1 bulan telah berlalu, Chandra masih bersembunyi di balik kesedihan yang ia rasakan, sebenarnya berada jauh dari Nadira cukup menyiksanya, namun Chandra nampak tidak ada pilihan lain. Setiap hari ia harus menghabiskan hampir semua waktunya untuk melamun kan kisah bahagianya bersama Nadira, walau pada kenyataannya sangat lah jauh berbeda. Sementara di tempat lain, Nadira selalu menghabiskan waktunya di dekat sungai, di sana terdapat sebuah pohon yang menjadi saksi bahwa Nadira begitu merindukan dan mencintai Chandra. Nadira menuliskan kalimat itu di sebuah kertas, lalu menggantungkan kertas cinta itu di ranting-ranting pohon, kertas berwarna biru disertai pita berwarna senada pun menjadi saksi bisu. Sudah berapa ribu ikat kertas yang telah tergantung cantik di sana, dengan kalimat yang terus saja terulang, berharap jika nanti Chandra akan melihat dan menyaksikan bahwa ia masih setia menunggu suaminya. "Nadira, ayo kita pulang, ini sudah sore," ajak Karina, menyentuh pundak Nadira d
"Apalagi sekarang Chandra tidak ada di sini, jadi kamu bisa leluasa dekati Nadira," sambung Anita melempar senyum. "Maksud kamu? Memangnya Chandra ke mana?" tanya Wildan penasaran. "Chandra memilih pergi ke luar negri setelah dibolehkan pulang oleh dokter, dia ke Amerika, mungkin cukup lama. Makanya kamu harus berusaha lebih keras lagi, yakin saja kalau Nadira akan luluh dan benar-benar lepas dari Chandra." jawab Anita dengan yakin. Mendengar jawaban itu tentu saja membuat semangat Chandra kembali berkobar, ia menjadi yakin kembali untuk mendekati Nadira, berkat Anita yang terus berusaha membujuk untuk menerobos pagar yang tertutup di hati Nadira. "Baik lah, mulai besok aku akan kembali mendekati Nadira, aku menjadi yakin lagi," ucap Wildan penuh semangat. "Gitu dong, kamu harus yakin, karena wanita mana yang tahan menolak pria seperti dirimu, sudah tampan, kaya, dan juga berwibawa. Tentu saja semua wanita akan terpikat, hanya saja kamu perlu percaya diri," sahut Anita. "Baik la
Ting... Tong... Beberapa hari setelah kedatangan Wildan, kini ia kembali lagi, nampaknya pria itu tidak kapok untuk mengejar cinta Nadira yang jelas-jelas sudah memiliki suami. Karina membuka pintu, bertatapan langsung dengan pria yang sempat bertamu beberapa hari yang lalu itu. "Loh, kamu, kok ke sini lagi? Ada apa?" tanya Karina, kali ini ia tidak mempersilahkan Wildan masuk. "Hai, aku ingin bertemu dengan Nadira, Nadira ada kan?" Wildan menatap penuh senyum. "Maaf, Nadira tidak ada, dia sepertinya pergi ke tempat biasa," seru Karina, sejak jam satu siang tadi, memang Nadira tidak pulang ke rumah. "Tempat biasa? Memangnya tempat biasa itu di mana?" tanya Wildan, nampaknya Wildan masih sangat penasaran. "Di dekat sungai, kalau kamu mau tahu, aku bisa antar kamu." jawab Karina, ia langsung menutup pintu dan berjalan lebih dulu. Tentu saja penawaran Karina tidak di sia-siakan oleh Wildan, ia langsung mengekor di belakang, dan saat tiba di depan gerbang, Wildan menawarkan Karina
Ting... Tong... Sebuah bel berbunyi, tak lama kemudian pintu pun terbuka, terlihat seorang pria asing yang datang bertamu, pria itu adalah Wildan. Setelah mendapatkan alamat tempat tinggal Chandra di Amerika, ia pun segera memutuskan untuk menjemputnya. "Dengan siapa, ya?" tanya seorang wanita yang dikenal sebagai bibi dari Chandra. "Saya Wildan Bu, saya dari Indonesia, kedatangan saya ke sini karena ingin bertemu dengan Chandra," ucap Wildan melempar senyum. "Oh, apa kamu temannya, Chandra? Maaf, jika pertanyaan saya cukup detail, karena saya tidak ingin salah memasukkan orang ke rumah saya," sahut wanita itu penasaran. "Saya atasan sekaligus teman Chandra, saya benar-benar ingin bertemu dan mengatakan sesuatu yang penting padanya." jawab Wildan menjelaskan siapa dirinya. Tak lama kemudian, Wildan sudah berada di ruang tamu. Nirma, selaku bibi dari Chandra pun kini sudah berada di depan pintu, memberitahukan pada Chandra jika ada tamu yang mencari nya. Awalnya saat mengetahui
Nadira perlahan menoleh ke arah belakang, tubuhnya sempoyongan ketika melihat dengan nyata pria yang selama ini ia tunggu, Chandra akhirnya datang dan membuat Nadira terkejut. Senyum yang disertai dengan tangisan itu membuatnya semakin lemah, tubuhnya tersungkur ke tanah dengan kedua kaki yang tertekuk. Chandra dengan cepat menghampiri Nadira, menahan tubuh Nadira yang masih tidak percaya akan kedatangannya, meskipun lengan satunya tidak bisa digerakkan namun lengan satunya mampu menahan tubuh Nadira yang akan ambruk. "Nadira, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Chandra memastikan, wajah ayu istrinya menatap ke arah Chandra, tatapan itu saling bertemu satu sama lain. "Apa ini benar-benar kamu, Mas," lirih Nadira. "Iya, ini aku Nadira. Maafkan aku." Chandra meletakkan kepala Nadira ke pundaknya. Seketika air mata itu tumpah ruah kala menghirup aroma tubuh yang tidak asing itu, Nadira pun mengikat pinggang Chandra menggunakan kedua tangannya. Chandra dengan sekuat tenaga mengangkat leng
"Silahkan masuk," ucap Chandra mempersilahkan Nadira memasuki rumah berukuran sangat kecil dan sederhana itu. "Terima kasih Mas." singkat Nadira penuh senyum. Nadira duduk di sebuah kursi yang terbuat dari bambu, semua yang ada di rumah itu masih seperti kehidupan di tahun 80an, sangat asri dan apa yang ada di dalamnya mengingatkan Chandra pada kehidupan masa kecil yang sering tinggal dan menginap di rumah itu. Tak lama kemudian, Nadira bangkit, karena Chandra terus saja berbicara tentang semua benda yang ada di ruangan, penuh dengan kenangan, membuat Nadira ingin menyentuh satu per satu benda yang terpajang dengan rapi di sana. "Jadi kamu dulu sering menginap di sini saat ibu pergi bekerja untuk menafkahi kamu dan mas Roy?" tanya Nadira, ia menatap Chandra yang mengangguk mantap. "Iya, ayahku sudah pergi sejak kami masih kecil, ibu merawat ku dan mas Roy bersama nenek di sini. Sebenarnya sifat ibu seperti itu karena ibu tidak mau aku terluka sama halnya dengan pernikahannya yang
"Nadira, ada apa?" dengan cepat Chandra membuka pintu yang kamar mandi yang sebelumnya di tutup dari dalam oleh Nadira. Melihat Chandra sudah ada di ruangan itu membuat Nadira merasa malu, ia langsung menutup bagian tubuh nya yang sensitif dengan menyilang kan kedua tangan, ruangan itu sangat gelap, namun ia tetap merasa malu. "Mas, senternya mati," ucap Nadira, masih belum bisa melihat wajah Chandra karena gelap. "Oh ya ampun, perasaan senter ini masih bagus, tapi kenalan tiba-tiba mati, ya sudah kalau begitu, cepat mandi lah, aku berada di ruangan yang sama denganmu, jadi tidak perlu takut." suruh Chandra meminta istrinya agar segera membersihkan tubuh. Tidak ada pilihan lain, pengalaman pertama pun Nadira alami, mandi di situasi yang sangat gelap, bahkan untuk mencari sebuah gayung pun ia harus meraba-raba, dan beberapa menit kemudian akhirnya ritual mandi Nadira pun selesai. Chandra mencari sebuah piyama milik sang nenek, lalu setelah itu ia mengantarkan piyama tersebut ke ka
"Kita mau kerja apa Mas, di tempat seperti ini?" tanya Nadira, setelah bertahan hidup beberapa hari di desa kecil itu. "Aku juga lagi memikirkannya, Nadira. Pekerjaan apa yang harus kita lakukan di desa seperti ini, kecuali menjadi buruh di sawah dan di kebun, tapi dengan keadaan ku seperti ini, apa mungkin ada yang mau mempekerjakan aku," lirih Chandra ragu, ia nampak memperhatikan lengannya yang terkulai lemah. "Mas, jangan pesimis gitu, kita akan mengangkat beban ini bersama-sama, jadi jangan kamu pikirkan ini terlalu serius, kalau gitu, gimana kalau kita ke tetangga sebelah, nyari lowongan pekerjaan?" tawar Nadira, mencoba untuk memberikan semangat pada suaminya. "Ya sudah, ayo." jawab Chandra patuh, ia tidak mungkin membiarkan Nadira terpuruk seperti itu lama-lama, karena setiap harinya mereka tetap membutuhkan makan dan kebutuhan lainnya. Langkah kaki Chandra dan Nadira berhenti di sebuah rumah yang berada tidak jauh dari tempat tinggal mereka saat ini, dia adalah pak Wahyu,
"Alhamdulillah pak, bu, operasinya berjalan dengan lancar meski tadi ada sedikit kendala karena ibu Nadira mengalami pendarahan tapi kami berhasil mengatasinya," ucao sang dokter."Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak, dok. Terima kasih banyak atas kerja keras dokter semuanya yang sudah menangani operasi ini," ucap Wildan.Hatinya merasa sangat lega mendengar bahwa Nadira baik-baik saja. Begitu juga dengan Hesti dan juga Roy yang kini terlihat sedikit semringah."Lalu apa kita boleh melihat mereka, sok?" tanya Wildan yang sudah tak sabar untuk melihat Nadira."Emmm untuk saat ini sebaiknya jangan dijenguk dulu, ya. Kami akan memindahkan mereka ke ruangan perawatan dan nanti di sana kalian baru bisa menjenguknya," ucap sang dokter."Baik kalau begitu, dok. Sekali lagi terima kasih banyak." Roy menjabat tangan sang dokter begitupun dengan Wildan."Baik Pak sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu." Sang dokter pun kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.Tak lama
Nadira telah tiba di rumah sakit dan tengah bersiap untuk melakukan operasi. Ditemani oleh Hesti dan Roy, Nadira duduk di sebuah kursi tunggu menanti jadwal operasi yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi."Wildan nggak ikut ke sini, Nadira?" tanya Roy pada Nadira.Seketika lamunan Nadira pun buyar mendengar pertanyaan dari Roy saat itu."Iya Nadira, nak Wildan kok nggak ikut menemani kamu di sini. Apa jangan-jangan dia marah karena kamu akan mendonorkan ginjal mu untuk Chandra?" tanya Hesti.Nadira pun segera meraih tangan Hesti yang saat itu berada di pangkuannya. Nadira mencoba menenangkan dan meluruskan pikiran Hesti yang sempat berpikir jauh tentang Wildan."Nggak begitu, Bu. Mas Wildan sama sekali nggak marah kok. Tadi dia bilang sedang ada urusan sebentar dan nanti dia akan kembali ke sini setelah urusannya selesai.""Kamu yakin dia tidak marah? Ibu takut dia marah. Ibu sudah sangat berhutang budi padanya. Ibu tidak ingin membuat nak Wildan kecewa," ucap Hesti."Nggak kok, Bu.
"Apa kamu serius mau mendonorkan ginjalmu pada Chandra?" tanya Hesti pada Nadira dengan kedua mata yang masih berkaca-kaca.Nadira pun mengangguk pelan. Sekilas Nadira melirik ke arah Wildan meski ia tak memberikan respon apapun."Baiklah kalau memang sudah ada pendonornya maka operasi untuk pak Chandra akan segera kami siapkan," ucap dokter yang menangani Chandra.Tak lama dokter dan perawat yang menangani Chandra pun lantas pergi meninggalkan mereka."Bu, mas Roy, aku tinggal sebentar ya. Aku mau bicara dulu dengan mas Wildan," ucap Nadira berpamitan.Setelah Hesti dan Roy mengizinkan, Nadira pun langsung berjalan menjauhi mereka bersama dengan Wildan.Sesaat Nadira masih terdiam dan belum mampu mengatakan sepatah kata apapun pada Wildan begitupun dengan Wildan yang masih terdiam.Perlahan Nadira memberanikan dirinya menggapai tangan Wildan. Kedua matanya mencoba menatap pada Wildan yang berdiri di depannya."Mas, aku mau minta izin padamu untuk mendonorkan satu ginjal ku pada mas C
Akhirnya Wildan pun keluar dan langsung disambut oleh Nadira dan juga Hesti yang sudah cukup lama menunggu di depan ruangan Chandra."Emmm M-mas, kamu sudah selesai?" tanya Nadira yang sedikit melirik ke arah Chandra dari pintu yang belum ditutup dengan sempurna oleh Wildan.Nadira merasa cukup lega saat melihat Chandra yang baik-baik dan masih duduk di atas ranjang.Meski sebenarnya Nadira tak ingin berprasangka buruk pada Wildan, tapi rasa khawatir dan cemas terus saja membelenggu di dalam hatinya saat Wildan dan Chandra berada di dalam satu ruangan yang sama."Iya aku sudah selesai. Emmm terima kasih karena kalian sudah mengizinkan aku berbicara berdua dengan Chandra," ucap Wildan."Iya santai saja, Wildan." Roy langsung menanggapi ucapan Wildan saat itu." Oh iya, Nadira, kita pulang sekarang yuk," ajak Wildan."Emmm t-tapi, Mas ...." Nadira menghentikan sejenak ucapannya."Nggak mungkin aku nolak ajakan mas Wildan pun pulang. Nanti yang ada mas Wildan malah berpikir bahwa aku leb
Chandra dan Nadira pun masuk ke dalam ruangan Chandra dan melihatnya yang tengah duduk di atas ranjang.Seketika Chandra pun menoleh ke arah Nadira dan Chandra yang mulai mendekatinya."Bagaimana kabarmu, Chandra?" tanya Wildan pada Chandra."Emmmm k-kabarku baik," jawab Chandra terbata.Ia masih tak percaya melihat kedatangan Chandra yang tiba-tiba apalagi ia datang bersama dengan Nadira.Mata Chandra pun sedikit melirik ke arah tangan Nadira yang tampak menggandeng tangan Wildan."Syukurlah kalau begitu. Aku sempat terkejut mengetahui keadaanmu yang cukup parah begini. Maaf ya karena aku baru bisa menjenguk mu," ucap Wildan lagi."I-iya, tidak apa-apa, kok. Tapi kenapa kamu datang ke sini? Apa kamu tidak bekerja?" tanya Chandra."Aku meliburkan diri untuk hari ini karena aku ingin menjenguk mu."Tak akan Wilda pun melepaskan pegangan tangan Nadira dan menoleh ke arah Nadira."Apa bisa aku bicara berdua saja dengan Chandra?" tanya Wildan pada Nadira."T-tapi, Mas." Nadira yang takut
"Sekali lagi aku tanya padamu, Nadira! Apa kamu masih mencintai Chandra?" tanya Wildan dengan nada suara bergetar.Nadira hanya bisa tertunduk di hadapan Wildan. Tangannya gemetaran dan kedua matanya berkaca-kaca.Perlahan butiran kristal dari kedua mata Nadira jatuh membasahi pipinya. "Aku minta maaf mas jika aku sudah membuatmu marah tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku ini padamu.""Jadi maksud mu?" tanya Wildan cepat."Aku memang masih mencintai mas Wildan tapi aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan kembali dengan mas Wildan. Aku tahu ini sangat menyakiti dirimu tapi asal kamu tahu, aku tidak pernah berniat untuk kembali dengan mas Chandra."Nadira meraih tangan Wildan perlahan. Tampak tak ada perlawanan dari Wildan saat itu. Tangan kekar Wildan kini ada digenggaman Nadira. Perlahan Nadia mengangkat tangan Wildan dan menariknya hingga ke dalam dadanya."Aku pastikan bahwa aku tidak akan kembali pada mas Chandra, Mas. Tolong kamu percaya padaku. Ini sem
Di dalam kamarnya, Nadira terus memandangi hasil tes miliknya yang ternyata cocok untuk didonorkan pada Chandra."Bagaimana caranya aku membujuk mas Chandra agar mau menerima donor dariku, ya. Aku ingin mas Chandra segera sembuh," batin Nadira.Nadira sangat terkejut saat tiba-tiba Wildan memanggilnya dari luar kamarnya. Terdengar suara ketukan pintu kamarnya beberapa kali."Nadira, apa kamu sudah tidur?" tanya Wildan sembari mengetuk pintu kamar Nadira yang masih belum terbuka.Dengan cepat, Nadira pun bangkit dari duduknya dan segera menyembunyikan hasil tes yang sedari tadi ia pandangi.Rasa paniknya saat itu membuat Nadira tak bisa berpikir dengan jernih. Ia menindih surat hasil tesnya dengan menggunakan bantal dan berharap agar Wildan tak melihatnya.Setelah menutup aurat itu dengan banyak, Nadira pun kemudian menghampiri pintu dan membukanya perlahan.Terpampang dengan jelas wajah tampan Wildan yang saat itu masih sedikit basah seperti habis mandi. Rambutnya masih acak-acakan da
Keesokannya Nadira kembali ke rumah sakit untuk menemui Chandra. Kali ini Wilda menemaninya hingga masuk ke dalam dan bertemu dengan Hesti dan Roy."Nadira," ucap Hesti menyambut kedatangan Nadira dengan senyum di wajahnya."Bu, Mas. Ini aku bawakan kalian makanan, kalian makan dulu, ya. Pasti kalian belum makan, kan," ucap Nadira.Tiba-tiba Hesti memeluk erat tubuh Nadira hingga membuatnya sedikit bingung."Terima kasih, ya, Nadira. Kamu sangat baik pada kamu. Aku benar-benar merasa bersalah padamu karena sudah selalu berbuat jahat padamu, dulu," ucap Hesti.Perlahan Nadira pun mengusap pundak Hesti dengan sangat lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Sudah ibu tidak usah pikirkan hal itu lagi, ya. Lebih baik sekarang ibu dan mas Roy makan supaya kalian tidak sakit," ucap Nadira.Hesti dan Roy pun tersenyum semringah pada Nadira namun tidak dengan Wildan yang hanya termenung menatap mereka dengan tatapan yang sedikit sendu."Sepertinya mereka berdua sudah akur. Apa ini adalah pertanda bahwa Nad
Wildan menatap kosong Nadira yang tengah mencoba baju pengantin yang telah mereka pesan sejak jauh-jauh hari.Kini Wildan merasakan sesuatu yang berbeda melihat ekspresi di wajah Nadira yang tampak tak begitu bersemangat."Nadira, apa benar dugaan ku selama ini bahwa kamu masih mencintai Chandra?" batin Wildan bertanya-tanya.Pertanyaan semacam itu terus saja bermain di kepalanya meski ia berkali-kali berusaha menghilangkannya tapi tetap tak bisa.Nadira yang tengah mencoba gaun pernikahannya pun tak sengaja melihat Wildan yang sedang melamun."Mas Wildan kenapa ya, kok dari tadi melamun terus?" tanya Nadia pada dirinya sendiri.Ia pun kemudian memberanikan dirinya untuk mendekati Wildan. Mas," ucap Nadira pelan.Wildan pun terperanjat mendengar suara Nadira saat itu. Ia langsung menoleh ke arah Nadira yang saat itu telah berdiri di hadapannya."Kamu kenapa kok dari tadi aku lihat melamun terus. Apa kamu sedang ada masalah? Atau kamu tidak enak badan?" tanya Nadira memegang lengan tang