Di rumah sakit kini Siska sedang kesakitan akibat robeknya kulit punggung tangannya dan membuat urat nadinya juga ada yang tertarik.
Tapi, Siska lebih menghawatirkan dengan keadaan kandungannya. Sedari pagi wakru ia sadar perutnya sudah sangat sakit.
"Sus, apa calon anakku baik-baik saja?" Suster yang sedang mengobati luka di punggung tangan Siska hanya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya.
"Maaf, Mba. Saya nggak tau mengenai keadaan kandungan, Mba," balas Suster itu.
"Permisi." Dokter cantik berjilbab biru dongker masuk ke dalam, saat melangkahkan kaki pertamanya ia menghela napas lalu tersenyum ramah pada Siska.
"Sudah sarapan belum, Mba?" tanya Dokter.
"Belum, Dok."
"Loh, ini tangannya kenapa?" Dokter mengeryitkan dahinya heran.
"Tadi ada sedikit kecelakaan, Dok. Tapi, sudah saya obatin. Cuma robek sedik
Sunyi senyap menyelimuti relung dada Siska. Bahkan untuk bernapas kini pun ia sangat kesulitan, seolah ada bongkahan bantu besar yang mendarat di dadanya.Tak ada lagi yang dapat ia harapan dari Ilham dan tak ada lagi alasan untuk ia tetap mempertahankan rumah tangganya.Kini yang tersisa hanya rasa sakit dan kepahitan. Ini akan menjadi sebuah hal yang tidak mungkin akan terlupakan begitu saja. Kepedihan yang teramat dalam ini membuat Siska trauma dengan suatu hubungan. Kepercayaannya kepada Ilham sudah hancur, hanya ada rasa muak yang kini ia rasakan."As-astagfirullah."Beberapa kali Siska mengelus dadanya sembari terus beristigfar, berharap rasa sesak di dalam dadanya sedikit berkurang."Ndok, Ibu jadi bingung, di sini kita udah nggak ada siapa-siapa. Nggak ada kerabat atau siapa yang bisa jagain kamu di sini. Bapak juga nggak mungkin ditinggal lama-lama sendirian di kamar," u
Kedua bola mata Siska membulat sempurna, ia sedikit terhenyak dengan kehadiran Ilham. Bahkan ia sendiri lupa sedari kapan ia tertidur sampai tak mengetahui kedatangan Ilham.Saat melihat jam dinding waktu sudah menunjukan pukul 12:45 dan ia memang benar-benar tidak ingat sejak jam berapa ia terlelap."Sejak kapan Mas Ilham datang?" gumam Siska lirih lalu mengambil air putih untuk meredakan dahaganya.Glek... Glek... Glek..."Alhamdulillah, kayaknya aku ketidurannya lama banget sama tenggorokanku sangat kering seperti ini."Saat Siska hendak mengembalikan gelas yang ia gunakan untuk minum tanpa sengaja justru ia menyenggol mangkuk buah hingga mangkuk itu terjatuh ke lantai.Prank..."Astaghfirullah," ucap Siska sembari memejamkan kedua matanya.Ilham yang mendengar suara pecahan itu pun langsung terkesiap dan beranjak
Setelah membersihkan pecahan mangkuk Ilham pun duduk di kasur beroda tempat Siska terbaring miring membelakangi Ilham. Untuk beberapa saat Ilham membiarkan istrinya itu untuk diam terlebih dahulu agar pikirannya. "Ya Rabb, bantulah hambamu ini! Hamba tidak mau berpisah dengan Siska, Ya Rabb. Berilah hamba solusi untuk menangani masalah ini, hamba benar-benar bingung. Kalau memangh Siska mau agar hamba berpisah dengan Nabila itu juga tidak mungkin hamba lakukan. Ini sudah amanah dari Abahnya agar hamba menjadi suami yang akan siap siaga untuk menjaga dan membahagiakannya. Astaghfirullah,hamba sangat bingung," batin Ilham seraya memijat keningnya dengan perlahan. Semua tidak sesuai dengan ekspetasinya. Keluarganya sudah berada di ujung tanduk sedangkan istri keduanya tidak bisa diajak bekerja sama untuk membujuk dan meluluhkan hati Siska agar mau menerima kehadirannya. Justru ia membuat masalah besar yang membuat Siska sangat marah dan murka hingga mengambil keputusan untuk segera
Ilham tidak mengizinkan Siska untuk di rawat di rumah dalam waktu dekat ini. Keadaannya masih belum stabil dan masih perlu pengawasan dokter. "Nggak, Siska! Mas nggak akan kerja dulu untuk beberapa hari ke depan. Mas akan ambil cuti, kamu dan anak kita jauh lebih penting dari itu. Jadi, kamu nggak perlu di rawat di rumah. Keadaanmu belum membaik, masih perlu pengawasan dokter," jelas Ilham lalu kembali meraih tempat makan. "Mas katamu tabunganmu sudah habis, kalau ambil cuti nanti gaji Mas di potong. Jadi, lebih baik Mas berangkat kerja aja!" balas Siska. Ilham terdiam sesaat, ia teringat bahwa kini ada dua tanggung jawab yang harus ia berikan kepada kedua istrinya. Jika ia mengambil cuti lagi bisa-bisa gajinya bulan depan akan semakin kecil dan tidak cukup jika harus dibagi, apalagi ia ingin membelikan sebuah rumah untuk Nabila. "Argh! Situasi sulit macam apa ini? Rasanya kepalaku mau pecah," gerutu Ilham sembari memejamkan kedua matanya dengan sangat erat. "Mas... Aku nggak
Setelah selesai makan siang dan meminum obat Siska didorong menggunakan kursi roda untuk menuju kamar nomor tiga, tempat di mana Bapaknya Siska di rawat.Awalnya Siska ragu untuk masuk ke dalam karena takut jika Bapaknya tau kondisi putri semata wayangnya juga sedang tidak baik-baik saja akan membuat kondisi Bapak semakin parah."Jadi, mau liat Bapak engga?" tanya Ilham saat sudah berada di depan pintu."Gimana ya? Perasaanku justru nggak tenang, baru kemarin Bapak masuk rumah sakit pasti keadaanya belum begitu pulih. Kalau Bapak tau aku sedang tidak sehat begini aku takut memperburuk keadaan Bapak," balas Siska cemas namun, di sisi lain ia ingin sekali melihat dan memastikan kondisi orangtuanya.Orangtua yang selalu mensupport segala apa pun yang telah menjadi pilihan hidupnya. Bagi Siska memiliki orangtua seperti Bapak adalah suatu hal yang patut di syukuri, karena selama ini belum pernah Siska dib
"Bu..." panggil Bapak seraya meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan Ibu dan menganggukkan kepalanya sekali.Ibu menghela napas kasar lalu kedua sorot matanya melihat Ilham sekilas dan kembali lagi melihat Bapak dengan seksama."Bapak harus tegas sama Ilham! Nggak bisa Ibu liat Siska kayak begini, Pak! Nggak tega, Ibu!""Iya, Bu! Bapak juga lagi berusaha buat cari jalan keluarnya. Ibu sabar dulu, jangan mengambil keputusan saat marah to, Bu! Nanti bisa-bisa justru salah," tutur Bapak.Ilham yang melihat berdebatan mertuanya itu hanya bisa diam tanpa berani menyela pembicaraan. Ia sendiri juga kebingungan dengan ini, tapi jika keputusan yang Bapak ambil nanti sama dengan apa yang Siska inginkan sudah pasti Ilham tidak akan bisa menerimanya begitu saja.Walau yang telah terjadi ada kesalahannya, ia tetap tidak mau perceraian yang akan dijadikan jalan keluarnya.&n
Siska langsung terbangun dari lamunannya dan menoleh ke arah kanan. Ibu duduk di kursi taman dengan tangan kiri yang masih berada di atas bahu Siska. Sorot matanya terlihat jelas bahwa Ibu sedang kecewa, bahkan suara napasnya terdengar begitu menggebu."Ada apa, Bu?" tanya Siska dengan lemah lembut seraya menarik kedua tangan Ibunya lalu menggenggamnya dengan erat.Ibu hanya menghela napas lalu memalingkan wajahnya."Apa Siska ada salah sama Ibu?""Nggak, Nduk." Ibu menggelengkan kepalanya ringan."Terus Ibu kenapa? Siska jadi bingung.""Suami sangat keterlaluan, Nduk. Ibu kok jadi nggak tega sama kamu," kata Ibu dan kini beliau menatap putri semata wayangnya itu dengan nanar lalu kedua matanya mulai mengembun.Dengan berat hati Siska mencoba menarik kedua sudut bibirnya seraya menghela napas lalu mengusap punggung tangan Ibu.&nbs
Ilham tertegun sesaat lalu dengan susah payah menelan tali safinya."Apakah aku terlalu percaya diri? Aku rasa itu nggak papa dan memang perlu," batin Ilham dengan yakin seraya mengernyitkan dahinya."Bapak dan pak kyai sama-sama mertuamu sekarang ini, Ham. Dan apakah kamu tahu saat kami dengan segenap hati memberikan putri kami kepadamu yang bahkan kami sendiri tidak mengenalmu seratus persen, bagimana sikap dan perilakumu. Dalam genap kami sebagai orangtua terbersit apakah kamu bisa memperlakukan anak perempuan kami minimal seperti kami memperlakukan dia, menjaga dan membahagiakan dia? Kamu juga seorang Bapak, Ham. Mempunyai anak perempuan, jadi bisa lah kamu memikirkan ini baik-baik," ujar Bapak lalu menghembuskan napasnya sembari menyederkan tubuhnya.Seolah Ilham bergitu tertampar dengan pernyataan yang baru saja Bapak lontarkan kepadanya itu. Ia juga seorang Bapak yang mempunyai anak perempuan. Tiba-tiba saja semua
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk