Beranda / Romansa / Sugar Daddy-in-Law / Chapter 11: Leaving

Share

Chapter 11: Leaving

Penulis: Handdwi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-06 16:26:52

Hari-hari Tania jadi jauh lebih sibuk ditambah lagi Davin yang melakukan renovasi besar di lantai tiga tokonya. Siang itu Tania sibuk membereskan dan mengatur ulang sebagian besar letak barang-barang yang ada di lantai satu dan dua. Davin sedang pulang ke rumah untuk memeriksa sesuatu dan para pekerja konstruksi masih belum muncul untuk memulai pekerjaan mereka setelah makan siang.

Hanya kemudian kedatangan Gerald yang seketika membuatnya terkejut dan panik, bertanya-tanya untuk apa dia datang? Apa lagi rencananya?

“Apa lagi yang kau inginkan?” Tania menyembunyikan rasa takutnya.

“Ada yang harus kita bicarakan.” Gerald melangkah lebih dekat. Tania langsung menghindar tapi Gerald malah mengikutinya. Bahkan saat Tania mulai berlari ke lantai atas, Gerald masih terus mengikuti dengan langkah yang lebih cepat. “Tania! Tunggu!”

Lantai tiga penuh dengan barang-barang konstruksi yang berantakan serta debu yang menyesakkan pernapasan, Gerald masih saja bersikeras mengikuti hingga Tania tak bisa menjauh lagi.

“Apa yang ingin kau bicarakan? Kau ingin aku membayar semua yang telah kau berikan padaku selama ini? Katakan saja berapa uang yang kau inginkan,” ucap Tania tegas meski sebenarnya ia hanya asal bicara. Jujur saja, mana mungkin ia bisa membayar semua uang yang selama ini telah dihabiskan Gerald saat dia menjadi sugar daddy-nya.

“Aku tidak ingin itu, hanya ... aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu.”

Jantung Tania nyaris berhenti. Kini ia harap Gerald hanya asal bicara. Apa dia sudah gila? Berapa banyak sugar daddy yang berakhir dengan jatuh cinta pada sugar baby mereka sendiri? Pikirnya.

“Cukup! Kau harus melupakanku. Aku akan menikah dengan Davin, putramu sendiri!”

“Aku akan berikan semua yang kau inginkan bahkan seluruh dunia asalkan kau bersedia untuk tetap bersamaku-”

“Apa kau sudah gila?!” sergah Tania.

“Ya!”

“Gerald, mantan istrimu masih mencintaimu, dia wanita yang paling mencintaimu dengan tulus!” Entah dari mana Tania terpikir untuk membahas itu meski kecil kemungkinan Gerald akan mendengarkan dan memikirkan soal itu.

“Aku tidak peduli.”

Yep, Tania sudah menduganya.

“Apa kau tega menghancurkan hati Davin??” Tania mencoba topik lain. Gerald terdiam selama beberapa saat, membalas tatapannya.

“Aku akan membawamu pergi jauh dan menghilang dari kehidupannya.”

“Kau keterlaluan,” Tania tak berusaha menyembunyikan nada jijik dalam kalimatnya.

Gerald terus melangkah mendekat dan Tania terus mundur untuk menghindarinya hingga tanpa sadar kakinya tersandung balok kayu dan tubuhnya nyaris terjungkal ke belakang, di mana tepat terdapat jendela yang belum dipasang kaca atau penghalang apa-apa.

“Tania!” Gerald berseru saat Tania hampir terjatuh. Dengan sigap Gerald meraih tangan perempuan itu dan menariknya menjauh dari sana. Tarikannya yang spontan dan sangat kuat membuat Tania seketika masuk ke dalam pelukannya.

Secepat  mungkin Tania melepaskan diri dan segera turun ke lantai bawah. Dalam pikirannya yang kalut bahkan ia tidak akan marah jika seandainya Gerald membiarkannya jatuh saja. Mungkin mati akan jadi lebih baik dari pada harus menghadapi konflik semacam ini, pikirnya.

Beberapa pekerja konstruksi datang dan mulai mengerjakan pekerjaan mereka. Karena toko mulai ramai, Gerald pergi dari sana dan mereka sama sekali tak saling mengucapkan sepatah kata pun setelah kejadian itu.

***

Setelah berhari-hari sibuk dengan pekerjaan dan tak pernah membicarakan tentang rencana pernikahan, malam itu Davin kembali menyinggung soal gaun. Dia menunjukkan beberapa desain gaun di ponselnya yang semua desain itu didapatkannya dari saran teman-teman terdekatnya. Tania hanya terus mengangguk setuju saat Davin memuji setiap desain gaun yang ditunjukkannya.

“Kau sama sekali tak mengatakan apa pun sejak tadi, Tania.” Davin meletakkan ponselnya. “Ayolah, tidakkah kau punya pendapat?”

Pendapat? Bagaimana Tania bisa berpendapat jika seisi kepalanya dipenuhi oleh bayang-bayang Gerald yang membuatnya semakin gelisah? Apa lagi setelah kejadian beberapa hari lalu dan semua perasaan cinta yang diungkapkannya pada Tania. Semua ini jelas jauh di luar kendalinya.

“Tania?” Davin menepuk punggung tangan kekasihnya pelan. Tania memandangnya, sudah berapa lama mereka bersama? Sudah sejauh mana mereka sekarang? Davin begitu percaya padanya dan tak pernah mempertanyakan apa pun sementara kini Tania tengah menyimpan rahasia besar darinya. Rahasia yang jika dibuka hanya ada dua kemungkinan, hubungan mereka akan tetap berlanjut atau hancur dalam sekejap.

Dan kemungkinan ke dua jauh lebih besar.

“Kau tahu apa yang kupikirkan, Davin?” Sesuatu dalam diri Tania seperti memaksa agar melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan.

“Apa?” Davin balik bertanya.

“Aku ingin kita saling jujur dan mengungkapkan rahasia kita masing-masing sebelum kita benar-benar menikah.”

Davin mengangkat alis. Tania tidak biasanya menjadi orang yang menginisiasi kegiatan membuka rahasia semacam ini dalam hubungan mereka tapi kali ini ia tidak tahu apa lagi hal yang benar atau tidak. Dua-duanya akan terasa salah. Membuka rahasianya dan kehilangan Davin sebagai risikonya, atau tetap menutupinya hingga akhirnya Davin mengetahuinya sendiri—atau mungkin juga karena Gerald yang memberitahunya—dan risikonya sama saja, Davin juga akan meninggalkannya, pasti. Bahkan jadi lebih menyakitkan jika seandainya mereka sudah menikah.

“Baiklah, siapa yang mulai lebih dulu?” Davin tersenyum. Seandainya ia tahu bahwa perempuan di hadapannya kini sebentar lagi akan menghancurkan senyumannya.

“Kau saja,” kata Tania dengan volume yang amat kecil seperti sedang berbisik. Sungguh, ia hanya sedang menahan diri agar tidak menangis.

Okay, rahasiaku adalah ... sebenarnya aku suka nanas sebagai topping pizza!”

Wow, itu hampir tidak bisa diterima oleh Tania tapi baiklah. Setidaknya dia sudah jujur.

“Sekarang giliranmu!” Davin tampaknya begitu antusias dengan ide bahwa Tania akan menghancurkan hubungan mereka dalam beberapa detik.

“Davin, sebenarnya aku ....”

“Ya?”

“Aku pernah menjadi sugar baby ayahmu selama dua tahun lamanya, aku mengenalnya sebelum aku mengenalmu dan saat kau mengenalkan kami berdua, itulah saat kami baru menyadari semuanya.”

Hening. Tak ada yang bicara. Davin terdiam dan ekspresi wajahnya sama sekali tak terbaca. Butuh beberapa saat bagi Davin sebelum ia siap mengatakan sesuatu. Dan beberapa menit setelah pengakuan Tania itu, tampaklah kilatan amarah di sepasang matanya. Sesuatu yang jelas tak pernah dilihat Tania seumur hidupnya, sepanjang hubungan mereka.

“Kau menjadi sugar baby ayahku? Dua tahun??” Davin menggeleng tak percaya. “Dan selama waktu dua tahun itu ... apa yang sudah terjadi di antara kalian??”

“Well, banyak hal yang terjadi ….” Tania menunduk, menggigit bibirnya. “Aku tidak yakin kau akan mau mendengarnya-”

“Kau juga tidur dengannya?!” sergah Davin.

“Davin, dengar, aku mengalami situasi yang amat sulit selama bertahun-tahun. Pertemuanku dengan ayahmu sungguh satu-satunya hal yang membuatku bisa keluar dari itu semua-”

You fuckin’ whore!” maki Davin, sama sekali tak memberi kesempatan Tania untuk menyelesaikannya.

Tania terkesiap. Ia tak percaya Davin baru saja memaki dan menyebutnya perempuan jalang. Meski dalam hati Tania, ia juga bertanya-tanya apakah ia pantas atas itu atau tidak.

Davin menghela napas panjang dan kembali diam. Beberapa saat kemudian ia beranjak dari tempat duduknya dan melangkah pergi. Tania mengangkat wajahnya dan melihat Davin masuk ke dalam kamar. Tania mengikuti langkahnya dan ketika ia berada di pintu kamar, terlihat Davin memasukkan barang-barang Tania ke dalam koper.

Seolah mengerti apa yang ada di pikirannya dan Tania juga mengerti bahwa ia seratus persen pantas akan apa pun yang selanjutnya akan ia terima, ia hanya diam saja berdiri di ambang pintu, memandangi kekasihnya memasukkan semua barang-barang dan memastikan tak ada yang tertinggal.

Tanpa menghiraukan keberadaan Tania, Davin menarik koper-koper itu ke pintu depan. Langkah kaki Tania lambat menyusulnya dan saat ia sampai di pintu depan, Davin menyodorkan ponselnya.

“Pesan uber dengan tujuan ke mana saja, terserah kau,” ucap Davin dingin tanpa melihat Tania sama sekali.

“Tidak perlu.” Tania mengeluarkan ponselnya. “Aku bisa memesannya melalui ponselku sendiri.”

“Itu bagus.”

Dengan jemari yang gemetar Tania mengetikkan alamat rumah Rob sebagai tujuan. Air mata yang memenuhi matanya begitu memburamkan pandangan hingga ia terpaksa harus menumpahkannya, membiarkan tetesan air jatuh membasahi layar ponselnya tepat sebelum ia mengklik order.

Kurang dari tiga menit, mobil datang. Tanpa berkata-kata Davin menarik koper-koper tadi dan memasukkannya ke dalam mobil. Tania melangkah masuk ke dalam mobil dan si pengemudi segera melaju, membawanya menjauh dari rumah Davin dengan si pemiliknya diam mematung di depan pintu.

Rob dan Ellaine terkejut melihat kemunculan Tania yang tiba-tiba dengan banyak bawaan dan tangisan tersedu-sedu. Tania hanya sanggup memberi penjelasan singkat bahwa Davin dan dirinya bertengkar hebat hingga putus dan Tania tak bisa lagi tinggal di rumahnya.

“Sering kali perpisahan memang menjadi jalan terbaik.” Ellaine memeluknya dan berusaha menenangkan sebab Tania sudah setengah jam duduk di ruang tamu dan masih saja menangis hingga air matanya tak menetes lagi dan ia mulai khawatir. “Beristirahatlah, kau mengalami hari yang berat.”

Ellaine benar, tapi Tania merasa bahwa ia memang pantas mendapatkannya. Ellaine mengantarnya ke kamar tamu. Tangisnya sudah cukup reda dan ia berusaha untuk tidur, bahkan tak dihiraukannya lagi barang-barang yang tadi ia bawa. Ia akan mengurusnya besok.

Belum lagi Tania memejamkan mata, sebuah pesan masuk. Dari Rob.

“Ke halaman belakang sekarang. Kita harus bicara.”

Dengan langkah gontai Tania menuju ke halaman belakang di mana terdapat kolam renang di sana. Hanya salah satunya, masih ada kolam renang lagi di lantai bawah tanah.

Rob tampak duduk tenang di tepi kolam dengan kedua kakinya berada di air.

“Apa yang terjadi?”

“Aku memberitahunya soal Gerald dan dia marah lalu mengusirku.”

Rob tertegun dan menatapnya tak percaya. Memang, tak satu pun dari yang baru saja dikatakan Tania masuk dalam penjelasan awal yang beberapa saat sebelumnya ia ceritakan pada Rob dan Ellaine.

“Kenapa?” suaranya mencoba terdengar tetap tenang.

“Aku merasa tak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi, Rob-”

Ayah,” sahut Rob memperbaiki kalimat Tania.

Well, aku tak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi ... Ayah.” Tania mengerutkan dahi. “Kedengarannya aneh tapi baiklah. Maksudku, sampai kapan? Jika kami menikah dan pada akhirnya dia tahu, dia juga akan meninggalkanku, kan? Lebih baik sekarang saja.”

“Lalu apa rencanamu selanjutnya?”

“Kembali ke London, mungkin. Tapi aku tidak tahu apa yang akan kulakukan.”

“Aku tahu, dan kuharap ini bisa membantu.”

“Rob, kau sudah membantuku jauh banyak dari yang bisa kau bayangkan.” Tania memandangnya sedih.

Ayah.” Kini ia memandang putri tirinya dengan gemas.

“Baiklah, Ayah!” teriak Tania memenuhi halaman belakang yang luas itu. Rob tertawa dan menepuk punggungnya.

“Dengar, kau bisa tinggal di salah satu flat lamaku yang ada di London dan kau bisa bekerja lagi di Magical Entertainment, sekarang aku pemiliknya dan aku bisa lakukan apa yang kumau, kan?” Ia tersenyum begitu tulus. “Apa itu cukup?”

Tangis Tania pecah. Ia tidak tahu kebaikan apa yang telah ia perbuat hingga semesta mempertemukannya dengan Rob dan segalanya terasa lebih mudah meski di situasi tersulit sekali pun.

“Kau bertanya apa itu cukup??”

“Oh, masih kurang? Baiklah, kalau begitu kau urus saja perusahaan itu dan bantu aku, ok?”

Tania menepuk punggungnya dengan keras. “Yang pertama sudah lebih dari cukup! Lagipula aku tidak tahu apa-apa soal bisnis semacam itu. Bisa-bisa perusahaanmu bangkrut dalam waktu setengah hari saja jika aku yang mengurusnya.”

“Baiklah kalau begitu jangan, kau jadi model saja.” Rob mengedikkan bahu.

“Kau tidak mau mengajakku minum?” canda Tania meski sebenarnya lebih terdengar menyedihkan karena ia baru saja menangis dan kedua matanya sembap parah.

“Aah, kau terlambat datang. Aku sudah minum tadi sebelum kau tiba dan aku sudah mencapai batas minum untuk hari ini.”

Setelah mengobrol dan memikirkan ini-itu, mereka sepakat bahwa Tania akan berangkat ke London besok.

“Untung saja aku belum sempat mengeluarkan barang-barang dari koperku.” Tania memandangi pantulan cahaya lampu-lampu halaman belakang di atas permukaan kolam renang.

***

Ellaine kurang senang dengan keputusan bahwa Tania akan kembali ke London. Ia berharap putrinya itu tetap tinggal bersama mereka saja, tapi Tania mencoba memberinya pengertian bahwa dirinya butuh menenangkan diri dan yang jelas, jauh dari Paris. Pada akhirnya Ellaine tak mengatakan apa pun selain memberi pelukan hangat yang begitu lama dan sedikit air mata.

London dan Paris begitu dekat, bukan?

Flat milik Rob ternyata cukup besar. Bahkan jauh lebih besar dari flat lama Tania yang dulu dibeli oleh Gerald. Selama satu minggu ia hanya bermalas-malasan sebelum akhirnya siap untuk kembali beraktivitas, bekerja di Magical Entertainment yang dulunya milik Gerald.

Rob mengurus semuanya dengan baik. Saat Tania sampai, ia bahkan sudah diberitahu tentang jadwal syuting dan pemotretan yang akan ia jalani mulai hari itu dan beberapa minggu ke depan tanpa harus berbicara lebih banyak dan menjelaskan keberadaannya di sini. Hanya beberapa rekan yang dulu cukup mengenalnya yang bertanya kenapa ia kembali ke London.

Tak banyak yang bisa Tania ceritakan pada mereka selain inti dari apa yang terjadi: Davin dan dirinya bertengkar, mereka putus, Tania tidak lagi tinggal bersamanya. Sesederhana itu.

Sayangnya, hari-hari yang normal hanya bertahan kurang dari satu bulan.

Di suatu sore ketika Tania bersiap pulang, Gerald muncul di kantor itu. Ia duduk di dekat pintu masuk dan jelas sekali menunggu kemunculan Tania.

Tania tak lagi melangkah mundur untuk menghindar. Ia sudah putus dengan Davin, apa lagi yang bisa Gerald lakukan untuk mengancam dan menakut-nakutinya? Tania tidak akan takut kali ini.

Ia melangkah menghampiri Gerald. Ketika sudah cukup dekat, baru disadari oleh Tania bahwa di wajah Gerald terdapat beberapa luka. Sebelah matanya membiru dan ada luka sobek di bibirnya. Tampaknya beberapa luka tertutup riasan dengan cukup baik tapi tetap saja wajahnya terlihat seperti seorang atlit tinju yang baru saja selesai bertarung.

“Kau bisa menebak apa yang terjadi?” Gerald beranjak dari tempat duduknya. Tania hanya diam. “Baiklah, akan kuberitahu. Aku pergi untuk menemui Davin dan dia langsung menghajarku.”

Mata Tania membulat dan ia hampir terkesiap. Gerald terkekeh.

“Itu benar. Aku begitu mengagumi keberanianmu dalam mengambil risiko, Tania. Kau bahkan sanggup membuat Davin begitu marah hingga ia menghabisi ayahnya sendiri. Kau menghancurkan hubungan ayah dengan anaknya.”

Ingin sekali Tania menamparnya. Bagaimana Gerald bisa menyalahkannya sepenuhnya sementara Gerald sendiri mengaku bahwa dia mencintai Tania??

“Ada apa? Kau sudah merasa aman sekarang? Ah, aku tahu. Pasti karena ayah tirimu yang sangat sayang padamu itu, kan?” Gerald berdecak. “Terkaanku memang benar, cepat atau lambat kau akan kembali ke kantor ini.”

“Tak sedikit pun dari apa yang terjadi di hidupku kini ada urusannya denganmu. Kau harus berhenti menjadi seperti psikopat yang terus mengikutiku,” ucap Tania akhirnya.

“Aku mencintaimu-”

“Aku tidak.” Secepat mungkin Tania melangkah keluar dari kantor dan menghentikan sebuah taksi.

Sesampainya di flat, Tania mengunci rapat pintu serta menutup semua tirai jendela. Ungkapan perasaan Gerald yang terus-terusan diulang olehnya membuat Tania menyesal. Ia mendadak ingat akan semua waktu dan saat-saat yang mereka habiskan bersama. Jika dipikir-pikir, Gerald memang tidak sepenuhnya salah jika semua itu membuatnya benar-benar memiliki perasaan sungguhan untuknya.

Tapi tidak, tidak bisa. Tania tahu dia tidak bisa membiarkan ini. Dia tidak bisa dan tidak akan memberi Gerald kesempatan.

“Apa semuanya berjalan baik? Kau belum menelepon selama beberapa hari.” Malam itu Rob menelepon di tengah kesibukan Tania, melamun.

Lagi-lagi ia berakhir dengan menceritakan apa yang terjadi sambil menangis.

“Maafkan aku karena sudah begitu merepotkanmu, tapi aku tidak menyangka Gerald benar-benar mengikutiku terus.”

Ada jeda sejenak sebelum Rob akhirnya kembali bicara, memberikan solusi yang hanya orang macam dirinya saja yang bisa berpikir seperti itu. “Ini ide terakhirku. Untuk membuatnya menjauhimu, kau harus punya kekasih atau paling tidak, terlihat seperti punya kekasih.”

“Tunggu, kenapa?”

“Kau mungkin akan kecewa tapi percayalah, pria cenderung lebih menghargai penolakan dari wanita yang sudah memiliki pasangan dibandingkan wanita yang masih sendiri.”

“Apa??” Tania mengerutkan dahi meskipun Rob tak bisa melihatnya.

“That’s right, kid. Everything seems so unfair for ladies.”

“Tapi aku tidak punya teman pria yang dekat denganku.”

“Ah! Aku kenal seorang lelaki muda yang tampan dan seumuran denganmu, aku akan minta anak itu menemuimu segera.”

“Menurutmu ini akan berhasil?” Tania tak berusaha menyembunyikan keraguan dalam kalimatnya.

“Mari kita lihat saja.” Rob terdengar lebih meyakinkan jadi Tania merasa tidak ada salahnya.

“Baiklah, apa pun asalkan Gerald menjauh dariku.”

Bab terkait

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 12: It's Only Us

    Tania menunggu di sebuah café kecil yang berada tak jauh dari flatnya. Ia hanya mengikuti instruksi Rob tentang jam pertemuannya dan sama sekali tak berkomunikasi dengan lelaki yang akan dikenalkannya ini. Setelah menunggu hampir dua puluh menit, seseorang menghampiri.Tania mengangkat wajahku untuk melihatnya. Lelaki muda dengan rambut hitam dan kulit karamel serta sepasang mata cokelat yang harus diakui Tania amat menawan. Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi datar sebelum akhirnya mengangkat alisnya sebagai tanda menyapa.“Kau putri Rob?”Selama beberapa saat Tania terdiam hingga akhirnya lelaki itu memetik jari di wajahnya.“Ah, iya. Benar.” Tania menggeleng dan berusaha fokus kembali. Mereka duduk berhadapan.“Caspian,” ucapnya singkat.“Itu namamu atau ....”“Kau berpikir aku sedang menyebutkan nama danau terluas di dunia secara random pada orang yang baru ku

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 13: Close to the Edge

    Hari itu untuk pertama kalinya Tania pergi ke kantor dengan tenang dan menjalani aktivitas dengan bahagia, tanpa tekanan, tanpa rasa takut atau kegelisahan tentang Gerald yang terus mengikuti. Ide Rob tampaknya memang benar-benar berhasil meskipun kedengarannya begitu menyedihkan bagi Tania saat ia harus memiliki kekasih di sisinya agar Gerald benar-benar menjauh.Keceriaan itu bertahan hingga sore hari, ketika Caspian datang untuk menjemput, Tania segera menyadari perubahan mood-nya yang tidak biasa dan itu membuatnya merasa heran.Maksudnya, tentu saja dia memang kadang menyebalkan dan tidak banyak bicara, ekspresi wajahnya juga lebih sering membuat Tania merasa seperti Caspian meminta agar ditinju saja, tapi sore itu dia memang berbeda dan satu lagi, dia memakai kacamata hitam.“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”Caspian memberikan helm pada Tania tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Begitu juga di sepanjang perjalanan, ta

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-08
  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 14: Put Your Hand in Mine

    “Kau tidak masuk kerja hari ini?” tanya Caspian saat mereka menyelesaikan sarapan.“Tadinya aku ada jadwal syuting iklan untuk salah satu produk minuman milik Rob, tapi kurasa aku bisa menundanya. Dia tidak sedang buru-buru.” Tania membersihkan peralatan makannya.“Rob punya produk minumannya sendiri? Aku tidak tahu itu.”“Dia baru meresmikannya beberapa hari lalu, katanya. Tapi aku juga belum mencobanya, sih.” Tania mengedikkan bahu. “Aku bilang padanya aku ingin istirahat sebentar dan dia memberiku waktu seminggu.”“Hidup jauh lebih mudah saat ayahmu menjadi bos di tempat kerjamu sendiri, ya?”“Percayalah, takdir itu sesuatu yang rumit dan penuh kejutan,” sahut Tania sambil tersenyum simpul sebelum akhirnya mencuci piring.“Well, karena kau juga libur, bagaimana jika kau ikut aku saja? Jalan-jalan.”Tania menoleh. Ekspresi wajah

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-09
  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 15: Love is the Cure

    Mereka berdua bangun saat jam menunjukkan lewat pukul sepuluh pagi. Badai tadi malam kelihatannya cukup buruk karena salah satu pohon yang berada tak jauh dari rumah Caspian tumbang. Beruntunglah tak ada rumah di dekatnya.“Ah, pohon itu memang sudah tua,” ujar Caspian sembari memandanginya dari depan pintu.“Semua yang ada di sini sepertinya memang sudah tua, ya?” Tania mengangkat alis. Caspian lalu melihatnya dengan ekspresi datar.“Memang.”“Tapi cuacanya kelihatannya akan cerah hari ini.” Tania memperhatikan langit. Biru dan tak ada awan.“Benar, waktu yang tepat untuk mengunjungi peternakan kuda Eric.”“Peternakan apa?” Tania mengerutkan dahi.“Eric, teman lama ayahku. Di punya peternakan kuda yang tidak terlalu jauh dari sini. Ayo.” Caspian meraih jaketnya dan bersiap mengunci pintu.“Kita akan jalan kaki?”“Tidak

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-10
  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 16: One More Try

    Catherine memandangi elektrokardiogram yang terus menunjukkan aktivitas jantung putranya. Davin, lelaki muda itu kini terbaring tak sadarkan diri di ruangan ICU setelah kecelakaan fatal yang dialaminya kemarin malam. Tak butuh waktu lama bagi Catherine untuk segera mengambil penerbangan menuju Paris setelah mendapat telepon dari salah satu karyawan Davin.Di sinilah ia sekarang. Ia butuh waktu begitu lama untuk mencerna kejadian buruk yang menimpa putranya sebelum akhirnya menyadari sesuatu.Tak ada satu pun orang yang dikenalnya, berada di sini, di dekat Davin.Gerald ayahnya? Mungkin dia sibuk dan belum mendapat kabar ini, tapi ... Tania? Di mana gadis itu? Bukankah dia calon istri Davin? Apa yang terjadi?Catherine menyeka air mata dari wajahnya sekali lagi. Ia tidak sanggup terus berada di sini untuk memandangi putranya yang masih belum sadar dan berada dalam kesakitan, tapi ia tak bisa pergi dan meninggalkan Davin sendiri.Sembari men

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-10
  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 17: A Fist of Pure Emotion, A Head of Shattered Dreams

    Bel istirahat telah berbunyi dan semua anak-anak keluar dari ruang kelas mereka, berlarian menuju taman, kantin atau toilet. Namun berbeda dengan Gerald yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas tadi malam, ia kini berlari menuju belakang gedung sekolah untuk menemui gadis yang sangat dicintainya secara diam-diam tanpa diketahui oleh guru atau teman-temannya.Dia akan menemui kekasihnya, dengan sepotong besar kue ulang tahun yang sengaja disimpannya dari acara potong kue bersama keluarganya tadi malam, agar ia bisa berbagi dengan gadis itu hari ini di sekolah. Ia tak bisa membeli kue yang baru karena uang sakunya telah habis disisihkannya untuk mengikuti les piano setiap akhir pekan. Sementara di tangan lainnya, ia membawa sebatang lili berwarna putih, bunga favorit gadis itu. Lili itu juga tak dibeli Gerald. Ia memetiknya dari kebun milik ibunya yang ada di halaman belakang rumah, secara diam-diam.Tak masalah, kekasihnya itu bukan gadis yang cerewet

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-11
  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 18: Walk Through Different Doors

    “Ayah! Ayolah mainkan Love Dream-nya Liszt lagi!” Anak lelaki yang manis itu sejak tadi menarik tangan Gerald untuk menuju piano besarnya.“Baiklah, baiklah, hanya sebentar saja, ok? Ayah harus pergi sebentar lagi.” Gerald mengusap kepala anak itu, Davin, putranya.“Indah sekali ....” Davin menyimak permainan piano ayahnya dengan bahagia. Sedikit yang ia ketahui, bahwa dalam hati ayahnya ia tengah memikirkan banyak sekali hal lain di luar sana, hal-hal yang tak seharusnya dipikirkannya lagi, tetapi semua itu tetap menghantuinya dan membuatnya terjaga setiap malam.Keberadaan Ellaine.Ia tahu ini salah. Ia kerap pergi dan berkendara dengan mobilnya selama berjam-jam setiap akhir pekan dengan alasan mengurus pekerjaan, padahal sebenarnya, ia berkeliling ke setiap sisi dan sudut kota London untuk mencari Ellaine, tanpa menghiraukan Catherine yang telah menjadi istrinya selama bertahun-tahun.Hal in

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-12
  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 19: One More Chance

    Gerald melangkah keluar dari mobilnya dan kembali ke ruang ICU. Melalui kaca yang ada di pintu, dilihatnya Catherine telah ada di sana, menangis di sisi Davin yang juga masih belum sadar. Ia memutuskan untuk kembali ke hotel tempatnya menginap yang tak jauh dari rumah sakit ini. Tak terlalu dipikirkannya percakapan antara dirinya dan Catherine yang terjadi beberapa saat lalu, tetapi ia tahu itu mungkin membuat Catherine cukup frustrasi dan terkejut.Oh, kenapa setiap hal yang Gerald lakukan pada Catherine seolah benar-benar membuatnya tampak seperti monster yang sengaja menyakiti wanita itu? Meskipun niat Gerald juga tak benar-benar jauh berbeda, ia ingin Catherine sadar bahwa mencintai Gerald adalah hal yang sia-sia.Pagi harinya, sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya.“Davin sudah sadar, dia sudah keluar dari ruang ICU. Dia ingin bertemu denganmu.”Gerald tak perlu banyak menerka tentang s

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-13

Bab terbaru

  • Sugar Daddy-in-Law   EPILOGUE

    Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 60: Sugar

    Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 59: Love is the Tuesdays

    Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 58: Before We Start Again, Let's Think

    Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 57: Get Better Soon!

    Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 56: How does It Feel?

    “Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 55: Counting on High Hope

    Gerald dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.“Maafkan aku,” bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Davin yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. “Davin jadi seperti ini karena aku.”“Tania, ini bukan salahmu,” balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.“Ini salahku ….” Tania mendadak berlutut di ha

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 54: Gravity

    Orang-orang tampak begitu bahagia. Mereka bersorak, bertepuk tangan serta bersulang untuk pasangan yang baru saja menyelesaikan upacara pernikahan itu.Davin memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia lalu melihat tangannya yang entah sejak kapan telah menggenggam segelas wine putih.“Kau menikmati pestanya?” Seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut dari belakang. Davin berbalik dan ia mendapati Tania dalam gaun putih khas pengantin yang begitu indah.“Tania??” Davin menggosok mata dengan satu tangannya. “K-kau … apa yang terjadi?”“Apa maksudmu?” Tania tertawa ceria lalu menaikkan telapak tangan, menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis kanannya. “Bagus, ya?”Davin melangkah mundur. Ia perhatikan lagi sekelilingnya, semua orang mendadak hilang, hanya ada kursi-kursi untuk para tamu serta dekorasi pesta pernikahan dengan suasana garden party.&l

  • Sugar Daddy-in-Law   Chapter 53: Target

    Selama hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat ‘drama’ Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.Mata yang sudah belasan tah

DMCA.com Protection Status