"Kamu yang apa-apaan, Anita! Kamu marah-marah di rumah sakit dengan keadaan genting seperti ini, kamu pakai perasaan dong, gimana kalau kamu yang ada di posisi itu," marah Roy menatap istrinya nanar. "Mas! Jadi kamu do'ain aku biar aku kecelakaan kayak Nadira? Kok kamu jahat banget, si!" sungut Anita. "Agar kamu merasakan bagaimana keadaan mental Nadira sekarang ini, Anita! Aku marah sama kamu bukan karena aku lebih peduli sama Nadira, tapi karena aku ingin kamu punya sedikit simpati sama Nadira. Tapi jika hatimu masih keras seperti batu, lebih baik kita saling diam untuk sementara waktu." celetuk Roy, ia nampak kewalahan dalam menghadapi istrinya. Mendengar kalimat itu, tentu saja membuat Anita kesal, ia bahkan sama sekali tak menjadikan ucapan Roy sebagai peringatan. Bu Hesti mendatangi mereka dan meminta mereka untuk berhenti bertengkar, baru kali ini bu Hesti merasa sangat terpukul dan butuh sekali sandaran ketika melihat Chandra berada di ruangannya. "Maaf Bu, mari Bu, dudukl
Nadira berada di ruangan Chandra, saat ini Chandra terbaring lemah di atas brankar dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya, dokter Anwar yang menangani Chandra sejak awal itu ikut masuk dengan memakai pakaian khusus, sama halnya dengan yang dipakai oleh Nadira saat ini. Dokter tersebut berdiri bersebrangan dengan Nadira yang tak berkedip sejak tadi, melihat suaminya yang terkulai lemah tak berdaya. "Suamimu akan baik-baik saja, hanya saja dia tidak akan menjadi orang yang sempurna lagi seperti sebelumnya," ucap dokter Anwar. Nadira terbelalak menatap dokter tersebut, "A-apa maksud Dokter?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Nadira. "Lengan kanan suamimu mengalami mati rasa, tidak berfungsi layaknya anggota tubuh lainnya, dia mengalami cacat permanen." jelas dokter tersebut. Deg! Betapa terkejutnya Nadira saat itu, rasa bersalahnya kian besar ketika mendengar kebenaran yang baru diucapkan oleh dokter Anwar, dokter Anwar belum memberitahu keluarga lainnya, karena memang
Dengan semangat Anita masuk ke rumah, setelah berhasil mengikuti kepergian Wildan yang mengantarkan Nadira sampai di depan pintu rumah. Anita merasa bahwa bukti-bukti yang telah ia dapatkan sudah cukup baginya untuk memanipulasi keadaan. Anita kini sudah tiba di depan kamar bu Hesti, ia mengetuk beberapa kali hingga akhirnya dibukakan oleh bu Hesti, keadaan bu Hesti sendiri sebenarnya masih kurang sehat, tetapi Roy harus bekerja karena ia tidak bisa cuti lama-lama. "Ada apa Anita, kau dari mana saja?" tanya bu Hesti penuh selidik. "Maaf Bu, aku ada urusan penting di luar. Oh ya Bu, ada sesuatu yang penting sekali, yang ingin aku tunjukkan ke Ibu," ucap Anita dengan semangat. "Ada apa Anita, sesuatu penting apa?" matanya bu Hesti menetap Anita penasaran. Anita mengeluarkan ponselnya, ia tidak bicara. Tetapi foto yang telah ia ambil itu sudah cukup membuat bu Hesti mengerti dengan apa yang hendak disampaikan oleh Anita. Bu Hesti terbelalak menatap bagaikan Anita menangkap foto-fot
"Ya, kau tunggu saja nanti surat cerainya di rumah, Nadira. Karena surat cerai itu akan segera datang kepadamu," ucap Anita dengan senyum mengembang di wajahnya. "Nggak Mbak, aku nggak mau cerai sama mas Chandra, aku nggak mau, Mbak," tolak Nadira menggelengkan kepalanya cepat. "Kamu coba saja melawan takdir ini, Nadira. Karena aku yakin, kamu tidak akan mampu melawannya." sergah Anita penuh percaya diri. Anita mendorong dada Nadira hingga ia mundur beberapa langkah, Nadira sampai keluar dari pintu gerbang setelah sebelumnya ia menolak keras keluar dari rumah tersebut. "Sekarang kamu pergi dari sini, karena kehadiran kamu sudah tidak diharapkan lagi!" usir Anita dengan kasar, menutup pintu gerbang. Nadira benar-benar tidak bisa menghindar lagi, ia akhirnya keluar dari rumah ibu mertua nya itu dengan tidak hormat, ia di fitnah telah melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ia lakukan. Nadira pun tidak bisa diam saja, dengan cepat ia menyapu air matanya lalu pergi dari tempat itu.
Sudah hampir seminggu, Chandra pun akhirnya tersadar dari komanya, saat itu Roy lah yang bertugas menjaga Chandra, sementara bu Hesti dan Anita istirahat di sofa yang disediakan di ruangan tersebut. Melihat tanda-tanda kesadaran dalam anggota tubuh Chandra, spontan membuat Roy pun dengan cepat memanggil dokter, ia ingin agar dokter segera memeriksa keadaan adiknya yang sudah tidak sadarkan diri beberapa hari yang lalu itu. Dokter dengan cepat memeriksa keadaan Chandra, sementara bu Hesti dan Anita spontan ikut mendekati Roy yang sudah memanggil dokter. "Apa ada tanda-tanda kalau adikmu sadar, Roy?" tanya bu Hesti penuh harap. "Sudah Bu, tadi tangan kiri Chandra bergerak-gerak, dan kedua matanya pun juga hampir terbuka," ucap Roy dengan semangat. "Oh, syukur lah, Ibu sangat senang sekali mendengarnya." bu Hesti begitu terlihat sangat bahagia. Beberapa saat setelah memeriksa keadaan Chandra, dokter pun mengatakan pada semuanya bahwa kondisi Chandra sudah semakin baik, dan akan sege
Di depan pintu gerbang, Nadira menyandarkan tubuh nya di sana, menunggu sampai ada satu orang yang akan membukakan pintu. Sudah lelah mencari rumah sakit di pusat kota, namun tidak ada satu rumah sakit pun yang memberitahu di mana keberadaan Chandra. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil terhenti di depan gerbang, mobil itu milik Roy, sengaja Roy pulang karena akan istirahat setelah melihat bahwa Chandra sudah siuman, namun ia menghentikan mobilnya karena melihat adanya Nadira di sana. "Kak Roy,"Nadira sendiri segera bangkit dari tempat duduk nya ketika melihat kehadiran kakak iparnya, langkah kaki Roy pun mendekati Nadira. "Mau apa kamu ke sini, Nadira?" tanya Roy masih marah. "Kak, aku sudah berusaha mencari keberadaan mas Chandra di semua rumah sakit, tetapi aku sama sekali tidak menemukan petunjuk. Kak, aku mohon tolong beritahu aku di mana keberadaan mas Chandra, apa dia baik-baik saja? Bagaimana dengan perkembangannya? Kak, aku sangat mencemaskan nya, tolong jangan siksa aku
"Nadira, kamu ngapain ke sini?" Seseorang menegur Nadira yang bersembunyi di balik tembok, Nadira pun terkejut ketika yang menegurnya itu adalah Wildan, mau apa lagi pria itu menemui Nadira. "Pak Wildan, Bapak ngikutin saya, ya?" tebak Nadira, entah mengapa sejak kejadian bahwa ia difitnah itu, membuat kepercayaan Nadira hilang pada atasannya itu. "Nggak Nadira, aku nggak ngikutin kamu, aku ke sini karena mau nebus obat buat mama di rumah. Oh ya, gimana kabar kamu Nadira, setelah kamu memutuskan keluar dari kantor, aku jadi nggak tahu kabar kamu," ucap Wildan, ia sangat menyayangkan keputusan Nadira untuk tetap keluar dari perusahaannya, hanya karena alasan tidak mau fitnah itu melebar luas bahwa saat ini ia sedang dekat dengan Wildan. "Kabar saya baik Pak, kalau begitu saya pergi dulu." pamit Nadira yang langsung pergi berlalu. Wildan hendak mengejar, namun Nadira tetap melanjutkan langkah kakinya. Wildan pun akhirnya melanjutkan rencana yang sebelumnya tertunda. Ia datang seben
"Jangan!"Suara Nadira tercekat, nafasnya ter-engah ketika berhasil lolos dari dua bodyguard yang berjaga di luar, Nadira sudah berusaha memikirkan bagaimana bisa bertemu dengan suaminya, tetapi ia tidak bisa menunggu sampai dua penjaga suruhan Ibu mertuanya itu pergi. Kedatangan Nadira spontan menarik perhatian penghuni di ruangan itu, beruntung lah Nadira datang di saat yang tepat. Chandra belum menandatangi surat perpisahan yang disodorkan oleh bu Hesti untuknya. "Kamu, ngapain kamu datang ke sini, tahu dari mana kamu ruangan putraku?" dengan tatapan tajam bak menghunus, bu Hesti pun menghalangi Nadira yang hendak menghampiri Chandra. Chandra pun ikut terkejut melihat kedatangan Nadira yang tiba-tiba, ia mengira bahwa Nadira benar-benar tidak mau datang untuk menemuinya. Anita menarik lengan Nadira dengan paksa, agar menjauh dari Chandra yang saat itu masih berada di atas brankar nya. "Jangan dekati Chandra, kamu tahu kan apa yang sudah kamu lakukan selama Chandra koma, jadi se