Pagi ini setelah sarapan dengan nasi goreng Ilham berniat mengantarkan Nabila untuk pulang ke rumah. Sejak kejadian semalam ia sama sekali tidak berbicara dengan Nabila. Walau Nabila berusaha untuk tetap mengajaknya mengorbrol tapi, Ilham hanya diam saja tanpa membalas. Jangankan membalas, melihat ke arah Nabila saja ia sangat malas.
"Ayah! Nanti bunda pulang, kan?" ucap Qila saat Ilham hendak menyuapinya dengan telur dadar dengan tambahan daun bawang yang menjadi kesukaan putrinya itu.
"Iya, Sayang. Makanya Qila harus makan ya banyak, ya! Nanti kalau bunda udah dateng liat Qila udah makan yang kenyang pasti bunda seneng," balas Ilham lalu mengusap kepala Qila dengan sangat lembut.
"Yey, Asikkk. Bundaku pulang." Qila kegirangan seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Loh?! Baru sehari kok udah pulang, Mas?" sahut Nabila.
"Di rawat di rumah Bapak. Sewa perawat," balas Ilham tanpa m
Setelah mendengar cerita dari Siska, membuat Ika kini menjadi takut akan sebuah pernikahan. Bahkan dengan seorang laki-laki yang seolah begitu sayang dan selalu perhatian seperti Ilham saja tidak bisa cukup dengan satu wanita.Ika melamun memikirkan semua kepahitan yang telah dialami Siska. Ia membayangkan bagaimana jika nanti ia mendapatkan suami yang seperti itu."Ah! Engga." Ika menggeleng cepat dan langsung memegang tangan Siska dengan erat."Heh! Kenapa kamu ini? Ngagetin aja," seru Siska seraya menatap Ika dengan heran."Mba tau kan, dulu waktu pacaran sama Bram udah 2 tahun aku di selingkuhin sama dia. Dia bawa cewe pulang ke rumahnya diajak nginep di sana. Itu aja aku sakit hati banget, Mba. Sampe aku jatuh sakit dan hampir satu bulan dada masih aja sesek. Apalagi Mba Siska yang udah berumah tangga dan punya anak kayak gini. Aku aja bahkan sampe sekarang itu yang buat aku takut buat berhubung
Semua orang yang ada hanya bisa menatap Siska dengan Iba. Walau begitu, Siska masih bisa seolah menyembunyikan rasa pahit yang ia rasakan dengan senyuman lebar yang ia lontarkan pada sahabat lamanya.Keputusan yang ia ambil ini sudah ia bertimbangkan dengan matang. Demi ketenangan dan kesehatan mentalnya ia relakan rumah tangganya. Walau, ia sendiri juga takut akan akan pertumbuhan anaknya dengan kondisi kedua orangtuanya yang sudah tidak dapat lagi bersama."Aku udah saratus persen yakin sama keputusanku ini, Fat. Yang terpenting hak asuh Qila bisa jatuh ke tanganku," ucap Siska."Kalau masalah itu aku akan usahain, Sis. Semoga kamu bisa mendapatkan hak asuhnya," balas Fatya seraya mengusap lembut punggung tangan Siska.Mereka adalah sahabat sejak SMA. Dari ketiga temannya, Fatya lah yang hingga sekarang ini masih begitu dekat dengannya. Masih sering berkomunikasi untuk bertukar kabar.
Siska yang mendengar jawaban dari Aqila awalnya merasa terkejut. Tapi, selanjutnya ia justru tersenyum getir. Tidak ada perasaan sakit hati, yang ada hanya merasa jijik saat mereka bersikap tidak tahu diri seperti ini. Tidur menginap di rumah orangtua istri pertama dan tidur bersama di kamar Siska."Loh, masa iya semalem Tante Nabila tidur bareng kita, Qila? Waktu Ayah bangun Tante Nabila nggak ada di kamar Bunda gitu," sahut Ilham bertanya-tanya."Udah lah, Mas! Nggak usah ngomong seolah nggak tau apa-apa! Paham kok, hahaha," ucap Siska lalu tertawa terbahak-bahak."Beneran, Sis! Mas bener-bener nggak tau kalo dia semalem tidur di kamar ini juga. Setelah makan malam badan Mas rasanya letih sekali, makanya pas baru rebahan udah langsung ketiduran. Bahkan sampe nggak tau kalau Qila nggak tidur," balas Ilham membela diri.Drttt... Drttt... Drttt...Ponsel Siska bergetar yang berada
Ambulan datang dan beberapa perawat langsung mengangkat memasukan Nabila ke dalam mobil."Ini kalau mobilnya masih dalam kondisi miring seperti ini pastinya susah buat ngeluarin Bapak itu," ucap petugas rumah sakit."To-tolong! Ka-ka-kaki. Sa-a...kit," ucap Ilham terbata-bata dan sangat lirih.Polisi pun datang bersama dengan mobil derek yang akan membawa mobil itu. Dan setelah sepuluh menit mobil baru bisa menarik mobilnya agar tidak miring supaya bisa mengeluarkan Ilham dari dalam.Saat di kelurkan ternyata kedua kaki Ilham sudah tidak berbentuk lagi. Tulangnya hancur di bagian lutut ke bawah."Sa-sakit!" Bibir yang pucat pasi bergetar dengan kedua mata yang hanya sedikit terbuka.Ilham dan Nabila pun segera dilarikan ke rumah sakit. Semua orang yang melihat keadaan Ilham merasa sangat kasian dengan kondisi keduanya yang sangat memprihatikan.
"Iya, Nduk. Umi ini orangtuanya Nabila. Umi duduk, ya," ucap Umi lalu duduk di tengah-tengah Haris dan Siska.Beliau memperhatikan Siska yang sedari kedatangannya hanya diam saja."Kenapa kamu di infus? Lagi sakit apa, Nduk?" tanya Umi. Ia menyadari bahwa Siska tak begitu menyukai kehadirannya. Bahkan sedari awal ia sudah merasa tidak enak dengan Siska atas perbuatan putrinya."Saya keguguran," jawab Siska datar tanpa melihat ke arah Umi. Kedua matanya justru menatap ujung kakinya.Umi tertegun sesaat lalu menelan ludahnya. Begitu juga Haris juga langsung menoleh dengan kondisi mulut yang terbuka."Ya Allah.... Keguguran? I-ini pasti karena Ilham menikah lagi, ya? U-Umi... Umi minta maaf ya, Nduk! Umi juga udah coba buat menghentikan pernikahan itu, tapi Umi nggak bisa. Umi bener-bener minta maaf...." Umi menenggelamkan wajahnya karena merasa begitu malu.Ia
Karena memang perasaan yang ia miliki sudah lenyap tak tersisa. Hanya ada kepingan rasa pahit kala menatap wajah Ilham. Mau hubungan tetap berlanjut pun lari rasanya sudah berbeda dan tidak sama seperti sedia kala sebelum kedatangan Nabila."Hm! Kalau memang ini udah jadi keputusanmu. Semoga menjadi hal baik untuk kedepannya. Dan yang sabar ya, Siska. Saya ikut prihatin atas apa yang telah menimpa keluargamu. Kamu wanita yang tangguh!" balas Haris seraya menyunggingkan senyumnya.Namun, Siska justru tersenyum getir mendengarnya. Seolah ia hanya menganggap apa yang telah Haris katakan sebuah basa-basi saja. Baginya, semua orang yang berhungan dengan Nabila pasti sama saja. Bermuka dua!"Kenapa gitu ekspresinya?" Haris mengangkat kedua alisnya bingung."Nggak perlu pura-pura baik gitu sama saya!" balas Siska dengan sinis.Haris semakin dibuat bingung. Padahal ia sama sekali tidak b
Siska mencoba untuk tidak menghiraukannya karena sudah pasti mereka pasti sedang membicarakan soal rumah tangganya. Kini sudah tak penting lagi apa yang akan menjadi asumsi orang terhadap dirinya. Asal bukan ia yang berbuat salah semua itu tidak akan berpengaruh apa-apa untuknya."Pak, Ibu dimana?" bisik Siska lirih. Karena sedari tadi ia belum melihat keberadaan sang Ibu."Itu si Qila minta tidur ditemenin neneknya. Padahal lagi rame orang gini. Sana kamu susulin biar Ibumu bisa ke sini, nggak enak sama tetangga yang dateng!""Oalah iya, Pak." Siska pun langsung bangkit dari duduknya.Sebelum ia membuka pintu kamar ia merasa ada menarik-narik ujung bajunya. Dan Siska pun langsung melihat ke bawah.Kedua mata Siska menyipit lalu ia mengangkat kedua bahunya, "kenapa, ya?""Sini dulu duduk, Sis! Saya mau ngobrol sebentar!" ucap Ibu-ibu yang tadi Siska lihat sedang melirik dirinya sembari berbisik-bisik dengan sebelahnya."Maaf, ya! Saya harus masuk sekarang, mau manggil Ibu saya." Siska
Telinga Ilham seperti terasa seperti kemasukan air, semua suara terdengar mendengung hingga membuatnya kesakitan. Pandangannya buram, ia melihat banyak orang dan juga cahaya tepat di atas kepalanya. Ia tidak bisa menggerakkan bagian bawah badannya, bahkan untuk sekedar mengucapkan sepatah kata pun ia tidak bisa.Tenggorokannya terasa sangat kering dan membuatnya kesulitan untuk menelan ludah. Ia hanya ingin air. Air untung membasahi kerongkongannya."Perban bekas jahitannya! Tapi, pastikan dulu tidak ada bagian yang belum dibersihkan!""Iya, Dok."Ilham dapat mendengar suara itu walau hanya terdengar sangat lirih di telinganya.Dengan sekuat tenaga Ilham berusaha membuka-buka mulutnya berkali-kali. Namun, tetap tidak ada suara yang dapat di dengar. Kepalanya terasa sangat pusing dan ia juga merasa nyeri yang sangat hebat di bagian siku dan punggungnya.Saat ke dua kakinya di amputasi Ilham hanya dibius setengah badan. Namun, untung saja ia tersadar ketika sudah selesai dan di jahit.H
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk