BODOH! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sejak kembali dari gedung Widjaja Group, Baskara tidak berhenti merutuki diri. Dia tidak percaya kalau dia bisa sebodoh itu. Pria itu tidak habis pikir apa yang membuatnya menjawab pertanyaan Aruna dengan pernyataan yang sama sekali tidak menjawab mengapa dia tidak kunjung menghubungi gadis itu. Baskara melempar tas kerja ke sofa rung duduk unit apartemen kemudian berjalan dengan langkah lebar ke pantry. Segera dia membuka kulkas dan mengambil sebotol cold pressed juice sebelum kembali ke ruang duduk. "Baskara bodoh," pria itu duduk dan menaikan kaki ke atas meja. Dia memejamkan mata sambil memijat pelipis. "Aku akan segera menghubungi Anda," Baskara mengulangi jawaban yang diberikan kepada Aruna ketika gadis itu bertanya mengapa dia masih belum menghubungi gadis itu padahal Gala sudah memberikan nomor ponselnya sejak beberapa hari lalu. "Jawaban macam apa itu Baskara? Kamu mau ngehubungin dia? Kamu mau ngomong apa?" Dia menceracau sambil membuka
Katanya masa SMA adalah masa paling menyenangkan. Seragam putih abu menjadi saksi betapa bewarnanya masa itu. Pertama kali mengerti arti sahabat. Pertama kali tersipu ketika bersitatap dengan seseorang yang membuat jantung berdetak lebih cepat. Pertama kali menjalin hubungan dan mungkin pertama kali patah hati. Ada banyak yang terjadi di masa SMA sehingga masa itu menjadi masa penuh kenangan. Tidak sedikit yang ingin kembali mengulangi masa-masa itu. Baskara tentu termasuk dalam segelintir yang ingin melupakan masa SMA. Wajar. Tidak ada seorang pun yang ingin mengingat perundungan yang pernah mereka terima atau mengingat hinaan yang hampir setiap hari dilontarkan untuk merendahkan dirinya. Walau begitu, hidup tentu tidak hanya penuh dengan kesedihan. Ada Gala dan Aruna yang membuat masa SMAnya sedikit menyenangkan. Dan kenangan itu seketika menyerbu ketika melihat foto yang diunggah oleh Aruna di akun media sosialnya. Tidak ada yang istimewa. Dibandingkan dengan foto-foto lain yang
Selesai dengan harinya yang panjang, Aruna kembali ke rumah orang tuanya. Malam ini dia memiliki janji untuk makan malam bersama dengan mereka dan kakak satu-satunya yang kebetulan sedang berkunjung ke ibukota. Tidak ada yang istimewa. Makan malam bersama sudah menjadi kebiasaan setidaknya satu bulan sekali. Kedatangan Arsya juga tidak menjadikannya istimewa kecuali percakapan akan terfokus pada pria itu. Maklum, orang tua mereka sudah tidak sabar untuk memiliki menantu dan cucu. "Langsung ke kamar, Na?" Arsya yang bertanya. Hanya tersisa pria itu di meja makan."Iya," Aruna mengambil botol minuman yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga sesuai dengan permintaannya, "Capek banget hari ini. Pengin langsung istirahat. Besok juga aku meeting dari pagi." "Nggak ada yang pengin kamu ceritain ke aku?" Pria itu dengan santai menyandarkan punggung pada sandaran kursi dan asyik menikmati dessert. "Cerita apa?" Gadis itu membuka botol minum dan mencicipin teh herbal buatan asisten rum
"Mas Arsya nyebelin!" Sambil bersungut kesal Aruna masuk ke kamar tidurnya. Walau dia sudah bertahun-tahun tidak menempati kamar ini karena dia lebih memilih untuk tinggal di apartemen setelah menyelesaikan kuliahnya dan kembali ke ibukota, orang tuanya masih membiarkan kamar ini persis seperti dia meninggalkannya dulu. Nyaris tidak ada yang berubah kecuali wallpaper yang sudah diganti dengan motif yang lebih dewasa, foto-foto hasil jepretan fotografer idolanya sudah diganti dengan bingkai yang lebih minimalis, peralatan mandi, skincare serta make up sudah diganti sesuai dengan yang sekarang digunakan oleh Aruna. Setelah meletakkan botol minum di meja, gadis itu berjalan menuju jendela kemudian membuka gorden dan menatap lampu-lampu taman. Salah satu tempat favorit Aruna di rumah orang tuanya. Puas menatap pemandangan taman, Aruna beranjak menuju rak buku panjang dan tinggi di samping meja kerjanya. Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk menemukan apa yang dicari. Buku tahunan
Apel yang lima menit lalu diambil Baskara dari kulkas sudah habis hanya menyisakan tangkai dan bagian tengah tempat biji bersemayam. Pria itu sudah berpuluh kali memeriksa ponselnya. Nihil. Masih belum ada balasan dari Aruna. Bahkan terakhir kali dia mengecek, pesan yang dikirimkannya masih belum dibalas. Kaki Baskara bergerak berulang tanpa disadarinya. Kebiasaan yang selalu muncul setiap kali dia gelisah. Aruna juga yang pertama kali menyadari kebiasaannya itu. Dia masih ingat kenangan itu dengan jelas. Saat Baskara akan mengikuti seleksi untuk perlombaan yang sekarang tidak diingatnya tetapi dulu terasa sangat penting. Aruna menemaninya di ruang tunggu. Hanya membutuhkan waktu satu menit untuk gadis itu menyadari kebiasaan yang bahkan tidak pernah disadari oleh sayang empunya tubuh.Baskara membuang sisa apel ke tempat sampah, kembali ke ruang duduk dengan membawa sebotol air dingin. Segera setelah duduk, dia kembali memeriksa ponselnya. Masih tidak ada notifikasi yang diharapkann
Aruna bergegas mematikan membersihkan sisa cleansing balm dengan washlap ketika menyadari air sudah memenuhi bathtub. Gadis itu menambahkan garam mandi dan bubble bath beraroma verbena kesukaannya setelah memastikan kalau suhu air sesuai dengan keinginannya. Setelah hari yang panjang satu-satunya hal yang diinginkan oleh gadis itu adalah berendam selama satu jam kemudian tidur dengan essential oil terulas di balik cuping telinga. Malam ini alasannya untuk berendam juga bertambah. Aruna ingin melupakan pesan yang dikirim oleh cinta pertamanya. Pesan yang sangat tidak jelas. Bahkan setelah berpikir selama beberapa saat dia masih tidak dapat paham dengan apa yang dimaksud tidak sengaja oleh pria itu, Aruna memutuskan untuk membalas dengan mengetuk pesan itu dua kali. Setidaknya dia membalasnya walau bukan dengan kata-kata. "Baskara Ishan Prajana," gadis itu menyebut nama mantan pacarnya sambil mendesah panjang menikmati sensasi yang diberikan oleh air hangat bercampur garam mandi. Sel
Selesai mandi perasaan Aruna jauh dari kata ringan. Padahal berendam air hangat dengan campuran garam mandi dan bubble bath favoritnya tidak pernah gagal mengembalikan suasana hatinya. Tetapi dia tahu alasan lain yang menyebabkan suasana hatinya masih seburuk tadi. Kenanngan kebersamaan dengan Baskara. Mengapa pula dia harus mengingat kenangan pertemuan pertamanya dengan pria itu? Tidak. Mengapa pula kenangan itu masih memberikan efek sebesar ini setelah lebih dari sepuluh tahun. Mengapa, Aruna?Aruna mengikat bathrobe kemudian menggelung rambutnya dalam handuk sebelum memulai ritual membersihkan dan merawat wajahnya. Calya suka menertawai karena begitu banyak skincare yang digunakan olehnya. Sepupunya itu tidak pernah mengerti kenapa Aruna harus mengunakan sekian banyak produk padahal kulitnya sudah sangat sehat dan glowing. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kalau ini serupa dengan kebiasaan anak kecil yang melakukan sesuatu berulang-ulang. Kegiataan sederhana yang mengha
"Kak, mau ke mana?" Aruna menatap bingung ketika menemukan Baskara sudah merapikan barang-arnagnya. Biasanya pria itu baru beranjak dari halaman belakang menjelang malam. Katanya halaman belakang jauh lebih tenang dari rumah sehingga dia bisa lebih fokus mengerjakan tugas sekolah. "Beli buku," Baskara menjawab singkat sambil mengenakan ransel tuanya. "Aku boleh ikut?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, "Aku suka lihat-lihat toko buku.""Boleh aja. Tapi aku nggak ke toko buku," Baskara menggaruk rambutnya yang tidak gatal, "Aku nggak yakin kamu bakalan nyaman juga di sana. Panas terus...""Sebenarnya aku dibolehin ikut atau nggak, sih?" Da mulai terdengar kesal. Tidak memiliki pilihan lain, Baskara akhirnya menganggukkan kepala sambil menghitung sisa uang yang ada di kantungnya. Dia tidak mungkin mengajak gadis itu untuk menaiki angkutan umum. Seumur hidup Aruna kemungkinan besar gadis itu belum pernah bersentuhan dengan angkutan umum. Tidak mungkin dia setega itu. "Asyik!" Samb