Aku mulai membaca lembar pertama surat yang ditulis oleh Neneng, begitu pula dengan Mas Haikal ia pun ikutan membaca karena penasaran."Assalamualaikum, Teh Mutia, Eneng tuh nulis surat karena ga berani ngomong ini sama Teteh secara langsung karena selama ini kita ga pernah akur.""Entah kenapa Eneng pengen banget nulis surat ini karena merasa ajal sudah dekat, sudah sering sakit-sakitan selama hamil, Teteh akan baca surat ini kalau Eneng udah ga ada, tapi kalau Eneng berumur panjang mungkin surat ini sudah hangus dibakar api."Semua orang pernah berbuat salah dan kesalahan terbesar Eneng yaitu sudah masuk ke kehidupan Teh Mutia dan A Haikal, harusnya waktu itu Eneng nolak lamaran suami orang bukan Nerima dan nyakitin Teteh.""Eneng minta maaaf sekali karena pernah buat Teteh menangis dalam kesendirian, udah pernah buat hidup Teteh putus asa, semoga rasa sakit yang Teteh rasakan bisa jadi penggugur dosa dan meninggikan derajat Teteh di akhirat."Aku merenung, ada rasa sesal yang terbe
[Mutia, ini Vidio pernikahan suamimu dan Neneng, doakan mereka biar cepat kasih Ibu seorang cucu]Pesan WA dari mertuaku disertai Vidio pernikahan kedua Mas Haikal dengan perempuan pilihan ibunya.Jah4t memang, tapi bagaimana lagi aku tak memiliki kuasa untuk protes, terlebih Mas Haikal sendiri juga setuju dengan rencana ibunya.Sepuluh tahun menikah kami belum dikaruniai seorang anak, hingga ibu Mas Haikal menjodohkannya dengan Neneng, teman masa kecil sekaligus tetangga Mas Haikal saat dahulu mereka tinggal di desa.Kucengkaram erat ponsel ini, jangankan untuk datang ke acara sakral itu, melihat vidionya saja hati ini hangus terbakar.Kini, cinta Mas Haikal terbagi, tak hanya cinta melainkan jiwa dan raga, perhatian dan kasih sayangnya bukan seutuhnya milikku seorang.Aku bak pengecut, duduk terdiam di pojokan kamar dalam kegelapan, semenjak hari di mana ibu memperkenalkan Neneng sebagai calon mantu barunya, maka saat itu juga hidupku berubah hitam.Tak ada canda juga tawa, waktuku
Mas Haikal masih merenung dengan tatapan kosong, hati ini begitu penasaran apa yang sudah terjadi padanya?"Ya sudah kalau ga mau cerita, aku mau berangkat sekarang!"Ia mencekal pergelangan tanganku, sepertinya cara ini berhasil untuk membuatnya bersuara."Aku kesel! Ternyata Neneng sudah ga orisinil lagi, masih mending kamu," ujarnya sambil merengut.Ingin sekali aku tertawa terbahak-bahak. Namun, kutahan demi menjaga wibawa, padahal sejatinya dalam hati aku bersorak ria.Rasain! Emang enak!"Kasian banget sih kamu, Mas," tuturku sambil menyunggingkan sebelah bibir, Mas Haikal mendelik menanggapi experesiku yang seolah mengejek."Kamu berdosa, Mas, menceritakan aib istri sendiri, nikmati saja bukannya Neneng itu wanita pilihanmu, dia itu masih muda, cantik dan katanya subur, ga kaya aku yang berusia hampir kepala tiga," cerocosku sambil memainkan ponsel.Kini, ada tembok yang menjulang tinggi diantara kami tembok itu menciptakan jarak yang terbentang jauh, tak ada lagi kehangatan se
Dengan malas kulihat Mas Haikal mengangkat tubuh mungil Neneng ke atas sofa, sedangkan ibu sibuk mengambilkan air dan minyak kayu putih.Beberapa menit kemudian mata Neneng yang dihiasi bulu mata anti badai itu mengerjap lalu terbuka sepenuhnya, ia memandang kami satu persatu."Kamu ga apa-apa'kan, Neng?" tanya ibu.Entah mengapa aku belum ingin beranjak pergi, masih asyik menonton drama gratisan yang lebih seru dari drama Korea yang sedang hits saat ini.Wanita bertubuh pendek dan mungil itu bergegas bangun, menatapku laksana seorang musuh."Apa maksud Teh Mutia membuat Aa Haikal ga punya kerjaan?! Teteh jangan egois! Kalau dia ga kerja gimana mau nafkahin Eneng," ujarnya ketus."Itu bukan urusanku, Neneng! Bukannya kamu cinta sama Mas Haikal, terima dia apa adanya dong."Aku melipat tangan di dada, berdiri dengan pongahnya, sedangkan Neneng kulihat semakin memanas."Dia itu orang Sunda! Panggil dia Aa," ujarnya sambil mendelik.Bodo amat!"Haikal, apa bener yang dikatakan Mutia?" ki
Pembalasan yang simple tapi menusuk, itulah yang dilakukan Mutia, ia tak ingin bersikap rendah hanya demi merusak citra orang lain termasuk adik madunya yang rese itu.Seperti hari ini ia dan Areta berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan paling besar dan megah di pusat kota, barang-barangnya tak ada yang berharga murah, semua berharga fantastis puluhan juta.Lelah memanjakkan mata, Mutia duduk di salah satu restoran favorit semua orang, tempat yang bernuansa indah dan megah saat ditangkap layar kamera, juga makanan yang tak kalah lezat di lidah, kini ia nikmati semua itu tanpa sosok seorang Haikal seperti biasanya.Mutia tak ingin tenggelam dalam laut kesepian yang mematikan, ia lebih memilih memanjakan mata, diri juga lidahnya di luar rumah sebelum hatinya terbiasa menerima kenyataan ini.Lelah berada di luar kini Mutia singgah d hotel berbintang lima, ia rela membayar harga fantastis agar bisa tidur nyenyak di tempat ini, tanpa dihantui bayang-bayang sang suami yang sedang bersama w
Beberapa kali Haikal menelpon tapi Mutia tak kunjung menjawabnya, membuat hati menjadi resah dan gundah, ditambah omongan Neneng yang menambah panas suasana."Teh Mutia mah enak belanja di mall, makan di restoran, nginep di hotel bagus, Eneng kapan di bawa ke situ? Aa harus adil atuh?" rujuk Neneng sambil menyentuh tubuh Haikal..Akan tetapi, lelaki itu malah sibuk dengan gawainya, memastikan jika Mutia tak bersama lelaki lain, ia sungguh cemas takut kehilangan istri tercintanya."Aa!"Neneng merajuk lagi, sungguh wanita itu tengah dilanda kehausan kasih sayang, bak Padang pasir yang gersang."Diam, Neneng!" tegas Haikal merasa jengah.Setelah selesai menelpon Areta baru Haikal merasa lega, rasa gundah dan resah itu sirna karena ternyata Mutia menginap seorang diri mengusir rasa sepi dan dinginnya malam panjang."Aa, kapan atuh kita mamy moon? kalau ga ke Bali ya minimal ke hotel kek kaya Teh Mutia." Neneng merengut, benci merasa dikalahkan oleh kakak madunya yang rese."Maksud kamu H
Mereka bertiga duduk di meja bundar mengelilingi makanan yang telah dipesan, Mutia sengaja memesan makanan paling enak dan mahal yang tersaji di restoran ini."Ayo di makan steak-nya, Neng," tawar Mutia dengan elegan."Kamu juga makan dong, Mas, kok cuma di liatin aja."Haikal terpaku menatap makanan begitu banyak dari mulai menu pembuka, menu utama juga menu penutup yang tak kalah menggugah selera, ditambah minuman spesial sebagai pelepas dahaga.Tentu semua ini akan memakan banyak biaya, bisa tekor! Batin Haikal nelangsa, ia mencoba mengukir senyum semanis mungkin agar istri pertamanya itu tak curiga."Mau aku suapin, Mas?" tawar Mutia so romantis.Seketika Neneng membulatkan mata, perutnya mendadak mual melihat tingkah kakak madunya yang menyebalkan."Emmm, boleh-boleh," jawab Haikal sambil mengangguk.Tentu saja Neneng tak terima, dengan sekuat tenaga ia memotong steak menggunakan tangan kanannya, dengan usaha extra akhirnya daging panggang itu terbelah juga."Nih, A, makan!" Dil
"Malam ini giliran aku nginap di rumah Mutia, ayo turun aku mau cepat istirahat di rumahnya," titah Haikal teramat menyayat hati Neneng.Perempuan itu turun dari mobil dan melangkah dengan lunglai, ia hanya menatap mobil suaminya yang menjauh, meninggalkan sekeping kenangan yang teramat menyakitkan.Hari ini waktu terasa begitu cepat berputar, tak ada kebersamaan yang mengesankan seperti yang ia impikan, tanpa sadar bulir bening itu rembes membasahi pipinya."Kamu nangis, Neng?" tanya ibu sambil menelisik wajah Neneng yang berantakan."Engga, lagi ketawa," jawab Neneng culas.Sudah tahu lagi nangis malah nanya! Kini, giliran Neneng yang tidur seorang diri, berselimutkan rasa sepi, semalaman matanya tak bisa terlelap, bayangan Haikal dan Mutia yang sedang memadu cinta benar-benar menghantuinya, menghasilkan rasa resah tak berkesudahan.Tuhan, sesakit inikah berbagi suami? sepedih inikah menjadi yang kedua? di luar sana istri kedua banyak yang diutamakan. Namun, apa yang terjadi pada t
Aku mulai membaca lembar pertama surat yang ditulis oleh Neneng, begitu pula dengan Mas Haikal ia pun ikutan membaca karena penasaran."Assalamualaikum, Teh Mutia, Eneng tuh nulis surat karena ga berani ngomong ini sama Teteh secara langsung karena selama ini kita ga pernah akur.""Entah kenapa Eneng pengen banget nulis surat ini karena merasa ajal sudah dekat, sudah sering sakit-sakitan selama hamil, Teteh akan baca surat ini kalau Eneng udah ga ada, tapi kalau Eneng berumur panjang mungkin surat ini sudah hangus dibakar api."Semua orang pernah berbuat salah dan kesalahan terbesar Eneng yaitu sudah masuk ke kehidupan Teh Mutia dan A Haikal, harusnya waktu itu Eneng nolak lamaran suami orang bukan Nerima dan nyakitin Teteh.""Eneng minta maaaf sekali karena pernah buat Teteh menangis dalam kesendirian, udah pernah buat hidup Teteh putus asa, semoga rasa sakit yang Teteh rasakan bisa jadi penggugur dosa dan meninggikan derajat Teteh di akhirat."Aku merenung, ada rasa sesal yang terbe
"Neneng kenapa, Mas?" tanyaku dengan perasaan yang mulai gelisah, tak biasanya Mas Haikal menangis seperti perempuan.Ia masih sesenggukan, mungkin lidahnya kelu untuk mengungkapkan sesuatu, aku menunggu sampai tangisan itu mereda dan ia mau mengungkapkan segala yang aku risaukan."Mas, kamu baik-baik aja 'kan?" tanyaku lagi, kali ini suara isakan itu tak terdengar lagi."Neneng, Mut, dia ... dia sudah meninggal," ujar Mas Haikal dengan suara lemah.Seketika badanku luruh lalu terduduk di kasur mendengar kabar ini, bagaimana mungkin Neneng pergi secepat itu, padahal aku belum meminta maaf karena sering menyakitinya."Mas kamu jangan bercanda ya, aku ga suka," cetusku sambil geleng-geleng kepala."Engga, Mut, Mas serius Neneng udah ga ada, tadi di ambulans dia juga sempat nitip kata maaf buat kamu." Suara Mas Haikal tercekat."Ya Allah, harusnya aku yang minta maaf karena selama ini ...." Suaraku tertahan, bayangan masa lalu hadir di depan mataku, di mana kami tak pernah akur malah ser
(POV Mutia)Aku tak mengerti jalan fikir Mas Haikal, katanya ia tak lagi mencintai Neneng, tapi kenyataannya ia selalu gelisah memikirkan wanita itu, bahkan bolak balik menjenguknya."Mut, kayanya Neneng mau lahiran, Mas mohon kamu ngerti ya, bagaimanapun juga dia mau lahirkan anakku." Mas Haikal berlari menghampiriku di kamar.Aku tetap dia membisu, rasanya ingin sekali pergi dari sini dan memulai hidup bersama si kembar di tempat asing, hati ini sakit seperti dipermainkan melihatnya tak bisa tegas seperti itu."Ayolah, Mut, jangan ngambek, Mas cuma khawatir sama anaknya takut kenapa-napa, mana dia sendirian di rumah," bujuknya lagi, ia sampai bersimpuh "Yaudah lah sana pergi," jawabku ketus.Air mata hampir merembes di pipi."Kok kamu kaya ga ikhlas gitu sih, senyum dong," pinta Mas Haikal ngeselin.Bukannya cepet pergi malah menggodaku untuk tersenyum."Sana pergi urus istri kesayanganmu itu, aku ga apa-apa bisa sendiri," ujarku masih ketus.Sejujurnya hati ini tak ikhlas membiark
(POV Haikal)Hari ini hari aqiqah si kembar, tujuh hari sudah usia mereka, di rumah banyak tetangga dan saudara ibu yang sedang memasak.Dua ekor kambing sudah disembelih dan siap dibagikan untuk para tetangga juga kerabat jauh, hari ini kami semua sibuk melayani tamu-tamu yang datang melihat si kembar.Tamu yang paling banyak yaitu karyawan Mutia dari mulai karyawan bagian produksi hingga bagian management, mereka hadir memberikan kado terbaik untuk anak kami yang bernama Aisyah Putri Abimana, sedangkan adiknya Asiyah Putri Abimana.Nama belakang mereka kompak diambil dari belakang namaku yaitu Haikal Abimana, banyak yang memuji kecantikan Aisyah dan Asiyah, mereka juga mengatakan jika si kembar merupakan kembar identik, memiliki kesamaan wajah yang begitu mirip.Kado si kembar sudah numpuk di dalam kamar, sedangkan di ruang tamu dan teras banyak kerabat dan saudara jauh kami yang datang.Acara ini sebenarnya di gelar sederhana hanya mengundang kerabat dan saudara, tak ada pesta mewa
Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah Bu Minah yang tak lain ibunya Neneng, kelihatan sekali matrenya."Mana aku tahu, Bu, kerja aja belom udah nanya gaji," jawab Mas Haikal sewot."Palingan juga tiga jutaan gajinya," celetukku, sengaja untuk mematahkan harapan Neneng.Aku tak ingin wanita itu berubah fikiran untuk berpisah dengan Mas Haikal, aku tak ingin si kembar kekurangan kasih sayang seorang ayah."Mas pergi dulu ya." Mas Haikal mencium keningku dan berlalu begitu saja mengabaikan Neneng."Halaaah gaji tiga juta aja bangga! Apa bedanya dengan buruh, anakmu itu memang b*d*h, Ningsih, punya pabrik sendiri malah kerja di tempat orang, begitu kalau suami l3mb3k sama istri aja takut," cerocos Bu Minah ngegas.Sepertinya ia kesal karena Mas Haikal tak seperti yang diharapkan, emang enak! Makanya jangan berharap pada manusia."Mau gajinya tiga juta ataupun satu juta tapi aku tetap akan menerima, jadi istri itu jangan terlalu matre lah, giliran suami banyak duit disayang giliran ga p
(POV Mutia)Akhirnya aku tiba di klinik khusus bersalin, perawat segera menolong dan membawaku ke ruang bersalin menggunakan kursi roda.Mas Haikal menggendongku dan meletakkan tubuh ini di kasur khusus melahirkan, tiba lah Dokter Rista, ia adalah dokter langganan yang biasa memeriksa saat aku kontrol kandunganNyeri ini semakin sering kurasakan, Dokter Rista mengatakan bahwa aku siap untuk mengejan, mengikuti aba-aba darinya sambil mengucap basmallah.Aku mulai mengejan hingga beberapa kali, Mas Haikal berdiri di sampingku sambil menggenggam tangan ini, terkadang ia mengusap keningku yang basah oleh keringat."Ayo, Sayang, kamu pasti bisa," ujarnya menyemangati.Bayi pertama berhasil keluar, karena bayinya kembar maka dokter menyarankan untuk mengejan kembali, tak lama kemudian bayi kedua berhasil keluar melihat dunia ini.Kuucapkan Hamdallah tiada henti begitu pula dengan Mas Haikal, Dokter Rista ditemani oleh asistennya segera mengeluarkan placenta dari rahimku, terasa sangat ngilu
(POV Haikal)"Mutiaa!" teriakku menggema sampe ludah ini muncrat sana sini.Matanya masih terpejam, oh Tuhan aku harus bagaimana? masa ke rumah sakit lagi duit dari mana?"Sayang, kamu kenapa? ayo bangun." Kuguncangkan lagi tubuhnya.Tak berselang lama bibirnya sedikit menyungging seperti nahan tawa, jangan-jangan ini prank? seperti konten-konten para youtubers itu.Beberapa detik kemudian air liurnya muncrat ke udara sambil terbahak-bahak, tuh bener ternyata si mbeb lagi ngeprank, hampir aja jantungku mau copot, untung sayang coba kalau engga sudah aku kentutin."Hahahaha." Ia masih belum puas tertawa sambil menengadah, untung ga ada cicak."Ya ampun, Maas, kasihan banget sih kamu." Ia mencubit pipiku, padahal tidak tembem seperti pipinya."Kalau Mas kena serangan jantung gimana? siap jadi janda?" sergahku mengelus dada, di rumah istri muda terasa darah tinggi, di rumah istri tua hampir jantungan, hadeuhh nasib nasib."Ya jangan mati dulu lah, Mas, kamu belom tobat 'kan," jawabnya sa
(POV Haikal)"Kamu ini gimana sih, Ningsih! Katanya anakmu itu bos pemilik garmen expor-impor yang banyak duitnya, kok pengangguran?" Ibu mertua melotot memarahi ibuku.Ingin membela tapi ibuku memang salah sudah mengatakan kebohongan yang berlebihan, wanita yang sudah melahirkanku itu nampak salah tingkah, wajahnya terlihat tegang dan merah."Gini loh Minah, biar aku jelaskan, sebenarnya pabrik itu milik Haikal kok cuma sekarang dikelola istri pertamanya, aku akan bujuk Mutia supaya seperti dulu lagi Haikal mengelola pabrik itu dan putrimu akan tercukupi hidup di sini," ujar ibu dengan suara bergetar.Kenapa ibu mengarang cerita lagi coba, jangankan masih jadi suami Neneng sudah bercerai dengannya saja aku tak berani kembali bekerja di pabrik itu, terkesan banget kalau aku ini laki matre."Apa ucapanmu bisa dipercaya, Ningsih?" Mertuaku sedikit tegas.Gawat kalau sampai rayuan maut ibu berhasil meluluhkan hati mertuaku, gagal sudah aku bercerai dari Neneng, aku harus bertindak."Bu,
(Pov Haikal)Ibu Tak Setuju"Loh, Neng, kenapa kamu nangis?" tanya ibu saat menyadari suara sesenggukan Neneng.Entah ini drama atau nyata, apa mungkin ia cari perhatian minta di kasihani oleh ibu? entahlah, ada rasa gembira dan tak enak saat mengetahui keputusan Neneng."Neng." Ibu membalikkan tubuh Neneng hingga ia terlentang, kini wajah Neneng yang basah oleh air mata sempurna terlihat."Kamu kenapa nangis? anakmu baik-baik aja, cepetan tidur besok ibumu mau jenguk ke sini," ujar ibu lembut.Wanita itu hanya menganggukkan kepala sedangkan ibu tercenung merasa heran, entah mengapa hatiku terus memikirkan Mutia walau raga ini sedang bersama Neneng.Sungguh, aku ingin menua bersamanya tak ingin lagi membagi cinta ini, tapi bagaimana dengan wanita itu yang mengorbankan masa mudanya demi bisa hidup enak bersamaku.Nyatanya kehidupan indah yang diimpikan Neneng hanyalah sebuah angan, ibu memang keterlaluan memujiku hingga berlebihan..Memikirkan derita Mutia membuatku gelisah di penghuj