Davian datang dengan langkah yang tampak bergegas, kemudian segera menghampiri Ziel yang duduk di kursi tunggu.“Sorry, gue kejebak macet,” ujarnya langsung saat sampai. “Karel gimana?”“Udah sadar, kok. Sekarang lagi sama mama di dalam.”“Apa tangannya yang luka sakit lagi?”“Bukan,” jawab Ziel. “Tapi, ada yang lain.”Mendengar perkataan Ziel, Davi malah memasang raut bingung.“Dokter bilang ada masalah dengan jantungnya. Penyebabnya adalah foktor genetik. Karena dalam keluarganya dia ada beberapa yang mengalami, termasuk almarhumah mamanya.”“Ya ampun,” respon Davian.Karel itu tipe cewek agresif, heboh dan nggak bisa diem. Tiba-tiba malah sakit yang mengharuskan dia untuk bisa mengontrol emosi dan perasaan. Bahkan untuk aktifitas pun dia akan mengalami sebuah aturan … karena dilarang untuk beraktifitas terlalu berat.“Tapi sekarang kondisinya gimana? Maksud gue, tingkat keparahannya.”“Syukurnya cepat ketahuan. Masih berada di level awal, hingga bisa menghentikan perkembangan sakit
Padahal tak berniat bangun, tapi obrolan beberapa orang yang terdengar samar-samar memaksa matanya untuk terbuka lebar. Sedikit menyipitkan matanya saat cahaya matahari dari jendela luar menyerang. Kemudian beralih ke arah lain. Tampak Ziel yang sedang bicara dengan seorang dokter.Beberapa saat kemudian, dokter berlalu pergi keluar dari sana. Sedangkan Ziel berbalik badan dan menghampiri Karel.“Sudah bangun,” ujar Ziel lembut, tersenyum dengan satu tangannya yang mengusap pipi Karel.“Sudah siang, ya? Tapi kenapa mataku masih ngantuk, ya,” gumam Karel dengan suara serak.“Masih pagi. Kamu bangun karena keganggu saat aku bicara dengan dokter barusan, ya.”Karel tak menjawab, ia melakukan pergerakan, tapi terhenti saat tak mendapati jarum infus di pergelangan tangannya.“Wah, udah dibuka ya.”“Iya,” jawab Ziel. “Dokter bilang kondisi kamu sudah mendingan. Hanya perlu istirahat yang cukup. Tapi setelah ini kamu mungkin merasa sedikit tak mengenakkan dengan serangkaian tes kesehatan yan
“Kenapa?” tanya Karel melihat reaksi kaget Ziel. “Nggak masalah, kan?”Ziel sampai bingung harus memberikan balasan, reaksi ataupun komentar seperti apa.“Yakali aku nggak nyentuh kamu setelah nikah, belum nikah aja kamu bisa ku kekepin,” berengut Ziel seolah tak terima dengan permintaan Karel.Karel hendak tertawa mendengar perkataan Ziel, tapi ia coba untuk tahan. Karena maksud dari perkataannya itu bukan sebuah sentuhan yang biasa, tapi justru hal sakral bagi hubungan pasangan suami istri.“Lebih tepatnya, kamu harus janji. Meskipun kita udah nikah, jangan sampai sikapmu lepas kendali padaku. Harus ingat, jika aku masih sekolah.”Ziel menatap serius pada Karelyn. “Kalau aku nggak bisa menahannya?”Mata Karel dibuat membola, menatap Ziel dengan tatapan takut. “Ih, kok gitu.”“Kan aku cuman bilang ‘kalau’, Sayang. Sebagai seorang laki-laki normal, dihadapkan pada sesuatu yang membuat naluriku sebagai laki-laki muncul, ya aku harus apa? Masa iya mau nyari mangsa di luar. Padahal ada k
Tadinya mau istirahat seperti apa yang dipesankan oleh Ziel padanya, sembari menunggu orang-orang yang diminta untuk mengurus semua hal tentang acara nanti sore. Ya, karena sore ini adalah waktu yang dipilih untuk melakukan akad.Menyenderkan punggungnya di sandaran tempat tidur, sambil terus berpikir. Ya, banyak sekali sekarang yang ada dalam pikirannya. Tapi setidaknya sedikit tercerahkan karena sikap yang ia terima dari papanya tadi.Ponselnya berdering, pertanda sebuah pesan masuk. Menyambar benda pipih yang ia letakkan di nakas samping tempat tidur, kemudian mengecek isi pesan.“Kamu baik-baik saja, kan? Apa ada yang sakit atau yang bikin kamu nggak nyaman?”Karel sampai tersenyum simpul mendapatkan pertanyaan itu yang nyatanya dari Ziel.“Ya, aku baik-baik saja.”Tak menunggu balasan, Karel lagi mengirim pesan pada Ziel.“Kakak jadi tadi mampir ke rumahnya Puja?”“Iya. Aku sudah menjelaskan semua pada dia dan meminta untuk datang ke rumah.”“Baguslah. Makasih. Love you.”“Aku te
“Gue terharu,” ujar Giska berdiri dihadapan Karel yang sudah selesai make-up, lengkap dengan stelan kebaya yang sudah membalut tubuh dia.“Pengin nangis nggak, sih,” tambah Puja ikut-ikutan memasang wajah mewek. Ingin memeluk Karel, tapi karena takut merusak dandanan sobatnya, akhirnya ia malah memeluk Giska. Jadilah, keduanya saling berpelukan.“Gue nggak diajak pelukan?” tanya Karel. Padahal ia sudah bersiap menyambut, tapi malah tak diajak.Giska dan Puja malah terkekeh.“Takut make-up lo kena. Udah cantik, udah rapi, ntar malah berantakan lagi,” ujar Giska.“Tapi beneran, El … lo cantik banget. Asli. Busana ini pas dan cocok banget sama elo. Sebagai sesama cewek, gue aja pangling. Gimana kalau Kak Ziel yang liat, auto mengsalting dia,” terang Puja.Stelan kebaya dengan atasan berwarna putih dan bawahan rok batik, membuat tampilan Karel benar-benar terlihat elegan. Maklum saja, darah chinese yang masih mengalir di dalam tubuh dia, membuat wajah oriental itu terlihat begitu manis. D
Selesai acara, termasuk sesi foto-foto yang entah berapa kali jepretan. Saking banyaknya ia merasa pipinya berasa tegang, karena harus senyum lagi dan lagi. Belum lagi dengan kebaya yang membuat badannya seperti dipress. Ini bukan sempit tapi karena ngepress badan, jadinya bergerak pun rasanya nggak leluasa.“Hai, semua! Kami datang!”Sebuah suara tiba-tiba datang dari arah pintu masuk. Pandangan terfokus ke arah sana, pun dengan Karelyn. Yang tadinya merasa capek, bosan … seketika senyuman merekah tercetak di bibirnya.“Tante!”Ingin berlari menghampiri dua orang wanita yang datang itu, tapi keburu Ziel menahan niatnya.“Yakin mau lari?” tanya Ziel menunjuk ke arah kaki Karel.Karel melupakan jika sedang mengenakan hels, yakali berlari bebas begitu, pun dengan kebaya ini.“Gara-gara kamu ini, aku nggak bisa lari, kan,” gerutunya pada Ziel dengan tampang cemberut. Tapi dia malah tersenyum sebegitu manisnya menanggapi ocehannya.“Ya ampun ponakan kita udah gede, Zy. Udah nikah dong,” u
Setelah bicara pada Karelyn dan pamit pada keluarga sahabatnya itu, Giska segera berlalu pergi keluar meninggalkan tempat acara. Kemudian bergegas menuju arah pinggir jalan.Ponselnya kembali berdering, terlihat jika yang meneleponnya adalah papanya sendiri.“Kamu di mana?!”“Ini aku lagi di jalan mau pulang.”“Kalau kamu nggak pulang juga, papa pastikan kamu nggak akan bisa masuk rumah ini untuk mengambil barang-barang kamu!”“Sudah ku bilang kan aku lagi di jalan. Papa bisa dengar apa yang ku katakan, kan!”Langsung, percakapan di telepon terputus ketika papanya yang memutus sambungan telepon itu.“Ini gila! Maunya apa sih dia!”“Aku antar.”Giska langsung balik badan saat mendengar perkataan itu. Ia dapati Davian di depannya.“Apa?” tanyanya memastikan perkataan Davian barusan.“Aku antar kamu pulang.”“Ngga usah,” tolak Giska. “Ada taksi.”“Udahlah, yang pati-pasti saja. Tunggu di suni, aku ambil mobil bentar.”Davian bergegas menuju ke arah parkiran di mana kendaraannya berada. K
Semua acara sudah selesai. Mungkin orang-orang akan merasa deg-deg an saat berada dalam satu kamar dengan seorang cowok, tapi Karel seolah biasa saja. Bukan karena sering satu kamar sama cowok, tapi lebih tepatnya karena terbiasa bersama Ziel, jadi bawaannya tak takut sama sekali.Kiran, Linzy dan Lauren sudah membantu karel melepaskan pernak pernik di rambut hingga kebaya yang sedari tadi siang membungkus badannya.“Demi apa rasanya lega,” ujarnya bernapas panjang setelah benda itu lepas dari badannya. Hingga meninggalkan tanktop berwarna putih.“Nggak sempit, kan?” tanya Kiran.“Enggk,” jawabnya. “Cuman mungkin baru kali ini pake kebaya, bawaannya kesal aja. Gerah dan pokoknya begitulah,” jelas Karel.“Btw, Ziel mana?” tanya Lauren.“Katanya mau nelepon Kak Davian,” jawab Karel. “Mungkin di kamarnya.”“Mungkin di kamarnya? Aduh, Karelyn … ponakanku tersayang, tercinta, tercantik. Kamarnya Ziel itu ya kamarmu juga sekarang. Udah nikah, kan, kalian.”Kiran sampai tertawa mendengar pen
Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan
Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar
Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend
Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.
Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,
Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k
“Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke