Setelah bicara pada Karelyn dan pamit pada keluarga sahabatnya itu, Giska segera berlalu pergi keluar meninggalkan tempat acara. Kemudian bergegas menuju arah pinggir jalan.Ponselnya kembali berdering, terlihat jika yang meneleponnya adalah papanya sendiri.“Kamu di mana?!”“Ini aku lagi di jalan mau pulang.”“Kalau kamu nggak pulang juga, papa pastikan kamu nggak akan bisa masuk rumah ini untuk mengambil barang-barang kamu!”“Sudah ku bilang kan aku lagi di jalan. Papa bisa dengar apa yang ku katakan, kan!”Langsung, percakapan di telepon terputus ketika papanya yang memutus sambungan telepon itu.“Ini gila! Maunya apa sih dia!”“Aku antar.”Giska langsung balik badan saat mendengar perkataan itu. Ia dapati Davian di depannya.“Apa?” tanyanya memastikan perkataan Davian barusan.“Aku antar kamu pulang.”“Ngga usah,” tolak Giska. “Ada taksi.”“Udahlah, yang pati-pasti saja. Tunggu di suni, aku ambil mobil bentar.”Davian bergegas menuju ke arah parkiran di mana kendaraannya berada. K
Semua acara sudah selesai. Mungkin orang-orang akan merasa deg-deg an saat berada dalam satu kamar dengan seorang cowok, tapi Karel seolah biasa saja. Bukan karena sering satu kamar sama cowok, tapi lebih tepatnya karena terbiasa bersama Ziel, jadi bawaannya tak takut sama sekali.Kiran, Linzy dan Lauren sudah membantu karel melepaskan pernak pernik di rambut hingga kebaya yang sedari tadi siang membungkus badannya.“Demi apa rasanya lega,” ujarnya bernapas panjang setelah benda itu lepas dari badannya. Hingga meninggalkan tanktop berwarna putih.“Nggak sempit, kan?” tanya Kiran.“Enggk,” jawabnya. “Cuman mungkin baru kali ini pake kebaya, bawaannya kesal aja. Gerah dan pokoknya begitulah,” jelas Karel.“Btw, Ziel mana?” tanya Lauren.“Katanya mau nelepon Kak Davian,” jawab Karel. “Mungkin di kamarnya.”“Mungkin di kamarnya? Aduh, Karelyn … ponakanku tersayang, tercinta, tercantik. Kamarnya Ziel itu ya kamarmu juga sekarang. Udah nikah, kan, kalian.”Kiran sampai tertawa mendengar pen
Kehidupan Karel dan Ziel sudah berada di alam mimpi indah mereka, sedangkan Giska? Entahlah, mungkin inilah yang dinamakan dengan mimpi buruk.Giska menatap seseorang yang kini duduk berhadap-hadapan dengannya.“Kok tiba-tiba ada di sini?” tanya Giska.“Dengar tadi, kan. Aku bilang apa saat teleponan sama Ziel? Yang barusan adalah temanku dan Ziel. Kita berdua habis ngebahas kerjaan.”“Oo,” respon Giska mengangguk. “Trus, dia barusan sudah pergi. Kenapa masih di sini?”“Menemanimu,” jawab Davian.Ya, bahkan Giska merasa ini adalah sebuah kebetulan yag sangat kebetulan. Tadi dia mengantarkannya pulang ke rumah, sekarang saat ia mampir di cafe setelah diusir dari rumah, malah ketemu lagi sama dia. Perkenalan juga baru tadi pas acara nikahan Karel, tapi seolah Davian muncul lagi dan lagi di sekitarnya.“Aku ada di sini, itu untuk menyendiri. Jadi nggak perlu ditemani,” respon Giska kemudian beranjak dari posisi duduknya dan kembali ke mejanya.Davian tersenyum simpul mendapatkan reaksi j
Menggeliat, tapi gerakannya terhenti saat merasa ada yang menahannya. Mata yang benar-benar terasa masih mengantuk ia paksakan untuk melek. Tersenyum, ketika dihadapkan pada sosok yang masih tidur itu. Tampak benar-benar tenang, hingga napas yang dia hembuskan saja seolah terasa lembut menerpa wajahnya.Segera tersadar, ketika ada yang aneh terasa di badannya. Ya, sangat bisa dirasakan jika tangan Ziel berada di punggungnya. Rasanya dingin, menyentuh langsung kulitnya. Ingin kaget, tapi kok malah jadi aneh kalau ia kaget. Posisinya sekarang adalah milik Ziel, itu artinya ini hal yang wajar.Perlahan melepaskan diri dari rengkuhan yang melilit badannya. Percayalah, ini rasanya seperti melepaskan diri dari lilitan ular cobra yang sedang tidur. Iya, ularnya spek pangeran.Setelah lepas, segera ia gantikan dirinya dengan sebuah guling. Menarik napasnya dalam, ketika berhasil lepas.“Tanganmu nakal sekali kalau tidur,” ujar Karel.Beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mand
“Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke
Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k
Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.