"Ngapain ambil troli?" Gala menatap bingung saat Baskara menarik troli ketika mereka memasuki supermarket yang ada di lantai dasar gedung apartemen sahabatnya itu. "Belanja," dengan cuek Baskara menjawab. "Kita bukannya cuma mau beli indomie, kornet, telur sama sayur, ya? Keranjang aja biar cepet." "Sekalian mau belanja. Lo yang bilang kalau gue harus punya stock makanan selain air mineral." "Bener, sih," dia bersungut-sungut, "Tapi jangan lama-lama. Gue laper." "Iya," Baskara memilih untuk menjawab singkat. Gala jika lapar akan berkali lipat lebih cerewet dari biasanya. "Gue ambil indomie. Lo jangan lupa bahan yang lain," tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya, Gala langsung berlalu mencari keberadaan mie instans kesukaannya. Baskara hanya menggeleng kecil ketika melihat tingkah Gala. Mengenal pria itu selama bertahun-tahun membuat dia tidak lagi merasa aneh atau terkejut dengan tingkah polanya. Sama seperti sahabatnya, Baskara juga langsung menyusuri lorong-lorong supermarket
Troli Baskara sudah setengah penuh dengan berbagai bahan makanan baik segar maupun kering ketika dia mulai menyusuri setiap lorong supermarket untuk mencari keberadaan sahabatnya. Baskara sudah mencari di bagian mie instant tapi dia tidak menemukan sosok Gala. Entah ke mana dia. Sesekali Baskara akan berhenti jika menemukan abrang yang sekiranya dibutuhkannya. Terkadang dia membandingkan beberapa merk sebelum memutuskan mana yang akan diambilanya. Tidak jarang pula dia mengembalikan barang itu ke tempat semula karena berubah pikiran. Jika dibiarkan Baskara bisa berlama-lama di supermarket. Terdengar aneh tetapi supermarket serupa dengan playground baginya. Berwarna dan menyenangkan melihat berbagai barang yang terpajang di setiap raknya. "Gue cariin dari tadi ternyata lo di sini," tiba-tiba Gala muncul dari belakang dengan tangan penuh mie instant juga beberapa botol bir. Berbeda dengan Baskara yang tidak pernah menyentuh minuman beralkohol, sahabatnya merupakan pecinta alkohol. Bir
Bab 22: Siapa?"Bas! Woy!" Kali ini Gala tidak berhasil menahan diri untuk tidak menoyor kepala sahabatnya yang masih terbengong, "Dorong troli. Ikuktin gue!" "Ke mana?" Meski bertanya dan tidak mengerti apa yang akan dilakukan oleh sahabatnya, pria itu langsung mengikuti Gala yang sudah berjalan mendahului. Gala gemas. Sepertinya akan percuma jika dijelaskan sehingga dia memutuskan untuk memaksa Baskara agar bertindak. Dia tidak ingin Baskara menyesali kebodohannya yang membiarkan kesempatan sebagus ini lepas begitu saja. "Sana samperin," Gala berhenti ketika menemukan sosok Aruna di salah satu lorong supermarket. "Harus?" Baskara merendahkan suaranya hingga serupa dengan bisikan."Harus! Gue nggak mau lo nyesel lagi, Bas. Baru kemarin lo curhat ke gue kalau keinget dia terus. Lo bahkan sampai stalking media sosial dia.""Gue nggak stal..." "Ya, ya, terserah lo," Gala langsung memotong ucapan pria itu. Ada yang lebih penting yang harus dilakukan saat ini. "Tapi..." Baskara menj
"Udah?" Gala langsung bertanya dengan penuh selidik ketika Baskara menghampirinya. Tentu pertanyaan itu hanya basa-basi karena dia yakin kalau sahabatnya itu bahkan belum berhasil menyapa Aruna. Dia sangat mengenal Baskara hingga dapat memprediksikan setiap langkah diambil pria itu. Baskara tidak pernah ragu jika diminta berbicara di depan puluhan bahkaan ratusan orang. Namun lain ceritanya jika harus berhadapan dengan wanita. "Belum. Mau nyapa tapi terus ada cowok yang nyamperin," Baskara mengambil alih troli, "Kelihatan deket gitu." "Deket gimana? Pacar?" Gala bertanya penuh rasa ingin tahu. "Nggak tahu. Kita balik aja. Nggak enak kalau ganggu." Gala tidak berkomentar. Dia memperhatikan wajah sahabatnya. Raut kecewa jelas terlihat. Menyadari hal itu, tentu saja Gala tidak dapat tinggal diam. Lagi pula ini merupakan kesempatan yang terlalu baik untuk dilewatkan. Jauh dalam hati pria itu tersimpan keinginan agar Baskara dapat menyelesaikan apapun yang masih tersisa di antara dia
Sejak tadi Gala berusaha menahan tawa. Itu semua karenan tingkah Baskara. Pria itu diam-diam terus menerus melirik ke arah Gala. Tidak hanya itu, Baskara juga berulang kali terlihat membuka mulut seperti ikan mas koki. Ada yang ingin ditanyakannya tetapi sampai sekarang masih tidak terucap. Seakan tidak menyadari itu semua, Gala membantu Baskara meletakkan barang-barang belanjaan mereka di atas kasir sementara dengan telaten sahabatnya menata belanjaan ke dalam kardus yang disedikan oleh pihak supermarket. Sejak setahun yang lalu supermarket ini memang tidak lagi menyedikan tas kresek sekali pakai. Sebagai ganti mereka menjual tas kain dan menyediakan kardus secara gratis. "Ada tambahan lainnya, Pak?" Kasir dengan ramah bertanya ketika selesai men-scan barang terakhir yang ada dlam troli. Baskara langsung menggelengkan kepala, "Udah semua.""Baik, saya bantu untuk proses pembayarannya. Segera setelah kasir itu menyebutkan nominal yang harus dibayarkan olehnya, Baskara mengeluarkan
"Tadi siapa, Mbak?" Hansa bertanya memecah keheningan yang menyelimuti lift. Apartemen mewah yang ditempati oleh Aruna menyediakan private lift sehingga sangat jarang sesama penghuni bertemu di lift. Walau sudah tinggal di sini selama setahun tetapi gadis itu sama sekali tidak pernah tahu siapa saja penghuni yang lain. "Siapa?" Aruna balik bertanya sambil menatap pria yang lebih muda itu dengan bingung. "Tadi yang temu di supermarket siapa?" Hansa kembali bertanya kali ini dengan lebih detail. "Oh itu!" Dia tertawa kecil, "Kakak kelas waktu di SMA." "Cuma kakak kelas?" Hansa bertanya lebih jauh."Iya. Kenapa kamu nanya gitu banget?" "Kalau dari yang aku lihat hubungan kalian lebih dari itu." "Maksud kamu?" Aruna berpura tidak paham dengan pertanyaan yang diajukan Hansa. "Nggak mungkin kalau cuma kakak kelas," dia tersenyum penuh arti."Memang cuma kakak kelas. Tapi dulu lumayan dekat. Jangan mikir kejauhan, ya! Dia bukan makan mantan aku." "Beneran? Kalau mantan juga nggak ap
"Faaa," Hansa sudah berteriak sejak keluar dari lift dan masih berada di foyer unit apartemen Aruna, "Lo harus tahu tadi kita ketemu siapa!""Siapa?" Setelah bertanya gadis yang cuma merupakan pegawai magang di KAMALA itu menyebut sederetan nama aktor pria terkenal di negara ini. "Salah semua! Kita ketemu dengan sahabat mantannya Mbak Aruna!" "Terus kenapa lo seheboh itu? Bukannya kita udah berapa kali ya ketemu sama mantannya Mbak "Denger dulu makanya," tergesa Hansa meletakkan totebag kain berisi berbagai camilan yang akan menemani mereka mengerjakan deadline malam ini di island pantry unit apartemen Aruna. Dia sembarangan kemudian setengah berlari menghampiri Fahira yang serius menatap layar iPad. "Fa, dengerin gue dulu. Ini penting!" Hansa menarik iPad Fahira hingga gadis itu berteriak kesal. "Iiih! Apa, sih?! Udah mau selesai itu konsepnya. Besok bisa tinggal take aja kita!" Fahira mengerucutkan bibir dengan kesal. "Dengerin cerita gue dulu. Nanti gue bantuin urusan ini. Jad
Selesai mengupas bawang putih dan bawang merah, dengan cekatan Baskara mengiris beberapa siung yang sudah dipisahkannya. Dia mengirisnya cukup tipis. Selanjutnya dia mengiris cabai rawit. Kebetulan dia dan Gala sama-sama menyukai hidangan pedas hingga Baskara sengaja mengiris cabai rawit cukup banyak. Sambil menunggu minyak cukup panas, Baskara mengambil tiga bungkus indomie rasa kari ayam, telur ayam dan sawi serta daun bawang yang akan dimasukkan belakangan. Entah sudah berapa kali Baskara memasak indomie kari ayam hingga dia menghapal setiap langkahnya dengan baik. Dia bahkan pernah bercanda mengatakan kalau dia dapat memasaknya bahkan dengan mata tertutup. Meski itu tentu tidak mungkin. Bagaimana mungkin dia mengiris bawang dan cabai rawit dengan mata tertutup?" "Gilaa, kangen banget gue sama aroma ini," Gala yang sebelumnya asyik menonton di ruang duduk langsung menghampiri Baskara di pantry ketika aroma tumisan bawang dan cabai mulai tercium. "Kalau lo sering pulang ke ruma
Berbeda dengan tadi pagi ketika mengawali hari, semakin sore Anya semakin uring-uringan. Bagaimana tidak sepanjang hari dia berulang kali mendapati atasannya melihat ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Menyebalkan. Anya yakin kalau mantan pacar sang atasan yang menjadi penyebabnya. Hari sudah menjelang pukul tiga tetapi pekerjaannya masih menggunung. Hari ini entah mengapa dia tidak dapat fokus. Yang dilakukannya hanya mencari tahu tentang Aruna. Awalnya dia cukup yakin dapat bersaing dengan gadis itu. Aruna hanya menang nama keluarg saja. Memang gadis itu lebih cantik dan menawan dibanding dirinya tetapi dia tahu kalau Baskara tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sayangnya, semakin dia mencari tahu tentang Aruna, semakin dia merasa kecil. Aruna memang terlahir dengan begitu banyak priviledge dan dia memanfaatkannya dengan baik. Sejak remaja dia sudah sering mendapatkan penghargaan di bidang fotografi, menyelesaikan sekolah dan kuliah tidak hanya tepat waktu tapi juga dengan ha
Anya memulai pagi hari Rabu ini seperti biasa. Dari indekosnya dia menumpangi angkutan umum selama lima belas menit, cukup beruntung karena pagi ini dia tidak harus berdesak-desakan. Itu saja sudah berhasil membuat suasana hatinya riang. Dia yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Begitu turun di halte seberang gedung tempat kantor Steam Perfection berada dia menyempatkan diri untuk membeli dua porsi bubur ayam. Satu porsi untuknya, dengan esktra sambal, dan satu porsi lagi yang tidak mengunakan daun seledri akan diberikan kepada atasannya, Baskara. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya ketika suasana hatinya sedang riang, dia membelikan sarapan untuk pria yang diam-diam ditaksirnya itu. Baskara bukan seorang pemilih dalam hal makanan dan itu memudahkan Anya jika ingin memberikan kejutan seperti pagi ini. Gadis itu yakin, perhatian-perhatian kecil seperti ini akan meluluhkan hati sang atasan. Walau sejak kehadiran Aruna dia tidak seyakin dulu. Kesal mengingat gadis yang
Aruna memastikan ikat pinggang yang dikenakannya masuk ke lubang chino berearna khaki yang dikenakannya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor hingga dia memutuskan mengenakan kaus garis-garis horizontal yang dipadu dengan blazer berpotongan pas badan warna navy agar tidak terlihat terlalu santai. Terlalu fokus merapikan penampilan hingga butuh waktu cukup lama sebelum otaknya menyadari bahwa ada seseorang yang sedang membunyikan bel apartemennya. Dia melirik jam sambil berjalan keluar dari kamar. Bahkan pukul enam saja baru lewat beberapa menit. Rasanya terlalu pagi untuk bertamu. Siapa? Gadis itu membuka pintu yang terhubung dengan foyer dan mengintip siapa yang berkunjung. Terburu, dia lupa untuk melihat di interkom siapa yang datang. Seluruh kebingungannya menguap dan berganti dengan senyum lebar ketika melihat Baskara berdiri di foyer sambil memegang dua tumbler yang mengepul dan sebuah kantong paper bag berwarna cokelat dengan logo salah satu gerai kopi yang terse
"Tanaman?" Aruna berhenti mengunyah sebelum tertawa kecil dan melanjutkan makannya, "Pasti Kak Askara ngerasa aneh karena dulu aku kayak sebel banget sama tanaman, kan?"Baskara mengangguk mendengar ucapan gadis itu. "Kapan, ya..." tatapannya terlihat menerawang seakan dia sedang berusaha mengingat, "Waktu kuliah kayaknya. Aku sempat yang stress banget gitu karena kuliah. Memang jurusan yangvaku pengin tapi nggak tahu kok makin lama kayak makin berat. Capek gitu.""Aku sampai ngerasa susah banget buat bangun. Ngerasa nggak punya alasan aja gitu," Aruna kembali menambahkan gyudon ke piringnya, "Terus aku ke psikolog gitu. Nah, buat terapi awal disaranin buat aku punya sesuatu yang bergantung ke aku. Biar itu jadi alasan aku buat bangun dan mulai aktivitas." Baskara sama sekali sudah melupakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu fokus mendengarkan cerita Aruna. "Awalnya aku mikir buat pelihara kucing atau anjing. Tapi terus kepikiran kalau aku nggak becus terus mereka mati gimana
"Maaf aku nggak bawa apa-apa," Baskara yang hanya mengenakan kaos dan jeans tersenyum canggung menatap Aruna yang berdiri di ambang pintu. "Siapa yang bilang barus bawa sesuatu?" Aruna tersenyum geli. "Kata Mamak," Baskara beranjak masuk setelah Aruna sedikit menggeser posisi berdiri dan mempersilakan pria itu untuk masuk. Unit apartemen Aruna serupa dengan miliknya. Tetapi suasananya begitu berbeda. Tidak aneh mengingat dekorasi unit apartemen mereka sangat jauh berbeda. Ruang tengah Aruna didominasi furnitur kayu dan rotan dengan bantalan berwarna cream. Di depan sofa terdapat meja kaya dengan desain sederhana tetapi Baskara tahu harganya jauh dari kata murah. Beberapa bantal tertata di sofa dengan sarung berwarna cerah. TV LCD berukuran besar diletakan di atas kabinet dari kayu berpadu anyaman rotan. Tidak ada kabel yang terlihat. Disamping TV hanya ada vas kaca berisi anggrek bulan. Dinding kosong di antara kabinet dan pintu gesee menuju beranda penuh dengan foto hasil jepret
Aruna tersenyum lebar saat pintu lift tertutup. Sejak tadi dia berusaha menahan senyuman. Tidak ingin concierge menyalahartikan atau menimbulkan rumor tentangnya. Dia mengangkat tas bekal yang diberikan oleh concierge. Senyumnya semakin lebar. 'Titipan dari Pak Baskara'Rasa penasaran membuat gadis itu langsung membuka dan mengintip. Terlalu lama rasanya jika harus menunggu hingga dia tiba di unit apartemennya. "Kotak bekal?" Aruna menatap bingung. Dia sudah menduga kalau isi tas bekal itu adalah makanan. Tidak mungkin Baskara repot-repot menggunakan tas bekal dengan lapisan thermal jika isinya bukan makanan. Dugaannya Baskara memesan sesuatu dari restoran. "Isinya apa, ya?" Sungguh gadis itu ingin langsung membuka dua kotak bekal yang tersusun rapi dalam tas itu. Seandainya saja bawaannya malam ini tidak banyak, pasti dia tidak akan berpikir panjang seperti sekarang. Aruna menatap panel lantai. Tidak sabar melihat perpindahan lampu yang menyala. Saat pintu lift terbuka, gadis i
Salimah pernah bercerita bagaimana memasak merupakan serangkaian ritual penuh sihir dan keajaiban. Walau sudah dewasa, Baskara masih mempercayainya. Bagaimana tidak, hanya dengan masakan seseorang dapat tersenyum bahagia atau sebaliknya, mendadak merasa sembilu. Tentu itu karena sihir dan keajaiban. Ketika ide untuk membuatkan makan malam sebagai bentuk permintaan maaf kepada Aruna muncul di benak, pria itu langsung melakukannya. Semoga keajaiban dan sihir masakannya akan membuat Aruna memaafkannya. Baskara menumis irisan bawang putih dan bawang bombay. Sambil menunggu layu, pria itu membalurkan bawang putih, lada dan jahe ke arah daging iris lalu mengaduknya hingga rata sebelum menyimpan di kulkas selama beberapa saat. Ketika aroma khas bawang putih dan bawang bombay tercium dengan gesit dia memasukan irisan wortel lalu menambahkan sedikit air. Baskara lalu memgambil sisa sayur yang belum sempat dicuci dan membersihkannya satu persatu. Setelah itu kembang kol dan jagung muda menyu
"Lo udah mau cabut?" Sejak pukul enam sore Gala sudah berada di apartemen Baskara. Sahabatnya itu memaksa Baskara untuk pulang cepat karena katanya ada sesuatu yang ingin diceritakannya dan itu hal penting. Jangan tanya kenapa Baskara memenuhi permintaan Gala yang cukup absurs karena biasanya dia baru meninggalkan kantor setelah pukul enam sore. "Iya. Kenapa?" Gala mengenakan jaket jeans-nya. Sedikit bersungut karena dia bisa melupakan leather jacket favoritnya di apartemen Daniya. Walau dia sangat ingin untuk mengunjungi gadis itu tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukan itu. Gala tidak cukup yakin kalau Daniya mengingatnya karena gadis itu cukup mabuk ketika mereka berkenalan. "Lo nyuruh gue pulang cepat buat dengar curhatan lo doang?" Gala mengangguk sambil terkekeh, "Sesekali gantian, Bas. Jangan cuma gue yang capek denger tentang Aruna." "Sialan," Baskara melempar kulist kacang yang baru dikupas. "Ngomong-ngomong Aruna, udah semingguan lo nggak ngocehin tentang dia. Ka
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry