Paris. Di kota inilah Tania akan menjalani kehidupan barunya, bersama Davin. Jelas ini bukan tempat yang buruk untuk memulai sebuah lembaran baru, meski Tania tidak yakin lembaran baru macam apa yang kini ia buka. Tampaknya bukan lembaran dari buku yang masih kosong, melainkan lembaran lama sebuah buku catatan berisi konflik tak berkesudahan.
Walaupun panik, ia mencoba terlihat tenang dan berusaha untuk tak merepotkan Davin dengan membiarkannya terus-terusan bertanya apa Tania baik-baik saja karena sepanjang perjalanan Tania terus melamun. Ia terus-terusan membuka ponsel dan memeriksa media sosial, memastikan ia telah mengunggah foto bersama Davin dengan keterangan bahwa ia akan mulai tinggal di Paris hari ini.
Beberapa teman-temannya berkomentar dan mengucapkan selamat, tetapi Tania sangat sibuk dalam dua minggu pertama karena selain harus beradaptasi, ia juga ikut membantu pekerjaan Davin dalam mengurus Casualads entah itu dalam hal perancangan atau mempromosikan produk-produk terbaru. Ia senang Davin sangat santai dan sama sekali tidak terburu-buru dalam urusan bisnisnya. Davin justru terus membicarakan rencana pernikahan mereka dan itulah yang membuatnya gelisah.
Tania lagi-lagi berusaha menenangkan diri dengan memeriksa media sosial dan mencari sesuatu yang lucu hingga ia sadari salah satu temanku mengirim pesan melalui i*******m.
Alicia, dia teman lama Tania yang baru beberapa tahun ini tinggal di Paris. Setelah melihat unggahan tentang Tania yang kini menetap di sini, Alicia mengajaknya untuk bertemu di bar milik keluarganya yang baru dibuka beberapa bulan lalu.
Sedikit minum untuk mendistraksi pikiran, kenapa tidak?
“Kau yakin kau ingin pergi sendiri?” tanya Davin tanpa melihat Tania. Matanya fokus pada meja kerjanya di mana ia kini tengah mengerjakan beberapa desain baru untuk Casualads.
“Davin ....” Tania memutar mata. Davin akhirnya melihatnya dan tersenyum.
“Tentu, kau pantas mendapatkan waktu bersama teman-temanmu.”
“Aku mencintaimu!” Seketika Tania mengecupnya dan bersiap untuk pergi ke bar yang dimaksud Alicia.
Bar itu terlihat seperti bar yang cukup mahal dengan pilihan minuman yang terkenal dan beberapa di antaranya bahkan belum pernah didengar namanya oleh Tania. Tidak banyak orang di sana, mungkin karena ini masih jam delapan.
“Anda ingin minum apa, Nona?” tanya bartender di hadapannya setelah menjelaskan minuman terbaik dan terlaris di bar ini.
“Tolong wine putih saja.” Tania tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak minum lebih dari dua shot sebelum Alicia datang.
Setelah menunggu selama lima belas menit, ada panggilan masuk di ponselnya. Dari Alicia.
“Kau sudah sampai? Dimana?”
“Tania, maafkan aku! Kekasihku mengalami kecelakaan dan dia ada di rumah sakit sekarang, aku tak bisa menemuimu malam ini,” suara Alicia terdengar panik dan buru-buru.
“Ah, begitukah? Aku ikut sedih mendengarnya.”
“Kau tahu aku sangat merasa bersalah tidak bisa menemuimu, sebagai permintaan maafku kau boleh tetap minum, aku yang traktir. Kuharap kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan, ya!”
Tania baru saja ingin mengatakan sesuatu tetapi Alicia lebih dulu menutup panggilannya. Di saat seperti ini Tania tidak tahu apakah ia akan berani minum lebih banyak saat ia hanya sendirian. Davin pasti tidak akan senang jika Tania pulang dalam keadaan mabuk, meski ia tidak pernah benar-benar mabuk berat.
Ya sudahlah, pikirnya. Ia meminta bartender untuk menuangkan satu shot lagi. Baru sebentar saja pikirannya jadi kembali melayang jauh, memikirkan tentang apa yang bisa terjadi selanjutnya antara dirinya, Davin dan Gerald. Gerald masih membuatnya takut.
“Ocean? Apa yang kau lakukan di sini?!”
Tania mengangkat wajah saat seorang lelaki datang dan bicara padanya dengan aksen Inggris yang kental seolah dia mengenal Tania dan paham betul bahwa Tania berasal dari negara yang sama dengannya. Usianya mungkin tampak tidak terlalu muda lagi dengan rambut keperakan di sana sini, tetapi dia masih tampak segar, dengan pakaian rapi berjas, sedikit banyaknya mengingatkan Tania akan Gerald.
“Maaf?” Tania mengerutkan dahi.
“Ah, maafkan aku. Kukira kau putriku karena aku bersumpah, kalian sangat mirip.” Wajahnya menunjukkan ekspresi bingung yang sama.
“Hahaha, begitukah?” ujar Tania sambil tertawa canggung.
“Hei, boleh aku duduk di sini?” Ia melirik kursi tepat di sebelah Tania yang memang kosong sejak tadi. Tania hanya mengangguk singkat. “Aku Robert Williams, kau bisa panggil aku Rob.”
“Tania Wood.”
“Astaga, kau sungguh mirip dengan putriku Ocean yang kini baru saja memulai kuliahnya di Jerman. Itu sebabnya aku terkejut dan mengira kau adalah dia.”
“Wow, jika putrimu memang ada di sini kau pasti akan sangat marah,” terka Tania sambil mengangkat alis.
“Tidak juga, sih. Aku justru senang jika dia akhirnya mau minum denganku, hahaha!” gurau Rob sambil kemudian memesan Brandy pada bartender. “Kau juga masih kuliah?”
Tania berpikir sejenak, ragu-ragu. “Aku sudah bekerja dan seharusnya lulus kuliah tahun lalu.”
“Seharusnya?” Rob mengangkat alis.
“Aku ... sibuk bekerja hingga mengabaikan kuliahku, jadi aku tidak lulus.” Tania lagi-lagi meciptakan tawa canggung di akhir kalimat.
“Aw, sayang sekali. Hei, aku yakin kau bisa memulai lagi ... jika kau mau.”
“Yeah, aku mengharapkan hal yang sama.” Tania mengedikkan bahu dan memberi isyarat pada bartender untuk memberikan satu shot lagi. Rob tersenyum lalu mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya pada Tania.
“Ini dia foto putriku, mirip, kan?”
Tanpa perlu memperhatikan lebih lama, Tania seratus persen setuju dengan Rob bahwa putrinya memang sangat mirip dengannya. Dengan mata sebiru lautan, sesuai dengan namanya, serta garis wajah dan bentuk bibir dan hidung bahkan lesung pipi di kedua sisi wajahnya. Hanya saja Ocean memang terlihat lebih muda karena usianya yang sepertinya lebih muda beberapa tahun dari Tania.
“Hei, kau keberatan memberitahuku akun i*******m-nya? Mungkin aku bisa mengiriminya pesan berisi lelucon tentang kembarannya yang terpisah sejak lama,” gurau Tania.
“Hei, ide bagus!” Rob justru setuju dan dia memberitahu Tania nama pengguna i*******m putrinya. Tania segera mengikutinya sesaat setelah ia temukan profil gadis itu. Sejenak Tania melihat-lihat unggahan yang ada di sana. Hanya aktivitas anak remaja kebanyakan. Satu unggahan berisi foto keluarga mereka saat liburan, di foto itu Rob terlihat begitu santai dalam pakaian golf.
“Itu saat kami berkunjung ke Inggris untuk memeriksa salah satu rumah lama kami,” ucap Rob sambil ikut memperhatikan foto yang menjadi fokus Tania kini. Salah satu? Berapa banyak yang mereka punya? Tania bertanya dalam hati. Dengan penampilan seperti itu, tidak mengherankan jika Rob memang sangat kaya.
Kemudian Tania terpaku. Ada sesuatu yang baru ia sadari di foto itu. Istri Rob, tampak begitu familiar.
Tania mungkin saja sudah berpisah dengan orang tuanya belasan tahun lalu tetapi ia masih dapat mengingat wajah yang kini berputar-putar di dalam kepalanya. Wajah ibunya.
Wajah itu sangat mirip dengan wajah yang kini ia lihat di layar ponselnya. Mungkinkah itu dia? Kecil kemungkinan, tetapi sungguh, meski wanita di foto itu kini menampakkan sedikit kerutan di wajahnya, itu sama sekali tidak membuat Tania ragu untuk mengatakan bahwa dia seratus persen mirip ibunya. Dan lagi, bukankah Rob sangat kaya? Siapa pun yang ada dalam keluarganya mampu mendapat perawatan agar tetap awet muda setiap saat.
Tania terus memperhatikan hingga harus menggosok matanya dan hal ini tampaknya membuat Rob heran hingga ia menanyakan apa yang salah.
“Tidak ada, hanya saja ... istrimu mirip seseorang yang kukenal.”
“Yeah, banyak yang bilang begitu.” Rob meraih gelas shot dan bersiap meneguk kembali Brandy-nya.
“Yeah, istrimu mirip dengan ibuku.”
“Oh, sungguh suatu kebetulan, huh?” Rob mengangkat alis.
“Yeah,” sahut Tania singkat nyaris tak bisa berkata-kata. Kebetulan yang aneh.
“Mungkin kita bisa mempertemukan ibumu dengan istriku kapan-kapan, hahaha!” Rob kembali bergurau diikuti dengan tawa renyahnya yang mulai dihapal Tania di ingatannya.
“Sayangnya tak bisa. Ibuku telah meninggalkanku sejak belasan tahun lalu, saat aku masih kecil,” kata Tania terus terang tanpa mencoba menyelipkan sedikit pun nada tragedi dalam kalimatnya.
“Oh, astaga, a-aku ikut sedih mendengarnya. Semoga ibumu tenang di sana.” Rob menepuk pundak Tania dengan penuh simpati.
“Uh, bukan itu maksudku. Orang tuaku berpisah dan keduanya meninggalkanku.”
“Ouch, itu lebih menyakitkan.” Rob mengerutkan dahi. Sesaat kemudian ia ikut memandangi layar ponsel Tania yang kini menampilkan salah satu unggahan Ocean di mana ia sedang berfoto hanya berdua dengan ibunya.
“Tunggu dulu.” Rob merebut ponsel dari tangan Tania lalu menyejajarkan benda itu dengan wajahnya. “Ya Tuhan, aku baru menyadarinya.” Ia mendadak terkesiap. “Ocean sangat mirip dengan istriku karena dia putrinya dan kau memang sangat mirip dengan Ocean dan itu membuatmu tampak mirip dengan istriku dan-”
“Apa kau berpikir apa yang kupikirkan?” Tania menatap lurus ke dalam mata Rob. Ada jeda sejenak sebelum ia kembali bicara.
“S-siapa nama ibumu?”
“Ellaine,” jawab Tania lugas, “Ellaine Duncan.”
“Itu nama istriku.” Rob menggeleng tak percaya. “Apa ini masih kebetulan juga??”
Tania terdiam, satu lagi kebetulan yang bagi orang lain mungkin terkesan seperti dibuat-buat.
“Mungkinkah kau putri dari pernikahan istriku yang sebelumnya??”
Tidak, jelas ini bukan kebetulan.
“Istrimu pernah menikah sebelumnya?”
“Ya! Dia bercerita soal itu di awal hubungan kami dengan alasan untuk saling terbuka, tapi dia tak pernah bercerita sedikit pun tentang anak dari pernikahannya yang sebelumnya atau apa pun itu.”
“Well, tampaknya dia sudah melupakanku.”
“Oh, tidak, tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku tidak akan membiarkan kalian terpisah lebih lama lagi.”
“Entahlah, aku punya perasaan yang campur aduk tentang orang tuaku.” Jemari Tania mengetuk-ngetuk meja. Tania berpikir si bartender sejak tadi mungkin menyimak apa yang terjadi di antara mereka. “Sepertinya aku masih kecewa karena mereka meninggalkanku begitu saja.”
“Itu hal yang wajar, kecewa ... tapi apa kau akan membiarkan perasaan itu lebih lama lagi?”
“Tapi bahkan jika dia bertemu denganku, aku takut dia tidak akan percaya dan tidak mau menerimaku.”
Rob tampak berpikir. Ia lalu mengetikkan sesuatu di ponsel Tania yang ia yakini sebagai nomor teleponnya.
“Setelah sampai di rumah nanti, aku akan mencoba bicara dengan istriku dan jika itu memang benar, bahwa kau adalah putrinya, aku akan menghubungimu lagi untuk kelanjutannya. Ah, aku minta agar kau mengumpulkan dokumen yang sekiranya bisa membuktikan itu.” Rob bicara dengan begitu yakin.
“Aku ingat aku masih menyimpan akta kelahiranku, apa itu cukup?” Tanpa disadari oleh Tania ada nada pengharapan begitu saja dalam kalimatnya.
“Itu bagus.” Rob mengangguk setuju.
“Tunggu, kenapa kau tidak keberatan melakukan ini semua?” Tania memandangnya lekat-lekat lagi. “Kita baru saja bertemu, kau bahkan tidak tahu siapa aku. Dan bagaimana jika semua ini memang hanya kebetulan saja? Bagaimana jika istrimu sama sekali tak ada hubungannya denganku??”
“Kita akan mengetahuinya nanti.” Rob tersenyum begitu tulus, Tania tak pernah melihat senyum seperti itu dari pria yang baru saja ia temui, di bar, di negara yang bukan tempat asalnya. “Karena aku juga punya seorang putri, ingat?”
“Hei! Bagaimana jalan-jalannya?” Davin masih duduk di belakang meja kerjanya saat Tania kembali.“Tidak banyak jalan-jalan. Hanya mengobrol dan sedikit minum di bar,” jawab Tania seadanya. “Aku tidur duluan, ya?”“Tentu, selamat malam, sayang.”Pagi harinya, Tania melihat sebuah pesan di ponselnya. Dari Rob, yang dikirim jam 3 pagi. Ia mengirimkan sebuah lokasi dan meminta Tania agar datang saat jam makan siang dengan membawa akta kelahirannya.Inikah saatnya? Tania lebih penasaran dengan percakapan macam apa yang terjadi antara Rob dan istrinya malam tadi. Setelah sedikit panik saat Tania hampir tidak bisa menemukan secarik kertas bertuliskan nama serta tanggal lahirnya dan nama lengkap kedua orang tuanya, akhirnya ia berhasil menemukannya. Tania merasa dirinya cukup bijak dengan tidak menyepelekan benda itu walaupun ia hampir tak pernah berharap bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan orang tuanya lagi.
Hari-hari Tania jadi jauh lebih sibuk ditambah lagi Davin yang melakukan renovasi besar di lantai tiga tokonya. Siang itu Tania sibuk membereskan dan mengatur ulang sebagian besar letak barang-barang yang ada di lantai satu dan dua. Davin sedang pulang ke rumah untuk memeriksa sesuatu dan para pekerja konstruksi masih belum muncul untuk memulai pekerjaan mereka setelah makan siang.Hanya kemudian kedatangan Gerald yang seketika membuatnya terkejut dan panik, bertanya-tanya untuk apa dia datang? Apa lagi rencananya?“Apa lagi yang kau inginkan?” Tania menyembunyikan rasa takutnya.“Ada yang harus kita bicarakan.” Gerald melangkah lebih dekat. Tania langsung menghindar tapi Gerald malah mengikutinya. Bahkan saat Tania mulai berlari ke lantai atas, Gerald masih terus mengikuti dengan langkah yang lebih cepat. “Tania! Tunggu!”Lantai tiga penuh dengan barang-barang konstruksi yang berantakan serta debu yang menyesakkan pern
Tania menunggu di sebuah café kecil yang berada tak jauh dari flatnya. Ia hanya mengikuti instruksi Rob tentang jam pertemuannya dan sama sekali tak berkomunikasi dengan lelaki yang akan dikenalkannya ini. Setelah menunggu hampir dua puluh menit, seseorang menghampiri.Tania mengangkat wajahku untuk melihatnya. Lelaki muda dengan rambut hitam dan kulit karamel serta sepasang mata cokelat yang harus diakui Tania amat menawan. Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi datar sebelum akhirnya mengangkat alisnya sebagai tanda menyapa.“Kau putri Rob?”Selama beberapa saat Tania terdiam hingga akhirnya lelaki itu memetik jari di wajahnya.“Ah, iya. Benar.” Tania menggeleng dan berusaha fokus kembali. Mereka duduk berhadapan.“Caspian,” ucapnya singkat.“Itu namamu atau ....”“Kau berpikir aku sedang menyebutkan nama danau terluas di dunia secara random pada orang yang baru ku
Hari itu untuk pertama kalinya Tania pergi ke kantor dengan tenang dan menjalani aktivitas dengan bahagia, tanpa tekanan, tanpa rasa takut atau kegelisahan tentang Gerald yang terus mengikuti. Ide Rob tampaknya memang benar-benar berhasil meskipun kedengarannya begitu menyedihkan bagi Tania saat ia harus memiliki kekasih di sisinya agar Gerald benar-benar menjauh.Keceriaan itu bertahan hingga sore hari, ketika Caspian datang untuk menjemput, Tania segera menyadari perubahan mood-nya yang tidak biasa dan itu membuatnya merasa heran.Maksudnya, tentu saja dia memang kadang menyebalkan dan tidak banyak bicara, ekspresi wajahnya juga lebih sering membuat Tania merasa seperti Caspian meminta agar ditinju saja, tapi sore itu dia memang berbeda dan satu lagi, dia memakai kacamata hitam.“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”Caspian memberikan helm pada Tania tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Begitu juga di sepanjang perjalanan, ta
“Kau tidak masuk kerja hari ini?” tanya Caspian saat mereka menyelesaikan sarapan.“Tadinya aku ada jadwal syuting iklan untuk salah satu produk minuman milik Rob, tapi kurasa aku bisa menundanya. Dia tidak sedang buru-buru.” Tania membersihkan peralatan makannya.“Rob punya produk minumannya sendiri? Aku tidak tahu itu.”“Dia baru meresmikannya beberapa hari lalu, katanya. Tapi aku juga belum mencobanya, sih.” Tania mengedikkan bahu. “Aku bilang padanya aku ingin istirahat sebentar dan dia memberiku waktu seminggu.”“Hidup jauh lebih mudah saat ayahmu menjadi bos di tempat kerjamu sendiri, ya?”“Percayalah, takdir itu sesuatu yang rumit dan penuh kejutan,” sahut Tania sambil tersenyum simpul sebelum akhirnya mencuci piring.“Well, karena kau juga libur, bagaimana jika kau ikut aku saja? Jalan-jalan.”Tania menoleh. Ekspresi wajah
Mereka berdua bangun saat jam menunjukkan lewat pukul sepuluh pagi. Badai tadi malam kelihatannya cukup buruk karena salah satu pohon yang berada tak jauh dari rumah Caspian tumbang. Beruntunglah tak ada rumah di dekatnya.“Ah, pohon itu memang sudah tua,” ujar Caspian sembari memandanginya dari depan pintu.“Semua yang ada di sini sepertinya memang sudah tua, ya?” Tania mengangkat alis. Caspian lalu melihatnya dengan ekspresi datar.“Memang.”“Tapi cuacanya kelihatannya akan cerah hari ini.” Tania memperhatikan langit. Biru dan tak ada awan.“Benar, waktu yang tepat untuk mengunjungi peternakan kuda Eric.”“Peternakan apa?” Tania mengerutkan dahi.“Eric, teman lama ayahku. Di punya peternakan kuda yang tidak terlalu jauh dari sini. Ayo.” Caspian meraih jaketnya dan bersiap mengunci pintu.“Kita akan jalan kaki?”“Tidak
Catherine memandangi elektrokardiogram yang terus menunjukkan aktivitas jantung putranya. Davin, lelaki muda itu kini terbaring tak sadarkan diri di ruangan ICU setelah kecelakaan fatal yang dialaminya kemarin malam. Tak butuh waktu lama bagi Catherine untuk segera mengambil penerbangan menuju Paris setelah mendapat telepon dari salah satu karyawan Davin.Di sinilah ia sekarang. Ia butuh waktu begitu lama untuk mencerna kejadian buruk yang menimpa putranya sebelum akhirnya menyadari sesuatu.Tak ada satu pun orang yang dikenalnya, berada di sini, di dekat Davin.Gerald ayahnya? Mungkin dia sibuk dan belum mendapat kabar ini, tapi ... Tania? Di mana gadis itu? Bukankah dia calon istri Davin? Apa yang terjadi?Catherine menyeka air mata dari wajahnya sekali lagi. Ia tidak sanggup terus berada di sini untuk memandangi putranya yang masih belum sadar dan berada dalam kesakitan, tapi ia tak bisa pergi dan meninggalkan Davin sendiri.Sembari men
Bel istirahat telah berbunyi dan semua anak-anak keluar dari ruang kelas mereka, berlarian menuju taman, kantin atau toilet. Namun berbeda dengan Gerald yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas tadi malam, ia kini berlari menuju belakang gedung sekolah untuk menemui gadis yang sangat dicintainya secara diam-diam tanpa diketahui oleh guru atau teman-temannya.Dia akan menemui kekasihnya, dengan sepotong besar kue ulang tahun yang sengaja disimpannya dari acara potong kue bersama keluarganya tadi malam, agar ia bisa berbagi dengan gadis itu hari ini di sekolah. Ia tak bisa membeli kue yang baru karena uang sakunya telah habis disisihkannya untuk mengikuti les piano setiap akhir pekan. Sementara di tangan lainnya, ia membawa sebatang lili berwarna putih, bunga favorit gadis itu. Lili itu juga tak dibeli Gerald. Ia memetiknya dari kebun milik ibunya yang ada di halaman belakang rumah, secara diam-diam.Tak masalah, kekasihnya itu bukan gadis yang cerewet
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k
Gerald dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.“Maafkan aku,” bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Davin yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. “Davin jadi seperti ini karena aku.”“Tania, ini bukan salahmu,” balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.“Ini salahku ….” Tania mendadak berlutut di ha
Orang-orang tampak begitu bahagia. Mereka bersorak, bertepuk tangan serta bersulang untuk pasangan yang baru saja menyelesaikan upacara pernikahan itu.Davin memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia lalu melihat tangannya yang entah sejak kapan telah menggenggam segelas wine putih.“Kau menikmati pestanya?” Seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut dari belakang. Davin berbalik dan ia mendapati Tania dalam gaun putih khas pengantin yang begitu indah.“Tania??” Davin menggosok mata dengan satu tangannya. “K-kau … apa yang terjadi?”“Apa maksudmu?” Tania tertawa ceria lalu menaikkan telapak tangan, menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis kanannya. “Bagus, ya?”Davin melangkah mundur. Ia perhatikan lagi sekelilingnya, semua orang mendadak hilang, hanya ada kursi-kursi untuk para tamu serta dekorasi pesta pernikahan dengan suasana garden party.&l
Selama hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat ‘drama’ Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.Mata yang sudah belasan tah