"Aku sendiri ke sini. Mengenai soal Nadira, aku titip dia ya, aku mau pergi jauh dari kota ini," lirih Chandra menatap sedih. "Pergi jauh? Hahaha, jangan bercanda, kamu mana bisa hidup tanpa Nadira," ucap Karina justru tertawa lepas. "Aku memang tidak bisa hidup tanpa dia, tapi mungkin aku akan belajar untuk tanpa dia sekarang ini." jawab Chandra layu. Sebenarnya kalimat itu sangat lah berat, tapi mau tidak mau Chandra harus mengatakannya, ia juga menitipkan Nadira pada sahabatnya itu, karena ia yakin bahwa Karina akan mampu menjaga Nadira selama ia pergi. Karina menatap sedih ketika mendengar Chandra terang-terangan menitipkan Nadira, permasalahan rumah tangga antara Nadira dan juga Chandra pun sudah ia dengar, dan ia sangat menyayangkan sekali jika Chandra memutuskan untuk pergi meninggalkan istrinya. "Chandra, apa kamu sudah memikirkan ini matang-matang? Nadira akan sangat kehilangan kamu jika kamu pergi ke luar negeri," ucap Karina merasa kasihan pada nasib sahabat nya itu.
1 bulan telah berlalu, Chandra masih bersembunyi di balik kesedihan yang ia rasakan, sebenarnya berada jauh dari Nadira cukup menyiksanya, namun Chandra nampak tidak ada pilihan lain. Setiap hari ia harus menghabiskan hampir semua waktunya untuk melamun kan kisah bahagianya bersama Nadira, walau pada kenyataannya sangat lah jauh berbeda. Sementara di tempat lain, Nadira selalu menghabiskan waktunya di dekat sungai, di sana terdapat sebuah pohon yang menjadi saksi bahwa Nadira begitu merindukan dan mencintai Chandra. Nadira menuliskan kalimat itu di sebuah kertas, lalu menggantungkan kertas cinta itu di ranting-ranting pohon, kertas berwarna biru disertai pita berwarna senada pun menjadi saksi bisu. Sudah berapa ribu ikat kertas yang telah tergantung cantik di sana, dengan kalimat yang terus saja terulang, berharap jika nanti Chandra akan melihat dan menyaksikan bahwa ia masih setia menunggu suaminya. "Nadira, ayo kita pulang, ini sudah sore," ajak Karina, menyentuh pundak Nadira d
"Apalagi sekarang Chandra tidak ada di sini, jadi kamu bisa leluasa dekati Nadira," sambung Anita melempar senyum. "Maksud kamu? Memangnya Chandra ke mana?" tanya Wildan penasaran. "Chandra memilih pergi ke luar negri setelah dibolehkan pulang oleh dokter, dia ke Amerika, mungkin cukup lama. Makanya kamu harus berusaha lebih keras lagi, yakin saja kalau Nadira akan luluh dan benar-benar lepas dari Chandra." jawab Anita dengan yakin. Mendengar jawaban itu tentu saja membuat semangat Chandra kembali berkobar, ia menjadi yakin kembali untuk mendekati Nadira, berkat Anita yang terus berusaha membujuk untuk menerobos pagar yang tertutup di hati Nadira. "Baik lah, mulai besok aku akan kembali mendekati Nadira, aku menjadi yakin lagi," ucap Wildan penuh semangat. "Gitu dong, kamu harus yakin, karena wanita mana yang tahan menolak pria seperti dirimu, sudah tampan, kaya, dan juga berwibawa. Tentu saja semua wanita akan terpikat, hanya saja kamu perlu percaya diri," sahut Anita. "Baik la
Ting... Tong... Beberapa hari setelah kedatangan Wildan, kini ia kembali lagi, nampaknya pria itu tidak kapok untuk mengejar cinta Nadira yang jelas-jelas sudah memiliki suami. Karina membuka pintu, bertatapan langsung dengan pria yang sempat bertamu beberapa hari yang lalu itu. "Loh, kamu, kok ke sini lagi? Ada apa?" tanya Karina, kali ini ia tidak mempersilahkan Wildan masuk. "Hai, aku ingin bertemu dengan Nadira, Nadira ada kan?" Wildan menatap penuh senyum. "Maaf, Nadira tidak ada, dia sepertinya pergi ke tempat biasa," seru Karina, sejak jam satu siang tadi, memang Nadira tidak pulang ke rumah. "Tempat biasa? Memangnya tempat biasa itu di mana?" tanya Wildan, nampaknya Wildan masih sangat penasaran. "Di dekat sungai, kalau kamu mau tahu, aku bisa antar kamu." jawab Karina, ia langsung menutup pintu dan berjalan lebih dulu. Tentu saja penawaran Karina tidak di sia-siakan oleh Wildan, ia langsung mengekor di belakang, dan saat tiba di depan gerbang, Wildan menawarkan Karina
Ting... Tong... Sebuah bel berbunyi, tak lama kemudian pintu pun terbuka, terlihat seorang pria asing yang datang bertamu, pria itu adalah Wildan. Setelah mendapatkan alamat tempat tinggal Chandra di Amerika, ia pun segera memutuskan untuk menjemputnya. "Dengan siapa, ya?" tanya seorang wanita yang dikenal sebagai bibi dari Chandra. "Saya Wildan Bu, saya dari Indonesia, kedatangan saya ke sini karena ingin bertemu dengan Chandra," ucap Wildan melempar senyum. "Oh, apa kamu temannya, Chandra? Maaf, jika pertanyaan saya cukup detail, karena saya tidak ingin salah memasukkan orang ke rumah saya," sahut wanita itu penasaran. "Saya atasan sekaligus teman Chandra, saya benar-benar ingin bertemu dan mengatakan sesuatu yang penting padanya." jawab Wildan menjelaskan siapa dirinya. Tak lama kemudian, Wildan sudah berada di ruang tamu. Nirma, selaku bibi dari Chandra pun kini sudah berada di depan pintu, memberitahukan pada Chandra jika ada tamu yang mencari nya. Awalnya saat mengetahui
Nadira perlahan menoleh ke arah belakang, tubuhnya sempoyongan ketika melihat dengan nyata pria yang selama ini ia tunggu, Chandra akhirnya datang dan membuat Nadira terkejut. Senyum yang disertai dengan tangisan itu membuatnya semakin lemah, tubuhnya tersungkur ke tanah dengan kedua kaki yang tertekuk. Chandra dengan cepat menghampiri Nadira, menahan tubuh Nadira yang masih tidak percaya akan kedatangannya, meskipun lengan satunya tidak bisa digerakkan namun lengan satunya mampu menahan tubuh Nadira yang akan ambruk. "Nadira, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Chandra memastikan, wajah ayu istrinya menatap ke arah Chandra, tatapan itu saling bertemu satu sama lain. "Apa ini benar-benar kamu, Mas," lirih Nadira. "Iya, ini aku Nadira. Maafkan aku." Chandra meletakkan kepala Nadira ke pundaknya. Seketika air mata itu tumpah ruah kala menghirup aroma tubuh yang tidak asing itu, Nadira pun mengikat pinggang Chandra menggunakan kedua tangannya. Chandra dengan sekuat tenaga mengangkat leng
"Silahkan masuk," ucap Chandra mempersilahkan Nadira memasuki rumah berukuran sangat kecil dan sederhana itu. "Terima kasih Mas." singkat Nadira penuh senyum. Nadira duduk di sebuah kursi yang terbuat dari bambu, semua yang ada di rumah itu masih seperti kehidupan di tahun 80an, sangat asri dan apa yang ada di dalamnya mengingatkan Chandra pada kehidupan masa kecil yang sering tinggal dan menginap di rumah itu. Tak lama kemudian, Nadira bangkit, karena Chandra terus saja berbicara tentang semua benda yang ada di ruangan, penuh dengan kenangan, membuat Nadira ingin menyentuh satu per satu benda yang terpajang dengan rapi di sana. "Jadi kamu dulu sering menginap di sini saat ibu pergi bekerja untuk menafkahi kamu dan mas Roy?" tanya Nadira, ia menatap Chandra yang mengangguk mantap. "Iya, ayahku sudah pergi sejak kami masih kecil, ibu merawat ku dan mas Roy bersama nenek di sini. Sebenarnya sifat ibu seperti itu karena ibu tidak mau aku terluka sama halnya dengan pernikahannya yang
"Nadira, ada apa?" dengan cepat Chandra membuka pintu yang kamar mandi yang sebelumnya di tutup dari dalam oleh Nadira. Melihat Chandra sudah ada di ruangan itu membuat Nadira merasa malu, ia langsung menutup bagian tubuh nya yang sensitif dengan menyilang kan kedua tangan, ruangan itu sangat gelap, namun ia tetap merasa malu. "Mas, senternya mati," ucap Nadira, masih belum bisa melihat wajah Chandra karena gelap. "Oh ya ampun, perasaan senter ini masih bagus, tapi kenalan tiba-tiba mati, ya sudah kalau begitu, cepat mandi lah, aku berada di ruangan yang sama denganmu, jadi tidak perlu takut." suruh Chandra meminta istrinya agar segera membersihkan tubuh. Tidak ada pilihan lain, pengalaman pertama pun Nadira alami, mandi di situasi yang sangat gelap, bahkan untuk mencari sebuah gayung pun ia harus meraba-raba, dan beberapa menit kemudian akhirnya ritual mandi Nadira pun selesai. Chandra mencari sebuah piyama milik sang nenek, lalu setelah itu ia mengantarkan piyama tersebut ke ka