"Kak, mau ke mana?" Aruna menatap bingung ketika menemukan Baskara sudah merapikan barang-arnagnya. Biasanya pria itu baru beranjak dari halaman belakang menjelang malam. Katanya halaman belakang jauh lebih tenang dari rumah sehingga dia bisa lebih fokus mengerjakan tugas sekolah. "Beli buku," Baskara menjawab singkat sambil mengenakan ransel tuanya. "Aku boleh ikut?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, "Aku suka lihat-lihat toko buku.""Boleh aja. Tapi aku nggak ke toko buku," Baskara menggaruk rambutnya yang tidak gatal, "Aku nggak yakin kamu bakalan nyaman juga di sana. Panas terus...""Sebenarnya aku dibolehin ikut atau nggak, sih?" Da mulai terdengar kesal. Tidak memiliki pilihan lain, Baskara akhirnya menganggukkan kepala sambil menghitung sisa uang yang ada di kantungnya. Dia tidak mungkin mengajak gadis itu untuk menaiki angkutan umum. Seumur hidup Aruna kemungkinan besar gadis itu belum pernah bersentuhan dengan angkutan umum. Tidak mungkin dia setega itu. "Asyik!" Samb
Sejak kuliah Baskara terbiasa untuk mandi sebelum tidur. Dia terpengaruh oleh teman-teman yang berasal dari Korea Selatan dan Jepang. Awalnya dia terbengong kenapa mereka selalu menyempatkan diri untuk mandi atau setidaknya membilas badan sebelum tidur. Atas desakan teman-temannya, Baskara mencoba melakukan kebiasaan merekan. Berawal dari penasaran perlahan menjadi kebiasaan karena dia merasakan efeknya. Tidurnya menjadil lebih nyenyak. Lelah menunggu balasan dari Aruna, berharap gadis itu tidak hanya sekedar menyukai pesan yang dikirimkannya, Baskara memutuskan untuk mandi. Tidak lama, pria itu tidak pernah lama ketika mandi. Dia membiarkan air yang keluar dari pancuran membilas setiap senti kulitnya. Sengaja dia menggunakan air dingin walau ada pemanas di apartemennya. Baskara ingin menenangkan diri dan biasanya air dingin mampu meredam segala emosi yang dirasakannya. Di sela siraman air pria itu menarik napas dalam-dalam. Ada yang mengganjal dalam dirinya. Sesuatu yang tidak
Matanya mengerjap beberapa kali karena merasa silau. Setelah terbiasa, dia langsung membuka mata dan menatap bingung ke arah gorden jendela yang tidak tertutup rapat. Sambil menguap lebar tangannya meraba mencari ponsel. Begitu menemukan, pria itu langsung menyalakan. "GILA!" Baskara langsung melompat dari tempat tidur ketika melihat layar ponselnya. Pukul tujuh pagi. Biasanya dia sudah di kantor dan menikmati secangkir kopi di ruangannya sambil memeriksa jadwal yang dikirim oleh asisten pribadinya. Dengan masih tidak percaya kalau dia bisa kesiangan, Baskara setengah berlalu menuju kamar mandi untuk mandi dan bersiap. Lima menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos dalam celana pendek. Celana pendek segera berganti dengan chino berwarna cokelat tua. Dia membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk memutuskan kemeja apa yang akan dikenakannya. Pilihannya jatuh pada kemeja tartan berwarna biru dongker. Dengan cepat dia mengancing kemeja kemudian memasukkan ke da
Anya sedang sibuk dengan setumpuk pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Siapa bilang menjadi asisten pribadi itu pekerjaan yang gampang? Setiap kali ada yang meremehkan dirinya ketika mengetahui profesinya Anya selalu berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri dari keinginan mencabik-cabik orang tersebut. Dia tidak terlahir dengan wajah cantik. Tidak juga dengan otak encer. Kelebihannya hanya satu, kegigihan. Sejak kecil dia sudah gigih untuk mencapai tujuannya. Salah satu bukti keberhasilannya adalah Anya berhasil menyelesaikan pendidikan SMAnya tanpa dukungan biaya dari orang tuanya. Kegigihannya juga yang membuatnya berhasil menjadi asisten pribadi seorang Baskara Ishan Prajana yang masuk dalam daftar Forbes 30 under 30. Mengetahui dirinya tidak terlahir rupawan, Anya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk belajar bagaimana membuat dirinya menarik. Dia mencoba berbagai gaya pakaian, riasan dan mengatur jumlah kalori yang masuk ke tubuhnya. Setelah dia berhasil menyulap diri
Baskara kembali ke ruang kerja setelah menyelesaikan makan siang. Terlalu bingung ingin memesan apa di ojek daring membuat pria itu memutuskan untuk berjalan ke belakang gedung Steam Perfection. Ada banyak warung dan pejual kaki lima yang menyesaki lorong-lorong kecil di balik gedung perkantoran mewah ibukota. Walau founder perusahaan rintisan yang sudah berkembang pesat, Baskara tidak merasa malu jika harus makan di sana. Seperti biasa, dia langsung menyalakan iMac dan memeriksa daftar pekerjaannya untuk hari ini. Baskara sudah menyelesaikan hampir seluruh pekerjaan yang mendesak. Sebelum ini dia tidak pernah menyadari kekuatan sebuah pesan. Sepotong pesan dari Aruna berhasil membuat suasana hatinya baik sepanjang hari. Tidak hanya itu, dia juga merasa kalau pikirannya jauh lebih jernih. Pekerjaan yang biasa menghabiskan waktu berjam-jam berhasil diselesaikannya dalam dua jam saja. Ketika memeriksa email dan masih belum menemukan email dari Aruna, pria itu segera mengambil ponsel d
"Lagi ngapain lo?" Gala semringah masuk ke ruang kerja sahabatnya. Seperti biasa dia tidak memrasa harus mengetuk atau menunggu Anya untuk mempersilakannya masuk. Dia bebas keluar masuk kantor Baskara. Hanya jika Baskara sedang meeting atau bertemu klien Anya akan menahan atau memberikan kode."Tumben banget kamu main HP," pria itu meletakkan paperbag di meja kerja Baskara, "Biasa fokus kerja. Kehabisan kerjaan lo?" Baskara terkekeh, "Ini juga lagi kerja.""Chatting-an gitu kerja?" Dari tempatnya berdiri Gala dapat sekilas melihat layar ponsel pria itu sebelum dia mematikan layar ponsel dan menyimpannya di meja kerja. "Iya. Lagi bahas detail kontrak," Baskara menunjuk paperbag, "Ini apa?" "Biasa lo bahas kayak gituan via email," Gala duduk di salah satu sofa yang tersedia di ruang kerja sahabatnya, "Ayam goreng kesukaan lo.""Becanda!" Senyum lebar bercampur tatapan tidak percaya segera muncul di wajah Baskara, "Kapan lo terbang ke Singapura?" "Tadi pagi. Ada meeting," Gala tergel
Aruna Dayana Widjaja: Kak, udah sampai? Sambil melangkah masuk ke lift apartemen yang terhubung langsung dengan unitnya, Baskara memeriksa ponsel. Lagi, senyumnya langsung terulas ketika menemukan pesan yang dikirimkan oleh mantan pacarnya saat SMA itu. Sebelum bersepeda pulang pria itu memang membalas pesan gadis itu dengan mengatakan kalau dia sedang dalam perjalanan pulang. Baskara Ishan Prajana: Lagi di liftBaskara Ishan Prajana: Kamu? Tidak perlu menunggu lama Baskara sudah menemukan pesan balasan dari gadis itu masuk ke ponselnya. Aruna Dayana Widjaja: Masih di kantorAruna Dayana Widjaja: Kak Askara ngasih revisi last minute bangetAda rasa bersalah yang muncul begitu membaca pesan tersebut. Baskara memang mengirimkan revisi terakhir terkait kerja sama mereka di akhir jam kerja. Ini semua karena Gala datang dengan seporsi besar Yardbird kesukaannya. Membuat dia tidak mungkin menolak paksaan sahabatnya untuk bercerita. Baskara Ishan Prajana: Sorry. Seharusnya kamu lanjut b
Entah sudah berapa kali mereka berbalas pesan ketika pesan terbaru Aruna masuk dan mengejutkan Baskara yang sedang sibuk mengerjakan pemograman untuk aplikasi yang dibuatnya sebagai pengisi waktu luang. Aruna Dayana Widjaja: Lagi apa?Aruna Dayana Widjaja: Bisa teleponan?Baskara mengedipkan mata beberapa kali sebelum kembali membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh gadis itu. Masih tetap sama. Dia tidak salah membaca atau berhalusinasi. Ya, itu pesan yang dikirimkan oleh Aruna untuknya. Baskara Ishan Prajana: Nggak lagi ngapa-ngapainTidak lama setelah pesan itu terkirim ponsel Baskara berdering. Tentu saja dari gadis itu.Baskara tidak langsung mengangkatnya. Pria itu berdeham beberapa kali dan walau dia tahu ini hanya panggilan telepon tetapi pria itu merapikan rambut dan penampilannya. Entah untuk apa. "Halo," walau sudah berdeham berulang tetap saja suaranya terdengar sedikit bergetar ketika menerima panggilan dari Aruna. "Hai, Kak," suara Aruna terdengar riang dan penuh s
Berbeda dengan tadi pagi ketika mengawali hari, semakin sore Anya semakin uring-uringan. Bagaimana tidak sepanjang hari dia berulang kali mendapati atasannya melihat ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Menyebalkan. Anya yakin kalau mantan pacar sang atasan yang menjadi penyebabnya. Hari sudah menjelang pukul tiga tetapi pekerjaannya masih menggunung. Hari ini entah mengapa dia tidak dapat fokus. Yang dilakukannya hanya mencari tahu tentang Aruna. Awalnya dia cukup yakin dapat bersaing dengan gadis itu. Aruna hanya menang nama keluarg saja. Memang gadis itu lebih cantik dan menawan dibanding dirinya tetapi dia tahu kalau Baskara tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Sayangnya, semakin dia mencari tahu tentang Aruna, semakin dia merasa kecil. Aruna memang terlahir dengan begitu banyak priviledge dan dia memanfaatkannya dengan baik. Sejak remaja dia sudah sering mendapatkan penghargaan di bidang fotografi, menyelesaikan sekolah dan kuliah tidak hanya tepat waktu tapi juga dengan ha
Anya memulai pagi hari Rabu ini seperti biasa. Dari indekosnya dia menumpangi angkutan umum selama lima belas menit, cukup beruntung karena pagi ini dia tidak harus berdesak-desakan. Itu saja sudah berhasil membuat suasana hatinya riang. Dia yakin hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Begitu turun di halte seberang gedung tempat kantor Steam Perfection berada dia menyempatkan diri untuk membeli dua porsi bubur ayam. Satu porsi untuknya, dengan esktra sambal, dan satu porsi lagi yang tidak mengunakan daun seledri akan diberikan kepada atasannya, Baskara. Beberapa kali dalam sebulan, biasanya ketika suasana hatinya sedang riang, dia membelikan sarapan untuk pria yang diam-diam ditaksirnya itu. Baskara bukan seorang pemilih dalam hal makanan dan itu memudahkan Anya jika ingin memberikan kejutan seperti pagi ini. Gadis itu yakin, perhatian-perhatian kecil seperti ini akan meluluhkan hati sang atasan. Walau sejak kehadiran Aruna dia tidak seyakin dulu. Kesal mengingat gadis yang
Aruna memastikan ikat pinggang yang dikenakannya masuk ke lubang chino berearna khaki yang dikenakannya. Hari ini akan menjadi hari yang panjang di kantor hingga dia memutuskan mengenakan kaus garis-garis horizontal yang dipadu dengan blazer berpotongan pas badan warna navy agar tidak terlihat terlalu santai. Terlalu fokus merapikan penampilan hingga butuh waktu cukup lama sebelum otaknya menyadari bahwa ada seseorang yang sedang membunyikan bel apartemennya. Dia melirik jam sambil berjalan keluar dari kamar. Bahkan pukul enam saja baru lewat beberapa menit. Rasanya terlalu pagi untuk bertamu. Siapa? Gadis itu membuka pintu yang terhubung dengan foyer dan mengintip siapa yang berkunjung. Terburu, dia lupa untuk melihat di interkom siapa yang datang. Seluruh kebingungannya menguap dan berganti dengan senyum lebar ketika melihat Baskara berdiri di foyer sambil memegang dua tumbler yang mengepul dan sebuah kantong paper bag berwarna cokelat dengan logo salah satu gerai kopi yang terse
"Tanaman?" Aruna berhenti mengunyah sebelum tertawa kecil dan melanjutkan makannya, "Pasti Kak Askara ngerasa aneh karena dulu aku kayak sebel banget sama tanaman, kan?"Baskara mengangguk mendengar ucapan gadis itu. "Kapan, ya..." tatapannya terlihat menerawang seakan dia sedang berusaha mengingat, "Waktu kuliah kayaknya. Aku sempat yang stress banget gitu karena kuliah. Memang jurusan yangvaku pengin tapi nggak tahu kok makin lama kayak makin berat. Capek gitu.""Aku sampai ngerasa susah banget buat bangun. Ngerasa nggak punya alasan aja gitu," Aruna kembali menambahkan gyudon ke piringnya, "Terus aku ke psikolog gitu. Nah, buat terapi awal disaranin buat aku punya sesuatu yang bergantung ke aku. Biar itu jadi alasan aku buat bangun dan mulai aktivitas." Baskara sama sekali sudah melupakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu fokus mendengarkan cerita Aruna. "Awalnya aku mikir buat pelihara kucing atau anjing. Tapi terus kepikiran kalau aku nggak becus terus mereka mati gimana
"Maaf aku nggak bawa apa-apa," Baskara yang hanya mengenakan kaos dan jeans tersenyum canggung menatap Aruna yang berdiri di ambang pintu. "Siapa yang bilang barus bawa sesuatu?" Aruna tersenyum geli. "Kata Mamak," Baskara beranjak masuk setelah Aruna sedikit menggeser posisi berdiri dan mempersilakan pria itu untuk masuk. Unit apartemen Aruna serupa dengan miliknya. Tetapi suasananya begitu berbeda. Tidak aneh mengingat dekorasi unit apartemen mereka sangat jauh berbeda. Ruang tengah Aruna didominasi furnitur kayu dan rotan dengan bantalan berwarna cream. Di depan sofa terdapat meja kaya dengan desain sederhana tetapi Baskara tahu harganya jauh dari kata murah. Beberapa bantal tertata di sofa dengan sarung berwarna cerah. TV LCD berukuran besar diletakan di atas kabinet dari kayu berpadu anyaman rotan. Tidak ada kabel yang terlihat. Disamping TV hanya ada vas kaca berisi anggrek bulan. Dinding kosong di antara kabinet dan pintu gesee menuju beranda penuh dengan foto hasil jepret
Aruna tersenyum lebar saat pintu lift tertutup. Sejak tadi dia berusaha menahan senyuman. Tidak ingin concierge menyalahartikan atau menimbulkan rumor tentangnya. Dia mengangkat tas bekal yang diberikan oleh concierge. Senyumnya semakin lebar. 'Titipan dari Pak Baskara'Rasa penasaran membuat gadis itu langsung membuka dan mengintip. Terlalu lama rasanya jika harus menunggu hingga dia tiba di unit apartemennya. "Kotak bekal?" Aruna menatap bingung. Dia sudah menduga kalau isi tas bekal itu adalah makanan. Tidak mungkin Baskara repot-repot menggunakan tas bekal dengan lapisan thermal jika isinya bukan makanan. Dugaannya Baskara memesan sesuatu dari restoran. "Isinya apa, ya?" Sungguh gadis itu ingin langsung membuka dua kotak bekal yang tersusun rapi dalam tas itu. Seandainya saja bawaannya malam ini tidak banyak, pasti dia tidak akan berpikir panjang seperti sekarang. Aruna menatap panel lantai. Tidak sabar melihat perpindahan lampu yang menyala. Saat pintu lift terbuka, gadis i
Salimah pernah bercerita bagaimana memasak merupakan serangkaian ritual penuh sihir dan keajaiban. Walau sudah dewasa, Baskara masih mempercayainya. Bagaimana tidak, hanya dengan masakan seseorang dapat tersenyum bahagia atau sebaliknya, mendadak merasa sembilu. Tentu itu karena sihir dan keajaiban. Ketika ide untuk membuatkan makan malam sebagai bentuk permintaan maaf kepada Aruna muncul di benak, pria itu langsung melakukannya. Semoga keajaiban dan sihir masakannya akan membuat Aruna memaafkannya. Baskara menumis irisan bawang putih dan bawang bombay. Sambil menunggu layu, pria itu membalurkan bawang putih, lada dan jahe ke arah daging iris lalu mengaduknya hingga rata sebelum menyimpan di kulkas selama beberapa saat. Ketika aroma khas bawang putih dan bawang bombay tercium dengan gesit dia memasukan irisan wortel lalu menambahkan sedikit air. Baskara lalu memgambil sisa sayur yang belum sempat dicuci dan membersihkannya satu persatu. Setelah itu kembang kol dan jagung muda menyu
"Lo udah mau cabut?" Sejak pukul enam sore Gala sudah berada di apartemen Baskara. Sahabatnya itu memaksa Baskara untuk pulang cepat karena katanya ada sesuatu yang ingin diceritakannya dan itu hal penting. Jangan tanya kenapa Baskara memenuhi permintaan Gala yang cukup absurs karena biasanya dia baru meninggalkan kantor setelah pukul enam sore. "Iya. Kenapa?" Gala mengenakan jaket jeans-nya. Sedikit bersungut karena dia bisa melupakan leather jacket favoritnya di apartemen Daniya. Walau dia sangat ingin untuk mengunjungi gadis itu tetapi dia menahan diri untuk tidak melakukan itu. Gala tidak cukup yakin kalau Daniya mengingatnya karena gadis itu cukup mabuk ketika mereka berkenalan. "Lo nyuruh gue pulang cepat buat dengar curhatan lo doang?" Gala mengangguk sambil terkekeh, "Sesekali gantian, Bas. Jangan cuma gue yang capek denger tentang Aruna." "Sialan," Baskara melempar kulist kacang yang baru dikupas. "Ngomong-ngomong Aruna, udah semingguan lo nggak ngocehin tentang dia. Ka
Daniya terbangun karena dering bel apartemen yang terus berbunyi. Masih setengah memejamkan mata, gadis itu keluar dari selimut tebal kemudian mencari ponsel untuk mengetahui ini sudah pukul berapa. Pukul enam. Masih terlalu pagi. Siapa? Dia beringsut turun dari tempat tidur dan tersuruk mencari sandal sebelum keluar dari kamar. Matanya masih terasa berat. Kepalanya sangat sakit. Pengar karena alkohol yang dinikmatinya sepanjang malam. "Sial," dia memijat pelipis sambil melihat interkom. Ada sosok kembarannya di depan pintu apartemen."Ngapain lo? Ayam juga kalah pagi sama lo," dia membuka pintu apartemennya. "Pagi, Daniya. Lo nggak bakalan ngomel karena gue bawakn croissant favorit lo. Gue bela-belain ngantre demi lo." "Croissant doang nggak cukup," Daniya menerima paperbag yang diulurkan kembarannya, "Lo ngapain ke sini?" "Bangunin lo. Semalam lo bilang ada meeting penting pagi ini. Tadi malam lo minum banyak. Gue takut lo telat bangun." "Perhatian banget," gadis itu ke pantry