"Apa, cerai?"Bak tersambar petir, Nadira terkejut ketika mendengar ucapan cerai dari suaminya ketika ia pulang bekerja. Dua bungkus makanan yang ia pesan di restoran tiba-tiba jatuh ke lantai, kedua tangannya begitu lemas, air mata pun tumpah ruah tak terasa. Sementara Chandra sendiri terlihat tenang menahan semua rasa yang ia simpan sendiri, ia pura-pura tegar, dan memastikan jika keputusannya itu adalah keputusan yang tepat. "Ya, aku ingin kita cerai Nadira, aku sudah tidak tahan lagi melanjutkan pernikahan ini," ucap Chandra membenarkan kalimat yang sempat Nadira dengar. Nadira menatap wajah Chandra sayu, spontan ia menggelengkan kepala dengan cepat, menolak keras perceraian itu. "Mas, kamu nggak boleh bilang kayak gitu, kamu tahu kan kalau seorang suami mengatakan kalimat itu, artinya sudah jatuh talak," lirih Nadira terisak. "Itu memang yang aku mau Nadira, aku menalak dan menceraikan kamu, itu artinya kamu sudah bukan istriku lagi," dengan nada tercekat, Chandra mengatakan
"Nadira, yang sabar ya," ucap Roy, akhirnya ia memilih mendekati Nadira dan menyentuh pundaknya, mengajak Nadira bangun untuk melanjutkan perjalanannya. "Aku akan mengantar mu pulang Nadira." sambung Roy, lalu meminta Nadira untuk menunggu. Roy setengah berlari menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah, dengan tubuh yang basah kuyup, Roy masuk kembali untuk mengambil kunci. Namun langkahnya dihentikan oleh Anita yang tak ingin suaminya itu pergi."Mas, kamu mau ke mana lagi si? Hujan-hujan gini lagi," protes Anita penuh tanya. "Aku mau mengantar Nadira pulang, kasihan dia," ucap Roy jujur. "Apa! Jadi kamu mau mengantar wanita itu pulang? Mas, kenapa tiba-tiba kamu jadi lembek kayak gini, memangnya siapa dia," protes Anita tidak terima. "Sebelum Chandra resmi menceraikan Nadira, dia tetap adik ipar kita, keluarga kita. Jadi aku harap kamu jangan melewati batas!" tegas Roy menatap nanar. Langkah kaki Roy yang pergi meninggalkan rumah, disaksikan oleh Chandra dan juga bu Hesti
Tring... Tring... Ponsel berdering saat Nadira sedang menikmati semangkuk mis instan yang ia buat untuk mengganjal perut, saat itu ia menatap ke arah layar, ada nama Wildan di sana. Meskipun sedikit malas untuk mengangkat telpon, namun Nadira akhirnya memencet tombol hijau. [Ya pak] singkat Nadira bertutur kata. [Nadira, apa kamu hari ini akan datang terlambat? Kenapa hanya kamu yang belum masuk kerja?] tanya Wildan yang menyadari bahwa Nadira tidak ada. [Maaf Pak, hari ini saja izin tidak masuk,] ucap Nadira memberitahu. [Tidak masuk? Memangnya ada apa Nadira, apa kamu sedang sakit?] tanya Wildan penuh selidik. [Ya pak, saya tidak enak badan. Untuk itulah saya izin tidak masuk] jawab Nadira sekenanya. [Udah ke rumah sakit? Aku antar kamu ya kalau belum?] tawar Wildan. [Atau kamu perlu obat apa? Biar aku belikan][Nad?][Nadira?!]Pesan itu tak terbalas karena Nadira sudah keluar dari aplikasi hijau, dan ponselnya sengaja ia matikan karena sengaja ingin ber-sepi bersama dengan
Seorang pria memakai kemeja putih keluar dari pengadilan agama, hari ini adalah sidang terkahir yang tidak dihadiri oleh Nadira untuk yang kesekian kalinya. Perceraian yang hanya diinginkan oleh Chandra itu tak membuat Nadira tergerak untuk hanya sekedar menyaksikan bahwa ia telah benar-benar resmi berpisah dengan suaminya. Nadira lebih memilih berdiam diri di rumah meskipun ia tahu bahwa hari ini jadwalnya pergi ke pengadilan, wanita itu benar-benar tidak sanggup menyaksikan saat hakim mengetuk palu. Ting... Tong.. Bel berbunyi, Nadira tersadar dari lamunan panjangnya di meja makan, wanita itu cukup lama mengaduk kopi yang ia buat hingga tak terasa dingin. Pintu dibuka, Nadira mengulas senyum kecil ketika Karina datang bertamu, wanita itu datang karena diminta oleh Nadira yang sedang kesepian dan rapuh, ia mempersilahkan Karina masuk, duduk bersama di ruang tamu yang terlihat sangat sepi. Karina menatap wajah Nadira penuh iba, ia terlihat sangat berbeda dari sebelumnya. Nadira n
Hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan, Nadira kini sudah mulai bisa menerima kenyataan yang menimpanya, menjadi seorang janda mungkin sesuatu yang sangat memalukan baginya beberapa bulan lalu, tapi kini ia sadar jika semakin lama ia terpuruk, maka akan semakin sulit baginya menemukan kebahagiaan. Hari ini Nadira memutuskan untuk melupakan semuanya, berkat bantuan Karina dan teman-teman lainnya yang selalu ada untuk menguatkan, kini Nadira sudah bisa menyusun hari-hari lagi menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. "Nad, lo udah siap kan masuk kantor hari ini?" tanya Karina me menghampiri kamar Nadira. "Tentu saja, gue udah siap masuk kantor lagi, gue nggak mau larut dalam kesedihan terlalu lama, semua itu nggak akan kembali," ucap Nadira mengulas senyum. "Seriusan lo Nad?" Karina nampak tidak percaya mendengar jawaban dari Nadira, yang membuatnya terkejut. "Iya, gue serius lah, masa gue becanda si, lagian gue mau buktiin kalau gue masih bisa menata hidup gue meskipun
Nadira keluar dari kantor dengan perasaan lega, karena hari ini ia sukses menjalani kehidupan barunya dengan perasaan bahagia. Akhirnya ia berhasil keluar dari zona kepahitan yang selama menguasai dirinya, wanita itu berdiri di pinggir jalan, menunggu taksi yang akan mengantarkan dirinya pulang. Namun saat sedang menunggu taksi, tiba-tiba berhenti sebuah mobil berwana hitam di hadapannya, pintu pun segera terbuka dan Nadira kini menyadari siapa pemilik mobil itu. "Hai Nadira, sedang apa kamu di sini?" tanya Wildan mengulas senyum. "Saya lagi nunggu taksi Pak," ucap Nadira pelan dan cukup singkat. "Nadira, aku antar kamu aja ya, biar nggak nunggu terlalu lama, taksi jam segini jarang lewat, takutnya nanti kamu kesorean," tawar Wildan dengan tulus. "Maaf Pak, terima kasih sebelumnya, tapi saya masih mau menunggu taksi saja," tolak Nadira tidak enak hati. "Nadira, maafkan aku. Dulu memang mungkin aku sangat berambisi ingin memiliki kamu saat kamu masih menjadi istri Chandra, aku ta
Nadira terkekeh saat mengingat ucapan Chandra beberapa jam yang lalu ketika bertemu di pinggiran jalan, tak menyangka jika ternyata Chandra menginginkan dirinya untuk menjadikan Wildan pengganti dalam hidupnya. Bahkan terang-terangan Chandra berkata bahwa lebih baik dicintai daripada mencintai. Nadira terlihat frustasi ketika meresapi kalimat singkat itu, tak menyangka jika ternyata Chandra bisa melakukan hal yang tidak ia duga selama ini. "Jadi mas Chandra begitu menginginkan aku bersama pria lain setelah berpisah darinya? cih.. Benar-benar tidak pernah terpikirkan olehku, aku pikir mas Chandra akan sulit move on dan tak bisa dengan mudah mencari pengganti ku, tapi rupanya dia malah menyuruh ku untuk menerima pria lain!" runtuk Nadira kecewa, sesekali ia terkekeh kembali, serasa di hatinya ada gumpalan batu besar yang begitu menyesakkan dadanya. Alih-alih istirahat dengan tenang di malam yang baru saja diguyur hujan, Nadira justru memilih membuka lemari tempat penyimpanan minuman b
Beberapa minggu kemudian, Chandra nampak gelisah karena Wildan tidak kunjung memberikannya kabar, ia padahal ingin sekali segera berangkat ke luar negri untuk menjalani terapi sesuai janji yang pernah diucapkan oleh Wildan sebelumnya. Karena gelisah tak kunjung mendapatkan kabar, akhirnya Chandra memutuskan untuk mendatangi Wildan ke kantornya, dengan menggunakan taksi online akhirnya pria itu tiba juga. Chandra mulai melangkahkan kaki hendak mencari ruangan Wildan, kedatangannya yang sedikit bingung mencuri perhatian salah satu karyawan yang menyadarinya. "Maaf Pak, Bapak mencari siapa ya?" tanyanya. "Saya ingin bertemu dengan Pak Wildan, ada hal penting yang ingin saya bicarakan," ucap Chandra ramah. "Maaf Pak, apa sebelumnya Bapak sudah ada janji temu?" tanyanya lagi. "Tidak, tapi Mbak bisa katakan pada Pak Wildan kalau saya, Chandra sedang mencarinya." jawab pria itu. Setelah menelpon Wildan akhirnya wanita itu mengantar Chandra ke ruangannya, dan setelah tiba di depan pintu