"Siapa Nadira?" ulang Chandra ketika lama tidak mendapatkan jawaban dari Nadira. "Ibu Mas," lirih Nadira menyerahkan ponsel tersebut pada Chandra, ia terlihat gusar setelah membaca pesan dari ibu mertuanya itu. Pandangan Chandra pun kini sudah fokus pada layar ponsel nya, ia membaca pesan masuk dari sang ibu yang rupanya merindukan dirinya. [Chandra, kamu apa kabar Nak? Sudah lama kamu tidak menghubungi Ibu atau mengirimkan pesan, bagaimana dengan hatimu saat ini? Apa setelah tinggal di Amerika kamu sudah memikirkan dengan mantap untuk menceraikan Nadira?][Ibu sedang sakit Chandra, ibu sakit karena merindukan mu, apa ibu boleh melakukan panggilan vidio call denganmu? Untuk sedikit mengurangi rasa rindu ini]Bu Hesti mengirimkan pesan itu sebanyak dua kali, juga berupa foto dirinya yang sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjang, namun Chandra bukan membalas atau menelpon sang ibu, ia justru memasukkan kembali ponselnya ke dalam kemeja. "Kenapa Mas, kamu nggak mau telpon ibu?" tany
Hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan. Kehidupan Chandra, Nadira, bersama nek Ijah justru membuat mereka bertambah bahagia, nek Ijah berhati sangat baik dan terbuka, Nadira seperti memiliki ibu lagi setelah tinggal bersama dengan sang nenek, jika sebelumnya bayangan Nadira nek Ijah adalah seorang wanita tua yang akan memiliki keturunan rewel dan banyak menuntut seperti bu Hesti, namun pada kenyataannya itu sama sekali tidak benar. Hari ini nek Ijah terlihat sangat mencemaskan Nadira dan juga Chandra, pasalnya sampai jam lima sore mereka belum juga pulang dari kebun, padahal nek Ijah sudah memasak makanan untuk mereka dengan spesial. "Aduh, ke mana ya Nadira dan Chandra, kok tumben jam segini mereka belum pulang juga," ucap nek Ijah, sesekali ia mondar mandir menatap ke area luar rumah. Nek Ijah keluar masuk hanya untuk melihat apakah pasangan suami istri itu sudah datang atau belum. Adzan magrib mulai berkumandang, pintu terpaksa nek Ijah tutup sementara, ia melakukan
Wildan terkejut ketika menyadari bahwa yang menghubungi dirinya adalah Chandra, seorang pria yang sudah cukup lama tak menampakkan dirinya, namun kini tiba-tiba ia menghubungi malam-malam seperti ini. [Halo Chandra, ada apa?][Pak Wildan, apa Bapak sedang sibuk? Saya ingin membicarakan sesuatu yang cukup serius][Tentang apa Chandra][Kalau bisa besok Bapak datang ke alamat yang akan saya kirimkan, karena ini sangat penting sekali][Oke, baik. Saya akan luangkan waktu untuk menemui kamu]TuutPanggilan itupun dimatikan, Chandra segera mengirim alamat tempat tinggalnya saat ini, saat menerima sebuah alamat, Wildan mengernyitkan dahi, ia merasa asing dengan alamat yang baru saja ia lihat itu. Namun karena sudah janji akan menemui Chandra, Wildan pun mengirimkan pesan bahwa ia akan datang ke sana besok siang. Chandra merasa lega, ia bisa kembali masuk dengan perasaan tenang lalu istirahat di samping Nadira yang masih di posisi yang sama. Tatapan penuh rasa bersalah kini tertuju lagi pad
"Tapi cinta akan datang seiring dengan berjalannya waktu Pak, saya yakin kalau Nadira akan hidup bahagia bersama Bapak," tegas Chandra dengan yakin. "Kalau kamu memang sangat yakin dengan keputusan kamu, saya akan mengusahakannya Chandra, Nadira akan saya bawa ke kota." jawab Wildan, akhirnya ia setuju. Wildan mulai menyusun rencana bersama Chandra untuk menarik Nadira kembali ke kota dan mendekatinya. Chandra mengulas senyum, meskipun sebenarnya hati yang ia rasakan saat ini begitu perih, karena dengan sadar ia akan menyerahkan wanita yang ia cintai pada pria lain, namun sepertinya memang tidak ada pilihan, Chandra lebih memilih Nadira hidup bahagia dan terjamin bersama pria lain, dibanding hidup menderita bersamanya dengan ketidaksempurnaan yang ia punya. Sore harinya, Chandra sudah menunggu kedatangan Nadira yang baru saja pulang dari kebun, terlihat wajah Nadira semakin kusam tak terurus, dan tubuhnya juga sedikit kurus. Namun Nadira masih setia berada di samping Chandra dan me
[Halo Chandra, apa kamu sudah ada di ibukota?] tanya Wildan setelah telponnya di angkat oleh Chandra. [Sudah Pak, saya sudah ada di ibukota, dan saya sedang mengantar Nadira ke salon, agar saat melamar pekerjaan besok, penampilannya cukup sempurna] ucap Chandra sekilas ia mengulas senyum keterpaksaan. [Berapa total biayanya? Biar saya transfer] Wildan begitu nampak bersemangat ketika mendengar kabar kedatangan Nadira. [Saya ambil uang tabungan saya pak, belum tahu total nya berapa] sahut Chandra. [Kalau begitu saya akan kirim uang sepuluh juta ke rekening kamu, dan uang tabungan itu lebih baik kamu simpan saja] tandas Wildan langsung mematikan sambungan teleponnya. Chandra menghela nafas kasar, haruskah ia menerima uang itu? Uang yang berarti bahwa Nadira benar-benar akan menjadi milik pria lain, Chandra seolah sedang berada di situasi yang begitu sangat sulit, perasaan dan logikanya bertarung karena tidak searah, ingin rasanya ia berteriak kencang saat itu juga, agar beban di pun
Saat tiba di depan salon, Nadira sama sekali tidak menemukan suaminya yang seharusnya tetap setia menemani, wanita itu merasa sedikit kesal, karena ditinggalkan begitu saja oleh Chandra tanpa pamitan. Ia pun melangkah kecewa menjauhi tempat itu menuju kediamannya. "Tunggu Nadira, aku antar kamu pulang, ya," tawar Wildan menahan pergelangan tangan Nadira. "Maaf Pak, lepaskan! Saya bisa pulang sendiri," tolak Nadira dengan tegas. "Nadira please jangan bersikap dingin seperti ini, meskipun aku bukan siapa-siapa lagi di mata kamu, tapi setidaknya izinkan aku untuk mengantarkan mu saat ini," rayu Wildan terus berusaha. Nadira sebenarnya merasa sangat risih, namun tidak ada salahnya jika berhenti berpikir buruk pada pria yang sempat membuatnya ilfil itu. Akhirnya Nadira menerima tawaran dari Wildan, ia di antar kan pulang oleh mantan bosnya sampai di depan rumah. Chandra menyadari kedatangan Nadira bersama Wildan saat ia mengintip di jendela, saat itu Wildan membukakan pintu mobil dan m
"Karena pengalaman bekerja kamu cukup bagus di perusahaan lain, maka kamu akan diterima di perusahaan ini, tugasmu ada di sistem marketing," ucap seorang wanita yang bernama Intan, sekertaris dari pemilik perusahaan itu. "Terima kasih banyak Bu, saya akan bekerja dengan baik dan rajin," seru Nadira begitu bahagia. "Sama-sama, hari ini kamu sudah bisa mulai bekerja, ya. Saya akan panggil seseorang untuk mengantarkan kamu ke ruangan kamu." jawabnya mengulas senyum. Nadira mengangguk patuh, ia kini sudah berada di ruangannya yang cukup nyaman, ruangan yang memiliki pendingin AC itu benar-benar membuat Nadira sangat senang, berbeda jauh dengan saat dirinya ada di pinggiran kota, yang hanya ada cerita pahit sebagai pengukir hidupnya. "Ah, aku sudah keluar dari zona itu, sekarang lebih baik aku menikmati saja kisah hidupku yang sekarang, aku sudah memiliki pekerjaan lebih baik dari sebelumnya, dan aku akan berusaha keras untuk melakukan tugasku dengan baik." ungkap Nadira begitu semanga
'Oh shit, kenapa Nadira justru memilih pergi dari sana, apa dia memang tidak mau bertemu denganku?' batin Wildan yang menyadari kepergian wanita yang begitu ia sayang itu. Beruntung lah Wildan memakai kacamata hitam, sehingga tidak ada yang menyadari bahwa dirinya sejak tadi sudah memandangi kecantikan Nadira dari kejauhan, meskipun respon Nadira justru memperlihatkan bentuk ketidakpedulian ketika dirinya datang. Ketika para karyawan wanita yang sedang fokus menatap ke arahnya, sementara di antara mereka sudah tidak ada lagi Nadira, membuat Wildan memutuskan untuk langsung saja pergi ke ruangan pribadinya, ia ingin memeriksa semua file yang pastinya sudah menumpuk menunggu untuk dibuka. Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar saat Wildan sedang memeriksa sebuah file. Wildan mempersilahkan masuk dengan mengeluarkan suara sedikit keras, tak lama setelah itu Naura membuka pintu dan melempar senyum pada Wildan. "Ada apa?" tanya Wildan sinis pada karyawannya itu, Naura