Tania tiba di London dan segera menuju flat dengan pikiran yang kacau. Begitu banyak fakta yang harus ia terima dan ia bahkan tak tahu bagaimana harus menerimanya. Mungkin ia bisa menerima kenyataan bahwa sugar daddy-nya selama ini adalah ayah kekasihnya, tapi bagaimana ia bisa menjalani hidupnya sekarang dan setelahnya? Apa ia harus memilih di antara mereka berdua? Oh tentu, dalam hal ini, Davin adalah kekasihnya. Namun Gerald adalah orang yang telah memberi Tania kehidupan. Bisa dibilang, Gerald telah menyelamatkan Tania.
Tania melangkah masuk ke dalam flat dan menyadari aroma marijuana. Segera ia melangkahkan kaki ke dapur dan benar, Gerald di sana. Duduk dengan selinting marijuana yang tinggal tersisa sedikit lagi di tangannya. Jasnya terletak di atas meja.
“Kau sudah kembali, sweetheart,” suaranya terdengar berat, “dua minggu tanpa menelepon, rasanya lama sekali, ya?”
Apa yang harus Tania katakan? Ia pun tak tahu.
“Jadi, kemana saja putraku membawamu?”
“Munich, ia mengenalkanku pada Catherine,” jawab Tania dengan lugas.
“No, he didn't.” Gerald seketika mengangkat wajahnya dan memandang Tania lurus.
“He did.” Tania melangkah mendekat. “Bukan salahku jika pada akhirnya dia bercerita banyak tentangmu.”
“Ah, hahaha,” Gerald tertawa kecil dan berkata dengan santai, “apa yang diceritakan wanita itu? Mengatakan bahwa aku brengsek?”
“Dia sama sekali tidak mengatakan itu,” Tania menyela, “kau tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka sejak kau pergi, atau bagaimana perasaan Catherine.”
“Tania!” Gerald mendadak merubah ekspresi wajahnya dan menatap perempuan di hadapannya dengan tak percaya. “Apa kau mencoba untuk menghakimiku karena apa yang terjadi pada kehidupan pernikahanku di masa lalu?”
“Apa?” Tania mengelak tuduhannya. “Kau gila, aku tidak bermaksud begitu, Gerald.”
“You don't call me like that, do you?!” Gerald beranjak dari kursinya lalu mendekat, tak berusaha menyembunyikan kekesalannya karena Tania baru saja memanggilnya 'Gerald'. Sementara Tania berpikir bahwa Gerald tak seharusnya berekspektasi bahwa Tania akan tetap memanggilnya 'daddy' setelah semua kenyataan ini.
Gerald memandang Tania selama beberapa saat lalu menyentuh wajahnya.
“Kau begitu cantik.”
“Hentikan, kita tak bisa seperti ini.” Tania menyingkirkan tangan Gerald dari wajahnya dan perlahan melangkah mundur.
“Kau kira aku akan melakukan apa? Lagipula apa yang menahanku agar tidak melakukan apa pun terhadapmu?”
“I am your son's girlfriend!” Kedua mata Tania mulai berkaca-kaca. “And you ... you will be my father in law!”
“Hahaha! Aku sangat menyukai optimisme yang kau miliki, Tania.” Gerald tertawa, jelas sekali menertawakan Tania. “Betapa yakinnya kau akan menjadi menantuku, hanya karena kau kekasih dari putraku, begitu?”
Ia kembali menghisap lintingan marijuananya.
“Davin mungkin saja mencintaimu, karena ia tak tahu siapa dirimu dan apa yang telah terjadi antara kau dan aku, ayahnya.” Gerald melangkah menjauh, kembali ke tempat duduknya. “Bagaimana jika dia tahu?”
“Kau akan memberitahunya? Kau tidak sadar bahwa itu akan menghancurkan hatinya? Oh, maafkan aku. Aku lupa. Kau memang sudah menghancurkan hati putramu sendiri sejak kecil dengan meninggalkannya.”
Seketika Gerald menggebrak meja, begitu keras hingga Tania terkejut. Namun itu tak membuat Tania menyesali kata-katanya. Entah apa yang membuatnya berani mengucapkan itu, ia hanya mengingat cerita Catherine dan itu masih membuatnya marah pada Gerald.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gerald kembali memakai jasnya dan berlalu pergi. Lutut Tania seketika melemah dan ia terjatuh ke lantai, menangis sekeras-kerasnya.
***
Davin menelepon Tania malam itu tapi ia merasa tak punya kekuatan untuk menjawabnya. Tania membiarkan ponselnya di atas meja sepanjang hari, tak memedulikan semua panggilan atau pesan dari siapa pun. Ia bahkan tak tahu apakah ia punya kekuatan untuk menjalani hari esok.
Kemudian, dipikirkannya segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dari mulai yang buruk hingga yang sangat buruk. Jika ia melanjutkan hubungan dengan Davin, mungkin akan ada situasi canggung antara Gerald dan dirinya, tapi ia yakin itu bisa diatasi karena mereka akan tinggal jauh dari Gerald dan tak saling bertemu.
Namun bagaimana jika Gerald memberitahu Davin tentang semuanya? Tania berpikir Davin pasti akan membencinya, mungkin Davin juga akan membenci Gerald mengingat ketidak sukaannya akan kemungkinan bahwa ayahnya memiliki kekasih baru atau sekadar sugar baby.
Bagaimana jika Catherine tahu? Dia pasti akan membenci Tania dan tak merelakan putra semata wayangnya menikahi sugar baby mantan suaminya, selain itu dia masih sangat mencintai Gerald. Kemungkinan lain yang dipikirkan Tania bisa terjadi adalah: ia akan kehilangan karir. Gerald bisa dengan mudah melakukannya karena dia yang memegang kuasa penuh atas agensi tempat Tania bekerja. Dia juga bisa kapan saja memblokir semua kartu kredit dan menarik akses dari semua rekening yang digunakan Tania saat ini. Dia bahkan bisa menendang Tania dari flat ini kapan pun dia mau.
Apa Gerald akan tega melakukannya?
Meski dengan semua kegelisahan yang mengganggu itu, Tania berusaha kuat untuk tetap menjalani pemotretan hari itu.
“Beberapa orang membicarakanmu, perihal liburanmu kemarin. Mereka bilang kau merencanakan pernikahan?” tanya Kyle, fotografernya. Pemotretan mereka telah selesai dan dia sedang mengemasi barang-barangnya.
“Hehe, tidak kok. Aku hanya berkunjung ke Paris untuk bertemu kekasihku lalu kami ke Munich mengunjungi rumah ibunya. Hanya berkenalan, tidak membicarakan pernikahan,” jelas Tania. Kyle memandangnya curiga sambil tersenyum. Ia memang suka berbasa-basi pada semua orang bahkan yang tidak terlalu dekat dengannya.
“Menemui orang tua kekasihmu untuk selanjutnya membicarakan pernikahan?”
“Hentikan, Kyle.” Tania menggeleng lalu mengemasi barang-barangnya dan berlalu pergi.
Saat ia baru melangkah keluar dari ruangan, ia melihat Gerald. Dia tampaknya memang sengaja datang tapi bukan untuk menjemput Tania seperti biasa. Selama beberapa menit Tania hanya terdiam.
“I was so high and now I think we need to talk,” ucap Gerald lalu langsung berbalik dan berjalan pergi. Tania mengikuti langkahnya menuju Range Rover hitam yang terparkir di halaman gedung. Kantor itu sebenarnya cukup ramai, hanya saja tak banyak orang yang mengenal Gerald sebagai pemilik dari tempat ini dan segala isinya. Dia memang terlalu rendah hati dan tak terlalu peduli apakah orang-orang mengetahui siapa dirinya atau tidak, selain itu semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Gerald melajukan mobilnya menuju salah satu restoran miliknya yang sedikit jauh dari kantor. Tania sendiri jarang makan di sana karena tempat itu biasanya hanya untuk acara besar atau orang-orang yang berkencan dengan pasangannya masing-masing. Walaupun memang restoran itu adalah salah satu tempat favorit Gerald dan dia juga sering membicarakan itu dengan beberapa rekan terdekatnya.
“Jadi kau bertemu Catherine ....” Gerald menyesap wine dari gelasnya. Keduanya berbincang di lantai dua, hanya ada beberapa orang di sana. “Harusnya aku tidak terkejut.”
Tania masih terdiam, antara tak tahu harus berkata apa, atau memang takut apa pun yang ia ucapkan akan menjadi masalah.
“Maaf soal kemarin, aku tidak bermaksud menyakitimu.” Gerald bersandar di kursinya tapi ia masih terdengar gusar. “Kau tahu kau boleh bicara.”
“Kumohon jangan beritahu Davin tentang apa pun,” kalimatnya terhenti. Tania memberanikan diri untuk menatap mata Gerald. Ekspresinya datar.
“Kukira kau akan mengatakan sesuatu yang lebih mengejutkan.” Gerald mengedikkan bahu. “Well, aku bisa mengerti kekhawatiranmu, Tania. Aku tak akan membertitahunya tentang apa pun, tapi aku harap kau paham bagaimana peraturannya.”
“Peraturan?”
“Kau sendiri yang mengatakannya padaku, kita tak bisa lagi menjalin hubungan seperti ini sedangkan kau berpacaran dengan putraku, bukan begitu?”
Tania mengangguk.
“Jadi kurasa aku akan menerimanya, hanya saja ....”
“Masalah flat dan karirku? Kau ingin menarik semuanya?” Tania lebih dulu menyela agar memberi kesan bahwa ia tidak akan terkejut jika memang itu 'peraturannya' meski sebenarnya ia berharap Gerald akan tetap membiarkannya berkarir atau tinggal di flat itu, tapi tentu itu mustahil.
“Kurang lebih begitu, bukankah sejak awal menjadi sugar baby-ku adalah agar kau bisa mendapat itu semua?”
Tania menyamarkan helaan napasnya yang berat. Ia tahu cepat atau lambat semua ini akan terjadi, hanya saja ia masih merasa tidak siap. Tidak apa, pikirnya, di luar sana masih banyak agensi majalah, iklan dan sejenisnya yang bisa mempekerjakan model seperti dirinya, apa lagi ia sudah cukup dikenal.
Tania memutar otak dan berpikir mungkin ia akan kembali menyewa flat kecil, jika cukup waktu, ia akan membuka saluran youtube-nya sendiri dan menjadi beauty influencer dengan memberikan tutorial make up.
Setidaknya itulah rencana yang ia susun dalam otaknya selama beberapa detik sejak Gerald membicarakan 'peraturannya'.
“Aku mengerti, tidak masalah,” jawab Tania sambil tersenyum tipis. Gerald mengerutkan dahi melihat reaksinya yang tenang. Barangkali dia berharap Tania akan terkejut lalu mengemis padanya agar jangan sampai dia menarik semua fasilitas yang selama ini dia berikan, sungguh menyedihkan.
“Baiklah.” Gerald mengangguk lalu melirik jam tangannya. “Ah, aku akan kedatangan tamu dalam tiga puluh menit, masih sempat mengantarmu ke flat. Ayo.”
Keduanya beranjak dari kursi, tapi di saat yang sama, seseorang yang dikenali Tania sebagai manajer di restoran itu, datang.
“Tuan Bentley, seseorang datang untuk menemui anda.”
“Lebih cepat? Tidak biasanya.” Gerald kembali melirik jam tangannya.
“Aku akan pulang dengan taksi saja.”
Gerald memandang Tania selama beberapa detik lalu mengangguk pelan.
“Beritahu orang itu agar menemuiku di sini,” kata Gerald pada manajer restorannya. Namun sebelum ia berbalik, seseorang lebih dulu masuk.
“Ah, ini dia orangnya.”
Tania terpaku, tidak jadi melangkah pergi. Orang itu, yang dimaksud si manajer ternyata adalah Davin!
Apa maksudnya ini? Apa tamu yang baru saja dibicarakan Gerald adalah Davin? Kenapa dia meminta Davin datang kesini? Apa dia sedang menyiapkan rencana untuk menjebak Tania? Jika ini memang rencananya, dia sungguh keterlaluan. Setidaknya itulah yang dipikirkan Tania.Davin terdiam di sana, sementara manajer restoran itu telah berlalu menuruni tangga. Tania dan Gerald saling berpandangan.“Tania? Kau ada di sini?” Davin mengangkat alis.“A-aku-”“Davin!” Gerald berseru tertahan lalu tertawa ceria. “Kau datang tanpa memberitahu?”“Ya, ini sangat mendadak. Aku sudah menghubungi Tania tapi dia tak menjawab telepon atau pesanku.” Jelas Davin masih dengan ekspresi bingung. “Kalian … sedang apa?”“Ahaha! Kau tahu? Ini kebetulan yang sangat gila. Ayah baru tahu ternyata Tania menjadi model di perusahaan agensi milik Ayah!” Gerald menghampiri putranya. Tania meng
Paris. Di kota inilah Tania akan menjalani kehidupan barunya, bersama Davin. Jelas ini bukan tempat yang buruk untuk memulai sebuah lembaran baru, meski Tania tidak yakin lembaran baru macam apa yang kini ia buka. Tampaknya bukan lembaran dari buku yang masih kosong, melainkan lembaran lama sebuah buku catatan berisi konflik tak berkesudahan.Walaupun panik, ia mencoba terlihat tenang dan berusaha untuk tak merepotkan Davin dengan membiarkannya terus-terusan bertanya apa Tania baik-baik saja karena sepanjang perjalanan Tania terus melamun. Ia terus-terusan membuka ponsel dan memeriksa media sosial, memastikan ia telah mengunggah foto bersama Davin dengan keterangan bahwa ia akan mulai tinggal di Paris hari ini.Beberapa teman-temannya berkomentar dan mengucapkan selamat, tetapi Tania sangat sibuk dalam dua minggu pertama karena selain harus beradaptasi, ia juga ikut membantu pekerjaan Davin dalam mengurus Casualads entah itu dalam hal perancangan atau mempromo
“Hei! Bagaimana jalan-jalannya?” Davin masih duduk di belakang meja kerjanya saat Tania kembali.“Tidak banyak jalan-jalan. Hanya mengobrol dan sedikit minum di bar,” jawab Tania seadanya. “Aku tidur duluan, ya?”“Tentu, selamat malam, sayang.”Pagi harinya, Tania melihat sebuah pesan di ponselnya. Dari Rob, yang dikirim jam 3 pagi. Ia mengirimkan sebuah lokasi dan meminta Tania agar datang saat jam makan siang dengan membawa akta kelahirannya.Inikah saatnya? Tania lebih penasaran dengan percakapan macam apa yang terjadi antara Rob dan istrinya malam tadi. Setelah sedikit panik saat Tania hampir tidak bisa menemukan secarik kertas bertuliskan nama serta tanggal lahirnya dan nama lengkap kedua orang tuanya, akhirnya ia berhasil menemukannya. Tania merasa dirinya cukup bijak dengan tidak menyepelekan benda itu walaupun ia hampir tak pernah berharap bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan orang tuanya lagi.
Hari-hari Tania jadi jauh lebih sibuk ditambah lagi Davin yang melakukan renovasi besar di lantai tiga tokonya. Siang itu Tania sibuk membereskan dan mengatur ulang sebagian besar letak barang-barang yang ada di lantai satu dan dua. Davin sedang pulang ke rumah untuk memeriksa sesuatu dan para pekerja konstruksi masih belum muncul untuk memulai pekerjaan mereka setelah makan siang.Hanya kemudian kedatangan Gerald yang seketika membuatnya terkejut dan panik, bertanya-tanya untuk apa dia datang? Apa lagi rencananya?“Apa lagi yang kau inginkan?” Tania menyembunyikan rasa takutnya.“Ada yang harus kita bicarakan.” Gerald melangkah lebih dekat. Tania langsung menghindar tapi Gerald malah mengikutinya. Bahkan saat Tania mulai berlari ke lantai atas, Gerald masih terus mengikuti dengan langkah yang lebih cepat. “Tania! Tunggu!”Lantai tiga penuh dengan barang-barang konstruksi yang berantakan serta debu yang menyesakkan pern
Tania menunggu di sebuah café kecil yang berada tak jauh dari flatnya. Ia hanya mengikuti instruksi Rob tentang jam pertemuannya dan sama sekali tak berkomunikasi dengan lelaki yang akan dikenalkannya ini. Setelah menunggu hampir dua puluh menit, seseorang menghampiri.Tania mengangkat wajahku untuk melihatnya. Lelaki muda dengan rambut hitam dan kulit karamel serta sepasang mata cokelat yang harus diakui Tania amat menawan. Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi datar sebelum akhirnya mengangkat alisnya sebagai tanda menyapa.“Kau putri Rob?”Selama beberapa saat Tania terdiam hingga akhirnya lelaki itu memetik jari di wajahnya.“Ah, iya. Benar.” Tania menggeleng dan berusaha fokus kembali. Mereka duduk berhadapan.“Caspian,” ucapnya singkat.“Itu namamu atau ....”“Kau berpikir aku sedang menyebutkan nama danau terluas di dunia secara random pada orang yang baru ku
Hari itu untuk pertama kalinya Tania pergi ke kantor dengan tenang dan menjalani aktivitas dengan bahagia, tanpa tekanan, tanpa rasa takut atau kegelisahan tentang Gerald yang terus mengikuti. Ide Rob tampaknya memang benar-benar berhasil meskipun kedengarannya begitu menyedihkan bagi Tania saat ia harus memiliki kekasih di sisinya agar Gerald benar-benar menjauh.Keceriaan itu bertahan hingga sore hari, ketika Caspian datang untuk menjemput, Tania segera menyadari perubahan mood-nya yang tidak biasa dan itu membuatnya merasa heran.Maksudnya, tentu saja dia memang kadang menyebalkan dan tidak banyak bicara, ekspresi wajahnya juga lebih sering membuat Tania merasa seperti Caspian meminta agar ditinju saja, tapi sore itu dia memang berbeda dan satu lagi, dia memakai kacamata hitam.“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”Caspian memberikan helm pada Tania tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Begitu juga di sepanjang perjalanan, ta
“Kau tidak masuk kerja hari ini?” tanya Caspian saat mereka menyelesaikan sarapan.“Tadinya aku ada jadwal syuting iklan untuk salah satu produk minuman milik Rob, tapi kurasa aku bisa menundanya. Dia tidak sedang buru-buru.” Tania membersihkan peralatan makannya.“Rob punya produk minumannya sendiri? Aku tidak tahu itu.”“Dia baru meresmikannya beberapa hari lalu, katanya. Tapi aku juga belum mencobanya, sih.” Tania mengedikkan bahu. “Aku bilang padanya aku ingin istirahat sebentar dan dia memberiku waktu seminggu.”“Hidup jauh lebih mudah saat ayahmu menjadi bos di tempat kerjamu sendiri, ya?”“Percayalah, takdir itu sesuatu yang rumit dan penuh kejutan,” sahut Tania sambil tersenyum simpul sebelum akhirnya mencuci piring.“Well, karena kau juga libur, bagaimana jika kau ikut aku saja? Jalan-jalan.”Tania menoleh. Ekspresi wajah
Mereka berdua bangun saat jam menunjukkan lewat pukul sepuluh pagi. Badai tadi malam kelihatannya cukup buruk karena salah satu pohon yang berada tak jauh dari rumah Caspian tumbang. Beruntunglah tak ada rumah di dekatnya.“Ah, pohon itu memang sudah tua,” ujar Caspian sembari memandanginya dari depan pintu.“Semua yang ada di sini sepertinya memang sudah tua, ya?” Tania mengangkat alis. Caspian lalu melihatnya dengan ekspresi datar.“Memang.”“Tapi cuacanya kelihatannya akan cerah hari ini.” Tania memperhatikan langit. Biru dan tak ada awan.“Benar, waktu yang tepat untuk mengunjungi peternakan kuda Eric.”“Peternakan apa?” Tania mengerutkan dahi.“Eric, teman lama ayahku. Di punya peternakan kuda yang tidak terlalu jauh dari sini. Ayo.” Caspian meraih jaketnya dan bersiap mengunci pintu.“Kita akan jalan kaki?”“Tidak
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k
Gerald dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.“Maafkan aku,” bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Davin yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. “Davin jadi seperti ini karena aku.”“Tania, ini bukan salahmu,” balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.“Ini salahku ….” Tania mendadak berlutut di ha
Orang-orang tampak begitu bahagia. Mereka bersorak, bertepuk tangan serta bersulang untuk pasangan yang baru saja menyelesaikan upacara pernikahan itu.Davin memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia lalu melihat tangannya yang entah sejak kapan telah menggenggam segelas wine putih.“Kau menikmati pestanya?” Seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut dari belakang. Davin berbalik dan ia mendapati Tania dalam gaun putih khas pengantin yang begitu indah.“Tania??” Davin menggosok mata dengan satu tangannya. “K-kau … apa yang terjadi?”“Apa maksudmu?” Tania tertawa ceria lalu menaikkan telapak tangan, menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis kanannya. “Bagus, ya?”Davin melangkah mundur. Ia perhatikan lagi sekelilingnya, semua orang mendadak hilang, hanya ada kursi-kursi untuk para tamu serta dekorasi pesta pernikahan dengan suasana garden party.&l
Selama hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat ‘drama’ Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.Mata yang sudah belasan tah