“Selamat pagi?” sapa Falisha saat berada di dapur. “Nyonya Falisha? Kenapa Anda kemari? Jika perlu sesuatu tinggal panggil saja,” sahut seorang wanita paru baya itu sedikit membungkukkan badannya.“Aku sudah kebiasaan bangun pagi, dengan Mbok?”“Saya Mbok Ijah, kepala dapur di sini, yang ini namanya Mira dan yang itu namanya Sumi, mereka yang membantu saya, maklum saya sudah sedikit lambat karena sudah tua, mau pensiun juga nggak enak, bisa capek badan kalau nggak kerja. Jelasnya dengan ramah dan disambut senyuman manis dari Falisha.“Panggil saya Feli atau Lisha saja Mbok, kalau Nyonya seperti orang tua saja,” sahutnya lagi sambil melihat apa yang mereka kerjakan. “Jangan nanti kami yang dimarahi oleh Tuan Fattan. Oh ya jika ada yang dinginkan ...“Aku mau masak Mbok, apa boleh?” potongnya dengan cepat dan bersemangat. Mbok Ijah dan dua wanita lainnya saling berpandangan, karena selama ini tidak ada majikan yang turun tangan ke dapur dan memasak sendiri. “Waduh nggak Nyonya, ini
“Nasi goreng?” Shinta menyengitkan dahinya sambil menatap menu itu yang hampir tidak pernah tersaji di atas meja makan karena kurang menyukai makanan itu. Nadia pun menghampiri wadah mangkuk itu yang sengaja ditaruh di tengah meja makan itu dan ikut melihat isinya.“Kenapa Mbok membuat nasi goreng, bukannya kita nggak bisa makan seperti ini? Siapa yang menyuruhmu untuk membuat makanan sampah ini? Kenapa diubah? Siapa yang berani melakukannya, kalian sudah bosan untuk kerja di sini hah?” teriak Nadia dengan mata melotot. Semua anggota keluarga pun sudah berkumpul di meja makan termasuk Fattan yang baru saja keluar dari kamar. Bahkan dia tidak bisa menemukan Falisha di kamar. “Lihat Falisha, Mbok?” tanya Fattan dengan suara rendah tapi terkesan tegas.Mbok Ijah masih diam, dia bingung untuk mengatakan yang sebenarnya karena Falisha sedang ke depan halaman untuk memberikan dua piring nasi goreng hasil buatannya kepada kedua satpam di depan gerbang. Mata Fattan menatap tajam ke arah m
Fattan mengamati Falisha yang buru-buru mencari angkot tapi tidak ada satu pun yang memberikan tumpangan. “Bodoh sekali Fali, kenapa juga mencari angkot, di sana pasti desak-desakan kenapa nggak pesan saja sih, katanya ada uang, ini malah cari yang lebih murah,” geram Fattan melihat dari jauh apa yang dilakukan oleh Falisha. Beruntung di saat itu juga ada sebuah angkot yang berhenti di depannya, tapi sedikit sesak karena sudah banyak yang duduk di sana. Tinggal di bagian kursi samping yang panjang tapi di sampingannya sudah ada seorang pria paru baya yang duduk. Sebenarnya Falisha enggan tapi mau tak mau dia harus masuk ke angkot itu karena tidak ingin terlambat apalagi kantornya tidak terlalu jauh dari tempat Fattan menurunkannya.Falisha akhirnya pun masuk ke angkot itu. Wajah pria paru baya itu menyeringai, apalagi tatapan maranya membuat Falisha risih. Falisha pun menaruh waspada kepadanya mungkin saja orang itu berniat jahat. Fattan beberapa kali mengumpat kasar di dalam mob
Falisha masih berdiri mematung di tempatnya. Melihat dua insan itu sedang berbuat tidak senonoh. Entah kenapa hatinya ada sedikit sakit melihat aksi mereka apalagi Fattan begitu dominan dan menikmati apa yang dilakukan oleh Syakira.“Kenapa kalian melakukan hal ini di kantor? Kenapa tidak di hotel atau rumah kalian saja? Sangat tidak bermoral!” celetuk Falisha dengan suara lantang mengagetkan mereka. Terutama bagi Fattan yang sangat terkejut dengan kedatangan Falisha secara tiba-tiba. “Fa—Falisha?” panggil Fattan dengan suara pelan. Fattan pun kembali membetulkan pakaiannya yang sedikit berantakan akibat ulah Syakira dan wanita itu pun turun dari pangkuan Fattan dengan wajah cemberut dan menghampirinya. “Eh, kamu siapa? Berani sekali kamu bicara seperti itu dengan Bos kamu, atau kamu salah satu pacar Mas Fattan, jadi kamu cemburu dengan apa yang kami lakukan, hah?” teriak Syakira menatap nyalang.Falisha tersenyum sinis. “ Maaf saya tidak masalah dengan apa yang kalian lakukan, mau
Falisha masih sibuk dengan pekerjaannya. Dibantu dengan Silvi dan Aldi mereka merancang suatu ide. Produk yang ingin dipasarkan adalah sebuah minuman ringan dalam kemasan. Mereka membagi tugas sesuai dengan bidangnya. Kerja sama dari kedua pihak memang saling menguntungkan. Semua sudah ter koordinir dengan baik. Baik Fattan dan Falisha betul-betul memperhatikan sedetail mungkin kemungkinan apa saja yang terjadi jika produk ini gagal di pasaran. Fattan semakin takjub dengan kinerja Falisha, saat menerangkan produk apa yang akan dijual dan dipasarkan nanti. Pandangan Fattan tidak terlepas dari Falisha sehingga menimbulkan kecurigaan dari karyawan mereka. Setelah insiden itu pun Falisha masih bisa fokus dengan pekerjaan bahkan tidak terlihat acuh atau cuek saat Fattan mengajukan banyak pertanyaan, dia menjawabnya dengan lugas dan bisa diterima oleh mereka.Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat, meeting dan pekerjaan sekarang membuat Falisha harus banyak bertemu dan berkonsultasi
“Sangat menyebalkan! Aku pikir dia serius untuk pergi beramaku tapi ternyata nggak, padahal aku ... Ah kenapa aku yang marah-marah sih? Bukannya aku harus senang kan jika Mas Fattan nggak ikut denganku, tapi ... Apa ini, apa yang terjadi denganku?” batinnya kembali bingung dengan perasaannya sendiri. Falisha pun memesan ojek . Kali ini dia malas naik angkot dan memilih memesan ojek dari aplikasi di ponselnya. Tak perlu menunggu lama pesanannya pun datang dan Falisha segera meluncur ke tempat itu. Ada rasa def-degan bercampur rasa haru dan kangen karena akhirnya Falisha bisa melihat buah hatinya dari dekat. Tak ada seorang ibu pun yang tak merindukan anaknya meskipun sudah terpisah begitu lama. Enam tahun sudah cukup akhirnya Falisha bisa kembali memeluk anaknya, meskipun Falisha belum mau mengatakan siapa dia sebenarnya karena takut Fahri akan lebih menderita lagi jika mengetahuinya. Sampai dua puluh menit berlalu akhirnya Falisha sampai di rumah sakit. Hatinya semakin gelisah
Falisha tercekat. Hatinya terasa beku seakan jantung berhenti berdetak saat mendengar ucapan itu. “Ke—kenapa kamu berkata seperti itu? Di mana orang tuamu, mereka tidak datang menjagamu?” tanya Falisha kembali lembut. “A—apa boleh menyentuh Tante?” ucapnya pelan tapi tatapannya begitu dalam. “Di mana orang tuamu, Sayang?” “Mami sudah pergi duluan ke surga. Mami jahat kan Tante kenapa nggak mau membawa Fahri sekalian. Mami enak tinggal di sana. Mami nggak peduli sama Fahri buktinya Fahri ditinggal sendirian. Nggak ada yang sayang sama Fahri, Tante. Apakah Tante juga mempunyai anak?” tanyanya lagi. “Ada tapi dia juga sudah pergi duluan dan Tante sendirian. Mau menjadi anak Tante?” Wajah anak tampan itu terkejut tapi seketika berubah. Senyuman mengembang dan dengan cepat menganggukkan kepalanya. “Sayang, sebenarnya ada yang ingin Tante sampaikan sama Fahri, tapi mungkin nggak sekarang tunggu Fahri sampai rumah. Kata Dokter Fahri sudah boleh pulang dan ...“Kempa wajah Tante terlih
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tidak terasa Fahri sudah tertidur dalam dekapan hangat seorang Falisha. Wanita cantik itu mampu membuat anak kecil itu nyaman. Baru sehari dia bersama Fahri membuat anak itu tidur dengan nyenyak.Dengan lembut mencium kening anak tampan itu yang masih dalam dekapannya. “Kenapa semua orang tidak menyukai kamu, Sayang, padahal kamu begitu manis. Mama janji akan membuatmu pintar dan dihargai oleh banyak orang. Kamu anak Mama yang pintar dan juga baik, hanya orang buta saja yang tidak bisa memahami kamu. Mama janji akan selalu ada buatmu, tapi apakah kamu akan memaafkan Mama seandainya kamu tahu siapa Mama sebenarnya? Apakah kamu masih mau memeluk Mama seperti ini, Sayang?” batin Falisha sambil menatap lekat wajah Fahri dalam tidurnya. Falisha melihat jam di pergelangan tangannya. Dia ingin kembali ke kamar dan melihat apakah Fattan sudah kembali atau tidak. Dengan sedikit perlahan turun dari tempat tidur tanpa harus menimbulkan suara agar t
“Mbok di mana Mas Fattan?” tanya Farah pelan.“Belum pulang Bu,” jawab Mbok Ijah singkat. Farah melirik ke jam dingin yang terpajang cantik di dalam kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, membuat Farah sedikit khawatir. Namun, sesaat kemudian kekhawatiran itu berangsur sirna dikala dia mengingat kalau ada wanita lain yang biasa menemaninya. “Apa yang Bu Farah pikirkan?” Mbok Ijah menemani Farah di dalam kamar.“Mas Fattan pasti dengan Syakira. Mbok apakah Mas Fattan mencintai Syakira, sepertinya mereka saling mencintai? Apakah Syakira adalah cinta pertama Mas Fattan?” tanya Farah mulai bimbang. “Enggak Bu, mereka hanya teman masa kecil. Dulu Syakira pergi dari kehidupan Den Fattan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah Syakira ditugaskan di Semarang saat Syakira berusia sembilan tahun dan Den Fattan berusia dua belas tahun. Setelah itu mereka tidak pernah saling menghubungi atau bertukar kabar. Kalau sekarang Mbok enggak tahu juga apakah Den Fatta
“Jika kamu mencintainya kenapa kamu dulu pergi meninggalkannya? Kenapa Syakira? Kenapa kamu malah pergi dari kehidupan Mas Fattan dan kenapa kembali disaat Mas Fattan sudah menikah denganku?” Farah menghujaninya begitu banyak pertanyaan yang dari dulu ingin sekali dia tanyakan kepada Syakira.Syakira terdiam sesaat sambil menatap sendu wanita di hadapannya dan kemudian kembali tersenyum sebelum berbicara. “Aku kembali bukan karena ingin merebut Mas Fattan dari kamu, Mbak. Aku kembali karena langkah kakiku yang menuntunku sampai ke sini. Apakah ini yang bisa dibilang sebuah takdir? Bahkan berkat kerja kerasku selama ini akhirnya kembali ke sini dan bertemu Mas Fattan. Aku hanya ingin menjadi temanmu, Mbak dan berbagi apa saja jika Mbak mau. Aku juga bisa menjadi teman curhat dan menjadi pendengar yang baik,” jelasnya.“Kata-katamu sungguh manis dan cukup mengesankan. Apa yang kamu inginkan Syakira? Kehidupanku atau cinta suamiku?” tanya Farah pelan. “Hanya Mbak Farah yang tahu jaw
Fahri pun mengangkat ponsel itu dengan sedikit malas. “Halo, Pi? Ada apa?”“Fahr? Di mana mami? Kenapa kamu yang angkat telepon mami? Apa mami baik-baik saja?” “Kenapa Papi mencari mami? Untuk sekarang mami enggak bisa diganggu. Papi urus saja pekerjaan penting Papi itu!” “Fahri! Halo ...halo!” Terdengar suara Fahri memutuskan sambungan telepon itu. Kecewa dan marah itu yang dirasakan olehnya. Tak lama kudian ponsel Farah kembali berbunyi. Takut membangunkan Farah sehingga Fahri langsung mematikan ponsel itu. “Untuk apa Papi mengetahui keadaan mami? Papi lebih sayang dengan pekerjaan tante pirang itu,” gerutu dalam hati sambil menatap lekat wajah Farah yang semakin tirus dan pucat. Fahri mengecup kening Farah. Seharusnya bukan anak kecil itu yang menunggu di rumah sakit, tapi anak kecil itu memohon kepada pihak rumah sakit untuk bisa tidur dengan Farah dalam satu ruangan. Ingin menemaninya dalam tidur. Fahri begitu menyayangi Farah dan tak ingin berpisah sedetik pun apalagi
“Mami kenapa Mbok?” tanya Fahri semakin cemas.Farah masih mengatur napasnya perlahan-lahan. Dia berusaha untuk bisa meredam sakit hatinya saat melihat penampakan di sana.Mbok Ijah terlihat panik. Begitu juga dengan Mang Ujang yang langsung ingin menggendong Farah untuk masuk ke dalam mobil kembali. Namun, entah kenapa pandangan wanita paruh baya itu ternyata melihat sang majikan pria yang sedang bahagia bersama wanita lain yang tidak lain adalah Syakira.“Den Fattan?” Mbok Ijah terdiam sesaat. Fahri pun menengok dan mendengarkan ucapan Mbok Ijah. Apalagi pandangan Mbok Ijah tertuju ke satu arah. Fahri mengikuti arah pandangan wanita paru baya itu. Dan benar saja papinya sedang bersama dengan wanita lain. Tentu saja membuat hati Fahri begitu sakit, marah melihat mereka begitu dekat seperti yang dia lihat saat di ruangan papinya sendiri.“Pa—Papi ada di sini juga? Bukannya papi bilang kalau ada urusan mendadak di kantor tapi kenapa ada di sini bersama Tante itu?” kesalnya dan ingin
Hari-hari pun berlalu seperti biasa. Farah pun sudah terbiasa dengan kedatangan Syakira ke rumahnya. Entah itu tentang pekerjaan atau hanya sekedar bertamu. Syakira berusaha untuk menjadi teman dekat Farah dan membuatnya merasa nyaman . Namun, tidak dengan Fahri yang mulai risih dengan kedatangan Syakira. Anak kecil itu tidak terlalu suka jika Syakira sering datang ke rumahnya. Bahkan di hari libur pun Syakira tidak absen untuk bisa jadi di tengah keluarga mereka. Seperti saat ini Fahri yang sudah sedikit melupakan tentang masalah mainan robot itu, kini sedikit terobati saat Fattan berniat untuk mengajak mereka ke pantai. Fahri sangat bahagia karena susah lama mereka tidak pergi berlibur bersama-sama.Dengan penuh semangat Fahri menyiapkan semua keperluan nya sendiri. Mulai dari baju ganti sampai makanan atau camilan untuk di sana. Anak kecil itu begitu Mandiri dia bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri karena Fahri berpikir untuk tidak merepotkan ibunya yang sering sakit-sak
Sudah tiga hari Farah masih terbaring di rumah sakit. Tubuhnya begitu lemas. Panas dingin kembali menyelimuti dirinya. Meskipun sudah mendapatkan kenangan yang maksimal tapi tubuh kurus itu semakin lemah. Matanya terlihat cekung dengan bibir sedikit pecah. Wajah pucat seperti mayat hidup. Farah menahan rasa sakit semuanya sendiri karena tidak ingin menjadi beban suaminya lagi sehingga dia pun menyembunyikan penyakitnya sendiri. Farah kembali mengingat masa lalu yang begitu romantis disaat Farah masih terlihat segar dan cantik. Fattan begitu memuji kecantikan dan sangat mencintai Farah. Bahkan dia teka menentang keluarga besarnya untuk bisa menikah dengan wanita yang miskin.Keluarga Fattan tidak menyukai pilihan Fattan tapi tidak bisa menolak pilihan Fattan karena begitu menyayangi Fattan. Mereka berdua pun menyembunyikan rahasia besar kalau Farah tidak akan bisa mempunyai anak dari rahimnya karena rahim Farah sudah diangkat karena rusak akibat kecelakaan sebelum mereka menikah.
Fattan masih tertegun melihat benda itu. Apalagi saat pelayan toko mainan itu bilang kalau hanya ada satu barang. Berarti orang yang membeli mainan robot itu adalah Fahri. Anak kecil itu pun mengerti apa yang dilihat oleh papinya sendiri. Fahri melihat ada barang yang diletakkan di tempat tidurnya tanpa berniat untuk membuka kotak itu. “Apakah isinya itu adalah mainan?” pikir Fahri sesaat. Fahri masih saja menatap wajah Fattan dengan sendu. “Mainan robot itu bagus kan, Pi? Fahri meminta Mami untuk membelikannya. Mainan yang tidak jadi dibeli oleh Papi di sana. Papi lebih memilih pergi dengan Tante pirang itu daripada membelikan untuk Fahri,” ucapnya seketika membuyarkan lamunannya.. “Fahri ... apakah kamu dan Mami ada di mall itu juga?” tanyanya lebih memastikan.“Iya Pi. Mami bilang kalau Papi dan Tante pirang itu sedang berlatih memainkan peran tapi Papi lupa kalau Fahri ini anak. Papi yang bisa menangkap pikiran orang dewasa. Papi sudah berubah, enggak sayang lagi sama kami. O
Di dalam mobil Fattan masih tak percaya apa yang mereka lakukan semalam. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Syakira tadi malam membuatnya terbangun dan mengikuti permainan Syakira yang begitu panas. “Oh Syakira, kamu membuatku gila, tubuhmu, aromamu membuat aku tak bisa melupakan kejadian semalam. Bagaimana aku bisa konsentrasi di kantor jika terus membayangkan perbuatan Syakira?” gerutunya membuatnya semakin gelisah. Tiba di perempatan jalan Fattan melihat sebuah mall. Tempat di mana kemarin dia singgah di sana. Terlintas di benaknya langsung saat Fattan berada di toko mainan. “Ah iya aku mau membelikan mainan untuk Fahri tapi ....” Fattan melihat jam di pergelangan tangannya yang melingkar. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi sedangkan mall itu belum buka. Fattan pun berniat akan kembali ke toko mainan itu saat jam makan siang nanti sehingga dia pun melajukan kendaraannya kembali. Tiba di kantor Fattan langsung fokus ke pekerjaan yang menunggunya. Dia sudah lupa untuk men
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, mata sendu itu belum bisa terpejam sempurna betul. Setelah kejadian di mall Fahri tak bisa melupakan apa yang terjadi di sana.Bahkan semula rencana untuk bermain di mall secara tiba-tiba dibatalkan oleh Fahri sendiri. Dia lebih memilih untuk pulang ke rumah cepat. Tak ada keceriaan seperti tadi setelah sampai di rumah. Farah ikutan sedih saat anak angkatnya kini tidak berselera untuk makan. Fahri hanya menatap sendu ke arah robot yang dibeli yang menjadi pilihan Fattan meskipun tidak jadi dibelinya. Farah menemaninya di dalam kamar. Sungguh tak tega melihatnya sendirian. “Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kamu tidak lapar? Jika Fahri enggak mau makan lebih baik tidur, biar besok bisa bangun pagi, kan sekolah, tapi Mami akan sedih jika Fahri tidur dalam keadaan perut kosong, nanti Fahri sakit dan Mami akan bertambah sedih melihatnya dan juga akan membuat Mami semakin lama sembuhnya. Fahri mau seperti itu?” bujuk lembut Farah yang su