Nadira perlahan menoleh ke arah belakang, tubuhnya sempoyongan ketika melihat dengan nyata pria yang selama ini ia tunggu, Chandra akhirnya datang dan membuat Nadira terkejut. Senyum yang disertai dengan tangisan itu membuatnya semakin lemah, tubuhnya tersungkur ke tanah dengan kedua kaki yang tertekuk. Chandra dengan cepat menghampiri Nadira, menahan tubuh Nadira yang masih tidak percaya akan kedatangannya, meskipun lengan satunya tidak bisa digerakkan namun lengan satunya mampu menahan tubuh Nadira yang akan ambruk. "Nadira, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Chandra memastikan, wajah ayu istrinya menatap ke arah Chandra, tatapan itu saling bertemu satu sama lain. "Apa ini benar-benar kamu, Mas," lirih Nadira. "Iya, ini aku Nadira. Maafkan aku." Chandra meletakkan kepala Nadira ke pundaknya. Seketika air mata itu tumpah ruah kala menghirup aroma tubuh yang tidak asing itu, Nadira pun mengikat pinggang Chandra menggunakan kedua tangannya. Chandra dengan sekuat tenaga mengangkat leng
"Silahkan masuk," ucap Chandra mempersilahkan Nadira memasuki rumah berukuran sangat kecil dan sederhana itu. "Terima kasih Mas." singkat Nadira penuh senyum. Nadira duduk di sebuah kursi yang terbuat dari bambu, semua yang ada di rumah itu masih seperti kehidupan di tahun 80an, sangat asri dan apa yang ada di dalamnya mengingatkan Chandra pada kehidupan masa kecil yang sering tinggal dan menginap di rumah itu. Tak lama kemudian, Nadira bangkit, karena Chandra terus saja berbicara tentang semua benda yang ada di ruangan, penuh dengan kenangan, membuat Nadira ingin menyentuh satu per satu benda yang terpajang dengan rapi di sana. "Jadi kamu dulu sering menginap di sini saat ibu pergi bekerja untuk menafkahi kamu dan mas Roy?" tanya Nadira, ia menatap Chandra yang mengangguk mantap. "Iya, ayahku sudah pergi sejak kami masih kecil, ibu merawat ku dan mas Roy bersama nenek di sini. Sebenarnya sifat ibu seperti itu karena ibu tidak mau aku terluka sama halnya dengan pernikahannya yang
"Nadira, ada apa?" dengan cepat Chandra membuka pintu yang kamar mandi yang sebelumnya di tutup dari dalam oleh Nadira. Melihat Chandra sudah ada di ruangan itu membuat Nadira merasa malu, ia langsung menutup bagian tubuh nya yang sensitif dengan menyilang kan kedua tangan, ruangan itu sangat gelap, namun ia tetap merasa malu. "Mas, senternya mati," ucap Nadira, masih belum bisa melihat wajah Chandra karena gelap. "Oh ya ampun, perasaan senter ini masih bagus, tapi kenalan tiba-tiba mati, ya sudah kalau begitu, cepat mandi lah, aku berada di ruangan yang sama denganmu, jadi tidak perlu takut." suruh Chandra meminta istrinya agar segera membersihkan tubuh. Tidak ada pilihan lain, pengalaman pertama pun Nadira alami, mandi di situasi yang sangat gelap, bahkan untuk mencari sebuah gayung pun ia harus meraba-raba, dan beberapa menit kemudian akhirnya ritual mandi Nadira pun selesai. Chandra mencari sebuah piyama milik sang nenek, lalu setelah itu ia mengantarkan piyama tersebut ke ka
"Kita mau kerja apa Mas, di tempat seperti ini?" tanya Nadira, setelah bertahan hidup beberapa hari di desa kecil itu. "Aku juga lagi memikirkannya, Nadira. Pekerjaan apa yang harus kita lakukan di desa seperti ini, kecuali menjadi buruh di sawah dan di kebun, tapi dengan keadaan ku seperti ini, apa mungkin ada yang mau mempekerjakan aku," lirih Chandra ragu, ia nampak memperhatikan lengannya yang terkulai lemah. "Mas, jangan pesimis gitu, kita akan mengangkat beban ini bersama-sama, jadi jangan kamu pikirkan ini terlalu serius, kalau gitu, gimana kalau kita ke tetangga sebelah, nyari lowongan pekerjaan?" tawar Nadira, mencoba untuk memberikan semangat pada suaminya. "Ya sudah, ayo." jawab Chandra patuh, ia tidak mungkin membiarkan Nadira terpuruk seperti itu lama-lama, karena setiap harinya mereka tetap membutuhkan makan dan kebutuhan lainnya. Langkah kaki Chandra dan Nadira berhenti di sebuah rumah yang berada tidak jauh dari tempat tinggal mereka saat ini, dia adalah pak Wahyu,
"Siapa Nadira?" ulang Chandra ketika lama tidak mendapatkan jawaban dari Nadira. "Ibu Mas," lirih Nadira menyerahkan ponsel tersebut pada Chandra, ia terlihat gusar setelah membaca pesan dari ibu mertuanya itu. Pandangan Chandra pun kini sudah fokus pada layar ponsel nya, ia membaca pesan masuk dari sang ibu yang rupanya merindukan dirinya. [Chandra, kamu apa kabar Nak? Sudah lama kamu tidak menghubungi Ibu atau mengirimkan pesan, bagaimana dengan hatimu saat ini? Apa setelah tinggal di Amerika kamu sudah memikirkan dengan mantap untuk menceraikan Nadira?][Ibu sedang sakit Chandra, ibu sakit karena merindukan mu, apa ibu boleh melakukan panggilan vidio call denganmu? Untuk sedikit mengurangi rasa rindu ini]Bu Hesti mengirimkan pesan itu sebanyak dua kali, juga berupa foto dirinya yang sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjang, namun Chandra bukan membalas atau menelpon sang ibu, ia justru memasukkan kembali ponselnya ke dalam kemeja. "Kenapa Mas, kamu nggak mau telpon ibu?" tany
Hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan. Kehidupan Chandra, Nadira, bersama nek Ijah justru membuat mereka bertambah bahagia, nek Ijah berhati sangat baik dan terbuka, Nadira seperti memiliki ibu lagi setelah tinggal bersama dengan sang nenek, jika sebelumnya bayangan Nadira nek Ijah adalah seorang wanita tua yang akan memiliki keturunan rewel dan banyak menuntut seperti bu Hesti, namun pada kenyataannya itu sama sekali tidak benar. Hari ini nek Ijah terlihat sangat mencemaskan Nadira dan juga Chandra, pasalnya sampai jam lima sore mereka belum juga pulang dari kebun, padahal nek Ijah sudah memasak makanan untuk mereka dengan spesial. "Aduh, ke mana ya Nadira dan Chandra, kok tumben jam segini mereka belum pulang juga," ucap nek Ijah, sesekali ia mondar mandir menatap ke area luar rumah. Nek Ijah keluar masuk hanya untuk melihat apakah pasangan suami istri itu sudah datang atau belum. Adzan magrib mulai berkumandang, pintu terpaksa nek Ijah tutup sementara, ia melakukan
Wildan terkejut ketika menyadari bahwa yang menghubungi dirinya adalah Chandra, seorang pria yang sudah cukup lama tak menampakkan dirinya, namun kini tiba-tiba ia menghubungi malam-malam seperti ini. [Halo Chandra, ada apa?][Pak Wildan, apa Bapak sedang sibuk? Saya ingin membicarakan sesuatu yang cukup serius][Tentang apa Chandra][Kalau bisa besok Bapak datang ke alamat yang akan saya kirimkan, karena ini sangat penting sekali][Oke, baik. Saya akan luangkan waktu untuk menemui kamu]TuutPanggilan itupun dimatikan, Chandra segera mengirim alamat tempat tinggalnya saat ini, saat menerima sebuah alamat, Wildan mengernyitkan dahi, ia merasa asing dengan alamat yang baru saja ia lihat itu. Namun karena sudah janji akan menemui Chandra, Wildan pun mengirimkan pesan bahwa ia akan datang ke sana besok siang. Chandra merasa lega, ia bisa kembali masuk dengan perasaan tenang lalu istirahat di samping Nadira yang masih di posisi yang sama. Tatapan penuh rasa bersalah kini tertuju lagi pad
"Tapi cinta akan datang seiring dengan berjalannya waktu Pak, saya yakin kalau Nadira akan hidup bahagia bersama Bapak," tegas Chandra dengan yakin. "Kalau kamu memang sangat yakin dengan keputusan kamu, saya akan mengusahakannya Chandra, Nadira akan saya bawa ke kota." jawab Wildan, akhirnya ia setuju. Wildan mulai menyusun rencana bersama Chandra untuk menarik Nadira kembali ke kota dan mendekatinya. Chandra mengulas senyum, meskipun sebenarnya hati yang ia rasakan saat ini begitu perih, karena dengan sadar ia akan menyerahkan wanita yang ia cintai pada pria lain, namun sepertinya memang tidak ada pilihan, Chandra lebih memilih Nadira hidup bahagia dan terjamin bersama pria lain, dibanding hidup menderita bersamanya dengan ketidaksempurnaan yang ia punya. Sore harinya, Chandra sudah menunggu kedatangan Nadira yang baru saja pulang dari kebun, terlihat wajah Nadira semakin kusam tak terurus, dan tubuhnya juga sedikit kurus. Namun Nadira masih setia berada di samping Chandra dan me