Hari itu untuk pertama kalinya Tania pergi ke kantor dengan tenang dan menjalani aktivitas dengan bahagia, tanpa tekanan, tanpa rasa takut atau kegelisahan tentang Gerald yang terus mengikuti. Ide Rob tampaknya memang benar-benar berhasil meskipun kedengarannya begitu menyedihkan bagi Tania saat ia harus memiliki kekasih di sisinya agar Gerald benar-benar menjauh.
Keceriaan itu bertahan hingga sore hari, ketika Caspian datang untuk menjemput, Tania segera menyadari perubahan mood-nya yang tidak biasa dan itu membuatnya merasa heran.
Maksudnya, tentu saja dia memang kadang menyebalkan dan tidak banyak bicara, ekspresi wajahnya juga lebih sering membuat Tania merasa seperti Caspian meminta agar ditinju saja, tapi sore itu dia memang berbeda dan satu lagi, dia memakai kacamata hitam.
“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”
Caspian memberikan helm pada Tania tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Begitu juga di sepanjang perjalanan, ta
“Kau tidak masuk kerja hari ini?” tanya Caspian saat mereka menyelesaikan sarapan.“Tadinya aku ada jadwal syuting iklan untuk salah satu produk minuman milik Rob, tapi kurasa aku bisa menundanya. Dia tidak sedang buru-buru.” Tania membersihkan peralatan makannya.“Rob punya produk minumannya sendiri? Aku tidak tahu itu.”“Dia baru meresmikannya beberapa hari lalu, katanya. Tapi aku juga belum mencobanya, sih.” Tania mengedikkan bahu. “Aku bilang padanya aku ingin istirahat sebentar dan dia memberiku waktu seminggu.”“Hidup jauh lebih mudah saat ayahmu menjadi bos di tempat kerjamu sendiri, ya?”“Percayalah, takdir itu sesuatu yang rumit dan penuh kejutan,” sahut Tania sambil tersenyum simpul sebelum akhirnya mencuci piring.“Well, karena kau juga libur, bagaimana jika kau ikut aku saja? Jalan-jalan.”Tania menoleh. Ekspresi wajah
Mereka berdua bangun saat jam menunjukkan lewat pukul sepuluh pagi. Badai tadi malam kelihatannya cukup buruk karena salah satu pohon yang berada tak jauh dari rumah Caspian tumbang. Beruntunglah tak ada rumah di dekatnya.“Ah, pohon itu memang sudah tua,” ujar Caspian sembari memandanginya dari depan pintu.“Semua yang ada di sini sepertinya memang sudah tua, ya?” Tania mengangkat alis. Caspian lalu melihatnya dengan ekspresi datar.“Memang.”“Tapi cuacanya kelihatannya akan cerah hari ini.” Tania memperhatikan langit. Biru dan tak ada awan.“Benar, waktu yang tepat untuk mengunjungi peternakan kuda Eric.”“Peternakan apa?” Tania mengerutkan dahi.“Eric, teman lama ayahku. Di punya peternakan kuda yang tidak terlalu jauh dari sini. Ayo.” Caspian meraih jaketnya dan bersiap mengunci pintu.“Kita akan jalan kaki?”“Tidak
Catherine memandangi elektrokardiogram yang terus menunjukkan aktivitas jantung putranya. Davin, lelaki muda itu kini terbaring tak sadarkan diri di ruangan ICU setelah kecelakaan fatal yang dialaminya kemarin malam. Tak butuh waktu lama bagi Catherine untuk segera mengambil penerbangan menuju Paris setelah mendapat telepon dari salah satu karyawan Davin.Di sinilah ia sekarang. Ia butuh waktu begitu lama untuk mencerna kejadian buruk yang menimpa putranya sebelum akhirnya menyadari sesuatu.Tak ada satu pun orang yang dikenalnya, berada di sini, di dekat Davin.Gerald ayahnya? Mungkin dia sibuk dan belum mendapat kabar ini, tapi ... Tania? Di mana gadis itu? Bukankah dia calon istri Davin? Apa yang terjadi?Catherine menyeka air mata dari wajahnya sekali lagi. Ia tidak sanggup terus berada di sini untuk memandangi putranya yang masih belum sadar dan berada dalam kesakitan, tapi ia tak bisa pergi dan meninggalkan Davin sendiri.Sembari men
Bel istirahat telah berbunyi dan semua anak-anak keluar dari ruang kelas mereka, berlarian menuju taman, kantin atau toilet. Namun berbeda dengan Gerald yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas tadi malam, ia kini berlari menuju belakang gedung sekolah untuk menemui gadis yang sangat dicintainya secara diam-diam tanpa diketahui oleh guru atau teman-temannya.Dia akan menemui kekasihnya, dengan sepotong besar kue ulang tahun yang sengaja disimpannya dari acara potong kue bersama keluarganya tadi malam, agar ia bisa berbagi dengan gadis itu hari ini di sekolah. Ia tak bisa membeli kue yang baru karena uang sakunya telah habis disisihkannya untuk mengikuti les piano setiap akhir pekan. Sementara di tangan lainnya, ia membawa sebatang lili berwarna putih, bunga favorit gadis itu. Lili itu juga tak dibeli Gerald. Ia memetiknya dari kebun milik ibunya yang ada di halaman belakang rumah, secara diam-diam.Tak masalah, kekasihnya itu bukan gadis yang cerewet
“Ayah! Ayolah mainkan Love Dream-nya Liszt lagi!” Anak lelaki yang manis itu sejak tadi menarik tangan Gerald untuk menuju piano besarnya.“Baiklah, baiklah, hanya sebentar saja, ok? Ayah harus pergi sebentar lagi.” Gerald mengusap kepala anak itu, Davin, putranya.“Indah sekali ....” Davin menyimak permainan piano ayahnya dengan bahagia. Sedikit yang ia ketahui, bahwa dalam hati ayahnya ia tengah memikirkan banyak sekali hal lain di luar sana, hal-hal yang tak seharusnya dipikirkannya lagi, tetapi semua itu tetap menghantuinya dan membuatnya terjaga setiap malam.Keberadaan Ellaine.Ia tahu ini salah. Ia kerap pergi dan berkendara dengan mobilnya selama berjam-jam setiap akhir pekan dengan alasan mengurus pekerjaan, padahal sebenarnya, ia berkeliling ke setiap sisi dan sudut kota London untuk mencari Ellaine, tanpa menghiraukan Catherine yang telah menjadi istrinya selama bertahun-tahun.Hal in
Gerald melangkah keluar dari mobilnya dan kembali ke ruang ICU. Melalui kaca yang ada di pintu, dilihatnya Catherine telah ada di sana, menangis di sisi Davin yang juga masih belum sadar. Ia memutuskan untuk kembali ke hotel tempatnya menginap yang tak jauh dari rumah sakit ini. Tak terlalu dipikirkannya percakapan antara dirinya dan Catherine yang terjadi beberapa saat lalu, tetapi ia tahu itu mungkin membuat Catherine cukup frustrasi dan terkejut.Oh, kenapa setiap hal yang Gerald lakukan pada Catherine seolah benar-benar membuatnya tampak seperti monster yang sengaja menyakiti wanita itu? Meskipun niat Gerald juga tak benar-benar jauh berbeda, ia ingin Catherine sadar bahwa mencintai Gerald adalah hal yang sia-sia.Pagi harinya, sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya.“Davin sudah sadar, dia sudah keluar dari ruang ICU. Dia ingin bertemu denganmu.”Gerald tak perlu banyak menerka tentang s
Tania berpamitan pada Catherine dan melangkah pergi dari rumah sakit jam delapan pagi, untuk selanjutnya menuju Williams Chateau. Ini mungkin sedikit terlalu pagi untuk bertamu tapi apa boleh buat, Tania tak punya tempat lain untuk dituju. Mereka pasti akan terkejut karena ia sama sekali tak memberi kabar apa pun tentang kedatangannya ke Paris.“Tania!” Rob tampak begitu senang melihat kedatangannya, ia tidak menunjukkan ekspresi terkejut yang berlebihan, begitu juga dengan Ellaine. “Akhirnya kau sampai. Ada yang sudah menunggumu.”“Apa?” Tania mengerutkan dahi. Apa ada orang lain di rumah ini selain Rob dan Ellaine yang mengharapkan ia datang? “Siapa?”“Hei ....”Jantung Tania berdebar melihat sosok yang muncul di belakang Rob. Caspian.“Ayo, semuanya! Tepat waktu untuk sarapan.”Tania menuju meja makan dan bergabung setelah meletakkan barang-barangnya di kamar
“Oh, ramai sekali.” Gerald mengerutkan dahi melihat ada lebih banyak orang di ruangan itu. Perasaannya sedikit bercampur ketika melihat Tania dan Rob.“Ayah, ini orang tua Tania. Ellaine dan Rob.” Davin tersenyum lalu beralih pada orang tua Tania yang berdiri lebih dekat dengannya. “Rob, Ellaine, ini ayahku, Gerald Bentley.”Ellaine tertegun ketika mendengar Davin memperkenalkan nama Ayahnya. Gerald Bentley? Satu nama yang begitu dikenalnya. Apakah itu dia? Mungkin ada ratusan bahkan ribuan nama yang sama di seluruh Inggris, tetapi Ellaine segera memperhatikan lebih jeli wajah itu dan ia berhasil mengenalinya.Itu memang dia. Gerald Bentley, cinta pertamanya.Ia berusaha menutup rapat-rapat mulutnya agar tak terkesiap.Gerald tahu ada sesuatu di hatinya saat ia mendengar Davin menyebut nama itu. Ellaine. Mungkinkah itu dia? Ellaine Duncan? Entahlah, yang jelas Gerald tak berani melakukan banyak hal. Ia hany
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k
Gerald dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.“Maafkan aku,” bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Davin yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. “Davin jadi seperti ini karena aku.”“Tania, ini bukan salahmu,” balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.“Ini salahku ….” Tania mendadak berlutut di ha
Orang-orang tampak begitu bahagia. Mereka bersorak, bertepuk tangan serta bersulang untuk pasangan yang baru saja menyelesaikan upacara pernikahan itu.Davin memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia lalu melihat tangannya yang entah sejak kapan telah menggenggam segelas wine putih.“Kau menikmati pestanya?” Seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut dari belakang. Davin berbalik dan ia mendapati Tania dalam gaun putih khas pengantin yang begitu indah.“Tania??” Davin menggosok mata dengan satu tangannya. “K-kau … apa yang terjadi?”“Apa maksudmu?” Tania tertawa ceria lalu menaikkan telapak tangan, menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis kanannya. “Bagus, ya?”Davin melangkah mundur. Ia perhatikan lagi sekelilingnya, semua orang mendadak hilang, hanya ada kursi-kursi untuk para tamu serta dekorasi pesta pernikahan dengan suasana garden party.&l
Selama hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat ‘drama’ Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.Mata yang sudah belasan tah