Nadira kini sudah berada di pintu gerbang, berharap jika akan ada seseorang yang membukakan gerbang itu, karena ia baru tahu jika suaminya sudah dibawa pulang oleh bu Hesti. Satu jam hampir berkahir sia-sia, namun tidak ada satu orang pun yang bersedia membukakan pintu. Baik Anita, Roy, Chandra maupun juga bu Hesti, tidak memberikan toleransi sedikit pun untuk wanita yang masih berusaha mempertahankan pernikahannya itu. Ting... Tong... Untuk ke sekian kalinya bel berbunyi, namun seakan penghuni rumah itu tuli, sama sekali tidak mau membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. Di sofa pandangan Chandra kabur menatap ke arah jendela yang memperlihatkan Nadira di sana, rintik hujan mulai turun dan membasahi bumi, hati Chandra pun tergerak ingin membukakan pintu dan mempersilahkan Nadira masuk, namun langkah nya tertahan, ketika ia mengingat kembali foto kebersamaan Nadira bersama Wildan, atasannya. "Kamu mau ke mana, Chandra?"Suara bu Hesti terdengar, saat itu bu Hesti membawakan
"Nadira, aku antar kamu pulang ya, ayo naik mobil," ajak Wildan, ia tampaknya masih berusaha mendekati Nadira. "Maaf Pak, saya bisa pulang sendiri, permisi." tegas Nadira menolak. TapDengan cepat Wildan menangkap pergelangan tangan Nadira, di tengah rintik hujan yang cukup membuat Nadira kedinginan, Wildan memaksa Nadira untuk tetap ikut bersamanya. "Nadira, jika kamu menolak ku karena aku memiliki perasaan padamu, anggap lah aku orang lain, yang memberikan penawaran tumpangan untuk mu, aku tidak akan tega meninggalkan mu dalam keadaan seperti ini," ucap Wildan masih terus berusaha membujuk Nadira. "Maaf Pak, jika Bapak mengira saya akan menerima tawaran Bapak, Bapak salah besar, saya sama sekali tidak tertarik dengan kebaikan Bapak, semua yang terjadi pada saya sekarang ini, itu semua karena kesalahan Bapak, saya berjarak dan akan di cerai oleh suami saya, itu semua karena Bapak," hentak Nadira tersulut emosi. "Nadira, buka matamu, keluarga Chandra tidak ada yang menyukai mu, ba
"Sus, kenapa pasiennya ada di luar, dan kenapa selang infus nya dibuka, apa Nadira sudah dibolehkan pulang?" tanya Wildan, meskipun ia merasa lelah, namun Wildan tetap bersemangat saat menyangkut Nadira. "Maaf Pak, kekasih Bapak memaksa untuk pulang, padahal keadaannya masih belum sehat. Lagi pula ini tengah malam Pak," ucap suster itu memberi tahu. "Ya sudah Sus, biar saya yang bicara ya." jawab Wildan, dengan bahasa sopan nya. Melihat hal itu sama sekali tidak membuat Nadira merasa kagum, ia justru semakin benci pada Wildan yang sudah mengaku-ngaku bahwa ia adalah kekasih nya. Nadira masuk ke ruangannya pribadi dengan tanpa bicara apapun pada Wildan, sementara Wildan sendiri nampak menyusul Nadira yang sudah duduk di brankar. "Apa maksud Bapak mengenalkan diri Bapak sebagai kekasihku? Pak, Bapak ini tidak bisa mendengar apa yang saya bicarakan ya, saya sudah bilang kalau saya ini istrinya mas Chandra, kenapa si Bapak tidak mengerti juga," marah Nadira kesal. "Nadira, maafkan a
"Aku sendiri ke sini. Mengenai soal Nadira, aku titip dia ya, aku mau pergi jauh dari kota ini," lirih Chandra menatap sedih. "Pergi jauh? Hahaha, jangan bercanda, kamu mana bisa hidup tanpa Nadira," ucap Karina justru tertawa lepas. "Aku memang tidak bisa hidup tanpa dia, tapi mungkin aku akan belajar untuk tanpa dia sekarang ini." jawab Chandra layu. Sebenarnya kalimat itu sangat lah berat, tapi mau tidak mau Chandra harus mengatakannya, ia juga menitipkan Nadira pada sahabatnya itu, karena ia yakin bahwa Karina akan mampu menjaga Nadira selama ia pergi. Karina menatap sedih ketika mendengar Chandra terang-terangan menitipkan Nadira, permasalahan rumah tangga antara Nadira dan juga Chandra pun sudah ia dengar, dan ia sangat menyayangkan sekali jika Chandra memutuskan untuk pergi meninggalkan istrinya. "Chandra, apa kamu sudah memikirkan ini matang-matang? Nadira akan sangat kehilangan kamu jika kamu pergi ke luar negeri," ucap Karina merasa kasihan pada nasib sahabat nya itu.
1 bulan telah berlalu, Chandra masih bersembunyi di balik kesedihan yang ia rasakan, sebenarnya berada jauh dari Nadira cukup menyiksanya, namun Chandra nampak tidak ada pilihan lain. Setiap hari ia harus menghabiskan hampir semua waktunya untuk melamun kan kisah bahagianya bersama Nadira, walau pada kenyataannya sangat lah jauh berbeda. Sementara di tempat lain, Nadira selalu menghabiskan waktunya di dekat sungai, di sana terdapat sebuah pohon yang menjadi saksi bahwa Nadira begitu merindukan dan mencintai Chandra. Nadira menuliskan kalimat itu di sebuah kertas, lalu menggantungkan kertas cinta itu di ranting-ranting pohon, kertas berwarna biru disertai pita berwarna senada pun menjadi saksi bisu. Sudah berapa ribu ikat kertas yang telah tergantung cantik di sana, dengan kalimat yang terus saja terulang, berharap jika nanti Chandra akan melihat dan menyaksikan bahwa ia masih setia menunggu suaminya. "Nadira, ayo kita pulang, ini sudah sore," ajak Karina, menyentuh pundak Nadira d
"Apalagi sekarang Chandra tidak ada di sini, jadi kamu bisa leluasa dekati Nadira," sambung Anita melempar senyum. "Maksud kamu? Memangnya Chandra ke mana?" tanya Wildan penasaran. "Chandra memilih pergi ke luar negri setelah dibolehkan pulang oleh dokter, dia ke Amerika, mungkin cukup lama. Makanya kamu harus berusaha lebih keras lagi, yakin saja kalau Nadira akan luluh dan benar-benar lepas dari Chandra." jawab Anita dengan yakin. Mendengar jawaban itu tentu saja membuat semangat Chandra kembali berkobar, ia menjadi yakin kembali untuk mendekati Nadira, berkat Anita yang terus berusaha membujuk untuk menerobos pagar yang tertutup di hati Nadira. "Baik lah, mulai besok aku akan kembali mendekati Nadira, aku menjadi yakin lagi," ucap Wildan penuh semangat. "Gitu dong, kamu harus yakin, karena wanita mana yang tahan menolak pria seperti dirimu, sudah tampan, kaya, dan juga berwibawa. Tentu saja semua wanita akan terpikat, hanya saja kamu perlu percaya diri," sahut Anita. "Baik la
Ting... Tong... Beberapa hari setelah kedatangan Wildan, kini ia kembali lagi, nampaknya pria itu tidak kapok untuk mengejar cinta Nadira yang jelas-jelas sudah memiliki suami. Karina membuka pintu, bertatapan langsung dengan pria yang sempat bertamu beberapa hari yang lalu itu. "Loh, kamu, kok ke sini lagi? Ada apa?" tanya Karina, kali ini ia tidak mempersilahkan Wildan masuk. "Hai, aku ingin bertemu dengan Nadira, Nadira ada kan?" Wildan menatap penuh senyum. "Maaf, Nadira tidak ada, dia sepertinya pergi ke tempat biasa," seru Karina, sejak jam satu siang tadi, memang Nadira tidak pulang ke rumah. "Tempat biasa? Memangnya tempat biasa itu di mana?" tanya Wildan, nampaknya Wildan masih sangat penasaran. "Di dekat sungai, kalau kamu mau tahu, aku bisa antar kamu." jawab Karina, ia langsung menutup pintu dan berjalan lebih dulu. Tentu saja penawaran Karina tidak di sia-siakan oleh Wildan, ia langsung mengekor di belakang, dan saat tiba di depan gerbang, Wildan menawarkan Karina
Ting... Tong... Sebuah bel berbunyi, tak lama kemudian pintu pun terbuka, terlihat seorang pria asing yang datang bertamu, pria itu adalah Wildan. Setelah mendapatkan alamat tempat tinggal Chandra di Amerika, ia pun segera memutuskan untuk menjemputnya. "Dengan siapa, ya?" tanya seorang wanita yang dikenal sebagai bibi dari Chandra. "Saya Wildan Bu, saya dari Indonesia, kedatangan saya ke sini karena ingin bertemu dengan Chandra," ucap Wildan melempar senyum. "Oh, apa kamu temannya, Chandra? Maaf, jika pertanyaan saya cukup detail, karena saya tidak ingin salah memasukkan orang ke rumah saya," sahut wanita itu penasaran. "Saya atasan sekaligus teman Chandra, saya benar-benar ingin bertemu dan mengatakan sesuatu yang penting padanya." jawab Wildan menjelaskan siapa dirinya. Tak lama kemudian, Wildan sudah berada di ruang tamu. Nirma, selaku bibi dari Chandra pun kini sudah berada di depan pintu, memberitahukan pada Chandra jika ada tamu yang mencari nya. Awalnya saat mengetahui