Entah sudah berapa kali mereka berbalas pesan ketika pesan terbaru Aruna masuk dan mengejutkan Baskara yang sedang sibuk mengerjakan pemograman untuk aplikasi yang dibuatnya sebagai pengisi waktu luang. Aruna Dayana Widjaja: Lagi apa?Aruna Dayana Widjaja: Bisa teleponan?Baskara mengedipkan mata beberapa kali sebelum kembali membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh gadis itu. Masih tetap sama. Dia tidak salah membaca atau berhalusinasi. Ya, itu pesan yang dikirimkan oleh Aruna untuknya. Baskara Ishan Prajana: Nggak lagi ngapa-ngapainTidak lama setelah pesan itu terkirim ponsel Baskara berdering. Tentu saja dari gadis itu.Baskara tidak langsung mengangkatnya. Pria itu berdeham beberapa kali dan walau dia tahu ini hanya panggilan telepon tetapi pria itu merapikan rambut dan penampilannya. Entah untuk apa. "Halo," walau sudah berdeham berulang tetap saja suaranya terdengar sedikit bergetar ketika menerima panggilan dari Aruna. "Hai, Kak," suara Aruna terdengar riang dan penuh s
Sambil menguap Aruna keluar dari shower box dan langsung membungkus tubuhnya dengan bathrobe yang tebal dan hangat. Gadis itu kembali membiarkan dirinya menguap. Lebar hingga matanya berair. Dia jelas masih mengantuk. Semalam dia tidak tahu pukul berapa jatuh tertidur. Entah bagaimana dia jatuh tidur ketika sedang mengobrol dengan Baskara. "Memalukan," gadis itu berucap lirih sambil menampar pipinya. Bukan kesal melainkan ingin mengusir kantuk. Jadwal pertamanya pagi ini adalah bertemu dengan Narendra dan tim legal. Itu dapat dipastikan akan menjadi meeting yang panjang dan melelahkan. Segera dia tenggelam dalam rutinitas panjang perawatan wajah dan memulas riasan tipis untuk menyegarkan penampilan juga menutupi kantung hitam di bawah mata. Sudah waktunya dia untuk mengunjungi klinik perawatan wajah langganannya. "Sial," gadis itu berdecak kesal ketika ingat kalau pagi ini hairstylist langganannya izin karena ada keperluan, "Seharusnya tadi nggak usah keramas." Walau terlahir
Menit-menit yang dihabiskan dalam mercy melesat cepat. Rasanya baru beberapa menit lalu dia memejamkan mata dan ketika membuka mata mobil sudah berhenti tepat di depan lobby gedung Widjaja Group. Gadis itu mengerang pelan dan memaksa diri untuk keluar dari mobil. Aruna berjalan dengan penuh percaya diri sambil memeriksa ponselnya. Biasanya dia melakukan ini sambil hairstylist menata rambutnya atau dalam perjalanan. Tetapi hari ini berbeda. Hairstylist tidak masuk dan sepanjang perjalanan dia memilih untuk tidur. Walau fokus dengan berbagai email dan pesan yang harus dibalas, gadis itu tetap melempar senyum disertai anggukan untuk setiap orang yang menyapanya. Menjadi bagian dari keluarga Widjaja membuat seluruh pegawai merasa wajib untuk sekadar bertegur sapa padahal belum tentu mereka saling kenal. Ada ratusan bahkan ribuan orang yang bekerja di gedung ini, tidak mungkin dia mengenali mereka semua. Lagi pula dia bukan Narendra, jabatannya tidak sepenting sang sepupu. "Mbaak, c
Aruna mematikan laptop setelah hari yang panjang dilanjutkan dengan merenggangkan punggung. Hari ini semua berjalan sebaik yang bisa dibayangkan olehnya. Meeting panjang dengan tim legal dan sepupunya berakhir dengan baik. Tim legal akan menyelesaikan draft kontrak kemudian mengirimkan kepada KAMALA dan Steam Perfection untuk dievaluasi terakhir kali sebelum penandatanganan. Jadwal yang padat menjadi alasan baik karena itu berarti dia tidak sempat memikirkan Baskara. Jantungnya melonjak ketika dia mengingat pria itu. Astaga. Dia terdengar seperti remaja ingusan saat ini. "Mbak," ketukan samar terdengar dari pintu ruang kerja yang memang tidak ditutupnya. Ketika Aruna memalingkan wajah dia menemukan sosok Hansa dan Fahira di ambang pintu. "Ya?" Dia berdeham untuk memastikan suaranya tidak memancing kecurigaan, "Kenapa?""Jadi meeting-nya? Udah hampir jam 5. Yang lain udah pada siap-siap mau pulang." "Shit! Aku sampai lupa," dia menepuk kening, "Masuk. Harusnya ini nggak lama
"Au!" Aruna berteriak ketika Maya menyimpul pita yang berada di bagian pinggang wrap gown sutra dengan panjang menyapalu lantai yang dikenakannya. Gaun berwarna silver itu memiliki belahan leher rendah serupa dengan desain blazer yang memberikan kesan sporty tetapi tetap seksi dengan belahan tinggi hingga ke paha. "Kekencangan, Mbak?" Penuh rasa bersalah asisten pribadi gadis itu bertanya. "Iya," dia mengusap bagian depan gaunnya, "Ini nggak terlalu seksi?" "Nggak," gadis itu menjawab dengan cepat, "Lebih seksi yang satunya." "Iya?" Aruna bertanya ragu, "Ini belahan lehernya nggak bisa diapain gitu?""Mau diapain? Udah bagus ini, Mbak," Maya sedikit melonggarkan ikatan pinggang gaun Aruna, "Segini, Mbak?" Aruna mengangguk sambil memperhatikan riasan wajah hasil karya MUA langganan yang baru diselesaikan lima menit lalu. Seperti biasa MUA tersebut berhasil memenuhi permintaannya. Riasan flawless dengan bold di bagian bibir. "Lipstick-nya kemerahan, deh," Aruna menoleh menv
Tamu lain terlihat bersenang-senang, minum dan tertawa, mengabaikan kemewahan yang tersaji di setiap sudut ballroom. Berbeda dengan Aruna. Gadis itu sudah terbiasa dengan kemewahan dan bertemu dengan tidak hanya orang kaya tetapi juga berkuasa. Yang membuat dia tidak tenang adalah kenyataan kalau namanya sudah dimasukkan oleh sang ibu dalam daftar pelelangan malam ini. Salah satu cara mengumpulkan dana sumbangan malam ini adalah dengan mengadakan acara lelang bertajuk One Hour Dinner with Lady. Acara yang paling dibenci oleh Aruna. Konsep pelelangan itu sederhana. Gadis yang namanya ada dalam daftar akan dipanggil ke panggung dan pengunjung akan menawarkan harga yang pantas untuk menikmati makan malam bersama dengan gadis yang sedang dilelang saat itu. Untuk waktu makan malam diserahkan kepada pemenang lelang. Manusia sudah hampir mendarat di Mars tetapi acara seperti ini entah mengapa masih menarik perhatiaan. Padahal sungguh itu merendahkan wanita dirasa oleh Aruna. Capek para
"Nona Aruna," seorang usher acara menghampiri Aruna yang berdiri di barisan belakang sambil memegang segelas sampanye, "Mari ikut saya. Setelah Nona Calya berikutnya giliran Anda." Aruna menarik napas panjang sambil melirik ke arah panggung. Nama sepupunya itu disebut oleh MC dan tidak lama disusul dengan sosok Calya yang berjalan ke tengah panggung. Gadis itu tersenyum. Tentu saja. Pacarnya ada di barisan paling depan dan siap menyelamatkannya dengan menjadi penawar tertinggi. Hati Aruna mencelos ketika ingat tidak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya. Peraturan tidak tertulis, keluarga tidak boleh ikut dalam pelelangan. "Baik," Aruna meletakkan gelas sampanye di neja terdekat kemudian mengikuti usher ke belakang panggung. "Silakan menunggu sampai nama Anda dipanggil," usher itu tersenyum sambil membuka sebuah ruangan yang tercipta dengan beberapa helai kain hitam. Meski begitu tentu bagian dalamnya begitu mewah dan elegan. Sofa kulit yang diimpor langsung dari Italia dan
Baskara menghela napas untuk kesekian kalinya. Seharusnya dia tidak setuju untuk menghadiri acara ini seorang diri. Mulut manis Gala yang berhasil meyakinkan dia kalau sebagai mitra bisnis Widjaja Group dia harus hadir. Setidak menyetor mukanya di hadapan keluarga Widjaja demi kesan baik. Bodohnya dia mempercayai sahabatnya itu hingga malam ini dia berada di acara penggalangan dana yang diadakan oleh Widjaja Group seorang diri. Dia sudah berusaha menyerat Gala tetapi dengan licin sahabatnya itu berkelit kalau dia memiliki janji makan malam bersama orang tuanya. Pria itu tahu dengan pasti kelemahan Baskara, orang tua. Ketika musik tiba-tiba berhenti dan suara nyanyian berganti dengan suara MC, Baskara tidak peduli. Pria itu memilih untuk tetap bergeming. Berdiri di samping sebuah dekorasi besar yang diyakininya berharga fantastis agar bayangan dapat menutupi dirinya hingga kehadirannya tidak mencolok. Dia melemparkan tatapan malas ke panggung. Melihat gadis silih berganti setelah di