"Kang, akhirnya pulang."
Susi langsung tersenyum semringah ketika melihat Awan pulang ke rumah. Wanita itu sedang menyiapkan makan malam, menu makanan mereka tidak lagi telor ceplok dan sayur bening, setelah Gunawan menjadi tangan kanan Bu Risma, kehidupan ekonomi pasangan suami istri itu lumayan membaik.
Mareka tidak lagi harus berhutang ke warung demi seliter beras untuk makan setiap hari. Rumah yang dulunya berdinding anyaman bambu jauh dari kata layak pun pelan-pelan berubah menjadi rumah gedongan.
"Apa kata Bu Risma, Kang? Apa yang beliau katakan?" Susi langsung menghujani suaminya dengan banyak pertanyaan.
Awan memilih untuk duduk di sofa terlebih dahulu, sebenarnya hatinya sedikit cemas. Antara takut ketahuan oleh warga dan juga rasa bersalah karena sudah ikut andil dalam pembunuhan istri majikannya.
Saat itu Awan tidak punya pilihan, keadaan ekonomi yang sulit mendorongnya untuk menerima tawaran tersebut. Mungkin benar uang bukan segalanya, tapi tanpa uang, mustahil mereka bisa bertahan. Apalagi pekerjaan pria itu yang hanya seorang buruh serabutan. Penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri, hanya cukup untuk makan saja.
"Bu Risma ngasih kita separo dari hasil ladangnya," kata Awan tanpa semangat. "Akang bingung, Si. Apa Akang lapor aja ke polisi, ya?" Pria itu bimbang, dia menatap istrinya mencari keyakinan di sana.
"Akang berani ngelawan Bu Risma? Apa Akang gak takut kalo berani melawan, kita bakalan jadi korban selanjutnya?"
Susi tidak setuju dengan usul suaminya. Dia sudah bisa bernapas lega karena hidup serba berkecukupan. Susi tidak mau kembali jatuh miskin hanya karena tindakan bodoh sang suami. Lagipula mereka tak berani melawan orang-orang di balik keluarga Kusuma yang terkenal kejam itu.
"Kamu gak takut kalo suatu saat si Hana balas dendam sama kita?"
Susi menghela napas, wanita itu sebenarnya tidak percaya dengan hantu. Dia juga kaget ketika suaminya bilang telah membantu Bu Risma menguburkan Hana hidup-hidup. Bahkan sekarang sudah sebulan Hana menghilang, tapi wanita itu tidak juga ditemukan.
Tetangga-tetangga tak ada yang berempati sedikit pun, mereka semua telanjur terhasut oleh kabar buruk tentang Hana yang simpang siur. Semua orang yang dulunya kagum karena kesederhanaannya berbalik membenci bahkan tidak sudi kembali mengingatnya.
"Sudahlah, Kang. Gak usah ikut campur sama keluarga si Hana. Pikirin aja gimana caranya kita bisa terus hidup. Syukur-syukur kalau ada orang baik yang menemukan si Hana di hutan, lalu merawatnya."
Susi berusaha meyakinkan sang suami, siapa pun yang berurusan dengan Bu Risma, jangan berani membela, selain celaka, mereka bisa kehilangan mata pencahariannya. Berurusan dengan orang kaya memang sebuah momok yang paling mematikan.
Hal itu pula yang membuat Susi dan Awan tak berani melaporkan kejadian pembunuhan Hana kepada polisi. Ketika Awan berniat melaporkan kasus itu pada pihak berwajib, utusan keluarga Kusuma datang dan memberi perhitungan dengan mereka.
Di samping letak kampung Cileuwi memang jauh dari kantor polisi, jalanan dan kendaraan yang tidak memadai pun menjadi kendala. Butuh beberapa jam untuk sampai ke kecamatan.
Pada akhirnya, Hana meninggal tanpa mendapat keadilan. Mereka yang takut masa depannya terancam memilih untuk bungkam dan tidak mencari gara-gara dengan keluarga Kusuma.
"Apa menurutmu tindakan kita udah bener, Si?"
"Kang!" Bentakan wanita itu membuat Awan seketika mendongak.
Susi berkacak pinggang sambil memelototi suaminya. "Aku sudah lelah hidup miskin. Kalau akang mau menghadapi Bu Risma, sana pergi sendiri! Tapi kalau Akang kenapa-kenapa jangan bawa-bawa aku!"
Memang, berurusan dengan keluarga Kusuma bukanlah perkara mudah. Apalagi mereka menikmati semua fasilitas yang orang kaya itu beri. Tentu, posisinya sekarang ini pasti akan goyah jika melawan Risma secara langsung.
"Baiklah kalau begitu, Akang tidak akan melakukannya. Akang minta maaf." Awan mengalah dan memilih untuk menyudahi perdebatan.
"Udah, ya. Jangan dipikirin. Susi belum siap kehilangan Akang, si Usman juga baru kelas 2 SD, masa akang mau tega bikin kita hidup melarat lagi?"
Gunawan menyadari hal itu. Benar, mungkin sebaiknya dia tutup mulut saja jika ingin hidup tenang. Lagipula sekarang kehidupannya sudah lebih dari cukup. Dia hanya tidak tega pada Hadi yang sakit keras akibat hilangnya sang istri.
Hana tidaklah seburuk yang orang tuduhkan. Hanya saja, nasibnya memiliki keluarga yang buruk, membuat perempuan itu harus meregang nyawa secara mengenaskan.
***
Pagi itu Lilis tengah bercermin di kamarnya. Dia menatap pantulan dirinya dengan penuh rasa percaya diri. Kulit putih, mata sipit, siapa yang tidak terpesona dengan kecantikan Lilis? Belum lagi dia berasal dari keluarga terpandang di desa Cileuwi.
Kehidupannya membaik. Rencana ibunya benar-benar mengubah suasana hati Lilis, bisa menyingkirkan Hana dari rumah memang merupakan sebuah keberuntungan. Tidak ada lagi yang bisa merebut Surya darinya. Lilis kembali dijuluki sebagai satu-satunya kembang desa.
Selesai menyisir rambut panjangnya dia memasang jepit rambut berbentuk pita berwarna pink muda. Jepit itu dia ambil dari kotak perhiasan milik Hana.
Barang-barang yang berada di kamar Hana sebagian dipindahkan ke kamarnya, perhiasan, baju bagus, sepatu, bahkan semua aksesoris mahal yang dibelikan Hadi semua diambil olehnya. Tak ada yang menghalangi niatnya karena sang kakak jatuh sakit dan tidak sadarkan diri di rumah sakit. Hal itu membuat Lilis leluasa untuk berbuat semaunya.
"Lilis Pridayanti, kamu adalah anak bungsu keluarga Kusuma yang paling cantik. Tidak ada yang bisa mengalahkanmu, bahkan ipar sialan itu." Dia berkata jumawa di depan cermin.
Tidak berapa lama, dia menghidu aroma anyir darah dari dalam kamar. Lilis menutup hidungnya seketika. "Bau apa ini? Apakah ada hewan mati di kamarku?"
Lilis berusaha mencari asal-usul bau amis darah tersebut. Baunya cukup menyengat sampai membuat perutnya bergolak menahan mual yang mendera. Padahal sejak tadi semua tampak baik-baik saja, tidak ada yang aneh dari kamarnya.
Saat Lilis berbalik ke hadapan cermin besar, di sana terdapat bayangan seseorang tengah mematung di sudut kamar. Lilis mengucek matanya demi menjernihkan penglihatan. Saat dia kembali membuka mata, bayangan sosok itu sudah menghilang.
"A-apa itu?" Lilis mulai gugup. "Apakah aku cuma salah lihat?"
Batinnya dilanda rasa takut. Namun, dia berusaha untuk tetap berpikir rasional. Hantu itu tidak ada. Lilis beralasan bahwa dia mungkin hanya salah lihat, menyangka baju yang tergantung di sudut kamar adalah bayangan sesosok manusia.
"Tidak ada apa pun di sini," katanya berani.
Tiba-tiba degub jantung Lilis semakin cepat, ketika tatapannya tertuju ke arah ranjang yang tertutup kain putih. Di bagian tengah, muncul noda merah yang semakin lama semakin melebar.
Bersamaan dengan munculnya noda darah tersebut, tercium bau kapur barus dan bau anyir darah.
Pelan, Lilis melangkah mundur. Matanya masih berfokus pada noda darah di atas ranjang yang semakin melebar saat itu.
Sungguh kejadian aneh yang tidak pernah Lilis lihat sebelumnya, bahkan noda darah itu perlahan mulai meneteskan darah ke arah lantai, hingga menimbulkan genangan darah kecil.
"AAAA!"
Suara teriakan menggema di kamar Lilis, ketika tanpa dia sadari kain putih penutup ranjang itu sudah menyembul ke atas. Seolah di dalam kain lebar dengan noda merah darah itu ada sosok tubuh manusia di baliknya.
"Bu ... Ibuuu!" Lilis menjerit, dia menutupi wajahnya sambil terus menjerit memanggil ibunya.
"Lilis, ada apa, Nak?"
"Bu ... Bu ...." Lilis langsung memeluk Risma, gadis itu gemetar ketakutan. Dia bahkan menangis.
"Apa yang terjadi?"
"Hantu ...." Lilis sesenggukan hingga perkataannya tak jelas. "Di atas kasur ada hantu, Bu. Hantunya penuh darah!"
Risma mengernyit. Dia memindai sekeliling kamar, juga tempat tidur yang ditunjuk oleh Lilis, tidak ada apa pun di sana. Bahkan selimut itu bersih tanpa noda tidak seperti yang Lilis katakan.
"Tak ada apa pun di sini."
Mendem hal itu Lilis langsung mendongak, dia melirik ke arah ranjang. Ibunya benar, tidak ada apa pun di sana, tapi yang tadi dia lihat seperti kenyataan. "Bu. Apa mungkin Hana menjadi hantu dan mau membalaskan dendamnya pada kita?
"Lis, jangan sembarangan bicara. Jangan sampai orang lain tahu apa yang kita lakukan padanya waktu itu." Risma memberi ancaman. "Seandainya hal ini bocor kepada Hadi, ibu yakin. Dia tidak akan memberi kita ampun."
Lilis menggeleng perlahan-lahan. Dia menunduk dan menggigit bibirnya. Hadi memang terkenal sebagai pria yang tegas. Dia tidak akan segan-segan menghukum siapa pun yang bersalah dan berada di balik kematian istrinya
"Tak ada Hana di sini, dia sudah mati. Dia terkubur di hutan angker, tak ada seorang pun yang berani memasuki hutan itu," kata Risma optimis.
Lilis mengangguk, dia menuruti ucapan ibunya dan menganggap apa yang tadi dia lihat hanyalah halusinasi semata. Sementara itu di luar jendela, tampak seorang perempuan dengan kepala ditutupi selendang merah marun memandangi ibu dan anak tersebut, sorot matanya tajam. Bibirnya menyunggingkan senyum.
"Rumah milik Mas Hadi yang di kota buat aku saja. Aku sama mas Surya kan tidak lama lagi akan menikah." Lilis berkata santai seolah tanpa beban. "Lagipula rumah itu tidak jadi dihuni, kan? Mbak Hana juga gak kunjung ditemukan." Hadi yang saat itu hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan jarum infus menusuk punggung tangan tidak punya daya untuk sekadar menjawab. Dia bahkan tidak memikirkan harta benda milik Hana yang perlahan dialih tangankan. Keadaan Hadi saat ini cukup mengkhawatirkan. Tubuhnya yang dulu berisi dan gagah--tipikal idola kaum hawa--langsung berubah menjadi kurus. Pipinya semakin tirus, Hadi seolah kehilangan dirinya sendiri. Dia linglung bahkan jarang menjawab setiap kali diajak ibunya bicara. Pria itu sering menjerit seperti kesetanan, berkali-kali Lilis dan Risma berusaha menenangkan. Namun, selalu berakhir dengan pria itu yang mengamuk. Risma pun terpaksa meminta bantuan dukun ke
Hadi berbaring di ranjang rumah sakit. Jarum infus menjadi teman di dalamnya saat ini. Sejak sakit bayang-bayang Hana selalu muncul, penyesalan terbesarnya setahun lalu di tempat ini.Saat itu, Hadi sempat memekik memanggil nama Hana sebelum akhirnya tubuh sang istri-benar jatuh menghantam lantai. Dia tidak sempat menyambutnya karena Hadi juga agak kaget melihat darah mengalir di sepanjang kaki istrinya."Pasien sebelumnya mengalami pendarahan hebat. Saya menebak, pasien pernah mengalami hal ini, kan? Karena dari hasil USG yang kami tadi, janin dalam kandungannya tidak berkembang dengan baik. U
"Belum, Lis. Aku belum mati."Lilis terbelalak. Dia berteriak seraya mundur menjauh, gadis itu masih tidak percaya dengan sosok yang berada di hadapannya. Bagaimana mungkin Hana masih hidup?"Pergi kau, pergi! Kau sudah mati!" Lilis berusaha menyadarkan diri.Sosok Hana terus mendekat, akhirnya mereka berdua saling berhadapan. "Lilis... aku masih hidup."
Risma terus mondar-mandir di ruang tengah, hatinya dilingkupi kecemasan. Bagaimana dia tidak cemas, malam itu Lilis pulang dengan keadaan mengenaskan, tubuhnya gemetar hebat, kepalanya berdarah, dia jatuh pingsan begitu keluar dari mobil. Risma langsung memekik melihat kejadian itu.Esok harinya Lilis terbangun dengan sorot mata ketakutan. Entah apa yang telah gadis itu lihat sampai begitu histeris. Risma sampai pusing mendengar teriakannya. Seolah-olah gadis itu baru saja melihat hantu."Bu, bagaimana ini. Hana masih hidup, Bu. Dia akan datang ke rumah ini. Tamatlah kita!" Lilis yang tengah duduk di sofa kembali gemetar, dia panik, sang ibu berusaha untuk menenangkan."Sudahlah, ini pasti cuma halusinasi kamu. Ibu kan udah bilang wanita itu sudah mati!""Tapi aku melihatnya, Bu." Lilis tetap ngotot. "Dia mencekik leherku kemudian membantingku ke tanah. Lihat ini." Lilis memperlihatkan bekas merah di
"Han-Hana ...."Tubuh Risma langsung gemetar melihat sosok yang ada di depannya. Wanita itu masih tidak percaya kalau yang berada di hadapannya saat ini adalah Hana.Dia bisa melihat sorot kebencian dari mata coklat keemasan itu, sorot dendam yang berkilat seolah ingin menghabisi ipar dan mertuanya. Dia bukan lagi Hana yang mereka kenal, wanita lemah itu sudah berubah menjadi begitu kuat sekarang."Apa yang kau lakukan di sini? Setelah berselingkuh dari Hadi, kau masih berani menginjakkan kaki di desa ini?!" tantang Bu Risma mencoba berani. Dia yakin Hana yang ada di depannya masihlah sesosok manusia. "Dasar wanita tak tahu malu!"Ah, bahkan ibu mertuanya masih saja belum berubah. Kasar dan arogan. Apakah Risma tidak takut tulangnya dipatahkan menjadi dua bagian oleh Hana?"Ini desa kelahiranku, Bu. Aku bisa pulang kapan saja." Hana menjawab dengan tenang."Pezina sepertimu tidak diterima di desa ini. Kembalikan suamiku, dasar wa
Duk! Duk! Duk! Duk!Saat sedang sibuk memikirkan segala kemungkinan, telinga Lilis mulai terusik oleh suara benda tumpul yang dipukulkan secara pelan pada papan kayu berulang-ulang. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Di luar sana langit sudah menggelap akibat mendung, tanda hujan sebentar lagi akan turun. Suara pukulan itu membuat tubuh Lilis menjadi tegang seketika.Suaranya ketukan benda tumpul itu berhenti pada ketukan ke lima. Sesaat hilang kemudian muncul kembali. Apakah itu ulah bu Risma yang terus mencoba membujuknya untuk keluar dari kamar?"Ibu, kaukah itu?" teriak Lilis lantang.Lama tak terdengar kembali suara ketukan benda tumpul dari arah pintu. Senyap. Nyaris tak terdengar suara apa pun. Bahkan suara para pembantu di rumah itu sama sekali tak terdengar di telinganya.Lilis mencoba memberanikan diri untuk mengecek keadaan. Dia tidak suka ditakuti, mana mungkin hantu Hana berani datang ke rumahnya? Perasaan
Mata gadis itu yang semula terpejam langsung terbuka. Pemandangan yang pertama kali dia lihat adalah langit-langit kamarnya yang berwarna putih, sedangkan itu di sisi ranjang tampak sang ibu dengan sabar menunggunya sejak beberapa saat yang lalu."Lilis, kamu sadar." Risma mengelap air matanya dan segera mendekati tubuh Lilis yang terbaring di atas ranjang. Saat Lilis memaksakan untuk bangun dari kasur, kepalanya mendadak nyeri sampai-sampai harus dibantu oleh sang ibu."Bu, apa yang terjadi?" Dia berusaha mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi kepadanya beberapa saat yang lalu sampai bisa berada di tempat tidur seperti ini.Risma menghela napas kemudian menjawab. "Ibu juga tidak tahu, ibu sudah berkali-kali mengetuk pintu kamarmu, tapi tak ada jawaban. Saat kamu melihat ibu, kamu malah ketakutan dan jatuh pingsan."Lilis tersentak ketika sang ibu mengatakan hal itu, tubuhnya kembali bergetar hebat, dia mulai teringat kejadian sebelu
Malam itu hujan turun deras diiringin kilatan petir. Namun, tidak menggoyahkan niat Lilis dan Risma untuk menghadap Nyai Dasimah, mereka hendak meminta pertolongan pada dukun yang menurutnya sakti itu.Usai huru-hara yang terjadi di desa akibat kedatangan Hana. Mereka bertekad akan menyingkirkan Hana kembali, entah bagaimana pun caranya.Lilis dan Risma bersimpuh di hadapan nenek tua berwajah rusak itu. Mulai menjelaskan maksud kedatangan mereka kali ini, nenek itu memasang wajah angkuh."Kami kemari ingin meminta bantuan padamu lagi, Nyai," ujar Risma dengan kepala tertunduk. "Hana, wanita yang kami kubur di hutan waktu itu masih hidup dan kembali ke desa ini," kata Risma."Jimat yang Anda berikan sebagai pelindung itu tidak mempan kepadanya, Nyai. Dia bahkan berkali-kali mencoba membunuh saya." Itu Lilis yang bersuara, mencoba mengenyahkan perasaan takut yang menggerogoti hatinya.Sejak mendapat teror pocong berbau busuk serta perempuan
"Sebaiknya kau mati saja sejak dulu.""Hentikan! Semua bukan salahmu!""Aku akan membalas rasa sakit yang kurasakan selama ini."Hadi langsung terlonjak dari tidurnya ketika mimpi buruk itu kembali datang. Napasnya memburu. Rasanya seperti habis berlari puluhan kilo.Dua tahun sudah berlalu, tapi mimpi-mimpi buruk itu masih selalu mengganggunya setiap malam.Mimpinya selalu sama; sosok bertudung di tengah-tengah hutan, kobaran api yang entah berasal dari mana, serta suara-suara menakutkan yang bergema di alam bawah sadarnya. Ini bukan pertama kalinya Hadi bermimpi demikian, rasanya seperti kenyataan. Tempatnya pun sangat tidak asing, dia familiar. Namun, dia tidak ingat. Setiap kali Hadi berusaha mengingat, kepalanya selalu sakit.Keringat dingin membasahi pelipis, Hadi menghela napas dan melihat jam dinding baru menunjukkan pukul dua dini hari. Padahal dia baru tidur pukul sebelas malam."Sial, aku tak bisa tidur lagi." Hadi mengacak rambut frustrasi.Setiap kali Hadi terbangun di t
Perempuan bernama Ratna itu masih memperhatikan Hadi, seolah tengah menunggu jawaban. ''Bagaimana menurutmu?"Hadi sampai bingung harus menjawab apa. Mereka baru saja berkenalan beberapa saat yang lalu dan Ratna tiba-tiba saja mengajaknya menikah.Dia jelas belum tahu seperti apa sifat asli wanita itu, mana mungkin Hadi langsung menerima begitu saja. Secara fisik mungkin dia memang cantik, tapi Hadi bukanlah pria yang meletakkan fisik di atas segalanya."Bagaimana?" tanya Ratna lagi diiringi senyum manisnya, dia menatap Hadi dengan serius."Ah, saya ...." Hadi bingung sendiri. "Maaf, sepertinya ini terlalu cepat. Jujur saja, saya belum memikirkan soal pernikahan. Saya bersedia dikenalkan denganmu demi menghargai sahabat saya tentunya."Mendengar jawaban Hadi yang langsung to the point, Ratna hanya terkekeh, dia mengerti kalau pria itu sedang tak siap memberinya jawaban.''Jadi, maksudmu pertemuan ini atas dasar rasa iba pada sahabatmu, dan kamu tidak bermaksud untuk memperpanjang ke
"Siapa di sana?"Hadi semakin mendekat, dia berusaha memeriksa siapa perempuan yang tengah bersembunyi di balik pohon itu. Dia hanya bisa melihatnya dari luar hutan karena tidak memungkinkan jika dia harus masuk ke dalam sana.Perempuan bertudung merah itu sempat memperhatikan Hadi. Namun, dia cepat-cepat bersembunyi. Seolah tak ingin keberadaannya diketahui oleh siapa pun, termasuk oleh pria itu."Apakah Anda tersesat di hutan ini? Mau saya bantu untuk keluar?" Hening, tak ada jawaban.Hadi malah menawarkan bantuan. Padahal dia tidak yakin orang yang bersembunyi di hutan tersebut adalah manusia, bisa saja dia manusia jadi-jadian bukan orang betulan."Jangan ke mana-mana, aku akan mengeluarkanmu dari sana!"Pandangan Hadi berkeliling memindai. Entah mengapa dia merasa orang yang berada di balik pohon itu tengah menantikan bantuannya. Hadi menatap semak-semak yang bergerak-gerak lalu terdiam kala ditatapnya. Pikirannya memerintah agar dia tak maju, tetapi kakinya begitu saja melangka
Dua tahun kemudian.Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan sebuah rumah besar bergaya eropa. Sang empunya turun dari mobil seraya memperbaiki penampilam sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.Rumah tersebut ramai oleh warga desa dan juga orang-orang penting. Hari ini sang tuan rumah tengah mengadakan pesta yang meriah sebagai bentuk syukuran atas kesuksesannya mendirikan sebuah sekolah di desa Cileuwi.Semua warga bebas makan sepuasnya dan menikmati pertunjukan musik yang tampil di acara tersebut. Semuanya larut dalam kebahagiaan."Wah, ada kepala sekolah baru. Apa kabar, Pak?" Surya dengan nada meledek langsung mendekati Hadi yang saat itu tengah berdiri di tengah-tengah keramaian, menyapa semua tamu yang hadir.Kedua sahabat itu saling berpelukan, Surya mengucapkan selamat. Keduanya berangkulan erat, setelah dua tahun melalui masa-masa sulit, mereka akhirnya bertemu juga di puncak kejayaan.Hadi tersenyum jenaka. Usai tragedi kelam hari itu, Hadi seolah memulai kehidupan
Hadi baru terbangun saat pagi menjelang dengan tubuh lelah luar biasa. Setelah tubuhnya diobati oleh Hana dia pingsan selama dua hari, Hadi sempat bertanya-tanya apa yang sudah terjadi di rumah tersebut, dan kenapa kepalanya sakit.Surya tidak banyak kata, Hana benar-benar sudah mengambil separuh ingatan Hadi. Pria itu tak bisa mengingat istrinya sama sekali.Meskipun begitu, Hadi selalu merasa ada yang hilang dalam dirinya. Tapi, entah apa itu, dia benar-benar tak bisa mengingat Hana. Tiba-tiba ada rasa sesak dalam hatinya, tetapi Hadi sendiri tak tahu mengapa.Hadi memandang Surya, dan Diana yang tengah berada di hadapannya. Meja bertaplak putih itu dipenuhi makanan. Mereka tengah merayakan kesembuhan Hadi.Dari semua kegembiraan itu, entah mengapa hatinya terasa kosong. Sangat kosong dan Hadi tak tahu apa penyebabnya. Lalu, sekarang hatinya tiba-tiba sakit juga cemas. Namun, dia sendiri tak tahu siapa atau apa yang dicemaskannya. Surya menoleh dan melihat sahabatnya tampak seperti
"Mas Hadi, kamu di mana?" Hana kembali ke hutan, dan terkejut saat tak mendapati seorang pun di sana. Tubuh Hadi yang semula tergeletak di antara puing-puing kekacauan itu pun menghilang, Hana jadi cemas, ke mana pria itu pergi?Nyai Ningrum juga tak berada di sana lagi, Hana jadi cemas, apakah Nyai membawa pergi suaminya? Tidak mungkin."Mas Hadi! Kamu ke mana, Mas?"Mustahil rasanya kalau Hadi pergi begitu saja dari dalam hutan, keadaannya saja sudah sangat lemah dan memprihatinkan. Hadi harus segera diobati sebelum kekuatan dari Nyai Dasimah semakin menggerogoti tubuhnya dari dalam.Hana keluar dari dalam hutan, dia bergegas kembali ke rumah pria itu untuk memeriksa, mungkin Hadi dibawa pulang oleh seseorang."Mas Hadi, bertahanlah. Kau akan hidup kembali!" katanya di tengah kecemasan yang melanda.Sementara itu, Surya dan Diana sibuk mengobati luka di tubuh Hadi, baju Hadi yang basah oleh darah segera dibersihkan, Surya terkejut saat melihat bekas terbakar lumayan besar di dadany
"Minggir kau!"Risma membunyikan klakson berkali-kali, menyuruh Hana untuk minggir dari jalan. Namun, bukannya minggir, Hana malah semakin mendekat menuju mobil Risma.Ada rasa ketakutan yang menjalar saat Hana semakin mendekati mobilnya. Mata perempuan itu memancarkan kemarahan, Risma yakin sekali kalau Hana akan membunuhnya tanpa ampun."Kau telah membunuh anakku!" kata Risma mengamuk. "Semua ini salahmu, Hadi meninggal karenamu!"Hana justru tidak mengerti kenapa semua ini menjadi salahnya? Bukankah seharusnya wanita itu sadar kalau malapetaka yang menimpa keluarganya disebabkan oleh dirinya sendiri, karena keserakahannya.Kenapa semua kesalahan selalu dilemparkan pada Hana yang sudah jelas sejak dulu selalu menjadi korban ketamakan keluarga suaminya? Apakah kehancuran yang sedang terjadi saat ini tidak cukup menyadarkan wanita itu?Risma keluar dari dalam mobil, wanita itu menatap Hana dengan tajam, tangan kanannya menunjuk-nunjuk Hana."Aku akan membunuhmu," katanya. "Kau perempu
Nyai Dasimah menatap tajam Hana yang berjalan semakin dekat ke arahnya. Pedang tajam itu memercikkan api, seolah siap menghabisi nyawa dukun tua itu kapan saja."Kau iblis!" seru dukun itu pada Hana dengan segala sumpah serapahnya. Hana tertawa mendengar hal itu.Kedua tangannya mengangkat pedang memasang kuda-kuda menyerang. Tanpa menunggu jawaban Nyai Dasimah. Ia lalu berlari menerjang dimana wanita tua itu berada.Penyerangan brutal itu membuat Nyai Dasimah kewalahan menangkis kecepatan geraknya. Sampai kemudian ia merasakan tubuhnya terbakar dari dalam. Nyai Dasimah semakin mundur dengan tubuh gontai. Seolah-olah seluruh organ dalamnya remuk, meski tak ada setetes darah yang keluar dari kulitnya. Namun, seluruh tubuh bagian dalamnya seperti tersayat."Hueekk!"Nyai Dasimah memuntahkan darah segar yang kental. Tidak ada belas kasih yang terpancar dari mata Hana begitu melihat sang dukun berlutut di atas tanah dengan keadaan memprihatinkan."Bagaimana? Kau suka permainkanku?" Hana
Angin kencang tiba-tiba menderu dari arah hutan, pepohonan banyak yang tumbang, putaran angin mengelilingi Hana, matanya berwarna merah seperti darah.Melihat kejadian tersebut, Risma langsung melarikan diri dari sana. Tidak dihiraukannya Hadi yang tergeletak tanpa daya, hanya tersisa Hana dan dukun tua itu di sana sekarang."Kau ...." Nyai Dasimah berdecih. "Beraninya kau menggunakan kekuatan itu."Nyai Dasimah bisa melihat cahaya berpijar dari tubuh Hana, cahaya kehijauan yang menandakan separuh kekuatan sang dewi berada dalam tubuhnya.Nyai Dasimah terus mencemooh Hana, seakan kekuatan perempuan itu tak ada apa-apanya. Hana sendiri bisa merasakan aura ketakutan yang menyusup pada dukun tua tersebut. Kali ini Hana benar-benar tidak bisa diremehkan."Matilah!" Nyai Dasimah melemparkan bola api ke arah Hana, dengan cepat perempuan itu berkelit, serangan tersebut meleset."Mati? Hahaha!" Hana tertawa terbahak-bahak. "Jangan lupa, kita sama-sama jahat. Dalam tubuhmu sendiri tersimpan si