Ting... Tong... Beberapa hari setelah kedatangan Wildan, kini ia kembali lagi, nampaknya pria itu tidak kapok untuk mengejar cinta Nadira yang jelas-jelas sudah memiliki suami. Karina membuka pintu, bertatapan langsung dengan pria yang sempat bertamu beberapa hari yang lalu itu. "Loh, kamu, kok ke sini lagi? Ada apa?" tanya Karina, kali ini ia tidak mempersilahkan Wildan masuk. "Hai, aku ingin bertemu dengan Nadira, Nadira ada kan?" Wildan menatap penuh senyum. "Maaf, Nadira tidak ada, dia sepertinya pergi ke tempat biasa," seru Karina, sejak jam satu siang tadi, memang Nadira tidak pulang ke rumah. "Tempat biasa? Memangnya tempat biasa itu di mana?" tanya Wildan, nampaknya Wildan masih sangat penasaran. "Di dekat sungai, kalau kamu mau tahu, aku bisa antar kamu." jawab Karina, ia langsung menutup pintu dan berjalan lebih dulu. Tentu saja penawaran Karina tidak di sia-siakan oleh Wildan, ia langsung mengekor di belakang, dan saat tiba di depan gerbang, Wildan menawarkan Karina
Ting... Tong... Sebuah bel berbunyi, tak lama kemudian pintu pun terbuka, terlihat seorang pria asing yang datang bertamu, pria itu adalah Wildan. Setelah mendapatkan alamat tempat tinggal Chandra di Amerika, ia pun segera memutuskan untuk menjemputnya. "Dengan siapa, ya?" tanya seorang wanita yang dikenal sebagai bibi dari Chandra. "Saya Wildan Bu, saya dari Indonesia, kedatangan saya ke sini karena ingin bertemu dengan Chandra," ucap Wildan melempar senyum. "Oh, apa kamu temannya, Chandra? Maaf, jika pertanyaan saya cukup detail, karena saya tidak ingin salah memasukkan orang ke rumah saya," sahut wanita itu penasaran. "Saya atasan sekaligus teman Chandra, saya benar-benar ingin bertemu dan mengatakan sesuatu yang penting padanya." jawab Wildan menjelaskan siapa dirinya. Tak lama kemudian, Wildan sudah berada di ruang tamu. Nirma, selaku bibi dari Chandra pun kini sudah berada di depan pintu, memberitahukan pada Chandra jika ada tamu yang mencari nya. Awalnya saat mengetahui
Nadira perlahan menoleh ke arah belakang, tubuhnya sempoyongan ketika melihat dengan nyata pria yang selama ini ia tunggu, Chandra akhirnya datang dan membuat Nadira terkejut. Senyum yang disertai dengan tangisan itu membuatnya semakin lemah, tubuhnya tersungkur ke tanah dengan kedua kaki yang tertekuk. Chandra dengan cepat menghampiri Nadira, menahan tubuh Nadira yang masih tidak percaya akan kedatangannya, meskipun lengan satunya tidak bisa digerakkan namun lengan satunya mampu menahan tubuh Nadira yang akan ambruk. "Nadira, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Chandra memastikan, wajah ayu istrinya menatap ke arah Chandra, tatapan itu saling bertemu satu sama lain. "Apa ini benar-benar kamu, Mas," lirih Nadira. "Iya, ini aku Nadira. Maafkan aku." Chandra meletakkan kepala Nadira ke pundaknya. Seketika air mata itu tumpah ruah kala menghirup aroma tubuh yang tidak asing itu, Nadira pun mengikat pinggang Chandra menggunakan kedua tangannya. Chandra dengan sekuat tenaga mengangkat leng
"Silahkan masuk," ucap Chandra mempersilahkan Nadira memasuki rumah berukuran sangat kecil dan sederhana itu. "Terima kasih Mas." singkat Nadira penuh senyum. Nadira duduk di sebuah kursi yang terbuat dari bambu, semua yang ada di rumah itu masih seperti kehidupan di tahun 80an, sangat asri dan apa yang ada di dalamnya mengingatkan Chandra pada kehidupan masa kecil yang sering tinggal dan menginap di rumah itu. Tak lama kemudian, Nadira bangkit, karena Chandra terus saja berbicara tentang semua benda yang ada di ruangan, penuh dengan kenangan, membuat Nadira ingin menyentuh satu per satu benda yang terpajang dengan rapi di sana. "Jadi kamu dulu sering menginap di sini saat ibu pergi bekerja untuk menafkahi kamu dan mas Roy?" tanya Nadira, ia menatap Chandra yang mengangguk mantap. "Iya, ayahku sudah pergi sejak kami masih kecil, ibu merawat ku dan mas Roy bersama nenek di sini. Sebenarnya sifat ibu seperti itu karena ibu tidak mau aku terluka sama halnya dengan pernikahannya yang
"Nadira, ada apa?" dengan cepat Chandra membuka pintu yang kamar mandi yang sebelumnya di tutup dari dalam oleh Nadira. Melihat Chandra sudah ada di ruangan itu membuat Nadira merasa malu, ia langsung menutup bagian tubuh nya yang sensitif dengan menyilang kan kedua tangan, ruangan itu sangat gelap, namun ia tetap merasa malu. "Mas, senternya mati," ucap Nadira, masih belum bisa melihat wajah Chandra karena gelap. "Oh ya ampun, perasaan senter ini masih bagus, tapi kenalan tiba-tiba mati, ya sudah kalau begitu, cepat mandi lah, aku berada di ruangan yang sama denganmu, jadi tidak perlu takut." suruh Chandra meminta istrinya agar segera membersihkan tubuh. Tidak ada pilihan lain, pengalaman pertama pun Nadira alami, mandi di situasi yang sangat gelap, bahkan untuk mencari sebuah gayung pun ia harus meraba-raba, dan beberapa menit kemudian akhirnya ritual mandi Nadira pun selesai. Chandra mencari sebuah piyama milik sang nenek, lalu setelah itu ia mengantarkan piyama tersebut ke ka
"Kita mau kerja apa Mas, di tempat seperti ini?" tanya Nadira, setelah bertahan hidup beberapa hari di desa kecil itu. "Aku juga lagi memikirkannya, Nadira. Pekerjaan apa yang harus kita lakukan di desa seperti ini, kecuali menjadi buruh di sawah dan di kebun, tapi dengan keadaan ku seperti ini, apa mungkin ada yang mau mempekerjakan aku," lirih Chandra ragu, ia nampak memperhatikan lengannya yang terkulai lemah. "Mas, jangan pesimis gitu, kita akan mengangkat beban ini bersama-sama, jadi jangan kamu pikirkan ini terlalu serius, kalau gitu, gimana kalau kita ke tetangga sebelah, nyari lowongan pekerjaan?" tawar Nadira, mencoba untuk memberikan semangat pada suaminya. "Ya sudah, ayo." jawab Chandra patuh, ia tidak mungkin membiarkan Nadira terpuruk seperti itu lama-lama, karena setiap harinya mereka tetap membutuhkan makan dan kebutuhan lainnya. Langkah kaki Chandra dan Nadira berhenti di sebuah rumah yang berada tidak jauh dari tempat tinggal mereka saat ini, dia adalah pak Wahyu,
"Siapa Nadira?" ulang Chandra ketika lama tidak mendapatkan jawaban dari Nadira. "Ibu Mas," lirih Nadira menyerahkan ponsel tersebut pada Chandra, ia terlihat gusar setelah membaca pesan dari ibu mertuanya itu. Pandangan Chandra pun kini sudah fokus pada layar ponsel nya, ia membaca pesan masuk dari sang ibu yang rupanya merindukan dirinya. [Chandra, kamu apa kabar Nak? Sudah lama kamu tidak menghubungi Ibu atau mengirimkan pesan, bagaimana dengan hatimu saat ini? Apa setelah tinggal di Amerika kamu sudah memikirkan dengan mantap untuk menceraikan Nadira?][Ibu sedang sakit Chandra, ibu sakit karena merindukan mu, apa ibu boleh melakukan panggilan vidio call denganmu? Untuk sedikit mengurangi rasa rindu ini]Bu Hesti mengirimkan pesan itu sebanyak dua kali, juga berupa foto dirinya yang sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjang, namun Chandra bukan membalas atau menelpon sang ibu, ia justru memasukkan kembali ponselnya ke dalam kemeja. "Kenapa Mas, kamu nggak mau telpon ibu?" tany
Hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan. Kehidupan Chandra, Nadira, bersama nek Ijah justru membuat mereka bertambah bahagia, nek Ijah berhati sangat baik dan terbuka, Nadira seperti memiliki ibu lagi setelah tinggal bersama dengan sang nenek, jika sebelumnya bayangan Nadira nek Ijah adalah seorang wanita tua yang akan memiliki keturunan rewel dan banyak menuntut seperti bu Hesti, namun pada kenyataannya itu sama sekali tidak benar. Hari ini nek Ijah terlihat sangat mencemaskan Nadira dan juga Chandra, pasalnya sampai jam lima sore mereka belum juga pulang dari kebun, padahal nek Ijah sudah memasak makanan untuk mereka dengan spesial. "Aduh, ke mana ya Nadira dan Chandra, kok tumben jam segini mereka belum pulang juga," ucap nek Ijah, sesekali ia mondar mandir menatap ke area luar rumah. Nek Ijah keluar masuk hanya untuk melihat apakah pasangan suami istri itu sudah datang atau belum. Adzan magrib mulai berkumandang, pintu terpaksa nek Ijah tutup sementara, ia melakukan