"Sederhananya, kami ingin membeli Steam Perfection." Mendengar kalimat yang diucapkan Narendra dengan lugas Baskara langsung menutup map yang baru saja dibukanya. Dia sama sekali belum melihat apalagi membaca berkas yang ada di dalamnya. "Kalau itu yang Anda inginkan maka jawabannya saya hanya satu. Saya tidak menjual Steam Perfection.""Anda tidak ingin mengetahui penawaran kami terlebih dulu?" Dengan yakin Baskara menggelengkan kepala, "Sebaik apapun penawaran yang Anda dan Widjaja Group berikan saya tetap tidak akan melepaskan Steam Perfection." "Begitu," Narendra masih terlihat tenang seakan penolakan Baskara tidak berarti banyak, "Boleh saya tahu alasannya?" "Alasannya tidak terkait dengan bisnis," pria itu terlihat tersipu, "Lebih ke, hm, personal." "Karena ini perusahaan pertama Anda?" "Bukan," Baskara berdeham. Dia tidak pernah menceritakan ini kepada siapapun selain beberapa orang terdekatnya. Entah kenapa dia ingin membaginya bersama kedua pria yang ada di hadapannya
"Tadi lo bilang berapa?!" Gala langsung berteriak ketika dia keluar dari lift yang terhubung dengan foyer unit apartemen milik sahabatnya. Karena tidak mendapatkan jawaban, pria itu langsung mencari Baskara di ruang duduk dan ruang makan. Ketika tidak menemukan sosok yang dicari Gala langsung menuju ruang kerja dan tanpa merasa perlu untuk mengetuk, dia langsung berhamburan masuk. "Berapa tadi lo bilang?!"Baskara yang sedang menikmati lantunan lagu klasik gubahan Rachmaninoff terkejut mendengar teriakan Gala, "Apa?!" "Angkanya. Lo bilang tadi Widjaja Group nawarin berapa?" "Lima ratus," dia mengecilkan volume ponsel yang digunakan untuk mendengarkan lagu. "Ribu dollar?!" Gala belum terlihat ingin merendahkan suaranya. Dia masih berteriak. "Iya. Lima ratus ribu dollar," Baskara memutar kursi kerja hingga pria itu berhadapan dengan sahabatnya, "Itu pendanaan awal. Kalau valuasi Steam Perfection terus meningkat, mereka menjanjikan pendanaan berikutnya.""Serius lo?!"Baskara menga
"Ngapain ambil troli?" Gala menatap bingung saat Baskara menarik troli ketika mereka memasuki supermarket yang ada di lantai dasar gedung apartemen sahabatnya itu. "Belanja," dengan cuek Baskara menjawab. "Kita bukannya cuma mau beli indomie, kornet, telur sama sayur, ya? Keranjang aja biar cepet." "Sekalian mau belanja. Lo yang bilang kalau gue harus punya stock makanan selain air mineral." "Bener, sih," dia bersungut-sungut, "Tapi jangan lama-lama. Gue laper." "Iya," Baskara memilih untuk menjawab singkat. Gala jika lapar akan berkali lipat lebih cerewet dari biasanya. "Gue ambil indomie. Lo jangan lupa bahan yang lain," tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya, Gala langsung berlalu mencari keberadaan mie instans kesukaannya. Baskara hanya menggeleng kecil ketika melihat tingkah Gala. Mengenal pria itu selama bertahun-tahun membuat dia tidak lagi merasa aneh atau terkejut dengan tingkah polanya. Sama seperti sahabatnya, Baskara juga langsung menyusuri lorong-lorong supermarket
Troli Baskara sudah setengah penuh dengan berbagai bahan makanan baik segar maupun kering ketika dia mulai menyusuri setiap lorong supermarket untuk mencari keberadaan sahabatnya. Baskara sudah mencari di bagian mie instant tapi dia tidak menemukan sosok Gala. Entah ke mana dia. Sesekali Baskara akan berhenti jika menemukan abrang yang sekiranya dibutuhkannya. Terkadang dia membandingkan beberapa merk sebelum memutuskan mana yang akan diambilanya. Tidak jarang pula dia mengembalikan barang itu ke tempat semula karena berubah pikiran. Jika dibiarkan Baskara bisa berlama-lama di supermarket. Terdengar aneh tetapi supermarket serupa dengan playground baginya. Berwarna dan menyenangkan melihat berbagai barang yang terpajang di setiap raknya. "Gue cariin dari tadi ternyata lo di sini," tiba-tiba Gala muncul dari belakang dengan tangan penuh mie instant juga beberapa botol bir. Berbeda dengan Baskara yang tidak pernah menyentuh minuman beralkohol, sahabatnya merupakan pecinta alkohol. Bir
Bab 22: Siapa?"Bas! Woy!" Kali ini Gala tidak berhasil menahan diri untuk tidak menoyor kepala sahabatnya yang masih terbengong, "Dorong troli. Ikuktin gue!" "Ke mana?" Meski bertanya dan tidak mengerti apa yang akan dilakukan oleh sahabatnya, pria itu langsung mengikuti Gala yang sudah berjalan mendahului. Gala gemas. Sepertinya akan percuma jika dijelaskan sehingga dia memutuskan untuk memaksa Baskara agar bertindak. Dia tidak ingin Baskara menyesali kebodohannya yang membiarkan kesempatan sebagus ini lepas begitu saja. "Sana samperin," Gala berhenti ketika menemukan sosok Aruna di salah satu lorong supermarket. "Harus?" Baskara merendahkan suaranya hingga serupa dengan bisikan."Harus! Gue nggak mau lo nyesel lagi, Bas. Baru kemarin lo curhat ke gue kalau keinget dia terus. Lo bahkan sampai stalking media sosial dia.""Gue nggak stal..." "Ya, ya, terserah lo," Gala langsung memotong ucapan pria itu. Ada yang lebih penting yang harus dilakukan saat ini. "Tapi..." Baskara menj
"Udah?" Gala langsung bertanya dengan penuh selidik ketika Baskara menghampirinya. Tentu pertanyaan itu hanya basa-basi karena dia yakin kalau sahabatnya itu bahkan belum berhasil menyapa Aruna. Dia sangat mengenal Baskara hingga dapat memprediksikan setiap langkah diambil pria itu. Baskara tidak pernah ragu jika diminta berbicara di depan puluhan bahkaan ratusan orang. Namun lain ceritanya jika harus berhadapan dengan wanita. "Belum. Mau nyapa tapi terus ada cowok yang nyamperin," Baskara mengambil alih troli, "Kelihatan deket gitu." "Deket gimana? Pacar?" Gala bertanya penuh rasa ingin tahu. "Nggak tahu. Kita balik aja. Nggak enak kalau ganggu." Gala tidak berkomentar. Dia memperhatikan wajah sahabatnya. Raut kecewa jelas terlihat. Menyadari hal itu, tentu saja Gala tidak dapat tinggal diam. Lagi pula ini merupakan kesempatan yang terlalu baik untuk dilewatkan. Jauh dalam hati pria itu tersimpan keinginan agar Baskara dapat menyelesaikan apapun yang masih tersisa di antara dia
Sejak tadi Gala berusaha menahan tawa. Itu semua karenan tingkah Baskara. Pria itu diam-diam terus menerus melirik ke arah Gala. Tidak hanya itu, Baskara juga berulang kali terlihat membuka mulut seperti ikan mas koki. Ada yang ingin ditanyakannya tetapi sampai sekarang masih tidak terucap. Seakan tidak menyadari itu semua, Gala membantu Baskara meletakkan barang-barang belanjaan mereka di atas kasir sementara dengan telaten sahabatnya menata belanjaan ke dalam kardus yang disedikan oleh pihak supermarket. Sejak setahun yang lalu supermarket ini memang tidak lagi menyedikan tas kresek sekali pakai. Sebagai ganti mereka menjual tas kain dan menyediakan kardus secara gratis. "Ada tambahan lainnya, Pak?" Kasir dengan ramah bertanya ketika selesai men-scan barang terakhir yang ada dlam troli. Baskara langsung menggelengkan kepala, "Udah semua.""Baik, saya bantu untuk proses pembayarannya. Segera setelah kasir itu menyebutkan nominal yang harus dibayarkan olehnya, Baskara mengeluarkan
"Tadi siapa, Mbak?" Hansa bertanya memecah keheningan yang menyelimuti lift. Apartemen mewah yang ditempati oleh Aruna menyediakan private lift sehingga sangat jarang sesama penghuni bertemu di lift. Walau sudah tinggal di sini selama setahun tetapi gadis itu sama sekali tidak pernah tahu siapa saja penghuni yang lain. "Siapa?" Aruna balik bertanya sambil menatap pria yang lebih muda itu dengan bingung. "Tadi yang temu di supermarket siapa?" Hansa kembali bertanya kali ini dengan lebih detail. "Oh itu!" Dia tertawa kecil, "Kakak kelas waktu di SMA." "Cuma kakak kelas?" Hansa bertanya lebih jauh."Iya. Kenapa kamu nanya gitu banget?" "Kalau dari yang aku lihat hubungan kalian lebih dari itu." "Maksud kamu?" Aruna berpura tidak paham dengan pertanyaan yang diajukan Hansa. "Nggak mungkin kalau cuma kakak kelas," dia tersenyum penuh arti."Memang cuma kakak kelas. Tapi dulu lumayan dekat. Jangan mikir kejauhan, ya! Dia bukan makan mantan aku." "Beneran? Kalau mantan juga nggak ap