“Kenapa?” tanya Karel melihat reaksi kaget Ziel. “Nggak masalah, kan?”Ziel sampai bingung harus memberikan balasan, reaksi ataupun komentar seperti apa.“Yakali aku nggak nyentuh kamu setelah nikah, belum nikah aja kamu bisa ku kekepin,” berengut Ziel seolah tak terima dengan permintaan Karel.Karel hendak tertawa mendengar perkataan Ziel, tapi ia coba untuk tahan. Karena maksud dari perkataannya itu bukan sebuah sentuhan yang biasa, tapi justru hal sakral bagi hubungan pasangan suami istri.“Lebih tepatnya, kamu harus janji. Meskipun kita udah nikah, jangan sampai sikapmu lepas kendali padaku. Harus ingat, jika aku masih sekolah.”Ziel menatap serius pada Karelyn. “Kalau aku nggak bisa menahannya?”Mata Karel dibuat membola, menatap Ziel dengan tatapan takut. “Ih, kok gitu.”“Kan aku cuman bilang ‘kalau’, Sayang. Sebagai seorang laki-laki normal, dihadapkan pada sesuatu yang membuat naluriku sebagai laki-laki muncul, ya aku harus apa? Masa iya mau nyari mangsa di luar. Padahal ada k
Tadinya mau istirahat seperti apa yang dipesankan oleh Ziel padanya, sembari menunggu orang-orang yang diminta untuk mengurus semua hal tentang acara nanti sore. Ya, karena sore ini adalah waktu yang dipilih untuk melakukan akad.Menyenderkan punggungnya di sandaran tempat tidur, sambil terus berpikir. Ya, banyak sekali sekarang yang ada dalam pikirannya. Tapi setidaknya sedikit tercerahkan karena sikap yang ia terima dari papanya tadi.Ponselnya berdering, pertanda sebuah pesan masuk. Menyambar benda pipih yang ia letakkan di nakas samping tempat tidur, kemudian mengecek isi pesan.“Kamu baik-baik saja, kan? Apa ada yang sakit atau yang bikin kamu nggak nyaman?”Karel sampai tersenyum simpul mendapatkan pertanyaan itu yang nyatanya dari Ziel.“Ya, aku baik-baik saja.”Tak menunggu balasan, Karel lagi mengirim pesan pada Ziel.“Kakak jadi tadi mampir ke rumahnya Puja?”“Iya. Aku sudah menjelaskan semua pada dia dan meminta untuk datang ke rumah.”“Baguslah. Makasih. Love you.”“Aku te
“Gue terharu,” ujar Giska berdiri dihadapan Karel yang sudah selesai make-up, lengkap dengan stelan kebaya yang sudah membalut tubuh dia.“Pengin nangis nggak, sih,” tambah Puja ikut-ikutan memasang wajah mewek. Ingin memeluk Karel, tapi karena takut merusak dandanan sobatnya, akhirnya ia malah memeluk Giska. Jadilah, keduanya saling berpelukan.“Gue nggak diajak pelukan?” tanya Karel. Padahal ia sudah bersiap menyambut, tapi malah tak diajak.Giska dan Puja malah terkekeh.“Takut make-up lo kena. Udah cantik, udah rapi, ntar malah berantakan lagi,” ujar Giska.“Tapi beneran, El … lo cantik banget. Asli. Busana ini pas dan cocok banget sama elo. Sebagai sesama cewek, gue aja pangling. Gimana kalau Kak Ziel yang liat, auto mengsalting dia,” terang Puja.Stelan kebaya dengan atasan berwarna putih dan bawahan rok batik, membuat tampilan Karel benar-benar terlihat elegan. Maklum saja, darah chinese yang masih mengalir di dalam tubuh dia, membuat wajah oriental itu terlihat begitu manis. D
Selesai acara, termasuk sesi foto-foto yang entah berapa kali jepretan. Saking banyaknya ia merasa pipinya berasa tegang, karena harus senyum lagi dan lagi. Belum lagi dengan kebaya yang membuat badannya seperti dipress. Ini bukan sempit tapi karena ngepress badan, jadinya bergerak pun rasanya nggak leluasa.“Hai, semua! Kami datang!”Sebuah suara tiba-tiba datang dari arah pintu masuk. Pandangan terfokus ke arah sana, pun dengan Karelyn. Yang tadinya merasa capek, bosan … seketika senyuman merekah tercetak di bibirnya.“Tante!”Ingin berlari menghampiri dua orang wanita yang datang itu, tapi keburu Ziel menahan niatnya.“Yakin mau lari?” tanya Ziel menunjuk ke arah kaki Karel.Karel melupakan jika sedang mengenakan hels, yakali berlari bebas begitu, pun dengan kebaya ini.“Gara-gara kamu ini, aku nggak bisa lari, kan,” gerutunya pada Ziel dengan tampang cemberut. Tapi dia malah tersenyum sebegitu manisnya menanggapi ocehannya.“Ya ampun ponakan kita udah gede, Zy. Udah nikah dong,” u
Setelah bicara pada Karelyn dan pamit pada keluarga sahabatnya itu, Giska segera berlalu pergi keluar meninggalkan tempat acara. Kemudian bergegas menuju arah pinggir jalan.Ponselnya kembali berdering, terlihat jika yang meneleponnya adalah papanya sendiri.“Kamu di mana?!”“Ini aku lagi di jalan mau pulang.”“Kalau kamu nggak pulang juga, papa pastikan kamu nggak akan bisa masuk rumah ini untuk mengambil barang-barang kamu!”“Sudah ku bilang kan aku lagi di jalan. Papa bisa dengar apa yang ku katakan, kan!”Langsung, percakapan di telepon terputus ketika papanya yang memutus sambungan telepon itu.“Ini gila! Maunya apa sih dia!”“Aku antar.”Giska langsung balik badan saat mendengar perkataan itu. Ia dapati Davian di depannya.“Apa?” tanyanya memastikan perkataan Davian barusan.“Aku antar kamu pulang.”“Ngga usah,” tolak Giska. “Ada taksi.”“Udahlah, yang pati-pasti saja. Tunggu di suni, aku ambil mobil bentar.”Davian bergegas menuju ke arah parkiran di mana kendaraannya berada. K
Semua acara sudah selesai. Mungkin orang-orang akan merasa deg-deg an saat berada dalam satu kamar dengan seorang cowok, tapi Karel seolah biasa saja. Bukan karena sering satu kamar sama cowok, tapi lebih tepatnya karena terbiasa bersama Ziel, jadi bawaannya tak takut sama sekali.Kiran, Linzy dan Lauren sudah membantu karel melepaskan pernak pernik di rambut hingga kebaya yang sedari tadi siang membungkus badannya.“Demi apa rasanya lega,” ujarnya bernapas panjang setelah benda itu lepas dari badannya. Hingga meninggalkan tanktop berwarna putih.“Nggak sempit, kan?” tanya Kiran.“Enggk,” jawabnya. “Cuman mungkin baru kali ini pake kebaya, bawaannya kesal aja. Gerah dan pokoknya begitulah,” jelas Karel.“Btw, Ziel mana?” tanya Lauren.“Katanya mau nelepon Kak Davian,” jawab Karel. “Mungkin di kamarnya.”“Mungkin di kamarnya? Aduh, Karelyn … ponakanku tersayang, tercinta, tercantik. Kamarnya Ziel itu ya kamarmu juga sekarang. Udah nikah, kan, kalian.”Kiran sampai tertawa mendengar pen
Kehidupan Karel dan Ziel sudah berada di alam mimpi indah mereka, sedangkan Giska? Entahlah, mungkin inilah yang dinamakan dengan mimpi buruk.Giska menatap seseorang yang kini duduk berhadap-hadapan dengannya.“Kok tiba-tiba ada di sini?” tanya Giska.“Dengar tadi, kan. Aku bilang apa saat teleponan sama Ziel? Yang barusan adalah temanku dan Ziel. Kita berdua habis ngebahas kerjaan.”“Oo,” respon Giska mengangguk. “Trus, dia barusan sudah pergi. Kenapa masih di sini?”“Menemanimu,” jawab Davian.Ya, bahkan Giska merasa ini adalah sebuah kebetulan yag sangat kebetulan. Tadi dia mengantarkannya pulang ke rumah, sekarang saat ia mampir di cafe setelah diusir dari rumah, malah ketemu lagi sama dia. Perkenalan juga baru tadi pas acara nikahan Karel, tapi seolah Davian muncul lagi dan lagi di sekitarnya.“Aku ada di sini, itu untuk menyendiri. Jadi nggak perlu ditemani,” respon Giska kemudian beranjak dari posisi duduknya dan kembali ke mejanya.Davian tersenyum simpul mendapatkan reaksi j
Menggeliat, tapi gerakannya terhenti saat merasa ada yang menahannya. Mata yang benar-benar terasa masih mengantuk ia paksakan untuk melek. Tersenyum, ketika dihadapkan pada sosok yang masih tidur itu. Tampak benar-benar tenang, hingga napas yang dia hembuskan saja seolah terasa lembut menerpa wajahnya.Segera tersadar, ketika ada yang aneh terasa di badannya. Ya, sangat bisa dirasakan jika tangan Ziel berada di punggungnya. Rasanya dingin, menyentuh langsung kulitnya. Ingin kaget, tapi kok malah jadi aneh kalau ia kaget. Posisinya sekarang adalah milik Ziel, itu artinya ini hal yang wajar.Perlahan melepaskan diri dari rengkuhan yang melilit badannya. Percayalah, ini rasanya seperti melepaskan diri dari lilitan ular cobra yang sedang tidur. Iya, ularnya spek pangeran.Setelah lepas, segera ia gantikan dirinya dengan sebuah guling. Menarik napasnya dalam, ketika berhasil lepas.“Tanganmu nakal sekali kalau tidur,” ujar Karel.Beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mand