Selesai mengupas bawang putih dan bawang merah, dengan cekatan Baskara mengiris beberapa siung yang sudah dipisahkannya. Dia mengirisnya cukup tipis. Selanjutnya dia mengiris cabai rawit. Kebetulan dia dan Gala sama-sama menyukai hidangan pedas hingga Baskara sengaja mengiris cabai rawit cukup banyak. Sambil menunggu minyak cukup panas, Baskara mengambil tiga bungkus indomie rasa kari ayam, telur ayam dan sawi serta daun bawang yang akan dimasukkan belakangan. Entah sudah berapa kali Baskara memasak indomie kari ayam hingga dia menghapal setiap langkahnya dengan baik. Dia bahkan pernah bercanda mengatakan kalau dia dapat memasaknya bahkan dengan mata tertutup. Meski itu tentu tidak mungkin. Bagaimana mungkin dia mengiris bawang dan cabai rawit dengan mata tertutup?" "Gilaa, kangen banget gue sama aroma ini," Gala yang sebelumnya asyik menonton di ruang duduk langsung menghampiri Baskara di pantry ketika aroma tumisan bawang dan cabai mulai tercium. "Kalau lo sering pulang ke ruma
Dengkuran halus terdengar samar dari kamar tamu. Setelah menghabiskan semangkuk mie dan dua kaleng bir, Gala memutuskan untuk menginap dan dalam hitungan menit pria itu sudah terlelap. Tentu saja dia tidak merasa perlu untuk meminta izin kepada sang empunya unit apartemen, Baskara. Toh, dari dulu dia sering menginap di tempat tinggal sahabatnya itu. Berbeda dengan Gala yang sudah tenggelam dalam dunia mimpi, mata Baskara masih nyalang. Kantuk yang biasa sudah menyapa seakan enggan untuk hadir. Setelah selesai makan dan membersihkan dapur, percuma menunggu Gala karena itu tidak akan dilakukannya, dia mulai memeriksa ponsel. Mengecek email dan pesan yang harus dibalas atau sekadang menata pekerjaan untuk dilakukan besok. Tepat ketika dia akan membuka aplikasi email, ada notifikasi pesan masuk. Dari Gala. Pesan itu yang membuat tidak kunjung terlelap. Sebenarnya itu bukan pesan. Ya, tidak ada pesan yang dikirimkan oleh Gala. Sahabatnya itu hanya mengirimkan nomor ponsel dan email
"Bos, ditunggu di..." Ucapan Anya menggantung ketika melihat Baskara mengangkat tangan dan mengarahkannya ke pintu seakan memberi kode kalau dia sedang tidak dapat diganggu. Gadis itu langsung menarik diri dan menutup pintu ruang kerja atasannya. Sejak pagi Baskara memang tidak ingin diganggu. Pria itu sengaja meluangkan waktu untuk membaca ulang penawaran yang diberikan oleh Widjaja Group dan mencatat beberapa hal yang ingin ditanyakannya termasuk beberapa istilah legal yang kurang dipahami. Menjelang siang, dia sudah berbalas email beberapa kali dengan Abimana. Tangan kanan Narendra itu sigap membalas email dengan penjelasan panjang tetapi menggunakan bahasa yang sederhana. Ketika Anya masuk ke ruang kerjanya untuk menginformasikan sesuatu, Baskara sedang mengetikkan balasan dan mengucapkan terima kasih kepada Abimana dan membuat janji temu untuk bertemu dan meresmikan kerjasama antara Steam Perfection dan Widjaja Group. Pria itu membaca ulang balasan emailnya dan setelah merasa p
"Daebaak! Ini keren banget!" Anya tidak berhenti bersuara sejak mereka tiba di gedung Widjaja Group, "Bos, kira-kira kapan kita pindah ke kantor sekeren ini?" "Kantor kita masih kurang keren?" Baskara bertanya sambil terkekeh melihat polah asisten pribadinya itu. Di banding gedung Widjaja Group jelas kantor Steam Perfection tidak ada apa-apa. Bukan berarti kantor mereka sangat buruk. Dibandingkan dengan kantor lain di ibukota, Steam Perfection terbilang sebagai salah satu kantor terbaik. Tidak hanya lokasi yang stretegis tetapi juga berdasarkan fasilitas yang tersedia seperti camilan gratis, tempat istirahat, desain interior yang instagramable tetapi masih memenuhi standar ergonomis, keanggotan tempat olahraga, dan sederet fasilitas lainnya. "Udah keren, tapi kurang mewah," Anya menjawab sebelum mendahului Baskara menghampiri resepsionis. Baskara memilih untuk menunggu sambil melihat ke sekeliling. Anya tidak salah, gedung Widjaja Group setiap sudutnya memang meneriakan kemewahan.
"Mas," Aruna mengetuk kemudian masuk ke ruang kerja Narendra, "Sibuk nggak?" "Tidak," Narendra menggoyangkan ponsel, "Baru selesai teleponan dengan Agnia. Syutingnya sudah selesai dan dia akan segera pulang. Akhirnya..." "Kangen banget, ya? Ini udah berapa lama di Interlaken? Ada sebulan?" "Hampir sebulan. Bayangkan saja. Kalau tidak ditahan Abi mungkin tiap minggu aku terbang ke sana. Sayangnay pekerjaanku juga sedang banyak." "Kapan, sih, pekerjaan Mas nggak banyak?" Gadis itu ketawa kecil, "Aku dengar dari Mas Abi kalau kita nawarin pendanaan ke Steam Perfection?" "Iya. Kenapa?" Narendra memutar kursi kerja, "Ada masalah?""Nggak ada. Aku cuma mau mastiin karena...""Kamu dan pemilik Steam Perfection memiliki cerita di masa lalu?" Pipi Aruna yang memerah sudah memberikan jawaban, "Pasti tahu dari Mas Arsya! Dasar, bisa-bisa aku punya kakak yang mulutnya ember kayak gitu." "Jadi itu benar?" "Benar," Aruna mengangguk dengan pipi semakin memerah, "Kami pernah pacaran. Tapi cum
Segera setelah Aruna bergabung bersama mereka pertemuan dimulai. Ada banyak yang harus mereka diskusikan sementara waktu yang mereka miliki sangat terbatas. Narendra dan Abimana harus menghadiri pertemuan lain sementara Baskara sudah memiliki janji dengan wartawan salah satu majalah ekonomi terbesar di negara ini. Seluruh persiapan yang sudah dilakukannya Baskara seakan lenyap. Pria itu bahkan tidak fokus sepanjang pertemuan ini. Setiap kata yang diucapkan oleh Aruna atau yang lain hanya masuk telinga kiri dan segera keluar dari telinga kanan. Konsentrasinya tertuju hanya pada Aruna. Jika di supermarket dia hanya dapat mengamati dari jauh, kali ini tidak. Mereka hanya berjarak beberapa langkah. Pandangan Baskara penuh dengan sosoknya. Gadis itu masih secantik ingatannya. Ada yang berbeda, fitur kekanakan sudah sempurna menghilang dari wajah gadis itu. Aruna yang sekarang berdiri di hadapannya merupakan sosok wanita dewasa yang tidak hanya cantik tetapi juga memancarkan aura kecerdas
Gadis itu menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga sebelum menggigit bibir menunjukkan dia sedang berpikir sambil menyoret sesuatu di kertas. Walau memiliki iPad dan laptop, Aruna lebih suka menggunakan kertas. Hanya gerakan sederhana tetapi itu memaku mata Baskara. Pikirannya yang sudah kembali jernih seketika kembali kosong. Hanya terisi dengan sosok Aruna. Ketika menatap wajah gadis itu dia seakan kembali ke masa lalu. Masa SMA. Masa ketika menatap wajah Aruna adalah hal yang sering dilakukannya hingga dia hapal berbagai ekspresi yang dimiliki oleh gadis itu. Ketika kesal Aruna akan mengernyit hingga muncul lipatan dalam di kening, ketika senyum ada lesung pipi samar yang hanya terlihat jika diperhatikan, atau ketika berpikir gadis itu tanpa sadar akan mengigit bibir kemudian menarik-nariknya seperti yang dilakukan sekarang. Tiba-tiba sebuah tendangan yang menyapa tulang kering menariknya dari lamunan. Tentu saja Anya pelakunya. Seketika dia langsung menoleh ke ara
BODOH! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sejak kembali dari gedung Widjaja Group, Baskara tidak berhenti merutuki diri. Dia tidak percaya kalau dia bisa sebodoh itu. Pria itu tidak habis pikir apa yang membuatnya menjawab pertanyaan Aruna dengan pernyataan yang sama sekali tidak menjawab mengapa dia tidak kunjung menghubungi gadis itu. Baskara melempar tas kerja ke sofa rung duduk unit apartemen kemudian berjalan dengan langkah lebar ke pantry. Segera dia membuka kulkas dan mengambil sebotol cold pressed juice sebelum kembali ke ruang duduk. "Baskara bodoh," pria itu duduk dan menaikan kaki ke atas meja. Dia memejamkan mata sambil memijat pelipis. "Aku akan segera menghubungi Anda," Baskara mengulangi jawaban yang diberikan kepada Aruna ketika gadis itu bertanya mengapa dia masih belum menghubungi gadis itu padahal Gala sudah memberikan nomor ponselnya sejak beberapa hari lalu. "Jawaban macam apa itu Baskara? Kamu mau ngehubungin dia? Kamu mau ngomong apa?" Dia menceracau sambil membuka