Sudah hampir seminggu, Chandra pun akhirnya tersadar dari komanya, saat itu Roy lah yang bertugas menjaga Chandra, sementara bu Hesti dan Anita istirahat di sofa yang disediakan di ruangan tersebut. Melihat tanda-tanda kesadaran dalam anggota tubuh Chandra, spontan membuat Roy pun dengan cepat memanggil dokter, ia ingin agar dokter segera memeriksa keadaan adiknya yang sudah tidak sadarkan diri beberapa hari yang lalu itu. Dokter dengan cepat memeriksa keadaan Chandra, sementara bu Hesti dan Anita spontan ikut mendekati Roy yang sudah memanggil dokter. "Apa ada tanda-tanda kalau adikmu sadar, Roy?" tanya bu Hesti penuh harap. "Sudah Bu, tadi tangan kiri Chandra bergerak-gerak, dan kedua matanya pun juga hampir terbuka," ucap Roy dengan semangat. "Oh, syukur lah, Ibu sangat senang sekali mendengarnya." bu Hesti begitu terlihat sangat bahagia. Beberapa saat setelah memeriksa keadaan Chandra, dokter pun mengatakan pada semuanya bahwa kondisi Chandra sudah semakin baik, dan akan sege
Di depan pintu gerbang, Nadira menyandarkan tubuh nya di sana, menunggu sampai ada satu orang yang akan membukakan pintu. Sudah lelah mencari rumah sakit di pusat kota, namun tidak ada satu rumah sakit pun yang memberitahu di mana keberadaan Chandra. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil terhenti di depan gerbang, mobil itu milik Roy, sengaja Roy pulang karena akan istirahat setelah melihat bahwa Chandra sudah siuman, namun ia menghentikan mobilnya karena melihat adanya Nadira di sana. "Kak Roy,"Nadira sendiri segera bangkit dari tempat duduk nya ketika melihat kehadiran kakak iparnya, langkah kaki Roy pun mendekati Nadira. "Mau apa kamu ke sini, Nadira?" tanya Roy masih marah. "Kak, aku sudah berusaha mencari keberadaan mas Chandra di semua rumah sakit, tetapi aku sama sekali tidak menemukan petunjuk. Kak, aku mohon tolong beritahu aku di mana keberadaan mas Chandra, apa dia baik-baik saja? Bagaimana dengan perkembangannya? Kak, aku sangat mencemaskan nya, tolong jangan siksa aku
"Nadira, kamu ngapain ke sini?" Seseorang menegur Nadira yang bersembunyi di balik tembok, Nadira pun terkejut ketika yang menegurnya itu adalah Wildan, mau apa lagi pria itu menemui Nadira. "Pak Wildan, Bapak ngikutin saya, ya?" tebak Nadira, entah mengapa sejak kejadian bahwa ia difitnah itu, membuat kepercayaan Nadira hilang pada atasannya itu. "Nggak Nadira, aku nggak ngikutin kamu, aku ke sini karena mau nebus obat buat mama di rumah. Oh ya, gimana kabar kamu Nadira, setelah kamu memutuskan keluar dari kantor, aku jadi nggak tahu kabar kamu," ucap Wildan, ia sangat menyayangkan keputusan Nadira untuk tetap keluar dari perusahaannya, hanya karena alasan tidak mau fitnah itu melebar luas bahwa saat ini ia sedang dekat dengan Wildan. "Kabar saya baik Pak, kalau begitu saya pergi dulu." pamit Nadira yang langsung pergi berlalu. Wildan hendak mengejar, namun Nadira tetap melanjutkan langkah kakinya. Wildan pun akhirnya melanjutkan rencana yang sebelumnya tertunda. Ia datang seben
"Jangan!"Suara Nadira tercekat, nafasnya ter-engah ketika berhasil lolos dari dua bodyguard yang berjaga di luar, Nadira sudah berusaha memikirkan bagaimana bisa bertemu dengan suaminya, tetapi ia tidak bisa menunggu sampai dua penjaga suruhan Ibu mertuanya itu pergi. Kedatangan Nadira spontan menarik perhatian penghuni di ruangan itu, beruntung lah Nadira datang di saat yang tepat. Chandra belum menandatangi surat perpisahan yang disodorkan oleh bu Hesti untuknya. "Kamu, ngapain kamu datang ke sini, tahu dari mana kamu ruangan putraku?" dengan tatapan tajam bak menghunus, bu Hesti pun menghalangi Nadira yang hendak menghampiri Chandra. Chandra pun ikut terkejut melihat kedatangan Nadira yang tiba-tiba, ia mengira bahwa Nadira benar-benar tidak mau datang untuk menemuinya. Anita menarik lengan Nadira dengan paksa, agar menjauh dari Chandra yang saat itu masih berada di atas brankar nya. "Jangan dekati Chandra, kamu tahu kan apa yang sudah kamu lakukan selama Chandra koma, jadi se
Nadira kini sudah berada di pintu gerbang, berharap jika akan ada seseorang yang membukakan gerbang itu, karena ia baru tahu jika suaminya sudah dibawa pulang oleh bu Hesti. Satu jam hampir berkahir sia-sia, namun tidak ada satu orang pun yang bersedia membukakan pintu. Baik Anita, Roy, Chandra maupun juga bu Hesti, tidak memberikan toleransi sedikit pun untuk wanita yang masih berusaha mempertahankan pernikahannya itu. Ting... Tong... Untuk ke sekian kalinya bel berbunyi, namun seakan penghuni rumah itu tuli, sama sekali tidak mau membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. Di sofa pandangan Chandra kabur menatap ke arah jendela yang memperlihatkan Nadira di sana, rintik hujan mulai turun dan membasahi bumi, hati Chandra pun tergerak ingin membukakan pintu dan mempersilahkan Nadira masuk, namun langkah nya tertahan, ketika ia mengingat kembali foto kebersamaan Nadira bersama Wildan, atasannya. "Kamu mau ke mana, Chandra?"Suara bu Hesti terdengar, saat itu bu Hesti membawakan
"Nadira, aku antar kamu pulang ya, ayo naik mobil," ajak Wildan, ia tampaknya masih berusaha mendekati Nadira. "Maaf Pak, saya bisa pulang sendiri, permisi." tegas Nadira menolak. TapDengan cepat Wildan menangkap pergelangan tangan Nadira, di tengah rintik hujan yang cukup membuat Nadira kedinginan, Wildan memaksa Nadira untuk tetap ikut bersamanya. "Nadira, jika kamu menolak ku karena aku memiliki perasaan padamu, anggap lah aku orang lain, yang memberikan penawaran tumpangan untuk mu, aku tidak akan tega meninggalkan mu dalam keadaan seperti ini," ucap Wildan masih terus berusaha membujuk Nadira. "Maaf Pak, jika Bapak mengira saya akan menerima tawaran Bapak, Bapak salah besar, saya sama sekali tidak tertarik dengan kebaikan Bapak, semua yang terjadi pada saya sekarang ini, itu semua karena kesalahan Bapak, saya berjarak dan akan di cerai oleh suami saya, itu semua karena Bapak," hentak Nadira tersulut emosi. "Nadira, buka matamu, keluarga Chandra tidak ada yang menyukai mu, ba
"Sus, kenapa pasiennya ada di luar, dan kenapa selang infus nya dibuka, apa Nadira sudah dibolehkan pulang?" tanya Wildan, meskipun ia merasa lelah, namun Wildan tetap bersemangat saat menyangkut Nadira. "Maaf Pak, kekasih Bapak memaksa untuk pulang, padahal keadaannya masih belum sehat. Lagi pula ini tengah malam Pak," ucap suster itu memberi tahu. "Ya sudah Sus, biar saya yang bicara ya." jawab Wildan, dengan bahasa sopan nya. Melihat hal itu sama sekali tidak membuat Nadira merasa kagum, ia justru semakin benci pada Wildan yang sudah mengaku-ngaku bahwa ia adalah kekasih nya. Nadira masuk ke ruangannya pribadi dengan tanpa bicara apapun pada Wildan, sementara Wildan sendiri nampak menyusul Nadira yang sudah duduk di brankar. "Apa maksud Bapak mengenalkan diri Bapak sebagai kekasihku? Pak, Bapak ini tidak bisa mendengar apa yang saya bicarakan ya, saya sudah bilang kalau saya ini istrinya mas Chandra, kenapa si Bapak tidak mengerti juga," marah Nadira kesal. "Nadira, maafkan a
"Aku sendiri ke sini. Mengenai soal Nadira, aku titip dia ya, aku mau pergi jauh dari kota ini," lirih Chandra menatap sedih. "Pergi jauh? Hahaha, jangan bercanda, kamu mana bisa hidup tanpa Nadira," ucap Karina justru tertawa lepas. "Aku memang tidak bisa hidup tanpa dia, tapi mungkin aku akan belajar untuk tanpa dia sekarang ini." jawab Chandra layu. Sebenarnya kalimat itu sangat lah berat, tapi mau tidak mau Chandra harus mengatakannya, ia juga menitipkan Nadira pada sahabatnya itu, karena ia yakin bahwa Karina akan mampu menjaga Nadira selama ia pergi. Karina menatap sedih ketika mendengar Chandra terang-terangan menitipkan Nadira, permasalahan rumah tangga antara Nadira dan juga Chandra pun sudah ia dengar, dan ia sangat menyayangkan sekali jika Chandra memutuskan untuk pergi meninggalkan istrinya. "Chandra, apa kamu sudah memikirkan ini matang-matang? Nadira akan sangat kehilangan kamu jika kamu pergi ke luar negeri," ucap Karina merasa kasihan pada nasib sahabat nya itu.