Baskara bukan seorang ekstrovert. Dia selalu menghindari kegiatan bersosialisasi dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan buku atau belajar coding. Jika dia memiliki pilihan untuk tidak hadir, dapat dipastikan dia akan selalu memilih opsi itu. Begitu juga dengan reuni SMA yang diadakan oleh teman-teman sekelasnya hari ini.
Selain karena tidak suka bersosialisasi, masa SMA juga bukan kenangan yang menyenangkan bagi pria yang tahun ini berulang tahun ketiga puluh. Memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda dengan teman-teman sekolah ditambah statusnya sebagai siswa beasiswa membuat tiga tahun di SMA terasa begitu mengerikan. Seandainya bisa dia ingin mengubur seluruh kenangan yang terkait dengan masa SAM dan tidak pernah mengingatnya lagi. Tetapi percakapannya dengan Gala, sahabatnya sejak SMA, membuat Baskara berubah pikiran.
***
"Gila, sih, ini!" Terdengar tawa Gala dari sambungan telepon, "Lo pernah bayangin nggak kalau suatu hari lo bakalan ada di posisi tadi?"
"Nggak pernah," Baskara menjawab dengan jujur.
Bahkan dalam mimpi terliarnya Baskara tidak pernah membayangkan kalau dia akan lebih berkuasa dibandingkan mereka yang pernah merundungnya. Sekolah Insan Harapan merupakan salah satu sekolah elit di ibukota bahkan negara ini. Mereka yang bersekolah di sana hanya terdiri dari dua kategori, sangat kaya atau sangat berbakat. Baskara yang merupakan anak seorang buruh cuci jelas masuk dalam kategori kedua. Ini alasan utama kenapa sejak kelas satu dia sudah dirundung oleh siswa lain, terutama oleh Andre yang merupakan siswa paling populer dan paling kaya di angkatan mereka.
"Terus gimana tadi? Pasti lo puas banget, ya?"
Baskara bergumam, "Campur aduk. Gue nggak pernah berpikir buat balas dendam tapi gue juga nggak bakalan bohong kalau tadi gue merasa puas waktu ngelihat dia pucat pasi."
"Gimana nggak pucat pasi. Lo bayangin aja, lo harus ngemis sama orang yang dulu lo bully. Kalau gue bisa-bisa pingsan di tempat."
"Separah itu?" Baskara tertawa sambil membuka sebotol air mineral yang diambil dari kulkas.
"Ya," Gala menjawab yakin, "Lo lupa dulu Andre sama genknya nge-bully lo separah apa? Menurut mereka lo itu nggak lebih dari..."
"Sampah," Baskara menyambung kalimat Gala.
Itu merupakan salah satu kata-kata yang pernah diucapkan oleh Andre dan tidak pernah dilupakan oleh Baskara sampai detik ini. Andre selalu memanggilnya dengan sebutan "sampah" dan setiap kali dia bertanya kenapa Andre dan teman-temannya melakukan perundungan, pria itu selalu menjawab sambil terkekeh kalau hidup memang sering kali tidak adil.
"Ekspresi dia gimana lagi?" Gala terdengar penasaran.
"Terus dia langsung nggak bisa ngomong," Baskara menghabiskan hampir setengah botol air mineral.
"Gitu doang?" Sahabatnya terdengar tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Baskara.
"Sempat ngemis-ngemis, sih. Info dari kamu itu benar, dia butuh banget proyek dengan Steam Perfection."
"Informasi dari gue nggak pernah salah, Bas," Gala kembali terkekeh, "Dia itu udah diultimatum sama bokapnya. Kalau dia nggak dapetin proyek ini, dia bakalan ditendang dari perusahaan."
"Masa sampai separah itu? Seingat gue dia anak sulung dan calon penerus."
"Lo benar. Tapi Sejak dipegang sama Andre perusahaan mereka terus merugi. Gimana bokapnya nggak panas dingin?"
"Pantes dia sampai nggak peduli sama ego atau apa. Lo tanya sendiri ke Nia, dia benar-benar ngemis tadi."
"Tapi gue seneng, sih. Paling nggak sekarang gue tahu kalau karma berlaku juga buat orang kaya."
Baskara terbahak mendengar ucapan sahabatnya, "Lo lupa kalau lo itu orang kaya juga? Hati-hati sama karma."
"Sial!" Gala ikut terbahak, "Eh, reuni bulan depan lo datang, kan?"
"Lo tahu jawaban gue."
"Gue tahu lo paling anti sama acara kumpul-kumpul. Tapi menurut gue kali ini lo harus datang. Udah waktunya lo bungkam mulut mereka yang dulu ngehina lo."
"Buat apa?"
"Biar lo ngerasa puas. Tadi lo sendiri yang bilang kalau lo ngerasa puas ngelihat ekspresi si Andre."
"Tujuan gue bukan itu, Gal."
"Gue tahu, Baskara. gue tahu lo itu orangnya lurus banget. Lo pengin sukses demi ibu lo. Nggak lebih. Tapi anggap aja ini bagian dari kesuksesan yang udah lo perjuangin mati-matian."
"Terus apa?" Baskara menghabiskan air mineral dan menghempas bokongnya ke sofa di kontrakannya.
"Siapa tahu itu bisa bikin lo berdamai sama masa lalu," kali ini nada suara Gala terdengar begitu serius, "Lo masih terjebak di masa lalu yang bikin lo sering ngerasa insecure sendiri. Lo udah sejauh ini. Nggak cuma sukses secara akademis, lo juga berhasil bikin start-up yang dapat pendanaan dari mana-mana. Seharusnya itu semua cukup."
"Itu memang cukup, Gal. Malahan ini udah lebih dari cukup."
"Kalau benar begitu, nggak seharusnya lo ngerasa insecure, Bas."
"Gue nggak..."
"Gue sahabat lo. Gue tahu lo bahkan gue lebih ngenal diri lo dibandingin lo sendiri. Percaya sama gue. Datang ke reunian itu dan tunjukin kalau lo yang sekarang udah beda. Lo sekarang udah bukan sampah."
Baskara diam seribu bahasa. Pria itu menyimak semua yang diucapkan oleh sahabatnya. Jauh dalam hati kecilnya dia mengakui semua yang diucapkan oleh pria itu. Tetapi untuk mengatakan kalau sahabatnya itu benar tentu saja lain cerita.
"Lo harus lihat dengan mata kepala sendiri kalau lo sekarang udah equal sama mereka. Bahkan lo lebih dari mereka. You are something, Baskara."
"Lo berhasil ngelakuin apa yang nggak semua orang berhasil lakuin," sahabatnya kembali bersuara, "Dari semua yang bakal datang ke reuni besok, siapa yang berhasil masuk 30 under 30 majalah Forbes?"
Baskara masih terdiam walau dia dengan pasti tahu jawabannya.
"Lo. Lo, Baskara Ishan Prajana. Bukan gue, bukan mereka. Lo pikir Forbes sembarangan milih orang buat masuk daftar itu? Nggak. Susah banget buat masuk ke daftar itu. Butuh pencapaian yang luar biasa untuk bisa masuk ke dalam situ. Lo udah ngebuktiin diri lo ke dunia. Sekarang tinggal lo ngeyakinin diri lo."
"Maksud lo?"
"Are you still the same Baskara in high school or the new one?"
Pertanyaan Gala menampar Baskara. Dia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Baskara terlalu sibuk membuktikan diri kepada dunia, kepada orang sekitar, kepada ibunya, hingga dia lupa kalau ada satu orang yang seharusnya mendapatkan perhatian yang sama bahkan lebih. Dirinya sendiri.
"So, what is your answer, Baskara?"
***
Baskara menarik napas panjang sambil memperhatikan pantulan dirinya pada pintu kaca ruang makan VIP di salah satu restoran mewah yang ada di kawasan bisnis ibukota. Ada selarik keyakinan yang hadir dan membuatnya ingin berlari kembali ke Audi RS E-Tron GT yang terparkir dengan rapi di layanan valet. Namun dia memilih untuk tidak melakukan itu karena dia tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri.
Dia sudah berjanji untuk melakukan ini pada dirinya sendiri. Seperti dikatakan oleh Gala, ini merupakan kesempatan untuk menunjukkan pada dirinya sejauh mana usahanya. Sudah berada di titik mana dia sekarang. Jauh di depan teman-temannya yang dulu meremehkan serta merundungnya.
Derit samar pintu terbuka membuat seluruh orang yang ada di ruang makan VIP berpaling ke arah pintu. Rasanya hampir semua yang biasa hadir di acara reuni dan kumpul-kumpul mereka sudah tiba. Lantas, siapa yang masuk?
Pekikan pelan terdengar dari beberapa orang bercampur dengan seruan tidak percaya ketika melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.
Tidak mungkin!
"Siapa?" Sandra yang dulu merupakan siswa tercantik di kelas mereka langsung berbalik dan memincingkan mata agar sosok yang berdiri di depan pintu ruang makan VIP semakin jelas terlihat. "Memangnya ada teman sekelas kita yang gantengnya kebangetan kayak gitu?" Yang lain menimpali dengan penuh rasa penasaran. "Duh, tahu begitu aku nggak buru-buru nikah, deh," Adrianna berkomentar dengan nada kenes. Seruan dan komentar bernada serupa riuh dilontarkan oleh para wanita yang ada di ruang makan VIP. Tidak seorang pun dari mereka mengenali siapa pria yang berdiri di ambang pintu dengan begitu gagah dan penuh rasa percaya diri. Berbanding terbalik dengan para wanita, pria yang berada di ruang makan VIP malah menyerukan komentar-komentar bernada miring walau masih bercampur dengan rasa penasaran. Tidak seorang pun memiliki dugaan siapa yang pria yang baru saja bergabung dengan mereka. "Maaf, tapi ini merupakan acara khusus untuk... " Ucapan Andre yang berjalan menghampiri pria itu men
"Woi, Sampah! Masih berani lo nunjukin muka? Tebel banget, sih itu muka!" Teriakan Riza menyapa telinga Baskara yang baru saja melewati parkiran SMA Insan Harapan. "Udah nggak sabar main bareng kita?" Andre bertanya dengan nada penuh penghinaan. Jangan salah paham, main yang dimaksud oleh laki-laki itu bukan benar-benar main melainkan perundungan di mana mereka menjadikan Baskara sebagai samsak atau asbak tempat mematikan puntung rokok mereka. "Kalian masih belumn puas menghina aku?" Biasanya Baskara memilih untuk tidak mengacuhkan mereka tetapi hari ini moodnya sedang tidak baik hingga dia memilih menanggapi sekaligus meluapkan emosinya. Sontak Andre, Riza dan genk mereka terbahak. Pertanyaan Baskara terdengar aneh di telinga mereka. Andre berjalan dengan santai hingga hanya rumpun tanaman yang menjadi pembatas di antara mereka, "Heh Sampah, gue kasih tahu sesuatu, gue nggak pernah ngehina lo. Itu kenyataan. Di sini lo cuma sampah! Sampai kapanpun lo bakalan tetap jadi sampah.
"Lho? Gue nggak ditungguin?" Gala yang baru memasuki ruang makan VIP disambut dengan tatapan beberapa temannya sementara yang lain masih penasaran dengan kartu kredit yang dimiliki oleh Baskara. Bagaimana mungkin seorang miskin seperti Baskara dapat memiliki kartu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Apakah benar pria itu sudah sesukses itu? Rasanya sulit untuk membayangkan. Bukan. Teman-temannya bukan sulit untuk membayangkan kalau itu mungkin terjadi. Tetapi mereka sulit untuk mengakuinya. Berat mengakui kesuksesan orang lain jika mereka jauh lebih sukses. "Beuh! Pasti karena Baskara, ya? Kalian langsung lupa sama gue?" Gala langsung berjalan dan menduduki salah satu kursi yang tidak terisi. Entah siapa tertawa kecil, "Nggak nyangka lo berhasil ngerayu Baskara buat datang." "Tuh, Bas, lo denger sendiri? Mereka penasaran sama lo," tanpa rasa bersalah karena sudah terlambat datang pria itu mulai menikmati hidangan yang ada. "Gimana kita nggak penasaran? Lo tahu sendir
"Lo lihat mukanya anak mami itu?" Gala masih terbahak bahkan setelah lima belas menit mereka meninggalkan parkiran restoran kelas atas itu. Dia datang diantar oleh supir kantor. Tidak ingin supernya lembur, Gala memutuskan untuk menyuruh supirnya segera kembali setelah menurunkannya di restoran. Tentu saja Baskara tidak keberatan jika harus mengantarkan sahabatnya pulang. "Gue kira dia bakalan ngamuk sampai lempar-lempar barang. Ternyata dia udah lebih dewasa dari dulu." "Dewasa dari mana?" Dia terbahak, "Gengsi aja dia depan anak-anak." "Bisa jadi," Baskara mempercepat laju kendaraan ketika melihat jalan raya cukup lenggang. "Akhirnya lo mau juga beli mobil mahal," Gala mengusap dengan hati-hati interior Audi RS E-Tron milik sahabatnya. "Nggak beli gue. Kalau beli sendiri mending gue beli mobil lain. Nggak usah yang mahal begini." "Dikasih siapa?" "Investor. Katanya ini mobil operasional gitu," Baskara berdecak, "Waktu dia bilang mobil operasional gue mikirnya van atau s
Menjelang tengah malam baru Baskara tiba di kontrakannya. Rencananya dia hanya mengantarkan sahabatnya ke rumah orang tuanya. Tetapi ketika Ghaida mengetahui kalau Baskara yang berada di balik kemudi, wanita paruh baya itu meminta untuk mampir. Baskara tentu tidak memiliki pilihan selain menuruti keinginan ibu dari sahabatnya. Dia melepaskan jaket kemudian menyampirkannya dengan sembarangan di sandaran sofa. Kontrakannya terlihat seperti kapal pecah. Baskara adalah orang yang apik. Dia paling tidak suka jika barang terletak tidak pada tempatnya. Kali ini dia harus berkompromi karena sedang bersiap untuk pindah. Kontrakan ini penuh dengan kenangan. Kontrakan sederhana yang terletak di gang sempit ini adalah tempat pertama yang dapat disebutnya rumah. Sebelumnya dia dan ibu hanya mampu menyewa kamar berukuran kecil untuk berteduh. Baru ketika Baskara kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh mereka dapat pindah ke kontrakan sederhana ini. Baskara mengummpulkan setiap sen penghasila
"Kamu nggak apa-apa?" Suara seorang gadis yang bertanya dengan hati-hati memaksa Baskara membuka mata. Emosinya masih bergejolak setelah Andre dan genknya merusak buku catatan pelajaran miliknya. "Ya," akhirnya dia menjawab singkat. "Ya itu berarti kamu nggak apa-apa atau kamu apa-apa?" Untuk pertama kalinya dia menyadari gadis yang berdiri di hadapannya dengan sedikit menunduk itu memiliki bola mata yang besar seperti boneka. Menggemaskan. "Aku nggak apa-apa." Gadis itu mengangguk, "Kamu nggak pintar bohong." "Maksud kamu apa?" Suaranya meninggi. Dituduh berbohong tidak pernah menyenangkan. Terlebih ketika tertangkap basah melakukannya seperti sekarang. "Kamu bilang kamu nggak apa-apa," dia tersenyum kecil, "Tapi muka kamu bilang sebaliknya." Kali ini Baskara memilih untuk tidak menjawab. Dia berharap gadis itu paham kalau saat ini dia tidak sedang ingin berbicara dengan siapa pun. Sayangnya, harapan Baskara jauh panggang dari api. Dengan santai gadis itu duduk di samping B
Seperti biasa, Baskara sudah berada di ruangannya sejak pukul tujuh pagi. Dia sudah selesai mengecek jadwal yang dikirimkan oleh Anya, asisten pribadinya, juga menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa kemarin. Sekarang dia sedang memeriksa surel dan memastikan tidak ada surel penting yang terlewat olehnya. Dia sudah hampir selesai ketika notifikasi dari salah satu penyedia layanan cloud yang digunakan olehnya muncul di sudut layar. Bukan notifikasi penting. Hanya pengingat memori yang terjadi tanggal ini di tahun-tahun yang sudah berlalu. Biasanya dia akan mengabaikan tetapi pagi ini entah mengapa dia memilik untuk mengkliknya. Tidak perlu menunggu lama layar iMac yang digunakannya dipenuhi sebuah foto. Foto Baskara bersama Gala dan... Aruna. Foto itu diambil beberapa minggu sebelum Baskara putus dengan Aruna. Bukan foto yang istimewa. Aruna yang memang suka fotografi itu selalu membawa kamera. Gadis itu seakan terobsesi untuk mengabadikan setiap momen dalam hidupnya. Mereka
"Lo jadinya kapan pindahan?" Gala bertanya sambil meminta tambahan kuah kacang untuk sate ayam yang sedang dinikmatinya. Makan bersama Gala berarti menjajal berbagai makanan gerobakan atau warung tenda. Padahal dulu ketika Baskara mengajaknya makan bakso abang-abang di dekat tempat tinggalnya, Gala berujung diare selama seminggu. Tapi sekarang tidak ada yang dapat menghalangi Gala menikmati jajanan kaki lima selain, tentu saja, ibunya. "Minggu depan. Gue belum selesai packing," Baskara yang sudah sejak tadi menghabiskan makan siangnya sekarang sedang menikmati es jeruk pesanannya. "Mau aku bantu, Bos?" Anya yang ikut makan siang bersama mereka bergabung dalam percakapan setelah lelah mengecek berbagai media sosial yang dimilikinya. Gadis itu tipe yang selalu harus update dan membagi kesehariannya. Followernya juga terbilang cukup banyak. "Nggak perlu," Baskara menjawab cepat. Dia tidak pernah suka barang-barangnya dipegang oleh orang lain. Selain itu dia juga masih sering tidak ny