Tendangan demi tendangan terus dilayangkan oleh dua orang wanita, mereka terus menghantam seluruh tubuh Hana. Wanita itu berkali-kali meminta ampun. Namun, bukannya berhenti, tendangan dan injakan itu justru semakin brutal menyakiti tubuhnya.
Seluruh tubuh Hana benar-benar terasa sakit. Darah segar berkali keluar dari mulutnya. Namun, mereka malah tertawa dengan keras melihat Hana yang terlihat lemah tak punya daya untuk melawan.
Salah satu dari dua wanita itu menjambak rambut Hana lalu dengan sekuat tenaga menyeretnya. Perih, seluruh tubuh Hana terasa menyakitkan.
"Bu ... am-ampun, Bu ...," ujar Hana terbata-bata, telinga dan kepalanya sakit karena beberapa tendangan yang berhasil mengenai kepalanya.
"Apa? Aku tak bisa mendengar suaramu." Wanita di sebelahnya tertawa.
Dua wanita itu menyeret Hana ke hadapan sebuah lubang yang telah digali sebelumnya. Hana menggeleng dengan kuat saat menyadari apa yang akan terjadi padanya selanjutnya.
"Ti-tidak, Bu ... jangan kubur aku!"
"Kenapa? Tempat terbaik untukmu ada di balik tanah ini, bukan di rumahku!" desis Lilis, wanita yang ia kenal sebagai adik iparnya. Hana menggeleng lalu menangkup tangan Lilis dengan pandangan penuh permohonan.
Lilis menarik tangannya, mengibas dengan jijik kemudian melirik pada sang ibu agar segera menyingkirkan Hana yang sudah babak belur tak berdaya.
"Kami sudah muak melihatmu, perempuan tak tahu diuntung! Aku sangat menyesal karena sudah merestui putraku untuk menikah denganmu. Dasar jalang mata duitan!" kata Risma--ibu mertua Hana--sambil menarik rambut sang menantu lalu mendorongnya sampai tersungkur ke tanah hutan yang lembab itu.
Hana menitikkan air mata. Tangan dan seluruh tubuhnya gemetar ketakutan memikirkan kematian yang sebentar lagi akan merenggut nyawanya.
Sejak awal, Hadi lah yang kekeuh ingin menikahinya, dia sama sekali tidak pernah mengincar harta pria itu. Hana sudah berkali-kali memutuskan hubungannya dengan Hadi. Namun, pria itu malah mengancam akan bunuh diri jika sang ibu masih tidak merestui, dengan berat hati, Bu Risma pun memberikan restu pada anaknya.
Dua tahun usia pernikahan mereka, bukan kebahagiaan yang Hana dapatkan. Namun, penindasan dari mertua dan ipar. Hadi tidak pernah tahu penderitaan sang istri selama ini, Risma dan Lilis terlalu pandai berakting di hadapan pria itu, seolah mereka adalah mertua dan ipar berhati malaikat.
Lalu sekarang, apa lagi kesalahannya hingga ia yang harus dikorbankan sampai separah ini?
Hana bangkit tertatih. Ia memandang Risma yang menatapnya dengan penuh kebencian. Lalu beralih ke Lilis yang fokus pada kamera, perempuan itu sedang merekam keadaan dirinya.
"Bu, Lis, a-apa salahku pada kalian kali ini?" tanya Hana penuh keberanian, tubuhnya yang setengah remuk dipaksa untuk berdiri.
"Kau ini wanita menjijikan!" Bu Risma menatap sinis. "Apa bagusnya anak yatim dan miskin sepertimu sampai Hadi begitu tergila-gila bahkan berani melawan perintah orang tuanya?"
"Kalau ibu mau begitu, aku akan meninggalkan Mas Hadi," kata Hana dengan tubuh gemetar menahan sakit akibat penyiksaan dua orang itu. Bukannya peduli, ibu dan anak itu malah tertawa dengan keras.
Lilis langsung menendang pangkal lutut Hana sehingga perempuan itu tersungkur ke tanah. Wanita itu merintih kesakitan dan menangis pilu dengan apa yang sudah keluarga suaminya lakukan.
"Jangan berharap bisa lolos dari sini, lebih baik kau pergi saja ke neraka!" Lilis semakin murka. Setiap kali melihat wajah Hana, hatinya selalu sakit.
Masih hangat dalam ingatan Lilis bagaimana marahnya Surya kepadanya tempo hari ketika Lilis dengan sengaja menumpahkan air panas dan berhasil melukai punggung tangan Hana. Gadis itu marah karena Surya lagi-lagi selalu membela Hana.
Apalagi ketika dia mengetahui fakta kalau sang kekasih diam-diam menaruh hati pada istri kakaknya. Lilis yang dimabuk cinta langsung patah hati sekaligus murka. Lilis bersumpah akan membunuh Hana tanpa ampun.
"Kau mengguna-guna Mas Hadi dan Surya. Iya ... dasar murahan! Seharusnya dari awal aku sudah membunuhmu, kaulah yang merusak semuanya! Kau wanita iblis! Anak haram!"
Lontaran kalimat penuh hinaan dilayangkan pada Hana, perempuan itu menahan sakit di hatinya. Jadi, karena alasan itulah dia harus menerima penyiksaan sekeji ini? Percuma saja berteriak meminta tolong. Ibu mertua dan iparnya membawa Hana ke tengah hutan angker yang jauh dari pedesaan, mustahil untuknya melarikan diri.
Kebencian Lilis pada Hana sudah berakar sejak lama. Hana yang selalu lebih unggul dari Lilis dalam segala bidang hal itu menyebabkan kecemburuan di hatinya. Lama-kelamaan dendam dalam hati Lilis tumbuh semakin subur. Dia ingin Hana mati, ditambah perkataan para tetangga yang selalu membandingkannya dengan Hana.
Banyak orang yang menyukai Hana, dia termasuk seorang istri dan perempuan yang ramah. Terkecuali Bu Risma dan Lilis. Karena itulah dia menuduh Hana memakai guna-guna sehingga Surya dan Hadi jatuh hati padanya.
"Seharusnya sejak awal kau tak masuk di keluarga kami, Hana!" Ibu mertuanya menambahi.
Air mata berjatuhan membasahi wajah penuh lebam Hana. Hatinya terbakar amarah dan benar-benar sakit karena diperlakukan secara keji oleh dua wanita berhati setan di hadapannya.
"Aku akan meminta bayaran atas semua yang kuterima ini." Hana berjanji dalam hati. Dia menatap tajam ibu mertua dan iparnya.
Hama berjanji akan meminta bayaran atas semua yang sudah dilakukan oleh mertua dan iparnya. Bahkan meski dia harus bersekutu dengan iblis sekali pun.
"Kenapa menatapku begitu? Berharap bisa kembali pulang dan memeluk Mas Hadi?" Lilis menginjak kepala Hana dengan kuat.
"Sudahlah!" Bu Risma memberi kode agar segera mengakhiri siksaan ini. "Awan, kubur dia hidup-hidup sekarang!"
Bu Risma menyuruh pria bertubuh kekar yang merupakan orang kepercayaannya untuk segera menyingkirkan Hana. Lilis mundur, membiarkan pria itu melempar tubuh Hana ke dalam galian tanah. Hana berontak. Namun, kekuatannya tidak sebanding, terlebih perempuan itu sudah benar-benar kehilangan tenaga akibat penyiksaan yang dilakukan oleh ibu mertua dan iparnya.
Hana menatap lesu, pandangan semakin kabur, tubuhnya penuh luka dan lebam. Ibu tiri dan iparnya terkekeh sinis menantikan detik-detik kematian Hana. Tidak ada sedikit pun sisi kemanusiaan dari dua wanita itu, seolah mereka sudah menantikan kematian Hana sejak lama.
"Bagaimana kalau ada yang tahu Hana dikuburkan di sini?" tanya Lilis pada sang ibu.
"Tenang saja, hutan ini terkenal angker, tak ada satu pun orang yang berani mendatangi hutan ini. Mayat wanita itu tidak akan ditemukan."
Lilis tersenyum puas mendengar penjelasan ibunya. Tatapannya kembali tertuju pada Hana yang kini terkapar tanpa daya di dalam lubang kuburan.
Gunawan--atau yang biasa dipanggil Awan--mencangkul tanah di sisi lubang kuburan, tanah itu menimbun tubuh Hana yang sudah kehilangan separuh kesadaran. Bayang-bayang penyiksaan Lilis dan bu Risma menari-nari dalam kepalanya, membuat dendam di hati Hana semakin memuncak.
Hana benar-benar sudah pasrah dengan hidupnya, tidak ada lagi yang tersisa. Pandangannya gelap dan sesak, tanah itu mengubur tubuhnya semakin dalam. Ingin keluar pun tak ada daya, hingga napas terakhirnya, Hana akan terus mengingat kejadian itu.
"Awan, kau harus memastikan untuk tutup mulut. Tidak boleh ada siapa pun yang mengetahui kejadian ini selain kita."
Bu Risma mulai membuat peringatan pada kaki tangannya, pria itu hanya mengangguk dengan kepala sedikit merunduk, sebenarnya dia kasihan melihat istri majikannya dihajar habis-habisan oleh dua wanita itu, tapi apa daya, dia sendiri tidak berani untuk melerai karena dia tahu seperti apa sifat Bu Risma jika sudah murka.
"Upahmu akan kutambahkan. Jadi, tutuplah mulutmu selamanya tentang kematian Hana, jangan biarkan siapa pun tahu apalagi Hadi."
"Baik, Bu. Saya mengerti."
Setelah merasa puas dan memastikan kalau Hana benar-benar sudah mati, Bu Risma langsung beranjak dari sana.
"Ayo kita pergi. Biar dia mati dan tubuhnya dimakan binatang buas di hutan ini."
Awan tak berani membantah. Lilis pun mempercayai semua yang dikatakan dan dilakukan ibunya. Ketiga orang tersebut memasuki mobil yang terparkir di sisi jalan dekat hutan, mobil itu melaju meninggalkan tubuh Hana yang terkubur di dalam tanah seorang diri.
Sudah seminggu Hana menghilang. Hadi mencarinya, ia mengerahkan tim pencari untuk menelusuri seluruh desa juga membayar beberapa warga untuk turut membantu.Beberapa kali salah satu pekerjanya melaporkan hasil yang nihil, Hadi semakin dibuat cemas berlebihan. Tapi, diatidak mau menyerah."Hadi, sudahlah, Nak. Mau sampai kapan kamu terus seperti ini?" tanya Bu Risma, kakinya terus mengikuti ke mana pun Hadi melangkah.Bu Risma berkali-kali meminta anaknya untuk menghentikan pencarian tersebut. Risma cemas dengan keadaan sang anak yang sekarang benar-benar memprihatinkan, Hadi seolah tidak peduli dengan kesehatannya, yang dia pikirkan Hanyalah keadaan Hana sang istri, Risma kesal karena anaknya tidak pernah menyerah pada menantu yang dibencinya itu."Jangan suka memaksakan diri seperti ini, Hadi. Kamu juga harus memperhatikan kondisimu
Hilangnya Hana masih menjadi misteri. Banyak pihak yang mendesak Hadi untuk mengikhlaskan ketiadaannya. Hidupnya berantakan setelah ditinggal pergi wanita itu. Satu-satunya penyemangat hidup yang dia miliki.Sungguh, Hadi bingung mana yang harus dia percayai. Sudah hampir sebulan Hana menghilang. Suami Sari pun belum juga kembali. Ini semakin menguatkan fitnah Sari bahwa Hana memang dibawa lari oleh suaminya. Risma pun terus mencecar anaknya bahwa Hana bukanlah menantu dan istri yang baik."Hadi, kamu baik-baik saja, Nak?"Risma berseru dari luar kamar, beliau hendak menyuruh anaknya untuk makan. Sejak Hana menghilang, pria itu benar-benar tidak terurus, dia lebih sering melamun, malas bekerja, bahkan kurang menjaga kesehatan.Hal itu membuat Risma kesal, seandainya dia membunuh Hana lebih awal, mungkin anaknya tidak akan menderita seperti ini. Sebagai ibu yang mencintai anaknya, dia tak rela anaknya
"Kang, akhirnya pulang."Susi langsung tersenyum semringah ketika melihat Awan pulang ke rumah. Wanita itu sedang menyiapkan makan malam, menu makanan mereka tidak lagi telor ceplok dan sayur bening, setelah Gunawan menjadi tangan kanan Bu Risma, kehidupan ekonomi pasangan suami istri itu lumayan membaik.Mareka tidak lagi harus berhutang ke warung demi seliter beras untuk makan setiap hari. Rumah yang dulunya berdinding anyaman bambu jauh dari kata layak pun pelan-pelan berubah menjadi rumah gedongan."Apa kata Bu Risma, Kang? Apa yang beliau katakan?" Susi langsung menghujani suaminya dengan banyak pertanyaan.Awan memilih untuk duduk di sofa terlebih dahulu, sebenarnya hatinya sedikit cemas. Antara takut ketahuan oleh warga dan juga rasa bersalah karena sudah ikut andil dalam pembunuhan istri majikannya. 
"Rumah milik Mas Hadi yang di kota buat aku saja. Aku sama mas Surya kan tidak lama lagi akan menikah." Lilis berkata santai seolah tanpa beban. "Lagipula rumah itu tidak jadi dihuni, kan? Mbak Hana juga gak kunjung ditemukan." Hadi yang saat itu hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan jarum infus menusuk punggung tangan tidak punya daya untuk sekadar menjawab. Dia bahkan tidak memikirkan harta benda milik Hana yang perlahan dialih tangankan. Keadaan Hadi saat ini cukup mengkhawatirkan. Tubuhnya yang dulu berisi dan gagah--tipikal idola kaum hawa--langsung berubah menjadi kurus. Pipinya semakin tirus, Hadi seolah kehilangan dirinya sendiri. Dia linglung bahkan jarang menjawab setiap kali diajak ibunya bicara. Pria itu sering menjerit seperti kesetanan, berkali-kali Lilis dan Risma berusaha menenangkan. Namun, selalu berakhir dengan pria itu yang mengamuk. Risma pun terpaksa meminta bantuan dukun ke
Hadi berbaring di ranjang rumah sakit. Jarum infus menjadi teman di dalamnya saat ini. Sejak sakit bayang-bayang Hana selalu muncul, penyesalan terbesarnya setahun lalu di tempat ini.Saat itu, Hadi sempat memekik memanggil nama Hana sebelum akhirnya tubuh sang istri-benar jatuh menghantam lantai. Dia tidak sempat menyambutnya karena Hadi juga agak kaget melihat darah mengalir di sepanjang kaki istrinya."Pasien sebelumnya mengalami pendarahan hebat. Saya menebak, pasien pernah mengalami hal ini, kan? Karena dari hasil USG yang kami tadi, janin dalam kandungannya tidak berkembang dengan baik. U
"Belum, Lis. Aku belum mati."Lilis terbelalak. Dia berteriak seraya mundur menjauh, gadis itu masih tidak percaya dengan sosok yang berada di hadapannya. Bagaimana mungkin Hana masih hidup?"Pergi kau, pergi! Kau sudah mati!" Lilis berusaha menyadarkan diri.Sosok Hana terus mendekat, akhirnya mereka berdua saling berhadapan. "Lilis... aku masih hidup."
Risma terus mondar-mandir di ruang tengah, hatinya dilingkupi kecemasan. Bagaimana dia tidak cemas, malam itu Lilis pulang dengan keadaan mengenaskan, tubuhnya gemetar hebat, kepalanya berdarah, dia jatuh pingsan begitu keluar dari mobil. Risma langsung memekik melihat kejadian itu.Esok harinya Lilis terbangun dengan sorot mata ketakutan. Entah apa yang telah gadis itu lihat sampai begitu histeris. Risma sampai pusing mendengar teriakannya. Seolah-olah gadis itu baru saja melihat hantu."Bu, bagaimana ini. Hana masih hidup, Bu. Dia akan datang ke rumah ini. Tamatlah kita!" Lilis yang tengah duduk di sofa kembali gemetar, dia panik, sang ibu berusaha untuk menenangkan."Sudahlah, ini pasti cuma halusinasi kamu. Ibu kan udah bilang wanita itu sudah mati!""Tapi aku melihatnya, Bu." Lilis tetap ngotot. "Dia mencekik leherku kemudian membantingku ke tanah. Lihat ini." Lilis memperlihatkan bekas merah di
"Han-Hana ...."Tubuh Risma langsung gemetar melihat sosok yang ada di depannya. Wanita itu masih tidak percaya kalau yang berada di hadapannya saat ini adalah Hana.Dia bisa melihat sorot kebencian dari mata coklat keemasan itu, sorot dendam yang berkilat seolah ingin menghabisi ipar dan mertuanya. Dia bukan lagi Hana yang mereka kenal, wanita lemah itu sudah berubah menjadi begitu kuat sekarang."Apa yang kau lakukan di sini? Setelah berselingkuh dari Hadi, kau masih berani menginjakkan kaki di desa ini?!" tantang Bu Risma mencoba berani. Dia yakin Hana yang ada di depannya masihlah sesosok manusia. "Dasar wanita tak tahu malu!"Ah, bahkan ibu mertuanya masih saja belum berubah. Kasar dan arogan. Apakah Risma tidak takut tulangnya dipatahkan menjadi dua bagian oleh Hana?"Ini desa kelahiranku, Bu. Aku bisa pulang kapan saja." Hana menjawab dengan tenang."Pezina sepertimu tidak diterima di desa ini. Kembalikan suamiku, dasar wa
"Sebaiknya kau mati saja sejak dulu.""Hentikan! Semua bukan salahmu!""Aku akan membalas rasa sakit yang kurasakan selama ini."Hadi langsung terlonjak dari tidurnya ketika mimpi buruk itu kembali datang. Napasnya memburu. Rasanya seperti habis berlari puluhan kilo.Dua tahun sudah berlalu, tapi mimpi-mimpi buruk itu masih selalu mengganggunya setiap malam.Mimpinya selalu sama; sosok bertudung di tengah-tengah hutan, kobaran api yang entah berasal dari mana, serta suara-suara menakutkan yang bergema di alam bawah sadarnya. Ini bukan pertama kalinya Hadi bermimpi demikian, rasanya seperti kenyataan. Tempatnya pun sangat tidak asing, dia familiar. Namun, dia tidak ingat. Setiap kali Hadi berusaha mengingat, kepalanya selalu sakit.Keringat dingin membasahi pelipis, Hadi menghela napas dan melihat jam dinding baru menunjukkan pukul dua dini hari. Padahal dia baru tidur pukul sebelas malam."Sial, aku tak bisa tidur lagi." Hadi mengacak rambut frustrasi.Setiap kali Hadi terbangun di t
Perempuan bernama Ratna itu masih memperhatikan Hadi, seolah tengah menunggu jawaban. ''Bagaimana menurutmu?"Hadi sampai bingung harus menjawab apa. Mereka baru saja berkenalan beberapa saat yang lalu dan Ratna tiba-tiba saja mengajaknya menikah.Dia jelas belum tahu seperti apa sifat asli wanita itu, mana mungkin Hadi langsung menerima begitu saja. Secara fisik mungkin dia memang cantik, tapi Hadi bukanlah pria yang meletakkan fisik di atas segalanya."Bagaimana?" tanya Ratna lagi diiringi senyum manisnya, dia menatap Hadi dengan serius."Ah, saya ...." Hadi bingung sendiri. "Maaf, sepertinya ini terlalu cepat. Jujur saja, saya belum memikirkan soal pernikahan. Saya bersedia dikenalkan denganmu demi menghargai sahabat saya tentunya."Mendengar jawaban Hadi yang langsung to the point, Ratna hanya terkekeh, dia mengerti kalau pria itu sedang tak siap memberinya jawaban.''Jadi, maksudmu pertemuan ini atas dasar rasa iba pada sahabatmu, dan kamu tidak bermaksud untuk memperpanjang ke
"Siapa di sana?"Hadi semakin mendekat, dia berusaha memeriksa siapa perempuan yang tengah bersembunyi di balik pohon itu. Dia hanya bisa melihatnya dari luar hutan karena tidak memungkinkan jika dia harus masuk ke dalam sana.Perempuan bertudung merah itu sempat memperhatikan Hadi. Namun, dia cepat-cepat bersembunyi. Seolah tak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, termasuk oleh pria itu."Apakah Anda tersesat di hutan ini? Mau saya bantu untuk keluar?" Hening, tak ada jawaban.Hadi malah menawarkan bantuan. Padahal dia tidak yakin orang yang bersembunyi di hutan tersebut adalah manusia, bisa saja dia manusia jadi-jadian bukan orang betulan."Jangan ke mana-mana, aku akan mengeluarkanmu dari sana!"Pandangan Hadi berkeliling memindai. Entah mengapa dia merasa orang yang berada di balik pohon itu tengah menantikan bantuannya. Hadi menatap semak-semak yang bergerak-gerak lalu terdiam kala ditatapnya. Pikirannya memerintah agar dia tak maju, tetapi kakinya begitu saja melangka
Dua tahun kemudian.Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan sebuah rumah besar bergaya eropa. Sang empunya turun dari mobil seraya memperbaiki penampilam sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.Rumah tersebut ramai oleh warga desa dan juga orang-orang penting. Hari ini sang tuan rumah tengah mengadakan pesta yang meriah sebagai bentuk syukuran atas kesuksesannya mendirikan sebuah sekolah di desa Cileuwi.Semua warga bebas makan sepuasnya dan menikmati pertunjukan musik yang tampil di acara tersebut. Semuanya larut dalam kebahagiaan."Wah, ada kepala sekolah baru. Apa kabar, Pak?" Surya dengan nada meledek langsung mendekati Hadi yang saat itu tengah berdiri di tengah-tengah keramaian, menyapa semua tamu yang hadir.Kedua sahabat itu saling berpelukan, Surya mengucapkan selamat. Keduanya berangkulan erat, setelah dua tahun melalui masa-masa sulit, mereka akhirnya bertemu juga di puncak kejayaan.Hadi tersenyum jenaka. Usai tragedi kelam hari itu, Hadi seolah memulai kehidupan
Hadi baru terbangun saat pagi menjelang dengan tubuh lelah luar biasa. Setelah tubuhnya diobati oleh Hana dia pingsan selama dua hari, Hadi sempat bertanya-tanya apa yang sudah terjadi di rumah tersebut, dan kenapa kepalanya sakit.Surya tidak banyak kata, Hana benar-benar sudah mengambil separuh ingatan Hadi. Pria itu tak bisa mengingat istrinya sama sekali.Meskipun begitu, Hadi selalu merasa ada yang hilang dalam dirinya. Tapi, entah apa itu, dia benar-benar tak bisa mengingat Hana. Tiba-tiba ada rasa sesak dalam hatinya, tetapi Hadi sendiri tak tahu mengapa.Hadi memandang Surya, dan Diana yang tengah berada di hadapannya. Meja bertaplak putih itu dipenuhi makanan. Mereka tengah merayakan kesembuhan Hadi.Dari semua kegembiraan itu, entah mengapa hatinya terasa kosong. Sangat kosong dan Hadi tak tahu apa penyebabnya. Lalu, sekarang hatinya tiba-tiba sakit juga cemas. Namun, dia sendiri tak tahu siapa atau apa yang dicemaskannya. Surya menoleh dan melihat sahabatnya tampak seperti
"Mas Hadi, kamu di mana?" Hana kembali ke hutan, dan terkejut saat tak mendapati seorang pun di sana. Tubuh Hadi yang semula tergeletak di antara puing-puing kekacauan itu pun menghilang, Hana jadi cemas, ke mana pria itu pergi?Nyai Ningrum juga tak berada di sana lagi, Hana jadi cemas, apakah Nyai membawa pergi suaminya? Tidak mungkin."Mas Hadi! Kamu ke mana, Mas?"Mustahil rasanya kalau Hadi pergi begitu saja dari dalam hutan, keadaannya saja sudah sangat lemah dan memprihatinkan. Hadi harus segera diobati sebelum kekuatan dari Nyai Dasimah semakin menggerogoti tubuhnya dari dalam.Hana keluar dari dalam hutan, dia bergegas kembali ke rumah pria itu untuk memeriksa, mungkin Hadi dibawa pulang oleh seseorang."Mas Hadi, bertahanlah. Kau akan hidup kembali!" katanya di tengah kecemasan yang melanda.Sementara itu, Surya dan Diana sibuk mengobati luka di tubuh Hadi, baju Hadi yang basah oleh darah segera dibersihkan, Surya terkejut saat melihat bekas terbakar lumayan besar di dadany
"Minggir kau!"Risma membunyikan klakson berkali-kali, menyuruh Hana untuk minggir dari jalan. Namun, bukannya minggir, Hana malah semakin mendekat menuju mobil Risma.Ada rasa ketakutan yang menjalar saat Hana semakin mendekati mobilnya. Mata perempuan itu memancarkan kemarahan, Risma yakin sekali kalau Hana akan membunuhnya tanpa ampun."Kau telah membunuh anakku!" kata Risma mengamuk. "Semua ini salahmu, Hadi meninggal karenamu!"Hana justru tidak mengerti kenapa semua ini menjadi salahnya? Bukankah seharusnya wanita itu sadar kalau malapetaka yang menimpa keluarganya disebabkan oleh dirinya sendiri, karena keserakahannya.Kenapa semua kesalahan selalu dilemparkan pada Hana yang sudah jelas sejak dulu selalu menjadi korban ketamakan keluarga suaminya? Apakah kehancuran yang sedang terjadi saat ini tidak cukup menyadarkan wanita itu?Risma keluar dari dalam mobil, wanita itu menatap Hana dengan tajam, tangan kanannya menunjuk-nunjuk Hana."Aku akan membunuhmu," katanya. "Kau perempu
Nyai Dasimah menatap tajam Hana yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Pedang tajam itu memercikkan api, seolah siap menghabisi nyawa dukun tua itu kapan saja."Kau iblis!" seru dukun itu pada Hana dengan segala sumpah serapahnya. Hana tertawa mendengar hal itu.Kedua tangannya mengangkat pedang memasang kuda-kuda menyerang. Tanpa menunggu jawaban Nyai Dasimah. Ia lalu berlari menerjang dimana wanita tua itu berada.Penyerangan brutal itu membuat Nyai Dasimah kewalahan menangkis kecepatan geraknya. Sampai kemudian ia merasakan tubuhnya terbakar dari dalam. Nyai Dasimah semakin mundur dengan tubuh gontai. Seolah-olah seluruh organ dalamnya remuk, meski tak ada setetes darah yang keluar dari kulitnya. Namun, seluruh tubuh bagian dalamnya seperti tersayat."Hueekk!"Nyai Dasimah memuntahkan darah segar yang kental. Tidak ada belas kasih yang terpancar dari mata Hana begitu melihat sang dukun berlutut di atas tanah dengan keadaan memprihatinkan."Bagaimana? Kau suka permainkanku?" Hana
Angin kencang tiba-tiba menderu dari arah hutan, pepohonan banyak yang tumbang, putaran angin mengelilingi Hana, matanya berwarna merah seperti darah.Melihat kejadian tersebut, Risma langsung melarikan diri dari sana. Tidak dihiraukannya Hadi yang tergeletak tanpa daya, hanya tersisa Hana dan dukun tua itu di sana sekarang."Kau ...." Nyai Dasimah berdecih. "Beraninya kau menggunakan kekuatan itu."Nyai Dasimah bisa melihat cahaya berpijar dari tubuh Hana, cahaya kehijauan yang menandakan separuh kekuatan sang dewi berada dalam tubuhnya.Nyai Dasimah terus mencemooh Hana, seakan kekuatan perempuan itu tak ada apa-apanya. Hana sendiri bisa merasakan aura ketakutan yang menyusup pada dukun tua tersebut. Kali ini Hana benar-benar tidak bisa diremehkan."Matilah!" Nyai Dasimah melemparkan bola api ke arah Hana, dengan cepat perempuan itu berkelit, serangan tersebut meleset."Mati? Hahaha!" Hana tertawa terbahak-bahak. "Jangan lupa, kita sama-sama jahat. Dalam tubuhmu sendiri tersimpan si