Ilham tertegun sesaat lalu dengan susah payah menelan tali safinya.
"Apakah aku terlalu percaya diri? Aku rasa itu nggak papa dan memang perlu," batin Ilham dengan yakin seraya mengernyitkan dahinya.
"Bapak dan pak kyai sama-sama mertuamu sekarang ini, Ham. Dan apakah kamu tahu saat kami dengan segenap hati memberikan putri kami kepadamu yang bahkan kami sendiri tidak mengenalmu seratus persen, bagimana sikap dan perilakumu. Dalam genap kami sebagai orangtua terbersit apakah kamu bisa memperlakukan anak perempuan kami minimal seperti kami memperlakukan dia, menjaga dan membahagiakan dia? Kamu juga seorang Bapak, Ham. Mempunyai anak perempuan, jadi bisa lah kamu memikirkan ini baik-baik," ujar Bapak lalu menghembuskan napasnya sembari menyederkan tubuhnya.
Seolah Ilham bergitu tertampar dengan pernyataan yang baru saja Bapak lontarkan kepadanya itu. Ia juga seorang Bapak yang mempunyai anak perempuan. Tiba-tiba saja semua
(POV Nabila)Setelah Mas Ilham menurunkan aku di taman dan menyuruhku untuk pulang rasa benci ini justru semakin membesar kepada Siska.Dan aku juga sangat khawatir jika dia mengatakan semuanya pada Mas Ilham. Apalagi kalau sampai di lebih-lebih kan, aku tidak tau bagaimana nasibku setelah ini.Walaupun Mas Ilham menyuruhku untuk pulang ke rumah Abah, jelas saja aku tidak akan melakukan hal itu. Tidak akan aku biarkan Siska mendapatkan waktu lebih banyak dan dari Mas Ilham, itu tidak adil bagiku.Dengan susah payah aku berusaha membujuk Abah untuk menikahkan aku dengan Mas Ilham dan rela bersabar menunggu sampai beberapa tahun, mana mungkin aku akan melepaskan Mas Ilham begitu saja.Tapi, jelas saja aku dan Mas Ilham tidak akan mudah berpisah begitu saja. Abah tidak akan membiarkan putri kesayangannya ini bersedih bukan?Selama ini apa yang aku inginkan meman
(POV Nabila)"Ada apa, Paman?""Mau bicara sama umi sama kamu juga," balas Paman dan langsung membantuku berdiri karena memang tubuhku masih lemas."Kamu tolong di sini dulu ya, Ham! Ada dia juga di sini yang akan menemanimu. Saya dan Nabila harus pulang dulu ada urusan," ucap Paman lalu langsung pergi tanpa menunggu Mas Ilham menjawabnya.Di sepanjang perjalan aku dan Paman tidak berbicara sama sekali. Paman terlihat bingung dan cemas. Aku pun enggan bertanya karena isi kepalaku sendiri sedang sibuk memikirkan Abah.Sesampainya di rumah Paman langsung membawaku masuk ke dalam. Ternyata di dalam sudah banyak orang yang sedang menemani umi yang sudah sadar dan kini sedang duduk dengan tatapan kosong."Assalamualaikum," ucap Paman.Mendengar suara paman Umi langsung menolehkan kepalanya."Gimana keadaan Abah?" tanya Ibu
(POV Nabila)Jelas saja perasaanku sangat senang dan gembira. Senyumku mengembang dengan sangat lebar, aku bahagia. Sangat bahagia."Ta-tapi, apa Mas Ilham mau menikahiku?" gumamku lirih."Kalau Ilham nggak mau ya berarti kamu menikah dengan Haris," sahut Umi datar."Nabila nggak mau, Umi!""Kamu ini sudah besar, Nab! Kalau suatu saat nanti kamu sudah menikah dengan Ilham dan Ilham menikah lagi memangnya kamu mau? Memangnya hatimu tidak sakit?"Aku diam tak menjawab."Kalau memang Ilham sudah menikah ya sudah! Jangan berharap lagi! Jangan merusak kebahagiaan orang lain!" Umi langsung berdiri dan meninggalku. Begitu juga dengan Bibi yang mengikuti langkah Umi."Tapi, tadi Paman bilang.""Ah, ya sudah lah. Pasrah aja.""Abah! Kenapa jadi gini, sih?! Gara-gara Mas Ilham ini, jadi
(POV Nabila)Aku begitu senang saat mengingat malam itu. Malam dimana aku dan Mas Ilham sudah sah menjadi sepasang suami istri. Jadi, walau apa pun yang menjadi rintangan setwlah pernikahan ini aku tidak akan dengan mudahnya mau melepaskan Mas Ilham. Tak akan aku biarkan semuanya sia-sia begitu saja.Apalagi aku sudah berusaha membujuk Abah dan memohon agar tidak menikahkan aku dengan Haris. Walau Haris adalah seorang laki-laki baik, tampan dan juga soleh. Apalagi dia adalah murid kepercayaan Abah, tapi tetap saja hatiku tidak akan goyah untuk berpaling hati.Mas Ilham tetap nomor satu bagiku, ia lebih menarik dan sangat menawan. Oleh karena itu setelah mahgrib aku segera menghubungi murid Abah yang ada di rumah sakit untuk memberitahu ponselnya. Aku menceritakan pada Abah bahwa selama ini telah jatuh hati pada Mas Ilham dan aku tidak mau menikah jika bukan dengan Mas Ilham. Aku juga awalnya tidak ada niatan untuk menjad
(Pov author)Saat Ilham mendengar bahwa putrinya tidak jadi pulang ia pun dari rumah rumah sakit langsung menuju rumah tetangga, dimana ia menitipkan putrinya.Sebelum itu ia mampir dulu untum membeli eskrim dan beberapa martabak untuk dirinya sendiri serta untuk ia berikan pada tetangganya yang telah menjaga putrinya itu.Baru sampai di jalan Ilham sudah melihat putrinya yang sedang menangis dan di gendong oleh seorang lelaki bertubuh kecil yang sudah memiliki banyak uban di kepalannya."Loh kok nangis. Aduh, pasti Qila rewel itu seharian nggak ketemu ayah dan bundanya," gumamku seraya membuka pintu mobil dan segera turun."Nah itu Ayahmu udah jemput," ucap lelaki itu seraya mengangkat dagunya ke arah Ilham."Waduh, Pak. Pasti Qila merepotkan sekali, ya. Saya minta maaf ya, Pak. Baru bisa jemput sekarang, soalnya di rumah sakit juga akan ada du
Perkataan Ilham terasa begitu menusuk relung hatinya. Rasanya ia begitu tak percaya bahwa Ilham akan mengatakan hal tersebut kepada dirinya.Ia hanya bisa meremas ujung bajunya seraya menggigit bibir bawahnya karena merasa sangat takut dengan kemarahan Ilham."Ayah!" panggil Qila yang juga ikut ketakutan. Gadis kecil itu memeluk tubuh Ilham dengan erat."Ayah nggak marah sama kamu kok, Sayang." Ilham membawa Qila masuk ke dalam kamar lalu menurunkannya di kasur."Mas! Hallo, Mas," seru Siska dari dalam ponsel Ilham. Ternyata sedari tadi panggilan video call mereka belum berakhir."Bunda!" Qila tersenyum lebar seraya melambaikan kedua tangannya menatap wajah Siska dari layar ponsel."Qila di sini dulu ya ngobrol sama Bunda! Ayah keluar sebentar, jangan kemana-mana!" ujar Ilham dan di balas dengan anggukan kepala oleh putri kecilnya."Iya,
Di rumah sakit kini Siska di pindahkan satu kamar dengan Bapak. Supaya kalau perlu apa-apa bisa dibantu oleh Ibu dan Ibu tidak harus susah payah bolak-balik ke kamar rawat yang lain."Qila udah makan belum, Sayang?" tanya Ibu yang sedari tadi memengang ponsel Siska dan duduk bersebelahan."Iya, Sayang. Kamu udah kanan belum?" imbuh Siska."Udah kok, Bun... Nek. Tadi makan bubur ayam dibeliin Tante Ika," jawab Qila."Tapi, Qila belum mandi," ucap Qila serata berseringai hingga menapampakan sederan gigi susunya."Hiii! Bau asem ya, Qilanya," sahut Bapak."Iya tuh kata Kakek Qila bau asem," imbuh Siska."Hehehehe.""Bunda! Bunda kapan pulang. Qila kangen.""Ya nanti ya, Sayang. Kamu sabar dulu! Jangan nakal!""Tapi, Qila mau Bunda," rengek Qila dan wajahnya terlihat begitu memela
Pagi ini setelah sarapan dengan nasi goreng Ilham berniat mengantarkan Nabila untuk pulang ke rumah. Sejak kejadian semalam ia sama sekali tidak berbicara dengan Nabila. Walau Nabila berusaha untuk tetap mengajaknya mengorbrol tapi, Ilham hanya diam saja tanpa membalas. Jangankan membalas, melihat ke arah Nabila saja ia sangat malas."Ayah! Nanti bunda pulang, kan?" ucap Qila saat Ilham hendak menyuapinya dengan telur dadar dengan tambahan daun bawang yang menjadi kesukaan putrinya itu."Iya, Sayang. Makanya Qila harus makan ya banyak, ya! Nanti kalau bunda udah dateng liat Qila udah makan yang kenyang pasti bunda seneng," balas Ilham lalu mengusap kepala Qila dengan sangat lembut."Yey, Asikkk. Bundaku pulang." Qila kegirangan seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya."Loh?! Baru sehari kok udah pulang, Mas?" sahut Nabila."Di rawat di rumah Bapak. Sewa perawat," balas Ilham tanpa m
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk