“Nasi goreng?” Shinta menyengitkan dahinya sambil menatap menu itu yang hampir tidak pernah tersaji di atas meja makan karena kurang menyukai makanan itu. Nadia pun menghampiri wadah mangkuk itu yang sengaja ditaruh di tengah meja makan itu dan ikut melihat isinya.“Kenapa Mbok membuat nasi goreng, bukannya kita nggak bisa makan seperti ini? Siapa yang menyuruhmu untuk membuat makanan sampah ini? Kenapa diubah? Siapa yang berani melakukannya, kalian sudah bosan untuk kerja di sini hah?” teriak Nadia dengan mata melotot. Semua anggota keluarga pun sudah berkumpul di meja makan termasuk Fattan yang baru saja keluar dari kamar. Bahkan dia tidak bisa menemukan Falisha di kamar. “Lihat Falisha, Mbok?” tanya Fattan dengan suara rendah tapi terkesan tegas.Mbok Ijah masih diam, dia bingung untuk mengatakan yang sebenarnya karena Falisha sedang ke depan halaman untuk memberikan dua piring nasi goreng hasil buatannya kepada kedua satpam di depan gerbang. Mata Fattan menatap tajam ke arah m
Fattan mengamati Falisha yang buru-buru mencari angkot tapi tidak ada satu pun yang memberikan tumpangan. “Bodoh sekali Fali, kenapa juga mencari angkot, di sana pasti desak-desakan kenapa nggak pesan saja sih, katanya ada uang, ini malah cari yang lebih murah,” geram Fattan melihat dari jauh apa yang dilakukan oleh Falisha. Beruntung di saat itu juga ada sebuah angkot yang berhenti di depannya, tapi sedikit sesak karena sudah banyak yang duduk di sana. Tinggal di bagian kursi samping yang panjang tapi di sampingannya sudah ada seorang pria paru baya yang duduk. Sebenarnya Falisha enggan tapi mau tak mau dia harus masuk ke angkot itu karena tidak ingin terlambat apalagi kantornya tidak terlalu jauh dari tempat Fattan menurunkannya.Falisha akhirnya pun masuk ke angkot itu. Wajah pria paru baya itu menyeringai, apalagi tatapan maranya membuat Falisha risih. Falisha pun menaruh waspada kepadanya mungkin saja orang itu berniat jahat. Fattan beberapa kali mengumpat kasar di dalam mob
Falisha masih berdiri mematung di tempatnya. Melihat dua insan itu sedang berbuat tidak senonoh. Entah kenapa hatinya ada sedikit sakit melihat aksi mereka apalagi Fattan begitu dominan dan menikmati apa yang dilakukan oleh Syakira.“Kenapa kalian melakukan hal ini di kantor? Kenapa tidak di hotel atau rumah kalian saja? Sangat tidak bermoral!” celetuk Falisha dengan suara lantang mengagetkan mereka. Terutama bagi Fattan yang sangat terkejut dengan kedatangan Falisha secara tiba-tiba. “Fa—Falisha?” panggil Fattan dengan suara pelan. Fattan pun kembali membetulkan pakaiannya yang sedikit berantakan akibat ulah Syakira dan wanita itu pun turun dari pangkuan Fattan dengan wajah cemberut dan menghampirinya. “Eh, kamu siapa? Berani sekali kamu bicara seperti itu dengan Bos kamu, atau kamu salah satu pacar Mas Fattan, jadi kamu cemburu dengan apa yang kami lakukan, hah?” teriak Syakira menatap nyalang.Falisha tersenyum sinis. “ Maaf saya tidak masalah dengan apa yang kalian lakukan, mau
Falisha masih sibuk dengan pekerjaannya. Dibantu dengan Silvi dan Aldi mereka merancang suatu ide. Produk yang ingin dipasarkan adalah sebuah minuman ringan dalam kemasan. Mereka membagi tugas sesuai dengan bidangnya. Kerja sama dari kedua pihak memang saling menguntungkan. Semua sudah ter koordinir dengan baik. Baik Fattan dan Falisha betul-betul memperhatikan sedetail mungkin kemungkinan apa saja yang terjadi jika produk ini gagal di pasaran. Fattan semakin takjub dengan kinerja Falisha, saat menerangkan produk apa yang akan dijual dan dipasarkan nanti. Pandangan Fattan tidak terlepas dari Falisha sehingga menimbulkan kecurigaan dari karyawan mereka. Setelah insiden itu pun Falisha masih bisa fokus dengan pekerjaan bahkan tidak terlihat acuh atau cuek saat Fattan mengajukan banyak pertanyaan, dia menjawabnya dengan lugas dan bisa diterima oleh mereka.Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat, meeting dan pekerjaan sekarang membuat Falisha harus banyak bertemu dan berkonsultasi
“Sangat menyebalkan! Aku pikir dia serius untuk pergi beramaku tapi ternyata nggak, padahal aku ... Ah kenapa aku yang marah-marah sih? Bukannya aku harus senang kan jika Mas Fattan nggak ikut denganku, tapi ... Apa ini, apa yang terjadi denganku?” batinnya kembali bingung dengan perasaannya sendiri. Falisha pun memesan ojek . Kali ini dia malas naik angkot dan memilih memesan ojek dari aplikasi di ponselnya. Tak perlu menunggu lama pesanannya pun datang dan Falisha segera meluncur ke tempat itu. Ada rasa def-degan bercampur rasa haru dan kangen karena akhirnya Falisha bisa melihat buah hatinya dari dekat. Tak ada seorang ibu pun yang tak merindukan anaknya meskipun sudah terpisah begitu lama. Enam tahun sudah cukup akhirnya Falisha bisa kembali memeluk anaknya, meskipun Falisha belum mau mengatakan siapa dia sebenarnya karena takut Fahri akan lebih menderita lagi jika mengetahuinya. Sampai dua puluh menit berlalu akhirnya Falisha sampai di rumah sakit. Hatinya semakin gelisah
Falisha tercekat. Hatinya terasa beku seakan jantung berhenti berdetak saat mendengar ucapan itu. “Ke—kenapa kamu berkata seperti itu? Di mana orang tuamu, mereka tidak datang menjagamu?” tanya Falisha kembali lembut. “A—apa boleh menyentuh Tante?” ucapnya pelan tapi tatapannya begitu dalam. “Di mana orang tuamu, Sayang?” “Mami sudah pergi duluan ke surga. Mami jahat kan Tante kenapa nggak mau membawa Fahri sekalian. Mami enak tinggal di sana. Mami nggak peduli sama Fahri buktinya Fahri ditinggal sendirian. Nggak ada yang sayang sama Fahri, Tante. Apakah Tante juga mempunyai anak?” tanyanya lagi. “Ada tapi dia juga sudah pergi duluan dan Tante sendirian. Mau menjadi anak Tante?” Wajah anak tampan itu terkejut tapi seketika berubah. Senyuman mengembang dan dengan cepat menganggukkan kepalanya. “Sayang, sebenarnya ada yang ingin Tante sampaikan sama Fahri, tapi mungkin nggak sekarang tunggu Fahri sampai rumah. Kata Dokter Fahri sudah boleh pulang dan ...“Kempa wajah Tante terlih
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tidak terasa Fahri sudah tertidur dalam dekapan hangat seorang Falisha. Wanita cantik itu mampu membuat anak kecil itu nyaman. Baru sehari dia bersama Fahri membuat anak itu tidur dengan nyenyak.Dengan lembut mencium kening anak tampan itu yang masih dalam dekapannya. “Kenapa semua orang tidak menyukai kamu, Sayang, padahal kamu begitu manis. Mama janji akan membuatmu pintar dan dihargai oleh banyak orang. Kamu anak Mama yang pintar dan juga baik, hanya orang buta saja yang tidak bisa memahami kamu. Mama janji akan selalu ada buatmu, tapi apakah kamu akan memaafkan Mama seandainya kamu tahu siapa Mama sebenarnya? Apakah kamu masih mau memeluk Mama seperti ini, Sayang?” batin Falisha sambil menatap lekat wajah Fahri dalam tidurnya. Falisha melihat jam di pergelangan tangannya. Dia ingin kembali ke kamar dan melihat apakah Fattan sudah kembali atau tidak. Dengan sedikit perlahan turun dari tempat tidur tanpa harus menimbulkan suara agar t
Fattan terbangun seketika entah dari jam berapa tertidur pulas di apartemen. Namun, dia terkejut saat mendapati dirinya sudah tidak memakai sehelai benang pun di tubuhnya. Bahkan di samping ada seorang wanita yang ikut tertidur dengan kondisi yang sama dengannya. “Ah sial, apa yang aku lakukan di sini? Dan aku sudah? Dasar bajingan kamu Fattan!” umpatnya dalam hati dan bergegas turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian Fattan keluar dari kamar mandi, segera memakai pakaian ganti dan pergi meninggalkan wanita itu yang masih di dalam alam mimpinya. Fattan bergegas pulang ke rumah. Di dalam perjalanan Fattan merutuk dirinya sendiri, kenapa sampai ada di sana padahal dia ingin menjemput Fahri di rumah sakit. Sampai di rumah, Fattan berlari mencari Falisha atau pun Fahri, berpikir mungkin ada yang membawa pulang anak itu dari rumah sakit. “Selamat pagi Pi,” sambut Fattan saat melihat mereka sudah duduk manis di meja makan.“Selamat lagi Fattan, biar Papi te