Sudah hampir sore, bu Hesti menunggu kedatangan Chandra maupun Chelsea yang tak kunjung kembali, ia menatap panik sambil terus berjalan ke sana ke mari di teras rumah, tatapannya fokus pada pintu pagar yang tertutup rapat. "Aduh, di mana si sebenarnya Chandra dan Nadira ini, kenapa mereka belum juga pulang, ini sudah mau magrib, pergi nggak ngomong-ngomong!" omel bu Hesti berdialog pada dirinya sendiri. "Ini pasti gara-gara Nadira! Dia yang telah membawa Chandra pergi sampai se-sore ini, karena dia merasa cemburu kalau aku dekat dengan suaminya, kenapa si Nadira itu tidak pernah melakukan perbuatan yang benar? Selalu sesuka hati dan seenaknya sendiri." sambung bu Hesti terus mengomel. Triing.... Triing... Dering telpon rumah berbunyi, bu Hesti mengarahkan pandangannya ke dalam rumah, ia sudah cukup lama berada di luar dan mondar mandir tak jelas, kini ia pun harus mengakhiri karena ada telpon masuk. Cepat-cepat bu Hesti mengangkat telpon tersebut dan mendengar suara orang asing ya
"Kamu yang apa-apaan, Anita! Kamu marah-marah di rumah sakit dengan keadaan genting seperti ini, kamu pakai perasaan dong, gimana kalau kamu yang ada di posisi itu," marah Roy menatap istrinya nanar. "Mas! Jadi kamu do'ain aku biar aku kecelakaan kayak Nadira? Kok kamu jahat banget, si!" sungut Anita. "Agar kamu merasakan bagaimana keadaan mental Nadira sekarang ini, Anita! Aku marah sama kamu bukan karena aku lebih peduli sama Nadira, tapi karena aku ingin kamu punya sedikit simpati sama Nadira. Tapi jika hatimu masih keras seperti batu, lebih baik kita saling diam untuk sementara waktu." celetuk Roy, ia nampak kewalahan dalam menghadapi istrinya. Mendengar kalimat itu, tentu saja membuat Anita kesal, ia bahkan sama sekali tak menjadikan ucapan Roy sebagai peringatan. Bu Hesti mendatangi mereka dan meminta mereka untuk berhenti bertengkar, baru kali ini bu Hesti merasa sangat terpukul dan butuh sekali sandaran ketika melihat Chandra berada di ruangannya. "Maaf Bu, mari Bu, dudukl
Nadira berada di ruangan Chandra, saat ini Chandra terbaring lemah di atas brankar dengan beberapa alat terpasang di tubuhnya, dokter Anwar yang menangani Chandra sejak awal itu ikut masuk dengan memakai pakaian khusus, sama halnya dengan yang dipakai oleh Nadira saat ini. Dokter tersebut berdiri bersebrangan dengan Nadira yang tak berkedip sejak tadi, melihat suaminya yang terkulai lemah tak berdaya. "Suamimu akan baik-baik saja, hanya saja dia tidak akan menjadi orang yang sempurna lagi seperti sebelumnya," ucap dokter Anwar. Nadira terbelalak menatap dokter tersebut, "A-apa maksud Dokter?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Nadira. "Lengan kanan suamimu mengalami mati rasa, tidak berfungsi layaknya anggota tubuh lainnya, dia mengalami cacat permanen." jelas dokter tersebut. Deg! Betapa terkejutnya Nadira saat itu, rasa bersalahnya kian besar ketika mendengar kebenaran yang baru diucapkan oleh dokter Anwar, dokter Anwar belum memberitahu keluarga lainnya, karena memang
Dengan semangat Anita masuk ke rumah, setelah berhasil mengikuti kepergian Wildan yang mengantarkan Nadira sampai di depan pintu rumah. Anita merasa bahwa bukti-bukti yang telah ia dapatkan sudah cukup baginya untuk memanipulasi keadaan. Anita kini sudah tiba di depan kamar bu Hesti, ia mengetuk beberapa kali hingga akhirnya dibukakan oleh bu Hesti, keadaan bu Hesti sendiri sebenarnya masih kurang sehat, tetapi Roy harus bekerja karena ia tidak bisa cuti lama-lama. "Ada apa Anita, kau dari mana saja?" tanya bu Hesti penuh selidik. "Maaf Bu, aku ada urusan penting di luar. Oh ya Bu, ada sesuatu yang penting sekali, yang ingin aku tunjukkan ke Ibu," ucap Anita dengan semangat. "Ada apa Anita, sesuatu penting apa?" matanya bu Hesti menetap Anita penasaran. Anita mengeluarkan ponselnya, ia tidak bicara. Tetapi foto yang telah ia ambil itu sudah cukup membuat bu Hesti mengerti dengan apa yang hendak disampaikan oleh Anita. Bu Hesti terbelalak menatap bagaikan Anita menangkap foto-fot
"Ya, kau tunggu saja nanti surat cerainya di rumah, Nadira. Karena surat cerai itu akan segera datang kepadamu," ucap Anita dengan senyum mengembang di wajahnya. "Nggak Mbak, aku nggak mau cerai sama mas Chandra, aku nggak mau, Mbak," tolak Nadira menggelengkan kepalanya cepat. "Kamu coba saja melawan takdir ini, Nadira. Karena aku yakin, kamu tidak akan mampu melawannya." sergah Anita penuh percaya diri. Anita mendorong dada Nadira hingga ia mundur beberapa langkah, Nadira sampai keluar dari pintu gerbang setelah sebelumnya ia menolak keras keluar dari rumah tersebut. "Sekarang kamu pergi dari sini, karena kehadiran kamu sudah tidak diharapkan lagi!" usir Anita dengan kasar, menutup pintu gerbang. Nadira benar-benar tidak bisa menghindar lagi, ia akhirnya keluar dari rumah ibu mertua nya itu dengan tidak hormat, ia di fitnah telah melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ia lakukan. Nadira pun tidak bisa diam saja, dengan cepat ia menyapu air matanya lalu pergi dari tempat itu.
Sudah hampir seminggu, Chandra pun akhirnya tersadar dari komanya, saat itu Roy lah yang bertugas menjaga Chandra, sementara bu Hesti dan Anita istirahat di sofa yang disediakan di ruangan tersebut. Melihat tanda-tanda kesadaran dalam anggota tubuh Chandra, spontan membuat Roy pun dengan cepat memanggil dokter, ia ingin agar dokter segera memeriksa keadaan adiknya yang sudah tidak sadarkan diri beberapa hari yang lalu itu. Dokter dengan cepat memeriksa keadaan Chandra, sementara bu Hesti dan Anita spontan ikut mendekati Roy yang sudah memanggil dokter. "Apa ada tanda-tanda kalau adikmu sadar, Roy?" tanya bu Hesti penuh harap. "Sudah Bu, tadi tangan kiri Chandra bergerak-gerak, dan kedua matanya pun juga hampir terbuka," ucap Roy dengan semangat. "Oh, syukur lah, Ibu sangat senang sekali mendengarnya." bu Hesti begitu terlihat sangat bahagia. Beberapa saat setelah memeriksa keadaan Chandra, dokter pun mengatakan pada semuanya bahwa kondisi Chandra sudah semakin baik, dan akan sege
Di depan pintu gerbang, Nadira menyandarkan tubuh nya di sana, menunggu sampai ada satu orang yang akan membukakan pintu. Sudah lelah mencari rumah sakit di pusat kota, namun tidak ada satu rumah sakit pun yang memberitahu di mana keberadaan Chandra. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil terhenti di depan gerbang, mobil itu milik Roy, sengaja Roy pulang karena akan istirahat setelah melihat bahwa Chandra sudah siuman, namun ia menghentikan mobilnya karena melihat adanya Nadira di sana. "Kak Roy,"Nadira sendiri segera bangkit dari tempat duduk nya ketika melihat kehadiran kakak iparnya, langkah kaki Roy pun mendekati Nadira. "Mau apa kamu ke sini, Nadira?" tanya Roy masih marah. "Kak, aku sudah berusaha mencari keberadaan mas Chandra di semua rumah sakit, tetapi aku sama sekali tidak menemukan petunjuk. Kak, aku mohon tolong beritahu aku di mana keberadaan mas Chandra, apa dia baik-baik saja? Bagaimana dengan perkembangannya? Kak, aku sangat mencemaskan nya, tolong jangan siksa aku
"Nadira, kamu ngapain ke sini?" Seseorang menegur Nadira yang bersembunyi di balik tembok, Nadira pun terkejut ketika yang menegurnya itu adalah Wildan, mau apa lagi pria itu menemui Nadira. "Pak Wildan, Bapak ngikutin saya, ya?" tebak Nadira, entah mengapa sejak kejadian bahwa ia difitnah itu, membuat kepercayaan Nadira hilang pada atasannya itu. "Nggak Nadira, aku nggak ngikutin kamu, aku ke sini karena mau nebus obat buat mama di rumah. Oh ya, gimana kabar kamu Nadira, setelah kamu memutuskan keluar dari kantor, aku jadi nggak tahu kabar kamu," ucap Wildan, ia sangat menyayangkan keputusan Nadira untuk tetap keluar dari perusahaannya, hanya karena alasan tidak mau fitnah itu melebar luas bahwa saat ini ia sedang dekat dengan Wildan. "Kabar saya baik Pak, kalau begitu saya pergi dulu." pamit Nadira yang langsung pergi berlalu. Wildan hendak mengejar, namun Nadira tetap melanjutkan langkah kakinya. Wildan pun akhirnya melanjutkan rencana yang sebelumnya tertunda. Ia datang seben
"Alhamdulillah pak, bu, operasinya berjalan dengan lancar meski tadi ada sedikit kendala karena ibu Nadira mengalami pendarahan tapi kami berhasil mengatasinya," ucao sang dokter."Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak, dok. Terima kasih banyak atas kerja keras dokter semuanya yang sudah menangani operasi ini," ucap Wildan.Hatinya merasa sangat lega mendengar bahwa Nadira baik-baik saja. Begitu juga dengan Hesti dan juga Roy yang kini terlihat sedikit semringah."Lalu apa kita boleh melihat mereka, sok?" tanya Wildan yang sudah tak sabar untuk melihat Nadira."Emmm untuk saat ini sebaiknya jangan dijenguk dulu, ya. Kami akan memindahkan mereka ke ruangan perawatan dan nanti di sana kalian baru bisa menjenguknya," ucap sang dokter."Baik kalau begitu, dok. Sekali lagi terima kasih banyak." Roy menjabat tangan sang dokter begitupun dengan Wildan."Baik Pak sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu." Sang dokter pun kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.Tak lama
Nadira telah tiba di rumah sakit dan tengah bersiap untuk melakukan operasi. Ditemani oleh Hesti dan Roy, Nadira duduk di sebuah kursi tunggu menanti jadwal operasi yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi."Wildan nggak ikut ke sini, Nadira?" tanya Roy pada Nadira.Seketika lamunan Nadira pun buyar mendengar pertanyaan dari Roy saat itu."Iya Nadira, nak Wildan kok nggak ikut menemani kamu di sini. Apa jangan-jangan dia marah karena kamu akan mendonorkan ginjal mu untuk Chandra?" tanya Hesti.Nadira pun segera meraih tangan Hesti yang saat itu berada di pangkuannya. Nadira mencoba menenangkan dan meluruskan pikiran Hesti yang sempat berpikir jauh tentang Wildan."Nggak begitu, Bu. Mas Wildan sama sekali nggak marah kok. Tadi dia bilang sedang ada urusan sebentar dan nanti dia akan kembali ke sini setelah urusannya selesai.""Kamu yakin dia tidak marah? Ibu takut dia marah. Ibu sudah sangat berhutang budi padanya. Ibu tidak ingin membuat nak Wildan kecewa," ucap Hesti."Nggak kok, Bu.
"Apa kamu serius mau mendonorkan ginjalmu pada Chandra?" tanya Hesti pada Nadira dengan kedua mata yang masih berkaca-kaca.Nadira pun mengangguk pelan. Sekilas Nadira melirik ke arah Wildan meski ia tak memberikan respon apapun."Baiklah kalau memang sudah ada pendonornya maka operasi untuk pak Chandra akan segera kami siapkan," ucap dokter yang menangani Chandra.Tak lama dokter dan perawat yang menangani Chandra pun lantas pergi meninggalkan mereka."Bu, mas Roy, aku tinggal sebentar ya. Aku mau bicara dulu dengan mas Wildan," ucap Nadira berpamitan.Setelah Hesti dan Roy mengizinkan, Nadira pun langsung berjalan menjauhi mereka bersama dengan Wildan.Sesaat Nadira masih terdiam dan belum mampu mengatakan sepatah kata apapun pada Wildan begitupun dengan Wildan yang masih terdiam.Perlahan Nadira memberanikan dirinya menggapai tangan Wildan. Kedua matanya mencoba menatap pada Wildan yang berdiri di depannya."Mas, aku mau minta izin padamu untuk mendonorkan satu ginjal ku pada mas C
Akhirnya Wildan pun keluar dan langsung disambut oleh Nadira dan juga Hesti yang sudah cukup lama menunggu di depan ruangan Chandra."Emmm M-mas, kamu sudah selesai?" tanya Nadira yang sedikit melirik ke arah Chandra dari pintu yang belum ditutup dengan sempurna oleh Wildan.Nadira merasa cukup lega saat melihat Chandra yang baik-baik dan masih duduk di atas ranjang.Meski sebenarnya Nadira tak ingin berprasangka buruk pada Wildan, tapi rasa khawatir dan cemas terus saja membelenggu di dalam hatinya saat Wildan dan Chandra berada di dalam satu ruangan yang sama."Iya aku sudah selesai. Emmm terima kasih karena kalian sudah mengizinkan aku berbicara berdua dengan Chandra," ucap Wildan."Iya santai saja, Wildan." Roy langsung menanggapi ucapan Wildan saat itu." Oh iya, Nadira, kita pulang sekarang yuk," ajak Wildan."Emmm t-tapi, Mas ...." Nadira menghentikan sejenak ucapannya."Nggak mungkin aku nolak ajakan mas Wildan pun pulang. Nanti yang ada mas Wildan malah berpikir bahwa aku leb
Chandra dan Nadira pun masuk ke dalam ruangan Chandra dan melihatnya yang tengah duduk di atas ranjang.Seketika Chandra pun menoleh ke arah Nadira dan Chandra yang mulai mendekatinya."Bagaimana kabarmu, Chandra?" tanya Wildan pada Chandra."Emmmm k-kabarku baik," jawab Chandra terbata.Ia masih tak percaya melihat kedatangan Chandra yang tiba-tiba apalagi ia datang bersama dengan Nadira.Mata Chandra pun sedikit melirik ke arah tangan Nadira yang tampak menggandeng tangan Wildan."Syukurlah kalau begitu. Aku sempat terkejut mengetahui keadaanmu yang cukup parah begini. Maaf ya karena aku baru bisa menjenguk mu," ucap Wildan lagi."I-iya, tidak apa-apa, kok. Tapi kenapa kamu datang ke sini? Apa kamu tidak bekerja?" tanya Chandra."Aku meliburkan diri untuk hari ini karena aku ingin menjenguk mu."Tak akan Wilda pun melepaskan pegangan tangan Nadira dan menoleh ke arah Nadira."Apa bisa aku bicara berdua saja dengan Chandra?" tanya Wildan pada Nadira."T-tapi, Mas." Nadira yang takut
"Sekali lagi aku tanya padamu, Nadira! Apa kamu masih mencintai Chandra?" tanya Wildan dengan nada suara bergetar.Nadira hanya bisa tertunduk di hadapan Wildan. Tangannya gemetaran dan kedua matanya berkaca-kaca.Perlahan butiran kristal dari kedua mata Nadira jatuh membasahi pipinya. "Aku minta maaf mas jika aku sudah membuatmu marah tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku ini padamu.""Jadi maksud mu?" tanya Wildan cepat."Aku memang masih mencintai mas Wildan tapi aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan kembali dengan mas Wildan. Aku tahu ini sangat menyakiti dirimu tapi asal kamu tahu, aku tidak pernah berniat untuk kembali dengan mas Chandra."Nadira meraih tangan Wildan perlahan. Tampak tak ada perlawanan dari Wildan saat itu. Tangan kekar Wildan kini ada digenggaman Nadira. Perlahan Nadia mengangkat tangan Wildan dan menariknya hingga ke dalam dadanya."Aku pastikan bahwa aku tidak akan kembali pada mas Chandra, Mas. Tolong kamu percaya padaku. Ini sem
Di dalam kamarnya, Nadira terus memandangi hasil tes miliknya yang ternyata cocok untuk didonorkan pada Chandra."Bagaimana caranya aku membujuk mas Chandra agar mau menerima donor dariku, ya. Aku ingin mas Chandra segera sembuh," batin Nadira.Nadira sangat terkejut saat tiba-tiba Wildan memanggilnya dari luar kamarnya. Terdengar suara ketukan pintu kamarnya beberapa kali."Nadira, apa kamu sudah tidur?" tanya Wildan sembari mengetuk pintu kamar Nadira yang masih belum terbuka.Dengan cepat, Nadira pun bangkit dari duduknya dan segera menyembunyikan hasil tes yang sedari tadi ia pandangi.Rasa paniknya saat itu membuat Nadira tak bisa berpikir dengan jernih. Ia menindih surat hasil tesnya dengan menggunakan bantal dan berharap agar Wildan tak melihatnya.Setelah menutup aurat itu dengan banyak, Nadira pun kemudian menghampiri pintu dan membukanya perlahan.Terpampang dengan jelas wajah tampan Wildan yang saat itu masih sedikit basah seperti habis mandi. Rambutnya masih acak-acakan da
Keesokannya Nadira kembali ke rumah sakit untuk menemui Chandra. Kali ini Wilda menemaninya hingga masuk ke dalam dan bertemu dengan Hesti dan Roy."Nadira," ucap Hesti menyambut kedatangan Nadira dengan senyum di wajahnya."Bu, Mas. Ini aku bawakan kalian makanan, kalian makan dulu, ya. Pasti kalian belum makan, kan," ucap Nadira.Tiba-tiba Hesti memeluk erat tubuh Nadira hingga membuatnya sedikit bingung."Terima kasih, ya, Nadira. Kamu sangat baik pada kamu. Aku benar-benar merasa bersalah padamu karena sudah selalu berbuat jahat padamu, dulu," ucap Hesti.Perlahan Nadira pun mengusap pundak Hesti dengan sangat lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Sudah ibu tidak usah pikirkan hal itu lagi, ya. Lebih baik sekarang ibu dan mas Roy makan supaya kalian tidak sakit," ucap Nadira.Hesti dan Roy pun tersenyum semringah pada Nadira namun tidak dengan Wildan yang hanya termenung menatap mereka dengan tatapan yang sedikit sendu."Sepertinya mereka berdua sudah akur. Apa ini adalah pertanda bahwa Nad
Wildan menatap kosong Nadira yang tengah mencoba baju pengantin yang telah mereka pesan sejak jauh-jauh hari.Kini Wildan merasakan sesuatu yang berbeda melihat ekspresi di wajah Nadira yang tampak tak begitu bersemangat."Nadira, apa benar dugaan ku selama ini bahwa kamu masih mencintai Chandra?" batin Wildan bertanya-tanya.Pertanyaan semacam itu terus saja bermain di kepalanya meski ia berkali-kali berusaha menghilangkannya tapi tetap tak bisa.Nadira yang tengah mencoba gaun pernikahannya pun tak sengaja melihat Wildan yang sedang melamun."Mas Wildan kenapa ya, kok dari tadi melamun terus?" tanya Nadia pada dirinya sendiri.Ia pun kemudian memberanikan dirinya untuk mendekati Wildan. Mas," ucap Nadira pelan.Wildan pun terperanjat mendengar suara Nadira saat itu. Ia langsung menoleh ke arah Nadira yang saat itu telah berdiri di hadapannya."Kamu kenapa kok dari tadi aku lihat melamun terus. Apa kamu sedang ada masalah? Atau kamu tidak enak badan?" tanya Nadira memegang lengan tang