Seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, Baskara memilih untuk menghabsikan istirahat siangnya di halaman belakang ditemani bekal sederhana buatan Salimah. Sebenarnya siswa Insan Harapan mendapatkan makan siang yang disediakan di kafetaria. Makanan yang dihidang sudah dihitung agar sesuai dengan kebutuhan gizi dan kalori usia remaja. Tetapi berkunjung ke kafetaria berarti harus berhadapan dengan Andre dan genknya. Sesuatu yang ingin dihindari olehnya. Jangan salah paham, jika dia ingin melawan tentu dia yang akan keluar sebagai pemenangnya. Tetapi itu tidak sepadan dengan kemungkinan dia dikeluarkan dari sekolah. Setiap hari pria itu mendoktrin diri kalau dia harus bertahan sebaik mungkin untuk masa depannya. Baskara hanya ingin segera lulus kemudian mendapatkan beasiswa untuk kuliah dan membahagiakan sang ibu. Itu saja. Perundungan yang diterimanya hanya hal kecil jika dibandingkan keuntungan yang didapat dengan bersekolah di sini. "Here you are!" Suara Aruna terdengar bersamaan d
Mamak: Doa Mamak selalu menyertaimu, Bas. Mamak: Apapun hasilnya selalu percaya itu yang terbaik menurut Tuhan, ya. Untuk kesekian kali Baskara membaca pesan yang dikirimkan oleh Salimah pagi ini. Dia memang sempat memberitahukan kepada beliau kalau hari ini ada pertemuan penting antara dirinya dan Widjaja Group. Walau sang ibu tidak sepenuhnya paham sepenting apa pertemuan hari ini, selayaknya orang tua, Salimah selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya. "Tenang, Bas," dia meletakkan tangan di dada. Berusaha untuk mengatur detak jantung yang dirasanya berdetak lebih cepat dari biasanya. Walau bibirnya bisa berucap dia tidak nervous tetapi Baskara tidak dapat membohongi tubuhnya sendiri. Dia nervous. Sangat. Ini benar-benar kesempatan besar. Bertemu dengan Sabda Narendra Widjaja adalah mimpi semua pengusaha termasuk founder start up seperti dirinya. Belum lagi banyak rumor yang beredar mengatakan kalau Sabdra Narendra Widjaja diam-diam sering melakukan pendanaan untuk perusah
"Baskara," Narendra langsung berdiri dan menyambut kedatangan pria itu sambil tersenyum lebar, "Akhirnya kita bertemu. Sudah lama saya penasaran dengan sosok di balik kesuksesan Steam Perfection." Usia Baskara dan Narendra tidak terlalu jauh berbeda. Pria itu lebih tua satu atau dua tahun daripada Baskara. Tetapi pagi ini dia merasa begitu kerdil di depan Narendra. Mungkin seperti David di hadapan Goliath. Bedanya Narendra bukan penjahat seperti Goliath. Pria itu serupa dengan raksasa yang mengulurkan tangan kepada seseorang yang lemah. Jika Andre perlu berteriak untuk mengatakan dirinya besar maka Narendra sebaliknya. Narendra terlihat begitu tenang. Auranya menyenangkan. Sama sekali tidak ada kesan sombong atau ingin menunjukkan kalau dirinya adalah seseorang. Pria itu cukup terbuka dan ramah tetapi terselip sesuatu yang menghadirkan rasa sungkan bagi lawan bicaranya. "Pak Sabda," dia tersenyum canggung. Sama sekali tidak menduga akan mendapat sambutan seramah ini, "Apa kabar?"
"Sederhananya, kami ingin membeli Steam Perfection." Mendengar kalimat yang diucapkan Narendra dengan lugas Baskara langsung menutup map yang baru saja dibukanya. Dia sama sekali belum melihat apalagi membaca berkas yang ada di dalamnya. "Kalau itu yang Anda inginkan maka jawabannya saya hanya satu. Saya tidak menjual Steam Perfection.""Anda tidak ingin mengetahui penawaran kami terlebih dulu?" Dengan yakin Baskara menggelengkan kepala, "Sebaik apapun penawaran yang Anda dan Widjaja Group berikan saya tetap tidak akan melepaskan Steam Perfection." "Begitu," Narendra masih terlihat tenang seakan penolakan Baskara tidak berarti banyak, "Boleh saya tahu alasannya?" "Alasannya tidak terkait dengan bisnis," pria itu terlihat tersipu, "Lebih ke, hm, personal." "Karena ini perusahaan pertama Anda?" "Bukan," Baskara berdeham. Dia tidak pernah menceritakan ini kepada siapapun selain beberapa orang terdekatnya. Entah kenapa dia ingin membaginya bersama kedua pria yang ada di hadapannya
"Tadi lo bilang berapa?!" Gala langsung berteriak ketika dia keluar dari lift yang terhubung dengan foyer unit apartemen milik sahabatnya. Karena tidak mendapatkan jawaban, pria itu langsung mencari Baskara di ruang duduk dan ruang makan. Ketika tidak menemukan sosok yang dicari Gala langsung menuju ruang kerja dan tanpa merasa perlu untuk mengetuk, dia langsung berhamburan masuk. "Berapa tadi lo bilang?!"Baskara yang sedang menikmati lantunan lagu klasik gubahan Rachmaninoff terkejut mendengar teriakan Gala, "Apa?!" "Angkanya. Lo bilang tadi Widjaja Group nawarin berapa?" "Lima ratus," dia mengecilkan volume ponsel yang digunakan untuk mendengarkan lagu. "Ribu dollar?!" Gala belum terlihat ingin merendahkan suaranya. Dia masih berteriak. "Iya. Lima ratus ribu dollar," Baskara memutar kursi kerja hingga pria itu berhadapan dengan sahabatnya, "Itu pendanaan awal. Kalau valuasi Steam Perfection terus meningkat, mereka menjanjikan pendanaan berikutnya.""Serius lo?!"Baskara menga
"Ngapain ambil troli?" Gala menatap bingung saat Baskara menarik troli ketika mereka memasuki supermarket yang ada di lantai dasar gedung apartemen sahabatnya itu. "Belanja," dengan cuek Baskara menjawab. "Kita bukannya cuma mau beli indomie, kornet, telur sama sayur, ya? Keranjang aja biar cepet." "Sekalian mau belanja. Lo yang bilang kalau gue harus punya stock makanan selain air mineral." "Bener, sih," dia bersungut-sungut, "Tapi jangan lama-lama. Gue laper." "Iya," Baskara memilih untuk menjawab singkat. Gala jika lapar akan berkali lipat lebih cerewet dari biasanya. "Gue ambil indomie. Lo jangan lupa bahan yang lain," tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya, Gala langsung berlalu mencari keberadaan mie instans kesukaannya. Baskara hanya menggeleng kecil ketika melihat tingkah Gala. Mengenal pria itu selama bertahun-tahun membuat dia tidak lagi merasa aneh atau terkejut dengan tingkah polanya. Sama seperti sahabatnya, Baskara juga langsung menyusuri lorong-lorong supermarket
Troli Baskara sudah setengah penuh dengan berbagai bahan makanan baik segar maupun kering ketika dia mulai menyusuri setiap lorong supermarket untuk mencari keberadaan sahabatnya. Baskara sudah mencari di bagian mie instant tapi dia tidak menemukan sosok Gala. Entah ke mana dia. Sesekali Baskara akan berhenti jika menemukan abrang yang sekiranya dibutuhkannya. Terkadang dia membandingkan beberapa merk sebelum memutuskan mana yang akan diambilanya. Tidak jarang pula dia mengembalikan barang itu ke tempat semula karena berubah pikiran. Jika dibiarkan Baskara bisa berlama-lama di supermarket. Terdengar aneh tetapi supermarket serupa dengan playground baginya. Berwarna dan menyenangkan melihat berbagai barang yang terpajang di setiap raknya. "Gue cariin dari tadi ternyata lo di sini," tiba-tiba Gala muncul dari belakang dengan tangan penuh mie instant juga beberapa botol bir. Berbeda dengan Baskara yang tidak pernah menyentuh minuman beralkohol, sahabatnya merupakan pecinta alkohol. Bir
Bab 22: Siapa?"Bas! Woy!" Kali ini Gala tidak berhasil menahan diri untuk tidak menoyor kepala sahabatnya yang masih terbengong, "Dorong troli. Ikuktin gue!" "Ke mana?" Meski bertanya dan tidak mengerti apa yang akan dilakukan oleh sahabatnya, pria itu langsung mengikuti Gala yang sudah berjalan mendahului. Gala gemas. Sepertinya akan percuma jika dijelaskan sehingga dia memutuskan untuk memaksa Baskara agar bertindak. Dia tidak ingin Baskara menyesali kebodohannya yang membiarkan kesempatan sebagus ini lepas begitu saja. "Sana samperin," Gala berhenti ketika menemukan sosok Aruna di salah satu lorong supermarket. "Harus?" Baskara merendahkan suaranya hingga serupa dengan bisikan."Harus! Gue nggak mau lo nyesel lagi, Bas. Baru kemarin lo curhat ke gue kalau keinget dia terus. Lo bahkan sampai stalking media sosial dia.""Gue nggak stal..." "Ya, ya, terserah lo," Gala langsung memotong ucapan pria itu. Ada yang lebih penting yang harus dilakukan saat ini. "Tapi..." Baskara menj