"Siapa?" Sandra yang dulu merupakan siswa tercantik di kelas mereka langsung berbalik dan memincingkan mata agar sosok yang berdiri di depan pintu ruang makan VIP semakin jelas terlihat.
"Memangnya ada teman sekelas kita yang gantengnya kebangetan kayak gitu?" Yang lain menimpali dengan penuh rasa penasaran.
"Duh, tahu begitu aku nggak buru-buru nikah, deh," Adrianna berkomentar dengan nada kenes.
Seruan dan komentar bernada serupa riuh dilontarkan oleh para wanita yang ada di ruang makan VIP. Tidak seorang pun dari mereka mengenali siapa pria yang berdiri di ambang pintu dengan begitu gagah dan penuh rasa percaya diri.
Berbanding terbalik dengan para wanita, pria yang berada di ruang makan VIP malah menyerukan komentar-komentar bernada miring walau masih bercampur dengan rasa penasaran. Tidak seorang pun memiliki dugaan siapa yang pria yang baru saja bergabung dengan mereka.
"Maaf, tapi ini merupakan acara khusus untuk... " Ucapan Andre yang berjalan menghampiri pria itu menggantung di udara.
"Apa aku memang tidak pernah kalian anggap sebagai teman sekelas?" Baskara akhirnya bersuara sambil berjalan mendekati meja yang penuh dengan berbagai hidangan yang dipesan oleh teman-temannya. Dia melewati Andre begitu saja tanpa melirik apalagi menyapa temannya itu.
"Teman sekelas?" Sandra memberanikan diri untuk mendekat kemudian mengamati wajah Baskara, "OH! Ini nggak mungkin! Lo Baskara, kan?!"
"Baskara?" Riuh mereka semua mengucap nama Baskara dengan nada penuh tanya.
"Baskara yang itu?"
"Tapi dulu dia, kan, kurus banget. Dekil lagi."
"Yang anak beasiswa miskin itu?"
"Kayaknya nggak mungkin itu dia, deh. Inget nggak penampilan dia dulu gimana? Beda banget sama yang ini!"
Baskara memilih untuk diam sambil mendengarkan komentar dan seruan yang diucapkan oleh teman-teman sekelasnya. Bukannya tidak peduli tapi ketika SMA komentar mereka jauh lebih menyakitkan dan menusuk dibandingkan apa yang mereka lontarkan saat ini.
Selain itu, dulu setiap kali ada keriuhan di kelas Baskara tidak pernah memiliki kesempatan untuk menikmatinya seperti sekarang. Keriuhan selalu meningkatkan kewaspadaannya karena Andre dan yang lain dapat kapan saja merundungnya.
"Selamat datang, Bas," Kamal, salah satu teman sekelas yang tidak pernah ikut merundungnya walau dia sama bersalahnya karena memilih untuk diam dan berpura-pura seakan itu semua tidak pernah terjadi, "Ini pertama kalinya kamu ikut reuni kelas kita, benar?"
Baskara mengangguk, "Benar, ini pertama kalinya aku bergabung. Sudah berapa tahun? Sebelas tahun? Sampai kalian tidak mengenaliku lagi."
"Bukannya kami nggak kenal, tapi kamu sekarang beda banget, lho!" Sandra masih memperhatikan Baskara, "Dulu kamu kurus dan dekil banget. Sekarang, duh! Ini aku kalau nggak ingat anak di rumah bakalan langsung mepet kamu, lho!" Dia sengaja melipat tangan di atas meja hingga dadanya yang mengintip dari leher gaun berpotongan rendah yang dikenakannya semakin membusung.
"Kamu beneran sukses, ya?!" Seorang teman sekelas yang lain meningkahi ucapan Sandra.
Di telinga Baskara ucapan itu sama sekali tidak terdengar seperti pujian. Lebih seperti hinaan tetapi disampaikan dengan halus. Sangat halus. Baskara tidak ingin menutupi masa lalunya. Dia dulu memang hidup susah tetapi bukan berarti seseorang dapat menggunakan masa lalunya untuk merendahkannya.
"Nggak ada yang nyangka, ya?" Celetukan dari yang lain terdengar.
"Tapi bener, lho! You look so fucking gorgeous. Aw ... kalau belum tunangan aku pasti, deh, langsung ngejar kamu yang sekarang," ucapan itu ditingkahi dengan tawa genit yang terdengar begitu sumpang di telinga Baskara.
"Aku belum punya pasangan, lho," seorang lain menimpali sambil memberikan tatapan penuh arti sambil menjilat bibirnya.
Baskara tidak peduli dengan semua itu. Dia tahu kalau semua yang diucapkan oleh mereka adalah ucapan kosong tanpa arti. Seandainya dia tidak sesukses sekarang, pasti tidak ada seorang pun dari mereka yang sudi meliriknya. Teman wanita yang sekarang berlomba menggoda dan merayunya merupakan orang yang sama dengan yang dulu menertawainya bahkan tanpa sungkan menghinanya.
"Gue akui lo makin ganteng, Bas," Riza menyesap minuman pesannya, "Sukses juga. Tapi menurut gue masih belum ada apa-apanya dibanding Andre. Lo tahu kalau dia sekarang udah jadi penerus bokapnya? Gila, lo tahu sendiri konglomerasi keluarganya gede kayak apa, kan?"
Baskara mengangguk sambil menatap tajam ke arah Andre, "Tentu. Tapi itu cerita dulu ketika konglomerasi keluarganya dipimpin oleh orang tuanya. Sekarang? Tanya aja sendiri ke Andre siapa yang kemarin ngemis proyek ke kantorku."
Ini di luar rencana Baskara. Dia bukan tipe yang suka memamerkan keberhasilan atau menyombongkan diri. Tetapi dia bukan lagi Baskara yang diam setiap direndahkan. Sepanjang usianya dia terus berjuang dan berusaha bukan untuk kembali direndahkan. Oleh siapapun. termasuk teman-teman sekelasnya yang sebagian besar berasal dari keluarga kaya dan terpandang.
Andre, pertama kali dalam hidupnya merasa tertampar oleh ucapan yang dilontarkan oleh Baskara. Pria itu memilih untuk diam. Bukan tanpa alasan tetapi karena dia tidak ingin teman-temannya yang lain mengetahui kenyataan itu. Apa kata mereka seandainya mereka tahu kalau dia sampai berlutut di depan Baskara?! Bisa-bisa mereka yang sekarang mengelukannya akan berbalik menusuk secara terang-terangan. Walah sudah berteman selama puluhan tahun, Andre sadar tidak ada seorang pun di antara mereka yang berteman tulus dengannya. Mereka dekat karena saling membutuhkan.
"Benar yang diomongin Baskara?" Teman-temannya mulai penasaran.
"Boys, please!" Rue yang merupakan queen bee atau gadis paling populer di angkatan mereka tiba-tiba bersuara, "Kita ngumpul buat senang-senang. Jangan sampai kalian rusak, ya?" Wanita itu menunjuk ke arah Gala, Baskara dan beberapa teman mereka yang lain dengan jarinya yang ber-manicure sempurna.
"Sorry," Baskara berhasil menyunggingkan senyum, "My bad. Gue harusnya nggak sampai merusak suasana reuni hari ini."
"Rusak apaan, sih?" Seorang teman mereka terkekeh, "Udah gue bilang, dari tadi kita nungguin lo, Bas! Kira penasaran gimana ceritanya lo yang ... well, nothing turn to something," pria itu berdeham, "Sorry, but it's true, right?
Lagi, hinaan yang disamarkan dengan halus.
"Mana ada yang nynngka kalau kamu bisa masuk 30 under 30 majalah Forbes. Itu karena start-up bikinan kamu?"
Baskara kembali mengangguk, "Iya, Steam Perfection."
"Oh, penatu ke rumah itu? Aku pernah pakai dan memang layanannya oke, sih. Cepat dan hasilnya nggak mengecewakan. Beda sama penatu-penatu lain yang kia habis waktu buat antar ke gerai mereka."
"Penatu? Terinspirasi dari nyokap lo? Nyokap lo buruh cuci, kan?" Riza sepertinya masih belum puas untuk mencari masalah dengan Baskara.
"Iya, Ibu yang hanya buruh cuci berhasil menyekolahkan anaknya hingga ke Ivy League. Beda dengan orang tua kalian, walau uang banyak tapi anaknya..." Baskara sengaja tidak menyelesaikan ucapannya.
"Lo mau ngehina gue?!" Seperti dugaannya, emosi Riza dengan gampang tersulut.
"Apa itu termasuk hinaan kalau sesuai dengan kenyataan?"
"Woi, Sampah! Masih berani lo nunjukin muka? Tebel banget, sih itu muka!" Teriakan Riza menyapa telinga Baskara yang baru saja melewati parkiran SMA Insan Harapan. "Udah nggak sabar main bareng kita?" Andre bertanya dengan nada penuh penghinaan. Jangan salah paham, main yang dimaksud oleh laki-laki itu bukan benar-benar main melainkan perundungan di mana mereka menjadikan Baskara sebagai samsak atau asbak tempat mematikan puntung rokok mereka. "Kalian masih belumn puas menghina aku?" Biasanya Baskara memilih untuk tidak mengacuhkan mereka tetapi hari ini moodnya sedang tidak baik hingga dia memilih menanggapi sekaligus meluapkan emosinya. Sontak Andre, Riza dan genk mereka terbahak. Pertanyaan Baskara terdengar aneh di telinga mereka. Andre berjalan dengan santai hingga hanya rumpun tanaman yang menjadi pembatas di antara mereka, "Heh Sampah, gue kasih tahu sesuatu, gue nggak pernah ngehina lo. Itu kenyataan. Di sini lo cuma sampah! Sampai kapanpun lo bakalan tetap jadi sampah.
"Lho? Gue nggak ditungguin?" Gala yang baru memasuki ruang makan VIP disambut dengan tatapan beberapa temannya sementara yang lain masih penasaran dengan kartu kredit yang dimiliki oleh Baskara. Bagaimana mungkin seorang miskin seperti Baskara dapat memiliki kartu yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Apakah benar pria itu sudah sesukses itu? Rasanya sulit untuk membayangkan. Bukan. Teman-temannya bukan sulit untuk membayangkan kalau itu mungkin terjadi. Tetapi mereka sulit untuk mengakuinya. Berat mengakui kesuksesan orang lain jika mereka jauh lebih sukses. "Beuh! Pasti karena Baskara, ya? Kalian langsung lupa sama gue?" Gala langsung berjalan dan menduduki salah satu kursi yang tidak terisi. Entah siapa tertawa kecil, "Nggak nyangka lo berhasil ngerayu Baskara buat datang." "Tuh, Bas, lo denger sendiri? Mereka penasaran sama lo," tanpa rasa bersalah karena sudah terlambat datang pria itu mulai menikmati hidangan yang ada. "Gimana kita nggak penasaran? Lo tahu sendir
"Lo lihat mukanya anak mami itu?" Gala masih terbahak bahkan setelah lima belas menit mereka meninggalkan parkiran restoran kelas atas itu. Dia datang diantar oleh supir kantor. Tidak ingin supernya lembur, Gala memutuskan untuk menyuruh supirnya segera kembali setelah menurunkannya di restoran. Tentu saja Baskara tidak keberatan jika harus mengantarkan sahabatnya pulang. "Gue kira dia bakalan ngamuk sampai lempar-lempar barang. Ternyata dia udah lebih dewasa dari dulu." "Dewasa dari mana?" Dia terbahak, "Gengsi aja dia depan anak-anak." "Bisa jadi," Baskara mempercepat laju kendaraan ketika melihat jalan raya cukup lenggang. "Akhirnya lo mau juga beli mobil mahal," Gala mengusap dengan hati-hati interior Audi RS E-Tron milik sahabatnya. "Nggak beli gue. Kalau beli sendiri mending gue beli mobil lain. Nggak usah yang mahal begini." "Dikasih siapa?" "Investor. Katanya ini mobil operasional gitu," Baskara berdecak, "Waktu dia bilang mobil operasional gue mikirnya van atau s
Menjelang tengah malam baru Baskara tiba di kontrakannya. Rencananya dia hanya mengantarkan sahabatnya ke rumah orang tuanya. Tetapi ketika Ghaida mengetahui kalau Baskara yang berada di balik kemudi, wanita paruh baya itu meminta untuk mampir. Baskara tentu tidak memiliki pilihan selain menuruti keinginan ibu dari sahabatnya. Dia melepaskan jaket kemudian menyampirkannya dengan sembarangan di sandaran sofa. Kontrakannya terlihat seperti kapal pecah. Baskara adalah orang yang apik. Dia paling tidak suka jika barang terletak tidak pada tempatnya. Kali ini dia harus berkompromi karena sedang bersiap untuk pindah. Kontrakan ini penuh dengan kenangan. Kontrakan sederhana yang terletak di gang sempit ini adalah tempat pertama yang dapat disebutnya rumah. Sebelumnya dia dan ibu hanya mampu menyewa kamar berukuran kecil untuk berteduh. Baru ketika Baskara kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh mereka dapat pindah ke kontrakan sederhana ini. Baskara mengummpulkan setiap sen penghasila
"Kamu nggak apa-apa?" Suara seorang gadis yang bertanya dengan hati-hati memaksa Baskara membuka mata. Emosinya masih bergejolak setelah Andre dan genknya merusak buku catatan pelajaran miliknya. "Ya," akhirnya dia menjawab singkat. "Ya itu berarti kamu nggak apa-apa atau kamu apa-apa?" Untuk pertama kalinya dia menyadari gadis yang berdiri di hadapannya dengan sedikit menunduk itu memiliki bola mata yang besar seperti boneka. Menggemaskan. "Aku nggak apa-apa." Gadis itu mengangguk, "Kamu nggak pintar bohong." "Maksud kamu apa?" Suaranya meninggi. Dituduh berbohong tidak pernah menyenangkan. Terlebih ketika tertangkap basah melakukannya seperti sekarang. "Kamu bilang kamu nggak apa-apa," dia tersenyum kecil, "Tapi muka kamu bilang sebaliknya." Kali ini Baskara memilih untuk tidak menjawab. Dia berharap gadis itu paham kalau saat ini dia tidak sedang ingin berbicara dengan siapa pun. Sayangnya, harapan Baskara jauh panggang dari api. Dengan santai gadis itu duduk di samping B
Seperti biasa, Baskara sudah berada di ruangannya sejak pukul tujuh pagi. Dia sudah selesai mengecek jadwal yang dikirimkan oleh Anya, asisten pribadinya, juga menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa kemarin. Sekarang dia sedang memeriksa surel dan memastikan tidak ada surel penting yang terlewat olehnya. Dia sudah hampir selesai ketika notifikasi dari salah satu penyedia layanan cloud yang digunakan olehnya muncul di sudut layar. Bukan notifikasi penting. Hanya pengingat memori yang terjadi tanggal ini di tahun-tahun yang sudah berlalu. Biasanya dia akan mengabaikan tetapi pagi ini entah mengapa dia memilik untuk mengkliknya. Tidak perlu menunggu lama layar iMac yang digunakannya dipenuhi sebuah foto. Foto Baskara bersama Gala dan... Aruna. Foto itu diambil beberapa minggu sebelum Baskara putus dengan Aruna. Bukan foto yang istimewa. Aruna yang memang suka fotografi itu selalu membawa kamera. Gadis itu seakan terobsesi untuk mengabadikan setiap momen dalam hidupnya. Mereka
"Lo jadinya kapan pindahan?" Gala bertanya sambil meminta tambahan kuah kacang untuk sate ayam yang sedang dinikmatinya. Makan bersama Gala berarti menjajal berbagai makanan gerobakan atau warung tenda. Padahal dulu ketika Baskara mengajaknya makan bakso abang-abang di dekat tempat tinggalnya, Gala berujung diare selama seminggu. Tapi sekarang tidak ada yang dapat menghalangi Gala menikmati jajanan kaki lima selain, tentu saja, ibunya. "Minggu depan. Gue belum selesai packing," Baskara yang sudah sejak tadi menghabiskan makan siangnya sekarang sedang menikmati es jeruk pesanannya. "Mau aku bantu, Bos?" Anya yang ikut makan siang bersama mereka bergabung dalam percakapan setelah lelah mengecek berbagai media sosial yang dimilikinya. Gadis itu tipe yang selalu harus update dan membagi kesehariannya. Followernya juga terbilang cukup banyak. "Nggak perlu," Baskara menjawab cepat. Dia tidak pernah suka barang-barangnya dipegang oleh orang lain. Selain itu dia juga masih sering tidak ny
Sepanjang hari Baskara sangat sibuk. Dia hanya sempat bersantai ketika makan siang bersama Gala. Setelah itu dia harus menghadiri meeting mingguan bersama tim inti Steam Perfection dilanjut dengan memeriksa dokumen kontrak dan berbagai pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda. Dia tidak mengeluh, sebaliknya dia sangat bersyukur karena itu berarti pikirannya tetap sibuk sepanjang hari. tidak ada ruang untuk memikirkan Aruna. Tepat pukul tujuh malam dia mematikan iMac kemudian bersantai sambil menunggu pesanan makan malamnya diantarkan. Entah kapan terakhir kali dia makan malam di kontrakan. Hampir setiap hari dia baru pulang setelah makan malam di kantor. Termasuk ketika dia akhir pekan. Jika tidak menyambangi kantor maka dia akan sengaja menjadwalkan meeting dengan klien atau bertemu dengan teman-teman kuliah dan merencanakan proyek bersama. "Bosan," Baskara bergumam sebelum menguap lebar. Tidak tahu harus melakukan apa akhirnya Baskara mengambil ponsel yang ada di atas meja. Dia men
Berbeda dengan tadi pagi ketika mengawali hari, semakin sore Anya semakin uring-uringan. Bagaimana tidak sepanjang hari dia berulang kali mendapati atasannya melihat ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Menyebalkan. Anya yakin kalau mantan pacar sang atasan yang menjadi penyebabnya. Hari sudah menjelang pukul tiga tetapi pekerjaannya masih menggunung. Hari ini entah mengapa dia tidak dapat fokus. Yang dilakukannya hanya mencari tahu tentang Aruna. Awalnya dia cukup yakin dapat bersaing dengan gadis itu. Aruna hanya menang nama keluarg saja. Memang gadis itu lebih cantik dan menawan dibanding dirinya tetapi dia tahu kalau Baskara tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sayangnya, semakin dia mencari tahu tentang Aruna, semakin dia merasa kecil. Aruna memang terlahir dengan begitu banyak priviledge dan dia memanfaatkannya dengan baik. Sejak remaja dia sudah sering mendapatkan penghargaan di bidang fotografi, menyelesaikan sekolah dan kuliah tidak hanya tepat waktu tapi juga dengan ha
Anya memulai pagi hari Rabu ini seperti biasa. Dari indekosnya dia menumpangi angkutan umum selama lima belas menit, cukup beruntung karena pagi ini dia tidak harus berdesak-desakan. Itu saja sudah berhasil membuat suasana hatinya riang. Dia yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Begitu turun di halte seberang gedung tempat kantor Steam Perfection berada dia menyempatkan diri untuk membeli dua porsi bubur ayam. Satu porsi untuknya, dengan esktra sambal, dan satu porsi lagi yang tidak mengunakan daun seledri akan diberikan kepada atasannya, Baskara. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya ketika suasana hatinya sedang riang, dia membelikan sarapan untuk pria yang diam-diam ditaksirnya itu. Baskara bukan seorang pemilih dalam hal makanan dan itu memudahkan Anya jika ingin memberikan kejutan seperti pagi ini. Gadis itu yakin, perhatian-perhatian kecil seperti ini akan meluluhkan hati sang atasan. Walau sejak kehadiran Aruna dia tidak seyakin dulu. Kesal mengingat gadis yang
Aruna memastikan ikat pinggang yang dikenakannya masuk ke lubang chino berearna khaki yang dikenakannya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor hingga dia memutuskan mengenakan kaus garis-garis horizontal yang dipadu dengan blazer berpotongan pas badan warna navy agar tidak terlihat terlalu santai. Terlalu fokus merapikan penampilan hingga butuh waktu cukup lama sebelum otaknya menyadari bahwa ada seseorang yang sedang membunyikan bel apartemennya. Dia melirik jam sambil berjalan keluar dari kamar. Bahkan pukul enam saja baru lewat beberapa menit. Rasanya terlalu pagi untuk bertamu. Siapa? Gadis itu membuka pintu yang terhubung dengan foyer dan mengintip siapa yang berkunjung. Terburu, dia lupa untuk melihat di interkom siapa yang datang. Seluruh kebingungannya menguap dan berganti dengan senyum lebar ketika melihat Baskara berdiri di foyer sambil memegang dua tumbler yang mengepul dan sebuah kantong paper bag berwarna cokelat dengan logo salah satu gerai kopi yang terse
"Tanaman?" Aruna berhenti mengunyah sebelum tertawa kecil dan melanjutkan makannya, "Pasti Kak Askara ngerasa aneh karena dulu aku kayak sebel banget sama tanaman, kan?"Baskara mengangguk mendengar ucapan gadis itu. "Kapan, ya..." tatapannya terlihat menerawang seakan dia sedang berusaha mengingat, "Waktu kuliah kayaknya. Aku sempat yang stress banget gitu karena kuliah. Memang jurusan yangvaku pengin tapi nggak tahu kok makin lama kayak makin berat. Capek gitu.""Aku sampai ngerasa susah banget buat bangun. Ngerasa nggak punya alasan aja gitu," Aruna kembali menambahkan gyudon ke piringnya, "Terus aku ke psikolog gitu. Nah, buat terapi awal disaranin buat aku punya sesuatu yang bergantung ke aku. Biar itu jadi alasan aku buat bangun dan mulai aktivitas." Baskara sama sekali sudah melupakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu fokus mendengarkan cerita Aruna. "Awalnya aku mikir buat pelihara kucing atau anjing. Tapi terus kepikiran kalau aku nggak becus terus mereka mati gimana
"Maaf aku nggak bawa apa-apa," Baskara yang hanya mengenakan kaos dan jeans tersenyum canggung menatap Aruna yang berdiri di ambang pintu. "Siapa yang bilang barus bawa sesuatu?" Aruna tersenyum geli. "Kata Mamak," Baskara beranjak masuk setelah Aruna sedikit menggeser posisi berdiri dan mempersilakan pria itu untuk masuk. Unit apartemen Aruna serupa dengan miliknya. Tetapi suasananya begitu berbeda. Tidak aneh mengingat dekorasi unit apartemen mereka sangat jauh berbeda. Ruang tengah Aruna didominasi furnitur kayu dan rotan dengan bantalan berwarna cream. Di depan sofa terdapat meja kaya dengan desain sederhana tetapi Baskara tahu harganya jauh dari kata murah. Beberapa bantal tertata di sofa dengan sarung berwarna cerah. TV LCD berukuran besar diletakan di atas kabinet dari kayu berpadu anyaman rotan. Tidak ada kabel yang terlihat. Disamping TV hanya ada vas kaca berisi anggrek bulan. Dinding kosong di antara kabinet dan pintu gesee menuju beranda penuh dengan foto hasil jepret
Aruna tersenyum lebar saat pintu lift tertutup. Sejak tadi dia berusaha menahan senyuman. Tidak ingin concierge menyalahartikan atau menimbulkan rumor tentangnya. Dia mengangkat tas bekal yang diberikan oleh concierge. Senyumnya semakin lebar. 'Titipan dari Pak Baskara'Rasa penasaran membuat gadis itu langsung membuka dan mengintip. Terlalu lama rasanya jika harus menunggu hingga dia tiba di unit apartemennya. "Kotak bekal?" Aruna menatap bingung. Dia sudah menduga kalau isi tas bekal itu adalah makanan. Tidak mungkin Baskara repot-repot menggunakan tas bekal dengan lapisan thermal jika isinya bukan makanan. Dugaannya Baskara memesan sesuatu dari restoran. "Isinya apa, ya?" Sungguh gadis itu ingin langsung membuka dua kotak bekal yang tersusun rapi dalam tas itu. Seandainya saja bawaannya malam ini tidak banyak, pasti dia tidak akan berpikir panjang seperti sekarang. Aruna menatap panel lantai. Tidak sabar melihat perpindahan lampu yang menyala. Saat pintu lift terbuka, gadis i
Salimah pernah bercerita bagaimana memasak merupakan serangkaian ritual penuh sihir dan keajaiban. Walau sudah dewasa, Baskara masih mempercayainya. Bagaimana tidak, hanya dengan masakan seseorang dapat tersenyum bahagia atau sebaliknya, mendadak merasa sembilu. Tentu itu karena sihir dan keajaiban. Ketika ide untuk membuatkan makan malam sebagai bentuk permintaan maaf kepada Aruna muncul di benak, pria itu langsung melakukannya. Semoga keajaiban dan sihir masakannya akan membuat Aruna memaafkannya. Baskara menumis irisan bawang putih dan bawang bombay. Sambil menunggu layu, pria itu membalurkan bawang putih, lada dan jahe ke arah daging iris lalu mengaduknya hingga rata sebelum menyimpan di kulkas selama beberapa saat. Ketika aroma khas bawang putih dan bawang bombay tercium dengan gesit dia memasukan irisan wortel lalu menambahkan sedikit air. Baskara lalu memgambil sisa sayur yang belum sempat dicuci dan membersihkannya satu persatu. Setelah itu kembang kol dan jagung muda menyu
"Lo udah mau cabut?" Sejak pukul enam sore Gala sudah berada di apartemen Baskara. Sahabatnya itu memaksa Baskara untuk pulang cepat karena katanya ada sesuatu yang ingin diceritakannya dan itu hal penting. Jangan tanya kenapa Baskara memenuhi permintaan Gala yang cukup absurs karena biasanya dia baru meninggalkan kantor setelah pukul enam sore. "Iya. Kenapa?" Gala mengenakan jaket jeans-nya. Sedikit bersungut karena dia bisa melupakan leather jacket favoritnya di apartemen Daniya. Walau dia sangat ingin untuk mengunjungi gadis itu tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukan itu. Gala tidak cukup yakin kalau Daniya mengingatnya karena gadis itu cukup mabuk ketika mereka berkenalan. "Lo nyuruh gue pulang cepat buat dengar curhatan lo doang?" Gala mengangguk sambil terkekeh, "Sesekali gantian, Bas. Jangan cuma gue yang capek denger tentang Aruna." "Sialan," Baskara melempar kulist kacang yang baru dikupas. "Ngomong-ngomong Aruna, udah semingguan lo nggak ngocehin tentang dia. Ka
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry