian tersenyum ataupun menatap orang lain dengan tatapan yang lebih ramah,” sambung Hana.Sekali lagi aku diam, mengingat kembali
Septian yang melihatku tersungkur bergerak cepat mendekap tubuhku, “kamu baik-baik saja?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku, memeriksa suhuku, “kamu demam?”Tanganku memegang lengannya, “maaf. Kepalaku rasanya sakit.” Setelah kalimat itu terucap, kesadaranku perlahan mulai hilang dan semuanya menjadi gelap.Dengan sigap Septian mengangkat tubuhku lalu membaringkannya ke sofa. Septian mengambil ponselnya dan berniat menghubungi dokter, namun pintu ruangan lebih dulu terbuka dengan Mako dan Alan yang berdiri diambang pintu.Melihatku yang terbaring sontak membuat Mako panik. Cepat-cepat dia mendekat lalu menanyakan keadaanku pada Septian, “apa yang terjadi pada nona? Apa dia baik-baik saja?”“Tidak. Aku akan menghubungi dokter,” tindakan Septian kembali terhenti saat Alan mendekat padanya dan berkata dialah yang akan memeriksaku.Septian mengalihkan pandangannya menatap tidak pe
Kembali ke tempat Septian. Dia meletakkan ponselnya begitu saja kemudian menginjak gas mobil lebih dalam untuk mempercepat laju mobilnya. Tujuannya kini berganti ke perusahaan megah di kota seberang. Pertemuan dengan direktur Perusahaan MS Group dimajukan olehnya karena ada banyak urusan yang harus ditanganinya.“Sialan. Wanita itu benar-benar psikopat,” umpatnya kesal.***“Kalian kesana dan culik dia,” ucap Riska dengan seseorang di seberang telepon.“...”Panggilan berakhir. Riska menyimpan ponselnya lantas tersenyum. “Kita mulai, Carissa.”Untuk yang kesekian kalinya, aku mengeluh pelan. Bagaimana tidak! Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit milik pribadi milik Septian. Berulang kali dia menegaskan padaku untuk tidak pulang sebelum tiga minggu dirawat dan itu membuatku kesal.“Aku bosan, Ren,” keluhku pelan. Ya, selama aku dirawat, Ren-lah yang menemaniku. Tanpa ber
Ren duduk di sampingku, menemaniku hingga aku benar-benar terlelap. Setelah memastikan aku tertidur, Ren melangkah pelan sembari mendorong troli makanan keluar dari kamar. Siapa sangka, Septian sudah duduk di kursi tunggu di luar kamar. Ren yang menyadari maksud dari tatapan Septian padanya, melangkah mendekat kemudian mengambil duduk di sebelah Septian. “Aku harus berterimakasih padamu karena bersedia mengurusi keperluan Carissa.” Septian berdehem. “...Aku dengar dari Carissa. Kalau dia tidak mengingat mengenai masa lalunya. Sebagai sahabat, kamu tahu sesuatu?” Ren bergeming. Dia enggan untuk menjawab dan memilih untuk beranjak dari duduknya, kembali mendorong troli. Namun langkahnya kembali terhenti dengan mata melirik ke arah Septian. “Jangan pernah membahas hal itu di depannya.” Tidak ada balasan dari Septian. Dia hanya menatap punggung Ren yang semakin menjauh. Kemarin malam, Riska pergi tepat setelah tidak terima dengan ancaman dari Septian. Kep
Septian terdiam mendengar penuturan dariku. Untuk beberapa saat hingga akhirnya dia menjawab, “tidak. Aku tidak tahu.”Pukul sepuluh malam. Selesai makan malam, Septian mengijinkanku untuk membuka ponsel. Aku bersorak senang mendengarnya. Namun tidak sampai satu jam aku memegang ponsel, rasa kantuk menghampirku. Pada akhirnya aku kembali menyimpan ponsel ke laci kemudian memposisikan tubuhku untuk tidur. Aku tidak tahu di mana Septian. Dia mengatakan ada urusan penting dan tidak mengatakan kemana tujuannya. Aku pun tidak terlalu memikirkannya karena dia pasti baik-baik saja.Di tempat lain. Di dalam ruang kerja milik Septian, tepatnya di lantai 10 Perusahaan BSC Production. Septian duduk berseberangan dengan Ren dan Will. Satu jam yang lalu, Ren tiba di gedung megah milik Septian. Dia diminta secara langsung oleh Will untuk datang dan berbincang dengan Septian.“Apa Carissa baik-baik saja?” Ren membuka suara.Septian berdehem, meno
“Rumah sakit ini, salah satu aset pribadiku. Jika mereka tidak mengerti apa yang diucapkan atasannya, tidak ada pilihan lain selain menggantikan mereka,” sambung Septian seakan tahu apa yang kupikirkan. Mendengar penjelasannya, aku mengangguk-angguk pelan. Untuk orang kaya sepertinya pasti tidak sulit untuk memiliki apa yang diinginkannya. “Semua berkasmu, akan kuurus. Aku hanya mengijinkanmu memegang ponsel hanya untuk mengangkat telepon penting. Selain itu, aku tidak mengijinkan,” Septian mengeluarkan ponselku dari saku jasnya kemudian meletakkannya di dalam laci. Aku mengangguk, “berkasku sangat banyak. Apa tidak mengganggu pekerjaanmu?” Septian menggeleng, “pekerjaanku selesai lebih cepat dan masih ada banyak waktu untuk mengurusi berkasmu.” Aku kembali mengangguk. Rasanya Septian semakin keras padaku, apa mungkin hanya perasaanku saja? “Jika tidak ada yang ingin kamu tanyakan, kamu harus banyak istirahat,” tegas Septian. A
“Kamu ini menderita anemia, tapi tidak makan dan sekarang anemiamu kambuh?” Septian melepas jasnya kemudian memberikannya padaku.“Aku berniat menginap di sini. Kamu bisa pulang,” kukembalikan jas miliknya lantas berniat berbaring di sofa. Namun Septian lebih dulu mencekal tanganku dan mengangkat tubuhku.Aku yang mendapat perlakuan tersebut, spontan melingkarkan tanganku pada leher Septian, “hei! Turunkan aku, Septian. Kamu akan membawaku kemana?”Tanpa banyak berucap, Septian melangkah keluar dari ruanganku menuju ke parkiran. Dia membawaku mendekat ke mobilnya dan dengan sigap dia membuka pintu mobilnya kemudian mendudukkanku di kursi sebelah jok kemudi. Dia bahkan memakaikan sabuk pengaman padaku.“Tunggu dulu. Tasku masih di dalam kantor,” protesku sembari mencoba membuka sabuk pengaman, namun Septian menahan tanganku kemudian mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menelpon seseorang.“Wil
Ren mengakhiri panggilan. Aku pun segera berganti menghubungi Septian. Namun Septian lebih dulu menghubungiku. Kembali kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “Aku sudah menerima makanan darimu. Aku mau makanan seperti ini besok pagi. Jika bahannya kurang, aku akan menyuruh Will berbelanja.” Mendengar apa yang diucapkan Septian membuatku tertawa, “masih ada kok bahannya. Besok akan kumasakkan lagi.” “Hm. Besok kamu akan ke kafe?” Aku berdiri dari sofa kemudian melangkah ke dapur, “iya, karena hari ini aku sama sekali tidak ke kafe.” Aku memeriksa bahan makanan yang berada di dalam kulkas. Setidaknya masih ada cadangan untuk membuat makanan besok. “Will akan menjemputmu dan mengantarmu ke kafe.” Aku duduk di ruang makan masih dengan ponsel di telingaku, “tidak perlu. Aku bisa ke kafe sendirian.” “Tidak. Will tetap akan mengantarmu. Jangan menolak.” Mendengar ucapan tegas dari Septian m
Pukul 12 siang, aku sudah sampai di rumah. Sepulang dari swalayan, aku berpamitan pada Ren untuk langsung pulang. Sedangkan dia pun akan pergi mengantarkan komiknya. Kutata semua bahan makanan ke dalam kulkas. Hari ini aku tidak berniat untuk ke kafe. Aku juga sudah mengatakannya pada Mako. Sebuah dering ponsel mengalihkan perhatianku. Kututup pintu kulkas kemudian mendekat ke ponselku yang berada di meja makan. Nama Septian tertera di layar ponsel, membuatku mengerutkan dahi. Tidak biasanya dia menelponku, karena dia biasanya akan langsung datang ke rumahku dan mengajakku rapat sesukanya. Kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “...Kamu ada di rumah?” Aku berdehem, “kenapa?” “Jangan pergi kemanapun jika tidak penting.” Aku mengangguk, “iya. Kamu masih di kantor?” “Iya.” “Apa ada pekerjaan yang harus kukerjakan?” “...Tidak. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Mendengar
Septian menyingkirkan tangan wanita itu dari lengannya sembari menatapnya dingin, “apa maumu, Riska?”Riska menyilangkan tangannya, menatap santai kearah lawan bicaranya, “Carissa.”Mendengar namaku disebut, Septian menatap tajam Riska tanpa mengatakan apapun. Septian tahu siapa yang menyebabku keracunan hari itu dan pelakunya saat ini tengah berdiri di depannya.“Turuti semua ucapanku, dengan begitu aku tidak akan menyentuhnya. Bagaimana?” Riska mengabaikan tatapan tajam Septian dan tanpa rasa takut dia mengucapkan apa yang sebenarnya dia inginkan.Ucapan Riska tidak direspon sama sekali oleh Septian. Dia tahu kalau wanita di depannya akan melakukan apapun untuk mendapatkan dirinya, bahkan dengan cara kotor sekalipun.Riska kembali mendekat dan memeluk lengan Septian, “pertama-tama, mari kita makan malam bersama.” Riska tahu ucapannya seakan menjadi ancaman untuk Septian dan dia akan terus mengancam
Kuterima panggilan tersebut kemudian mendekatkan ponsel ke telingaku, “hai, Alan.”“Hai, Carissa. Bagaimana kabarmu?”Kudorong kembali troli sembari mencari sambil berbincang dengan Alan, “aku sudah baik-baik saja, Alan.”“Kuingatkan padamu, jangan asal makan atau minum sesuatu yang belum terbiasa untukmu. Oke?”Mendengar nasihat darinya justru membuatku tertawa pelan, “oke. Oke. Aku akan mengingat nasihatmu, dokter.”Terdengar kekehan dari Alan di seberang, “itu benar. Pasien harus mendengarkan ucapan dokter. Jangan sampai kelelahan. Jaga kesehatanmu.”Aku berdehem, “oke. Kamu sedang tidak bekerja?”“Ini sedang bekerja. Tugasku hanya menjadi pengawas.”Aku berhenti di depan rak yang penuh dengan bumbu dapur, memilah beberapa kemudian memasukkannya ke dalam troli, “tidak masalah, kah? Rekan-rekanmu se