"Jadi bagaimana?" Andre, seorang eksekutif muda berpenampilan flamboyan bertanya dengan penuh percaya diri. Ini pertemuan ketiga mereka dan Andre menangkap sinyal positif dalam setiap pertemuan sehingga dia sangat yakin kalau perusahaan keluarganya akan keluar sebagai pemenang tender yang diadakan oleh Steam Perfection, sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang jasa dengan fokus menyediakan jasa setrika panggilan. Perusahaan rintisan yang masih terbilang baru itu dalam waktu singkat berhasil menancapkan taringnya. Sang pemiliki dengan jeli berhasil melihat apa yang menjadi kebutuhan para penduduk ibukota. Jika mencuci baju bukan lagi masalah karena dapat dikerjakan oleh mesin cuci, lain cerita dengan menyetrika. Hanya dalam waktu tiga tahun Steam Perfection sudah mendapat suntikan dana dari investor dalam dan luar negeri dalam jumlah sangat besar. "Saya yakin apa yang ditawarkan oleh perusahaan kami merupakan penawaran terbaik," Andre menegakkan punggung dan berucap deng
Baskara bukan seorang ekstrovert. Dia selalu menghindari kegiatan bersosialisasi dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan buku atau belajar coding. Jika dia memiliki pilihan untuk tidak hadir, dapat dipastikan dia akan selalu memilih opsi itu. Begitu juga dengan reuni SMA yang diadakan oleh teman-teman sekelasnya hari ini. Selain karena tidak suka bersosialisasi, masa SMA juga bukan kenangan yang menyenangkan bagi pria yang tahun ini berulang tahun ketiga puluh. Memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda dengan teman-teman sekolah ditambah statusnya sebagai siswa beasiswa membuat tiga tahun di SMA terasa begitu mengerikan. Seandainya bisa dia ingin mengubur seluruh kenangan yang terkait dengan masa SAM dan tidak pernah mengingatnya lagi. Tetapi percakapannya dengan Gala, sahabatnya sejak SMA, membuat Baskara berubah pikiran. *** "Gila, sih, ini!" Terdengar tawa Gala dari sambungan telepon, "Lo pernah bayangin nggak kalau suatu hari lo bakalan ada di posisi tadi?" "Nggak
"Siapa?" Sandra yang dulu merupakan siswa tercantik di kelas mereka langsung berbalik dan memincingkan mata agar sosok yang berdiri di depan pintu ruang makan VIP semakin jelas terlihat. "Memangnya ada teman sekelas kita yang gantengnya kebangetan kayak gitu?" Yang lain menimpali dengan penuh rasa penasaran. "Duh, tahu begitu aku nggak buru-buru nikah, deh," Adrianna berkomentar dengan nada kenes. Seruan dan komentar bernada serupa riuh dilontarkan oleh para wanita yang ada di ruang makan VIP. Tidak seorang pun dari mereka mengenali siapa pria yang berdiri di ambang pintu dengan begitu gagah dan penuh rasa percaya diri. Berbanding terbalik dengan para wanita, pria yang berada di ruang makan VIP malah menyerukan komentar-komentar bernada miring walau masih bercampur dengan rasa penasaran. Tidak seorang pun memiliki dugaan siapa yang pria yang baru saja bergabung dengan mereka. "Maaf, tapi ini merupakan acara khusus untuk... " Ucapan Andre yang berjalan menghampiri pria itu men
"Woi, Sampah! Masih berani lo nunjukin muka? Tebel banget, sih itu muka!" Teriakan Riza menyapa telinga Baskara yang baru saja melewati parkiran SMA Insan Harapan. "Udah nggak sabar main bareng kita?" Andre bertanya dengan nada penuh penghinaan. Jangan salah paham, main yang dimaksud oleh laki-laki itu bukan benar-benar main melainkan perundungan di mana mereka menjadikan Baskara sebagai samsak atau asbak tempat mematikan puntung rokok mereka. "Kalian masih belumn puas menghina aku?" Biasanya Baskara memilih untuk tidak mengacuhkan mereka tetapi hari ini moodnya sedang tidak baik hingga dia memilih menanggapi sekaligus meluapkan emosinya. Sontak Andre, Riza dan genk mereka terbahak. Pertanyaan Baskara terdengar aneh di telinga mereka. Andre berjalan dengan santai hingga hanya rumpun tanaman yang menjadi pembatas di antara mereka, "Heh Sampah, gue kasih tahu sesuatu, gue nggak pernah ngehina lo. Itu kenyataan. Di sini lo cuma sampah! Sampai kapanpun lo bakalan tetap jadi sampah.
"Lho? Gue nggak ditungguin?" Gala yang baru memasuki ruang makan VIP disambut dengan tatapan beberapa temannya sementara yang lain masih penasaran dengan kartu kredit yang dimiliki oleh Baskara. Bagaimana mungkin seorang miskin seperti Baskara dapat memiliki kartu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Apakah benar pria itu sudah sesukses itu? Rasanya sulit untuk membayangkan. Bukan. Teman-temannya bukan sulit untuk membayangkan kalau itu mungkin terjadi. Tetapi mereka sulit untuk mengakuinya. Berat mengakui kesuksesan orang lain jika mereka jauh lebih sukses. "Beuh! Pasti karena Baskara, ya? Kalian langsung lupa sama gue?" Gala langsung berjalan dan menduduki salah satu kursi yang tidak terisi. Entah siapa tertawa kecil, "Nggak nyangka lo berhasil ngerayu Baskara buat datang." "Tuh, Bas, lo denger sendiri? Mereka penasaran sama lo," tanpa rasa bersalah karena sudah terlambat datang pria itu mulai menikmati hidangan yang ada. "Gimana kita nggak penasaran? Lo tahu sendir
"Lo lihat mukanya anak mami itu?" Gala masih terbahak bahkan setelah lima belas menit mereka meninggalkan parkiran restoran kelas atas itu. Dia datang diantar oleh supir kantor. Tidak ingin supernya lembur, Gala memutuskan untuk menyuruh supirnya segera kembali setelah menurunkannya di restoran. Tentu saja Baskara tidak keberatan jika harus mengantarkan sahabatnya pulang. "Gue kira dia bakalan ngamuk sampai lempar-lempar barang. Ternyata dia udah lebih dewasa dari dulu." "Dewasa dari mana?" Dia terbahak, "Gengsi aja dia depan anak-anak." "Bisa jadi," Baskara mempercepat laju kendaraan ketika melihat jalan raya cukup lenggang. "Akhirnya lo mau juga beli mobil mahal," Gala mengusap dengan hati-hati interior Audi RS E-Tron milik sahabatnya. "Nggak beli gue. Kalau beli sendiri mending gue beli mobil lain. Nggak usah yang mahal begini." "Dikasih siapa?" "Investor. Katanya ini mobil operasional gitu," Baskara berdecak, "Waktu dia bilang mobil operasional gue mikirnya van atau s
Menjelang tengah malam baru Baskara tiba di kontrakannya. Rencananya dia hanya mengantarkan sahabatnya ke rumah orang tuanya. Tetapi ketika Ghaida mengetahui kalau Baskara yang berada di balik kemudi, wanita paruh baya itu meminta untuk mampir. Baskara tentu tidak memiliki pilihan selain menuruti keinginan ibu dari sahabatnya. Dia melepaskan jaket kemudian menyampirkannya dengan sembarangan di sandaran sofa. Kontrakannya terlihat seperti kapal pecah. Baskara adalah orang yang apik. Dia paling tidak suka jika barang terletak tidak pada tempatnya. Kali ini dia harus berkompromi karena sedang bersiap untuk pindah. Kontrakan ini penuh dengan kenangan. Kontrakan sederhana yang terletak di gang sempit ini adalah tempat pertama yang dapat disebutnya rumah. Sebelumnya dia dan ibu hanya mampu menyewa kamar berukuran kecil untuk berteduh. Baru ketika Baskara kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh mereka dapat pindah ke kontrakan sederhana ini. Baskara mengummpulkan setiap sen penghasila
"Kamu nggak apa-apa?" Suara seorang gadis yang bertanya dengan hati-hati memaksa Baskara membuka mata. Emosinya masih bergejolak setelah Andre dan genknya merusak buku catatan pelajaran miliknya. "Ya," akhirnya dia menjawab singkat. "Ya itu berarti kamu nggak apa-apa atau kamu apa-apa?" Untuk pertama kalinya dia menyadari gadis yang berdiri di hadapannya dengan sedikit menunduk itu memiliki bola mata yang besar seperti boneka. Menggemaskan. "Aku nggak apa-apa." Gadis itu mengangguk, "Kamu nggak pintar bohong." "Maksud kamu apa?" Suaranya meninggi. Dituduh berbohong tidak pernah menyenangkan. Terlebih ketika tertangkap basah melakukannya seperti sekarang. "Kamu bilang kamu nggak apa-apa," dia tersenyum kecil, "Tapi muka kamu bilang sebaliknya." Kali ini Baskara memilih untuk tidak menjawab. Dia berharap gadis itu paham kalau saat ini dia tidak sedang ingin berbicara dengan siapa pun. Sayangnya, harapan Baskara jauh panggang dari api. Dengan santai gadis itu duduk di samping B