Siska langsung terbangun dari lamunannya dan menoleh ke arah kanan. Ibu duduk di kursi taman dengan tangan kiri yang masih berada di atas bahu Siska. Sorot matanya terlihat jelas bahwa Ibu sedang kecewa, bahkan suara napasnya terdengar begitu menggebu.
"Ada apa, Bu?" tanya Siska dengan lemah lembut seraya menarik kedua tangan Ibunya lalu menggenggamnya dengan erat.
Ibu hanya menghela napas lalu memalingkan wajahnya.
"Apa Siska ada salah sama Ibu?"
"Nggak, Nduk." Ibu menggelengkan kepalanya ringan.
"Terus Ibu kenapa? Siska jadi bingung."
"Suami sangat keterlaluan, Nduk. Ibu kok jadi nggak tega sama kamu," kata Ibu dan kini beliau menatap putri semata wayangnya itu dengan nanar lalu kedua matanya mulai mengembun.
Dengan berat hati Siska mencoba menarik kedua sudut bibirnya seraya menghela napas lalu mengusap punggung tangan Ibu.
&nbs
Ilham tertegun sesaat lalu dengan susah payah menelan tali safinya."Apakah aku terlalu percaya diri? Aku rasa itu nggak papa dan memang perlu," batin Ilham dengan yakin seraya mengernyitkan dahinya."Bapak dan pak kyai sama-sama mertuamu sekarang ini, Ham. Dan apakah kamu tahu saat kami dengan segenap hati memberikan putri kami kepadamu yang bahkan kami sendiri tidak mengenalmu seratus persen, bagimana sikap dan perilakumu. Dalam genap kami sebagai orangtua terbersit apakah kamu bisa memperlakukan anak perempuan kami minimal seperti kami memperlakukan dia, menjaga dan membahagiakan dia? Kamu juga seorang Bapak, Ham. Mempunyai anak perempuan, jadi bisa lah kamu memikirkan ini baik-baik," ujar Bapak lalu menghembuskan napasnya sembari menyederkan tubuhnya.Seolah Ilham bergitu tertampar dengan pernyataan yang baru saja Bapak lontarkan kepadanya itu. Ia juga seorang Bapak yang mempunyai anak perempuan. Tiba-tiba saja semua
(POV Nabila)Setelah Mas Ilham menurunkan aku di taman dan menyuruhku untuk pulang rasa benci ini justru semakin membesar kepada Siska.Dan aku juga sangat khawatir jika dia mengatakan semuanya pada Mas Ilham. Apalagi kalau sampai di lebih-lebih kan, aku tidak tau bagaimana nasibku setelah ini.Walaupun Mas Ilham menyuruhku untuk pulang ke rumah Abah, jelas saja aku tidak akan melakukan hal itu. Tidak akan aku biarkan Siska mendapatkan waktu lebih banyak dan dari Mas Ilham, itu tidak adil bagiku.Dengan susah payah aku berusaha membujuk Abah untuk menikahkan aku dengan Mas Ilham dan rela bersabar menunggu sampai beberapa tahun, mana mungkin aku akan melepaskan Mas Ilham begitu saja.Tapi, jelas saja aku dan Mas Ilham tidak akan mudah berpisah begitu saja. Abah tidak akan membiarkan putri kesayangannya ini bersedih bukan?Selama ini apa yang aku inginkan meman
(POV Nabila)"Ada apa, Paman?""Mau bicara sama umi sama kamu juga," balas Paman dan langsung membantuku berdiri karena memang tubuhku masih lemas."Kamu tolong di sini dulu ya, Ham! Ada dia juga di sini yang akan menemanimu. Saya dan Nabila harus pulang dulu ada urusan," ucap Paman lalu langsung pergi tanpa menunggu Mas Ilham menjawabnya.Di sepanjang perjalan aku dan Paman tidak berbicara sama sekali. Paman terlihat bingung dan cemas. Aku pun enggan bertanya karena isi kepalaku sendiri sedang sibuk memikirkan Abah.Sesampainya di rumah Paman langsung membawaku masuk ke dalam. Ternyata di dalam sudah banyak orang yang sedang menemani umi yang sudah sadar dan kini sedang duduk dengan tatapan kosong."Assalamualaikum," ucap Paman.Mendengar suara paman Umi langsung menolehkan kepalanya."Gimana keadaan Abah?" tanya Ibu
(POV Nabila)Jelas saja perasaanku sangat senang dan gembira. Senyumku mengembang dengan sangat lebar, aku bahagia. Sangat bahagia."Ta-tapi, apa Mas Ilham mau menikahiku?" gumamku lirih."Kalau Ilham nggak mau ya berarti kamu menikah dengan Haris," sahut Umi datar."Nabila nggak mau, Umi!""Kamu ini sudah besar, Nab! Kalau suatu saat nanti kamu sudah menikah dengan Ilham dan Ilham menikah lagi memangnya kamu mau? Memangnya hatimu tidak sakit?"Aku diam tak menjawab."Kalau memang Ilham sudah menikah ya sudah! Jangan berharap lagi! Jangan merusak kebahagiaan orang lain!" Umi langsung berdiri dan meninggalku. Begitu juga dengan Bibi yang mengikuti langkah Umi."Tapi, tadi Paman bilang.""Ah, ya sudah lah. Pasrah aja.""Abah! Kenapa jadi gini, sih?! Gara-gara Mas Ilham ini, jadi
(POV Nabila)Aku begitu senang saat mengingat malam itu. Malam dimana aku dan Mas Ilham sudah sah menjadi sepasang suami istri. Jadi, walau apa pun yang menjadi rintangan setwlah pernikahan ini aku tidak akan dengan mudahnya mau melepaskan Mas Ilham. Tak akan aku biarkan semuanya sia-sia begitu saja.Apalagi aku sudah berusaha membujuk Abah dan memohon agar tidak menikahkan aku dengan Haris. Walau Haris adalah seorang laki-laki baik, tampan dan juga soleh. Apalagi dia adalah murid kepercayaan Abah, tapi tetap saja hatiku tidak akan goyah untuk berpaling hati.Mas Ilham tetap nomor satu bagiku, ia lebih menarik dan sangat menawan. Oleh karena itu setelah mahgrib aku segera menghubungi murid Abah yang ada di rumah sakit untuk memberitahu ponselnya. Aku menceritakan pada Abah bahwa selama ini telah jatuh hati pada Mas Ilham dan aku tidak mau menikah jika bukan dengan Mas Ilham. Aku juga awalnya tidak ada niatan untuk menjad
(Pov author)Saat Ilham mendengar bahwa putrinya tidak jadi pulang ia pun dari rumah rumah sakit langsung menuju rumah tetangga, dimana ia menitipkan putrinya.Sebelum itu ia mampir dulu untum membeli eskrim dan beberapa martabak untuk dirinya sendiri serta untuk ia berikan pada tetangganya yang telah menjaga putrinya itu.Baru sampai di jalan Ilham sudah melihat putrinya yang sedang menangis dan di gendong oleh seorang lelaki bertubuh kecil yang sudah memiliki banyak uban di kepalannya."Loh kok nangis. Aduh, pasti Qila rewel itu seharian nggak ketemu ayah dan bundanya," gumamku seraya membuka pintu mobil dan segera turun."Nah itu Ayahmu udah jemput," ucap lelaki itu seraya mengangkat dagunya ke arah Ilham."Waduh, Pak. Pasti Qila merepotkan sekali, ya. Saya minta maaf ya, Pak. Baru bisa jemput sekarang, soalnya di rumah sakit juga akan ada du
Perkataan Ilham terasa begitu menusuk relung hatinya. Rasanya ia begitu tak percaya bahwa Ilham akan mengatakan hal tersebut kepada dirinya.Ia hanya bisa meremas ujung bajunya seraya menggigit bibir bawahnya karena merasa sangat takut dengan kemarahan Ilham."Ayah!" panggil Qila yang juga ikut ketakutan. Gadis kecil itu memeluk tubuh Ilham dengan erat."Ayah nggak marah sama kamu kok, Sayang." Ilham membawa Qila masuk ke dalam kamar lalu menurunkannya di kasur."Mas! Hallo, Mas," seru Siska dari dalam ponsel Ilham. Ternyata sedari tadi panggilan video call mereka belum berakhir."Bunda!" Qila tersenyum lebar seraya melambaikan kedua tangannya menatap wajah Siska dari layar ponsel."Qila di sini dulu ya ngobrol sama Bunda! Ayah keluar sebentar, jangan kemana-mana!" ujar Ilham dan di balas dengan anggukan kepala oleh putri kecilnya."Iya,
Di rumah sakit kini Siska di pindahkan satu kamar dengan Bapak. Supaya kalau perlu apa-apa bisa dibantu oleh Ibu dan Ibu tidak harus susah payah bolak-balik ke kamar rawat yang lain."Qila udah makan belum, Sayang?" tanya Ibu yang sedari tadi memengang ponsel Siska dan duduk bersebelahan."Iya, Sayang. Kamu udah kanan belum?" imbuh Siska."Udah kok, Bun... Nek. Tadi makan bubur ayam dibeliin Tante Ika," jawab Qila."Tapi, Qila belum mandi," ucap Qila serata berseringai hingga menapampakan sederan gigi susunya."Hiii! Bau asem ya, Qilanya," sahut Bapak."Iya tuh kata Kakek Qila bau asem," imbuh Siska."Hehehehe.""Bunda! Bunda kapan pulang. Qila kangen.""Ya nanti ya, Sayang. Kamu sabar dulu! Jangan nakal!""Tapi, Qila mau Bunda," rengek Qila dan wajahnya terlihat begitu memela