Share

Sweet #7

Penulis: Nita K.
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-21 12:17:21

Pukul 9 malam. Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Hampir seharian aku tidak memeriksa ponselku dan begitu kubuka 3 panggilan tidak terjawab serta 5 pesan belum terbaca. Tiga panggilan tersebut dari Ren dan Alan. Sedangkan untuk pesan, dari Ren, Henry dan yang terbaru dari nomor tidak kukenal.

Nomor baru? Siapa?

Kubuka satu persatu pesan tersebut. Pertama pesan dari Ren yang mengingatkanku mengenai acara besok lusa. Aku segera membalasnya lalu berganti membaca pesan berikutnya dari Henry, dia mengirimkan sebuah foto tiket makan malam di salah satu restoran. Aku pun segera membalasnya walaupun sangat terlambat karena pesan darinya kuterima pukul 10 siang. Terakhir, pesan dari nomor tidak dikenal. Belum sempat aku membaca pesan tersebut, sebuah panggilan dengan nomor yang sama menghubungiku.

Kutekan tombol hijau lalu mendekatkan ke telingaku, “ya, halo. Dengan siapa?”

“Ini aku,” seseorang di seberang telepon menjawab. Nada yang sangat khas dari orang yang mengantarku sore ini. Tapi bagaimana dia bisa mendapatkan nomorku?

“S-Septian?” tanyaku memastikan.

Orang di seberang hanya berdehem sebagai jawaban. CEO menyebalkan yang seenaknya membawaku dan menyuruhku menjadi sekretarisnya, menghubungi tanpa tahu kapan aku memberikan nomorku padanya.

“Bagaimana kamu bisa mendapatkan nomorku?” tanyaku.

“Bukan hal yang sulit bagiku,” Septian menjawab singkat.

Aku menghela napas pelan. Menjauh dari laki-laki ini memang mustahil. Apalagi aku dipaksa harus menjadi sekretarisnya, “jadi, ada apa menghubungiku?”

“Mengingatkanmu kalau besok kamu harus menemaniku rapat. Kujemput pukul 8 pagi. Dah!” panggilan diakhiri sepihak oleh Septian. Aku hanya bisa menatap layar ponselku sembari menahan emosi. Selalu menyebalkan seperti biasa. Mungkin mode menyenangkan seperti sebelumnya tidak akan dilakukannya lagi.

Kuletakkan ponselku di atas meja lalu masuk ke dalam selimut dan tidur. Besok akan menjadi hari yang berat bagiku. Untuk malam ini, aku ingin tidur lebih awal.

Keesokan harinya. Tepat pukul 8 pagi. Sebuah klakson mobil memaksaku untuk keluar rumah. Septian dan mobilnya sudah berada di depan rumahku, sesuai dengan apa yang dikatakannya semalam.

Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mataku menatap Septian yang menungguku di dalam mobil. Dia bahkan tidak berniat untuk turun. Mau bagaimana lagi, aku berjalan menuju ke mobilnya lalu masuk dan duduk di sampingnya.

Tanpa berlama-lama, Septian mulai menjalankan mobilnya menyusuri jalan. Tidak ada pembicaraan diantara kami. Septian pun terlihat sangat fokus dengan jalan di depannya. Ibarat kalimat, jangan menggangguku atau akan kuturunkan kamu di sini.

“Sudah sarapan?” Septian membuka pembicaraan.

Aku berdehem, “sudah.”

“Kalau begitu kita langsung ke tempat rapat,” Septian melajukan mobilnya lebih cepat.

Pagi ini, jalan raya perlahan mulai ramai lalu-lalang kendaraan. Beberapa juga terlihat angkot yang keluar dari area sekolah. Entah kenapa, aku tidak begitu mengingat mengenai masa laluku mulai dari dimana aku bersekolah, siapa saja temanku, dan bagaimana kehidupanku waktu itu. Aku tidak ingat semuanya. Saat aku bertanya mengenai hal itu, Ibu menjawab kehidupanku sangat menyenangkan. Namun jika aku bertanya apakah aku pernah mengalami kecelakaan hingga membuatku kehilangan ingatanku, Ibuku menjawab tidak.

Bukankah ini sangat aneh. Aku hanya mengingat kejadian lima tahun terakhir. sedangkan sebelum itu aku tidak bisa mengingatnya. Seakan aku tidak pernah mengalami kehidupan sebelumnya.

“Kita sudah sampai. Ayo turun,” suara Septian menyadarkanku.

Aku menoleh kearahnya yang sudah melepas sabuk pengaman dan bersiap keluar mobil. Segera aku melakukan hal yang sama dan keluar dari mobil. Aku hanya mengekori Septian yang berjalan masuk ke sebuah gedung perusahaan. Gedung yang sama megahnya dengan milik Septian. Kami masuk ke dalam lift dan dengan cepat diantar menuju ke lantai 5.

“Apa yang kamu lamunkan?” Septian berucap tanpa menoleh kearahku sedikit pun.

“Bukan apa-apa,” jawabku singkat. Mana mungkin aku menjelaskan pada orang ini. Kemungkinan besar tidak ditanggapi adalah seratus persen.

“Apapun itu. Jangan sampai mengganggu rapat hari ini,” pintu lift terbuka dan Septian melangkah keluar. Aku pun mulai melangkahkan kaki mensejajari Septian.

Seorang wanita dewasa dengan pakaian rapi berdiri menyambut kami. Dia tersenyum kearah Septian lalu membuka pintu di belakangnya. Aku tidak akan terkejut jika masih banyak wanita di luar sana yang mengagumi laki-laki di sampingku saat ini.

Septian melangkah masuk, begitupun aku. Di dalam ruangan, sudah ada enam orang yang duduk menunggu kedatangan kami. Septian mengisyaratkan padaku untuk duduk di salah satu kursi yang masih kosong. Sedangkan dirinya segera melangkah dan berdiri di depan semua orang.

Tanpa menunggu perintah dua kali, aku segera duduk dan meeting pun dimulai. Di sini, Septianlah yang menjadi pembicara, membicarakan mengenai kerjasama dan juga pembagian dividen. Aku tidak begitu mengerti, tapi sebisa mungkin aku mencermati dan berusaha memahami pembicaraan.

Septian berbicara sembari menjelaskan tulisan yang ditampilkan di layar proyektor. Dia terlihat begitu berwibawa menjelaskan tanpa ada keraguan sedikitpun dalam setiap kalimatnya. Mungkin saja, dia sudah terbiasa dengan atmosfer seperti ini.

Septian menatapku sekilas lalu mengalihkan pandangannya menatap enam orang di depannya, “untuk sementara kita lanjutkan sesuai dengan program kerja yang telah disepakati. Jika ada sesuatu yang ingin dibahas, kita lakukan di rapat berikutnya. Yang ingin bertanya saya persilakan.”

Semua orang menunduk, membaca kembali materi di depan mereka. Begitupun denganku. Saat Septian menatapku tadi, seketika aku tersadar kalau aku terlalu lama memerhatikannya. Sial! Apa dia menyadarinya?

Salah seorang audien mengangkat tangan membuat Septian menatapnya, “di sini dituliskan kalau dalam waktu dekat bekerja sama dengan salah satu kafe. Dalam hal ini, kafe seperti apa yang masuk kriteria?”

“Kalau urusan itu, aku sudah memutuskannya. Aku akan mengabarinya besok. Ada yang ditanyakan lagi?” Septian menjawab dengan nada tenang tanpa mengalihkan pandangannya dari audien. Semua orang menggeleng. Septian pun mengganti lembaran di tangannya dan kembali melanjutkan pembicaraan mengenai pembagian dividen.

Bekerja sama dengan kafe? Satu-satunya kafe yang menonjol diantara kafe yang lain adalah Kafe Mandellin. Namun jika mengingat pemiliknya yang sukar ditemui, mungkin itu akan menyulitkan untuk menjalin kerja sama.

“Baiklah sekian untuk hari ini,” Septian meninggalkan kertas-kertas di tangannya lalu berjalan menuju pintu. Dia sempat melihat kearahku dan mengisyaratkan untuk mengikutinya.

Aku pun berdiri lalu sedikit membungkuk pada semua orang kemudian mengikuti Septian keluar ruangan. Seorang wanita yang sama menyambut kami. Dia berdiri dengan senyum merekah di bibirnya.

“Terima kasih atas kehadirannya, Tuan. Apa Tuan berkenan untuk ikut makan siang?” ucap wanita itu.

“Tidak perlu,” Septian berjalan melewati wanita itu, tanpa sedikitpun berniat untuk menatap kearahnya. Untuk kali ini, aku tidak ingin berkomentar apapun. Jadi, aku hanya mengikutinya tanpa sepatah katapun. Kami masuk lift dan lift pun bergerak turun menuju lantai dasar.

“Bagaimana menurutmu rapat tadi?” Septian sembari menatap kearahku.

Kualihkan pandanganku menatapnya, “aku tidak begitu paham tapi kamu menjelaskan dengan sangat baik. Aku penasaran, kafe mana yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaanmu. Kalau tebakanku benar, apa itu Kafe Mandellin?”

“Kafemu,” Septian menjawab dengan santai.

Aku mengangguk-anggukkan kepala namun setelah sadar apa yang diucapkannya, aku menatapnya tidak percaya, “a-apa aku tidak salah dengar?”

Septian tidak menjawab. Dia lebih memilih melangkahkan kaki begitu pintu lift terbuka. Melihat pertanyaanku yang diacuhkan olehnya, aku pun segera mengejarnya untuk mengetahui kebenaran dari ucapannya.

“Tunggu dulu. Jawab pertanyaanku,” aku berusaha mensejajari langkah Septian yang mengarah ke parkiran.

Begitu sampai di dekat mobilnya dia berhenti lalu beralih menatapku, “kenapa? Kamu tidak suka? Bukankah ini akan menguntungkan bagimu?”

“Memang menguntungkan, tapi kenapa? Bukankah masih ada kafe yang lebih terkenal? Kenapa harus kafeku?” sergahku dengan rentetan pertanyaan.

Septian menatapku dengan tatapan datar, “aku tidak tertarik.” Setelah itu dia berbalik dan masuk mobil. Sebelum dia menyuruhku dengan kata tajamnya, aku segera masuk mobil dan duduk di samping jok kemudi.

Tanpa menunggu lama, Septian menjalankan mobilnya keluar dari pelataran perusahaan. mobil bergerak menyusuri jalan, membaur dengan kendaraan lainnya. Aku masih tidak bisa mempercayai ucapan Septian. Mana mungkin kafe kecil seperti milikku bisa bekerja sama dengan perusahaan besar miliknya. Kesampingkan mengenai hal itu, mobil Septian terus bergerak hingga melewati perbatasan kota. Jika akan kembali ke perusahaannya, seharusnya dia kearah sebaliknya.

Aku berniat membuka suara namun Septian lebih dulu berucap, “kita akan makan siang dengan klien.”

Parah!

.

.

Bab terkait

  • Sweet Coffee   Sweet #8

    Pukul 5 sore. Septian mengantarku sampai ke rumah. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk mampir ke kafeku. Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sekujur tubuhku rasanya lelah. Makan siang dengan klien memang tidak memakan waktu lama, namun setelah itu Septian menyuruhku untuk membantunya menyelesaikan berkas di kantornya. Pada akhirnya semua itu selesai sore ini.Sebuah dering ponsel menahanku untuk tidak tertidur. Dengan malas aku mengambil ponsel di dalam tas lalu menerima panggilan.“Carissa, malam ini senggang?” suara riang Henry terdengar di telingaku.Aku menghela napas pelan, “apa ada sesuatu?”“Aku mendapatkan tiket makan malam. Kamu sudah membaca pesanku kemarin bukan? Jadi aku mau mengajakmu makan malam, nanti. Bagaimana?” “Apa harus malam ini, Henry?” sebenarnya aku ingin menolaknya, karena hari ini aku sangat kelelahan.“Tiketnya hany

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-27
  • Sweet Coffee   Sweet #9

    Keesokan harinya, aku sedikit trauma dengan kejadian semalam dan hari ini rasanya aku ingin di rumah seharian, tanpa melakukan apapun. Sebuah ketukan pintu mengagetkanku yang tengah duduk di ruang makan. Dengan penuh kehati-hatian, aku melihat orang yang mengetuk pintu dari jendela. Septian? Aku membuka pintu dan mendapati Septian yang menatapku dengan tatapan dinginnya. Aku diam, begitu juga dengannya. Aku menundukkan kepala lalu berucap pelan, “aku tidak ingin pergi kemanapun hari ini.” “Kenapa? Kamu demam?” Septian meletakkan telapak tangannya ke dahiku lalu kembali menyimpan tangannya. Aku menggeleng pelan, “aku... hanya tidak ingin pergi.” “Menyingkir,” Septian berucap pelan namun tajam. Kudongakkan wajahku menatapnya dan dia menatapku dengan tatapan dinginnya. “Menyingkir,” ulangnya. Spontan, aku menepi dan membiarkan Septian masuk. Pintu kembali tertutup. Aku mengikuti langkah Septian yang menuju

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • Sweet Coffee   Sweet #10

    Keesokan harinya, aku bersiap menunggu Ren datang menjemput. Kemarin sore, Septian benar-benar kembali dengan beberapa makanan hangat. Dia juga ikut makan malam denganku. Saat aku tanya mengenai cokelat itu, dia hanya menjawab kalau dia mendapatkan cokelat tersebut dari pemilik kedai dan sama sekali tidak berniat untuk memakannya. Karena itu dia memberikannya padaku. Mendengar jawabannya justru membuatku tertawa. Septian sama sekali tidak ingin berkata jujur. Sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Aku bergegas mengintip melalui jendela, memastikan kalau orang yang mengetuk pintu adalah Ren. Dan benar, Ren berdiri di depan pintu rumahku dengan pakaian santainya. Aku segera membuka pintu, “berangkat sekarang?” Ren tersenyum, “tentu. Ayo.” Aku keluar rumah, tanpa lupa mengunci pintu kemudian berjalan mensejajari Ren. Hari ini, Ren mengajakku ke sebuah bazar dengan motornya. Bazar tersebut digelar setiap tahun. Bazar yang menjual aneka jenis buku, no

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-06
  • Sweet Coffee   Sweet #11

    Di tempat lain, seorang wanita berdiri di belakang jendela dengan sebuah senyum misterius. Dia meraih ponselnya lalu mendekatkan ke telinganya, “lanjutkan ke tahap berikutnya. Pastikan dia menyadari posisinya.”Wanita itu menyimpan ponselnya dengan sebuah seringai misterius. Sebuah derap langkah perlahan mendekat pada wanita itu. Dia menatap wanita di depannya dengan tatapan sedih.“Apa yang akan kamu lakukan, Riska? Tidak bisakah kamu merelakannya?” laki-laki itu enggan untuk lebih dekat lagi. Dia berdiri dengan jarak beberapa meter.Wanita bernama Riska tersebut menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di belakangnya, “tidak, Kak Henry. Aku akan menghancurkan siapapun yang mendekati calon suami masa depanku.”“Carissa sama sekali tidak ada hubungannya dengan Septian. Jika kamu ingin mendapatkan Septian kenapa harus mengurusi kehidupan Carissa? Kakak tidak suka apa yang kamu lakukan saat ini,” cerca Henry, b

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-08
  • Sweet Coffee   Sweet #12

    Di hari Senin tepat pukul 8 lebih, aku sudah dalam perjalanan menuju ke kantor Septian. Entah kenapa hari ini aku memutuskan untuk ke tempatnya. 45 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat parkir perusahaan megah milik Septian.Aku turun dari motor dan segera melangkah menuju ke meja resepsionis. Salah seorang wanita yang duduk di belakang meja, bergegas berdiri menyambutku. Dia tersenyum ramah, “ada yang bisa saya bantu?”“Apa Septian ada?” tanyaku.“Bos sedang keluar kota, sejak dua hari yang lalu. Apa Anda sedang ada janji dengan Beliau?” wanita tersebut kembali melontarkan padaku.Aku terdiam sejenak, mendengar jawaban dari wanita di depanku. Septian bahkan tidak mengatakan apapun padaku. Aku menggeleng lantas berucap, “tidak, tidak ada janji. Kalau begitu, terima kasih.”Wanita itu tersenyum dan membiarkanku berbalik menjauh dari meja resepsionis. Aku berjalan kembali menuju parkiran. Wani

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Sweet Coffee   Sweet #13

    Septian berdiri di depanku dengan tas jinjing di tangannya. Dia menyerahkan tas yang dibawanya padaku, “ini untukmu.”Dengan penuh keraguan, aku menerima tas tersebut dan melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah vas bunga berwarna putih yang sangat cantik berada di dalam tas yang kupegang. Pandanganku beralih menatap Septian, “kenapa?”Septian mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak ingin menatapku, “hanya oleh-oleh kecil.”Melihat reaksi Septian membuatku menyungging senyum. Terlepas dari sikap menyebalkannya, dia masih punya sikap lembut yang aku yakin sangat jarang ditunjukkan pada orang lain.Aku membuka pintu lebih lebar, “masuklah, aku akan membuatkan kopi untukmu.”Tanpa banyak berpikir, Septian melangkah masuk. Aku pun segera membuntutinya. Saat sampai di depan ruanganku, aku bergegas membuka pintu dan mempersilakan baginya untuk masuk, “tunggulah di sini. Aku akan membuat kopi. Apa

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-23
  • Sweet Coffee   Sweet #14

    Pukul 8 pagi, aku masih sibuk di dapur menyiapkan sarapan dan disaat yang bersamaan sebuah klakson mobil di depan rumahku. Aku berpikir itu pasti Septian. Tanpa melepas apronku, aku bergegas membuka pintu dan Septian sudah berdiri di depan pintu rumah.Aku yang terkejut karenanya hanya bisa berdiam diri di ambang pintu.Septian menatapku dengan tatapan tidak suka, “kenapa masih pakai apron?”Aku tersenyum kaku, “aku baru saja selesai membuat sarapan. Kamu mau ikut sarapan?” tanyaku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.Septian terlihat menghela napas sembari menatapku dengan tatapan yang lebih lembut, “apa yang sedang kamu masak?”“Omurice. Masuklah,” aku menyingkir dari pintu dan memersilakan baginya untuk masuk.Septian melangkah masuk sembari memerhatikan sekitar. Pintu kembali kututup lantas berjalan mensejajari langkah Septian menuju ruang makan. Septian menarik kursi lalu duduk sembari m

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-25
  • Sweet Coffee   Sweet #15

    Hana berpikir sejenak lalu menjawab, “beliau tegas, pekerja keras. Beliau juga baik hati. Saat ibu saya masuk rumah sakit, Beliau tidak membebankan pekerjaan pada saya. Yang ada justru Tuan Septian memberikan saya cuti satu minggu untuk menemani ibu saya.”Aku sedikit tidak percaya dengan kata ‘baik hati’ yang diucapkan oleh Hana. Cukup sulit untuk membayangkan apa yang Hana ceritakan sekaligus sulit untuk membayangkan Septian dalam mode baik hati. Aku menundukkan kepala, berusaha untuk menahan tawaku. Demi menghindari sikap curiga dari Hana, aku kembali meminum minuman di tanganku.“Walaupun kadang Tuan Septian galak. Apalagi beliau selalu menatap orang lain dengan tatapan tajam dan dinginnya. Hal itu membuat semua orang takut padanya. Selama saya bekerja saya belum pernah sekalipun melihat Tuan Septian tersenyum ataupun menatap orang lain dengan tatapan yang lebih ramah,” sambung Hana.Sekali lagi aku diam, mengingat kembali

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-27

Bab terbaru

  • Sweet Coffee   Sweet #26

    Kembali ke tempat Septian. Dia meletakkan ponselnya begitu saja kemudian menginjak gas mobil lebih dalam untuk mempercepat laju mobilnya. Tujuannya kini berganti ke perusahaan megah di kota seberang. Pertemuan dengan direktur Perusahaan MS Group dimajukan olehnya karena ada banyak urusan yang harus ditanganinya.“Sialan. Wanita itu benar-benar psikopat,” umpatnya kesal.***“Kalian kesana dan culik dia,” ucap Riska dengan seseorang di seberang telepon.“...”Panggilan berakhir. Riska menyimpan ponselnya lantas tersenyum. “Kita mulai, Carissa.”Untuk yang kesekian kalinya, aku mengeluh pelan. Bagaimana tidak! Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit milik pribadi milik Septian. Berulang kali dia menegaskan padaku untuk tidak pulang sebelum tiga minggu dirawat dan itu membuatku kesal.“Aku bosan, Ren,” keluhku pelan. Ya, selama aku dirawat, Ren-lah yang menemaniku. Tanpa ber

  • Sweet Coffee   Sweet #25

    Ren duduk di sampingku, menemaniku hingga aku benar-benar terlelap. Setelah memastikan aku tertidur, Ren melangkah pelan sembari mendorong troli makanan keluar dari kamar. Siapa sangka, Septian sudah duduk di kursi tunggu di luar kamar. Ren yang menyadari maksud dari tatapan Septian padanya, melangkah mendekat kemudian mengambil duduk di sebelah Septian. “Aku harus berterimakasih padamu karena bersedia mengurusi keperluan Carissa.” Septian berdehem. “...Aku dengar dari Carissa. Kalau dia tidak mengingat mengenai masa lalunya. Sebagai sahabat, kamu tahu sesuatu?” Ren bergeming. Dia enggan untuk menjawab dan memilih untuk beranjak dari duduknya, kembali mendorong troli. Namun langkahnya kembali terhenti dengan mata melirik ke arah Septian. “Jangan pernah membahas hal itu di depannya.” Tidak ada balasan dari Septian. Dia hanya menatap punggung Ren yang semakin menjauh. Kemarin malam, Riska pergi tepat setelah tidak terima dengan ancaman dari Septian. Kep

  • Sweet Coffee   Sweet #24

    Septian terdiam mendengar penuturan dariku. Untuk beberapa saat hingga akhirnya dia menjawab, “tidak. Aku tidak tahu.”Pukul sepuluh malam. Selesai makan malam, Septian mengijinkanku untuk membuka ponsel. Aku bersorak senang mendengarnya. Namun tidak sampai satu jam aku memegang ponsel, rasa kantuk menghampirku. Pada akhirnya aku kembali menyimpan ponsel ke laci kemudian memposisikan tubuhku untuk tidur. Aku tidak tahu di mana Septian. Dia mengatakan ada urusan penting dan tidak mengatakan kemana tujuannya. Aku pun tidak terlalu memikirkannya karena dia pasti baik-baik saja.Di tempat lain. Di dalam ruang kerja milik Septian, tepatnya di lantai 10 Perusahaan BSC Production. Septian duduk berseberangan dengan Ren dan Will. Satu jam yang lalu, Ren tiba di gedung megah milik Septian. Dia diminta secara langsung oleh Will untuk datang dan berbincang dengan Septian.“Apa Carissa baik-baik saja?” Ren membuka suara.Septian berdehem, meno

  • Sweet Coffee   Sweet #23

    “Rumah sakit ini, salah satu aset pribadiku. Jika mereka tidak mengerti apa yang diucapkan atasannya, tidak ada pilihan lain selain menggantikan mereka,” sambung Septian seakan tahu apa yang kupikirkan. Mendengar penjelasannya, aku mengangguk-angguk pelan. Untuk orang kaya sepertinya pasti tidak sulit untuk memiliki apa yang diinginkannya. “Semua berkasmu, akan kuurus. Aku hanya mengijinkanmu memegang ponsel hanya untuk mengangkat telepon penting. Selain itu, aku tidak mengijinkan,” Septian mengeluarkan ponselku dari saku jasnya kemudian meletakkannya di dalam laci. Aku mengangguk, “berkasku sangat banyak. Apa tidak mengganggu pekerjaanmu?” Septian menggeleng, “pekerjaanku selesai lebih cepat dan masih ada banyak waktu untuk mengurusi berkasmu.” Aku kembali mengangguk. Rasanya Septian semakin keras padaku, apa mungkin hanya perasaanku saja? “Jika tidak ada yang ingin kamu tanyakan, kamu harus banyak istirahat,” tegas Septian. A

  • Sweet Coffee   Sweet #22

    “Kamu ini menderita anemia, tapi tidak makan dan sekarang anemiamu kambuh?” Septian melepas jasnya kemudian memberikannya padaku.“Aku berniat menginap di sini. Kamu bisa pulang,” kukembalikan jas miliknya lantas berniat berbaring di sofa. Namun Septian lebih dulu mencekal tanganku dan mengangkat tubuhku.Aku yang mendapat perlakuan tersebut, spontan melingkarkan tanganku pada leher Septian, “hei! Turunkan aku, Septian. Kamu akan membawaku kemana?”Tanpa banyak berucap, Septian melangkah keluar dari ruanganku menuju ke parkiran. Dia membawaku mendekat ke mobilnya dan dengan sigap dia membuka pintu mobilnya kemudian mendudukkanku di kursi sebelah jok kemudi. Dia bahkan memakaikan sabuk pengaman padaku.“Tunggu dulu. Tasku masih di dalam kantor,” protesku sembari mencoba membuka sabuk pengaman, namun Septian menahan tanganku kemudian mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menelpon seseorang.“Wil

  • Sweet Coffee   Sweet #21

    Ren mengakhiri panggilan. Aku pun segera berganti menghubungi Septian. Namun Septian lebih dulu menghubungiku. Kembali kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “Aku sudah menerima makanan darimu. Aku mau makanan seperti ini besok pagi. Jika bahannya kurang, aku akan menyuruh Will berbelanja.” Mendengar apa yang diucapkan Septian membuatku tertawa, “masih ada kok bahannya. Besok akan kumasakkan lagi.” “Hm. Besok kamu akan ke kafe?” Aku berdiri dari sofa kemudian melangkah ke dapur, “iya, karena hari ini aku sama sekali tidak ke kafe.” Aku memeriksa bahan makanan yang berada di dalam kulkas. Setidaknya masih ada cadangan untuk membuat makanan besok. “Will akan menjemputmu dan mengantarmu ke kafe.” Aku duduk di ruang makan masih dengan ponsel di telingaku, “tidak perlu. Aku bisa ke kafe sendirian.” “Tidak. Will tetap akan mengantarmu. Jangan menolak.” Mendengar ucapan tegas dari Septian m

  • Sweet Coffee   Sweet #20

    Pukul 12 siang, aku sudah sampai di rumah. Sepulang dari swalayan, aku berpamitan pada Ren untuk langsung pulang. Sedangkan dia pun akan pergi mengantarkan komiknya. Kutata semua bahan makanan ke dalam kulkas. Hari ini aku tidak berniat untuk ke kafe. Aku juga sudah mengatakannya pada Mako. Sebuah dering ponsel mengalihkan perhatianku. Kututup pintu kulkas kemudian mendekat ke ponselku yang berada di meja makan. Nama Septian tertera di layar ponsel, membuatku mengerutkan dahi. Tidak biasanya dia menelponku, karena dia biasanya akan langsung datang ke rumahku dan mengajakku rapat sesukanya. Kudekatkan ponsel ke telingaku, “halo.” “...Kamu ada di rumah?” Aku berdehem, “kenapa?” “Jangan pergi kemanapun jika tidak penting.” Aku mengangguk, “iya. Kamu masih di kantor?” “Iya.” “Apa ada pekerjaan yang harus kukerjakan?” “...Tidak. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Mendengar

  • Sweet Coffee   Sweet #19

    Septian menyingkirkan tangan wanita itu dari lengannya sembari menatapnya dingin, “apa maumu, Riska?”Riska menyilangkan tangannya, menatap santai kearah lawan bicaranya, “Carissa.”Mendengar namaku disebut, Septian menatap tajam Riska tanpa mengatakan apapun. Septian tahu siapa yang menyebabku keracunan hari itu dan pelakunya saat ini tengah berdiri di depannya.“Turuti semua ucapanku, dengan begitu aku tidak akan menyentuhnya. Bagaimana?” Riska mengabaikan tatapan tajam Septian dan tanpa rasa takut dia mengucapkan apa yang sebenarnya dia inginkan.Ucapan Riska tidak direspon sama sekali oleh Septian. Dia tahu kalau wanita di depannya akan melakukan apapun untuk mendapatkan dirinya, bahkan dengan cara kotor sekalipun.Riska kembali mendekat dan memeluk lengan Septian, “pertama-tama, mari kita makan malam bersama.” Riska tahu ucapannya seakan menjadi ancaman untuk Septian dan dia akan terus mengancam

  • Sweet Coffee   Sweet #18

    Kuterima panggilan tersebut kemudian mendekatkan ponsel ke telingaku, “hai, Alan.”“Hai, Carissa. Bagaimana kabarmu?”Kudorong kembali troli sembari mencari sambil berbincang dengan Alan, “aku sudah baik-baik saja, Alan.”“Kuingatkan padamu, jangan asal makan atau minum sesuatu yang belum terbiasa untukmu. Oke?”Mendengar nasihat darinya justru membuatku tertawa pelan, “oke. Oke. Aku akan mengingat nasihatmu, dokter.”Terdengar kekehan dari Alan di seberang, “itu benar. Pasien harus mendengarkan ucapan dokter. Jangan sampai kelelahan. Jaga kesehatanmu.”Aku berdehem, “oke. Kamu sedang tidak bekerja?”“Ini sedang bekerja. Tugasku hanya menjadi pengawas.”Aku berhenti di depan rak yang penuh dengan bumbu dapur, memilah beberapa kemudian memasukkannya ke dalam troli, “tidak masalah, kah? Rekan-rekanmu se

DMCA.com Protection Status